2011-11

2011-11-14 Pengantar: Mencari Pahlawan Indonesia

Taufiq-Ismail.jpg

“Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani.”
(Nasihat Umar bin Khattab)

Kerisauan pengarang buku ini ialah bahwa ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri, “Kita justru mengalami kelangkaan pahlawan”. Memang itu sama kita rasakan. Lebih risau lagi Anis Matta selanjutnya memperkirakan bahwa dengan demikian telah tampak “isyarat kematian sebuah bangsa”. Tapi jangan, janganlah kiranya malapetaka sakratul maut itu terjadi.

Pahlawan yang didambakan Anis bukan saja pahlawan yang membebaskan bangsa dari krisis besar atau pahlawan di medan peperangan gawat, tapi jauh lebih luas lagi bentangannya, pahlawan dunia pemikiran, pendidikan, keilmuan, pebisnis, kesenian dan kebudayaan. Demikianlah esensi renungannya yang dapat kita tangkap dari himpunan 76 kolom Serial Kepahlawanan majalah Tarbawi ini.

Bacaannya yang luas dalam sejarah kepahlawanan dunia Islam memungkinkan pengarang membentangkan panorama tarikh (sejarah) sejak zaman Rasulullah sampai masa kini secara informatif dalam kemasan kolom ringkas dan padat, sependek 400-500 kata. Tidak mudah menulis ringkas bernas, seperti juga tidak gampang bicara pendek padat makna. Menulis panjang bertele-tele dan berbual berlama-lama, mudah. Kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sini-sana, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.

• Menurut Anis, sejarah sesungguhnya “merupakan industri para pahlawan.” Dalam “skala peradaban” setiap bangsa bergiliran “merebut piala kepahlawanan.” Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Pahlawan sejati senantiasa pemberani sejati. Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang, atau diperoleh melalui latihan. Keduanya ini berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Dengarlah nasihat Umar bin Khattab: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”

• Pahlawan dari generasi sahabat punya daya cipta sarana materi di tiga wilayah: di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis. Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa menginfakkan total hartanya, bukan sekedar marginnya, untuk memulai usaha dari nol kembali, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi mereka. Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% hartanya untuk ummat. Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid; keduanya adalah petarung sejali, pemimpin sejati dan juga pebisnis sejati. Berkata Umar: “Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Ini menjelaskan mengapa generasi sahabat bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, tapi juga mampu menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.

• Pahlawan mukmin sejati tidak membuang energi mereka untuk memikirkan apakah ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia, apakah ia akan ditempatkan dalam liang lahat Taman Pahlawan. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Kata kunci mencapai ini adalah keikhlasan. Inilah yang membedakan mereka dengan pahlawan sekuler.  Sama menderita masuk penjara, sama terbuai di tiang gantungan, tapi yang satu karena dunia fana, dan yang satu lagi karena Allah semata.

Tiga butir pikiran Anis Matta di tiga paragraf di atas, saya kutipkan untuk cicipan awal para pembaca sebelum menikmati sendiri hidangan kumpulan kolom yang laziz jiddan ini. Tapi Anis tidak selalu serius, dia sesekali bisa juga melucu. Di kolom “Sahabat Sang Pahlawan” dikisahkannya pahlawan ilmu dan sastra kita, Buya Hamka, yang datang bersama istri beliau ke sebuah majelis, memenuhi undangan ceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, protokol juga mempersilakan istri beliau untuk  berceramah. Ini dilakukan dengan sangkaan baik saja: istri sang ulama mungkin juga memiliki ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Tapi itu cuma satu menit. Setelah memberi salam, istri beliau berkata: “Saya bukan penceramah. Saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Selamat menikmati buku Mencari Pahlawan Indonesia ini. Semoga, seperti yang disebutkannya dalam kolom paling akhir, yang dicari itu “bahkan sudah ada di sini. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka.” Mudah-mudahanlah begitu.

Jakarta, 3 Ramadhan 1424 H / 29 Oktober 2003.

Taufiq Ismail


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-14 Pesan untuk Orang-orang Biasa

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Kumpulan tulisan ini adalah anak-anak zamannya. Lahir saat badai menerpa seluruh sisi kehidupan bangsa kita. Kumpulan tulisan ini adalah kerja kecil untuk tetap mempertahankan harapan dan optimisme kita di tengah badai itu. Krisis adalah takdir semua bangsa. la tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Tapi pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.

Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam masa yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukanlah malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.

Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang dihidupkan kumpulan tulisan ini. Maka tulisan-tulisan ini mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekadar cerita heroisme yang melahirkan kekaguman tapi tidak mendorong kita meneladaninya.

Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Jadi tulisan-tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya sendiri, atau juga Anda para pembaca, yang mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.

Sukses buku ini tidak perlu diukur dengan tirai besar. Tapi jika ada satu-dua hati yang mulai tergerak, dan mulai bekerja, saya akan cukup yakin berdo’a kepada Allah: “Ya Allah, jadikanlah kerja kecil ini sebagai kendaraan yang akan mengantarku menuju ridha dan surga-Mu.”

Utan Kayu, 27 Januari 2004

Anis Matta


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-15 Pentingnya Sirah Nabawiyah untuk Memahami Islam

Muhammad-Said-Ramadhan-Al-Buthi-Crop.jpg

Tujuan mengkaji Sirah Nabawiyah bukan sekadar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah yang mengungkapkan kisah-kisah dan kasus yang menarik. Karena itu, tidak sepatutnya kita menganggap kajian Fikih Sirah Nabawiyah termasuk kajian sejarah, sebagaimana kajian sejarah hidup salah seorang khalifah atau suatu periode sejarah yang telah silam.

Tujuan mengkaji Sirah Nabawiyah ialah agar setiap Muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin dalam kehidupan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sesudah ia dipahami secara konsepsional sebagai prinsip, kaidah, dan hukum. Sirah nabawiyah hanya merupakan upaya aplikatif yang bertujuan untuk memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam keteladanannya yang tertinggi, Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.

Bila kita rinci, maka dapat dibatasi dalam beberapa sasaran berikut ini :

  1. Memahami pribadi kenabian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melalui celah-celah kehidupan dan kondisi-kondisi yang pernah dihadapinya, untuk menegaskan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya seorang yang terkenal di antara kaumnya, tetapi sebelum itu beliau adalah seorang Rasul yang didukung oleh Allah dengan wahyu dan taufik dari-Nya.
  2. Agar manusia mendapatkan gambaran Al Matsal Al A’la menyangkut seluruh aspek kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman kehidupannya. Tidak diragukan lagi betapa pun manusia mencari matsal a’la (tipe ideal) mengenai salah satu aspek kehidupan, dia pasti akan mendapatkan didalam kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas dan sempurna. Karena itu, Allah menjadikannya suri tauladan bagi seluruh manusia.
    Firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”  (QS Al Ahzab : 21).
  3. Agar manusia mendapatkan, dalam mengkaji Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ini sesuatu yang dapat membawanya untuk memahami kitab Allah dan semangat tujuannya. Sebab, banyak ayat-ayat Al Quran yang baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan disikapinya.
  4. Melalui kajian Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ini seorang muslim dapat mengumpulkan sekian banyak pengetahuan Islam yang benar, baik menyangkut aqidah, syariah ataupun akhlak. Sebab tak diragukan lagi bahwa kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam merupakan gambaran yang konkrit dari sejumlah prinsip dan hukum Islam.

Di antara hal itu terpenting yang menjadikan Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam cukup untuk memenuhi semua sasaran ini adalah bahwa seluruh kehidupan beliau mencakup seluruh aspek sosial dan kemanusiaan yang ada pada manusia, baik sebagai pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat yang aktif.

Kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada kita contoh-contoh mulia, baik sebagai pemuda Islam yang lurus perilakunya dan terpercaya di antara kaum dan juga kerabatnya, ataupun sebagai da’i kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalahnya. Juga sebagai kepala negara yang mengatur segala urusan dengan cerdas dan bijaksana, sebagai suami teladan dan seorang ayah yang penuh kasih sayang, sebagai panglima perang yang mahir, sebagai negarawan yang pandai dan jujur, dan sebagai Muslim secara keseluruhan (kaffah) yang dapat melakukan secara imbang antara kewajiban beribadah kepada Allah dan bergaul dengan keluarga dan sahabatnya dengan baik

Jadi, kajian Sirah Nabawiyah ini tidak lain hanya menampakkan aspek-aspek kemanusiaan ini secara keseluruhan yang tercermin dalam suri tauladan yang paling sempurna dan terbaik. 


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-15 O, Pahlawan Negeriku

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

“Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api”.

Kita selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gulungan ombak.

Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:

Demi amanat dan beban rakyat

Kami nyatakan ke seluruh dunia

Telah bangkit di tanah air

Sebuah aksi perlawanan

Terhadap kepalsuan dan kebohongan

Yang bersarang dalam kekuasaan

Orang-orang pemimpin gadungan

Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud di Madinah. Karena kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?

Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi.. Karena kalian pergi menyempurnakan.. Kemerdekaan negeri ini.”

Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?

Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”

Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu.


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-16 Naluri Kepahlawanan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar.

Itu pula sebabnya mengapa kita dengan sukarela menyimpan dan memelihara rasa kagum kepada para pahlawan. Manusia berhutang budi kepada para pahlawan mereka. Dan kekaguman adalah sebagian dari cara mereka membalas utang budi. Mungkin, karena itu pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukanlah kiriman gratis dari langit. Akan tetapi, sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar.

Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini akan melihat tantangan sebagai beban berat maka mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Namun, orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan tantangan-tantangan kehidupan itu: Ini untukku. Atau seperti ungkapan orang-orang shadiq dalam  perang Khandaq yang diceritakan Al-Qur’an, Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan  benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al Ahzab: 22)

Naluri kepahlawanan lahir dari rasa kagum yang dalam kepada kepahlawanan itu sendiri. Hal itu akan menggoda sang pengagum untuk melihat dirinya sembari bertanya, “Apa engkau dapat melakukan hal yang sama?” Dan jika ia merasa memiliki kesiapan-kesiapan dasar, ia akan menemukan dorongan yang kuat untuk mengeksplorasi segenap potensinya untuk tumbuh dan berkembang. Jadi, naluri kepahlawanan adalah kekuatan yang mendorong munculnya potensi-potensi tersembunyi dalam diri seseorang, kekuatan yang berada dibalik pertumbuhan ajaib kepribadian seseorang.

Dalam serial Jenius-Jenius Islam, Abbas Mahmud Al Aqqad menemukan kunci kepribadian Abu Bakar Ash Shiddiq dalam kata kekaguman kepada kepahlawanan. Kunci kepribadian, kata Al-Aqqad, adalah perangkat lunak yang dapat menyingkap semua tabir kepribadian seseorang. Ia berfungsi seperti kunci yang dapat membuka pintu dan mengantar kita memasuki semua ruang dalam rumah itu. Dan kita hanya dapat memahami pekerjaan-pekerjaan besar yang telah diselesaikan Abu Bakar dalam kunci rahasia ini. Apakah Anda juga memiliki kunci rahasia itu? Saya tidak tahu.


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-17 Penggodok Batu

Rahmat-Abdullah.jpg

Sampai hari ini saya belum dengar ada yang menyalahkan sang ibu yang menggodok batu, agar anak-anaknya tertidur lantaran tak ada lagi bahan makanan yang dapat dimasaknya. Mungkin sejarah akan sangat kecewa bila Khalifah Umar bin Khattab tidak segera datang dan serta merta pergi ke gudang logistik negara, lalu bergegas memanggul sendiri tepung yang akan mengubah batu menjadi roti.

Hari ini sejarah melihat banyak ibu merebus apa saja, termasuk kucing (kebablasan), agar anak-anaknya tidak tidur, alias mati kelaparan. Sementara ada banyak orang yang terus menerus menjanjikan batu (dan terigu), namun tak pernah membuktikannya, padahal secara pribadi mereka lebih kaya dari Umar.

Sebagian pembaca mungkin terperanjat dan segera menyergah : “Nah, betul kan, agama itu candu untuk rakyat?”

Tunggu dulu, Tuan. Agama bukan candu rakyat. Tuan boleh katakan : “Agama itu batu dan terigu buat rakyat.”

Di banyak tempat rakyat melempar batu karena tak dapatkan terigu. Di Palestina rakyat melempar batu ke arah Zionis yang kepala serta hati mereka terbuat dari batu. Hati serdadunya boleh jadi terigu yang meleleh melihat prajurit kecil yang tak kunjung selesai melempar batu. Para politisi dan rabinya berhati batu, bahkan lebih keras daripada batu, karena batupun masih “…dapat mengeluarkan air.” (QS 2:74)

Palestina tidak punya senjata lain kecuali batu. Itulah “agama” yang paling primitif, agama batu, yang sangat ditakuti Yahudi dan sangat efektif di zaman ultra modern ini, minimal untuk sekedar mengingatkan bahwa Palestina masih ada dan tetap siap berlaga.

Pada saat batu-batu beterbangan dari arah demonstran ke aparat keamanan, mereka menjadi “sabda kebenaran” yang tak dapat diganggu gugat. Jangan tanya manusiawi atau tidak. “Hari ini makan rezeki batu,” kata serdadu yang kelelahan menahan hujan batu dan tak boleh membalas.

Buat kredibilitas kita, ini batu sandungan,” kata pengambil keputusan, seraya berfikir bagaimana menyusun press release. Dengan tujuan yang sangat berbeda, para Bonek menggunakan batu untuk menghancurkan genteng dan kaca ruamh penduduk serta kereta api. “Jununul kurah” (gila bola) telah ikut memanfaatkan senjata intifadhah untuk menggugat entah siapa.

Dari apa terbuat hati para provokator perusuhan Ambon, teror Banyuwangi, teror Dili, Larantuka, Abepura, Poso, Kupang, Sambas, bahkan 14 Mei 1998? Juga hati petawur antarsekolah dan antargang? Semoga tak ada yang menjawab: “Dari batu, atau tak terbuat dari apa-apa alias tak punya hati.”

Di banyak kawasan, rakyat yang punya semangat kerja sepakat membangun, entah masjid atau madrasah. Kelak, dari kasus-kasus pembangunan yang tak selesai muncul pemeo “pakar batu pertama”, karena tak pernah selesai dengan batu terakhir.

Dalam jajaran para Rasul, Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang datang paling akhir menjadi penutup dan penyempurna. Dengannya bangunan agama ini menjadi jelas wujud dan karakteristiknya. “Perumpamaan aku dan para Nabi sebelumku, seperti seseorang yang membangun rumah. Setiap Nabi telah meletakkan batu pada tempatnya. Tinggallah satu batu penjuru yang belum. Akulah yang menggenapinya.” (HR Bukhari & Muslim)

Kursi dan Batu

Berbahagialah mereka yang tak tahu politik. Berbahagialah mereka yang tak tahu arti kebahagiaan. Lebih berbahagia lagi mereka yang tahu politik dan mau berpolitik untuk menjinakkan politik. Karirnya sebagi penjinak politik.

Mengapa orang begitu sinis dengan politik? Barangkali karena kecewa dengan ulah para politisi.

Mereka kumpulkan batu-batu untuk menyusun tangga yang akan menyampaikan mereka ke puncak kekuasaan dan memborong seribu kursi perwakilan. Mereka boleh bersiap jika rakyat yang mereka wakili marah dan mulai lempar batu. Siapa peduli penyelesaian masalah demi masalah yang diwariskan generasi lampau. Rakyat memang hanya punya satu senjata: protes dan satu kesempatan: sekarang! Selebihnya urusan para pengambil keputusan. Si licik tinggal impor terigu dengan jaminan harga diri dan kehormatan bangsa. Yang lebih berbahaya bila kursi yang diperebutkan dengan kelelahan mendaki tangga-tangga batu telah merobah hati manusianya menjadi batu. Bahkan ada kader partai yang sebelum mendapat kursi, hatinya telah bertukar batu. Dusta, nifaq, intrik, khianat dan egoismenya adalah lelehan najis yang keluar dari hati yang batu. Ditingkah cairan sifat suka menjilat dan rekayasa ayat, lengkap sudah pentas perpolitikan dipenuhi biang laknat.

Batu Ujian

Partai Anda partai orang-orang bersih? Tidak ada jaminan pribadi otomatis baik. Klaim dan imitasi adalah sikap khas ahli kitab sepanjang masa yang di otaknya hanya terpola satu pemikiran: “Takkan masuk surga kecuali Yahudi atau Nasrani.”(QS.2:111)

Silakan masuk lewat pintu Yahudi atau Nasrani. Pintu Islam hanya terbuka bagi mereka yang : “…..Menyerahkan dirinya kepada Allah seraya terus ihsan, maka ia berhak mendapatkan ganjaran disisi rabbnya, tiada mereka rasakan ketakutan dan tiada mereka dapat kesedihan.” (QS 2:112)

Kalau ada kanker yang menggerogoti agama-agama, maka diantaranya bisa berbentuk umat yang hanya berbangga dengan status, tak peduli dengan nilai dan kualitas, lalu menjadikan simbol status itu sebagai gincu saja atau alat justifikasi kezaliman.

Dalam Pesan untuk Bangsa-bangsa Timur, Iqbal menyindir :

cuma gereja, kuil, masjid, dan rumah berhala

kau bangun lambang-lambang penghambaanmu

tak pernah dalam hati kau bangun dirimu

hingga kau tak bisa jadi utusan merdeka

Era da’wah kelembagaan yang mengambil bentuk partpol adalah era setiap orang berpacu dan bergiat dalam kendaraan kolektifnya, dengan segala kreasi besar yang ditumbuhkan oleh niat dan cita-cita besar, walau sekecil apapun langkah yang bisa diayunkannya dan huruf-huruf sejarah yang bisa dipahatkannya. Bila popularitas yang dipanen hari ini dianggap sebagai buah dari benih yang ditanam hari ini juga, maka genap sudah kedunguan Yahudi dalam diri sang aktivis, tepatnya sang parasit.

Yang malas kembali ke surau-surau dan gubug-gubug untuk mengeja kata demi kata pesan suci yang telah membesarkan komunitas ini. Yang lebih bernafsu mendeklamasikan do’a dengan suara menggeram, memaksa orang menangis di siang terang, lalu ia sendiri tertidur mendengkur sampai pagi melewati malam-malam, tanpa sujud, tanpa doa, tanpa rintihan. Perutnya terlalu kenyang dengan jamuan pertemuan, sementara gelap malam telah melindunginya dari intaian penilai dungu yang mengira betapa panjang tahajjudnya, betapa lirih doanya, betapa bening hatinya!

Ia yang resah mempertahankan identitas da’wahnya, gelisah dan ingin cepat-cepat kembali ke gita cinta zaman SMA, lalu menginginkan rapat-rapatnya benar-benar rapat laki-laki dan perempuan, bergurau bebas, berbaur lepas. Lepas dari norma-norma santrinya.

Yang meluncur dengan janji-janji politik yang tak bisa dipenuhinya, si pandir yang menggunakan forum walimah dan bakti sosial untuk mendikte orang lain menerima partainya yang ‘paling hebat’ tanpa melihat bibir mereka yang mencibir mengejek jamaahnya.

Yang mulai grogi seraya mencari celah berlari ketika satu bunga Al-Qur’an gugur sebagai syahid da’wah, ingatlah Musa pun pernah ngeri melihat tantangan besar di hadapannya, namun ia tak larut dalam perasaan takut yang manusiawi namun tidak imani itu.

Batu Sendi

Kader, sesungguhnya nama harum harimu dibangun diatas fakta-fakta yang berakar dalam ke masa lalu, ketika da’wah ini bermula. Di gubug-gubug gang sempit lahirnya. Berpeluh di kendaraan umum dalam rute-rute panjang aktifisnya. Menapak jalan-jalan kota dan desa, nyaris tanpa sepatu kadernya. Mengorbankan nikmat tidur dengan pulang larut pagi. Jauh dari hingar-bingar massa yang menyambut dengan gegap gempita. Lapar dan haus jadi kata yang asing untuk dieja pada entri kamusnya, karena telah berganti dengan kesenangan menghirup sepuas hati telaga Al-Qur’an.

Adapun Sa’ad dan Mush’abnya, telah meninggalkan gedung bapaknya yang megah, tanpa suara duduk bersimpuh di rumah-rumah Arqam bin Abi Arqam yang tanpa papan nama, tanpa grup musik, mitos atau tokoh kharismatik. Yatimlah anak-anaknya, karena tak satu bapak mau mengakuinya.

Adapun Khadijah, Fathimah dan Sumayyahnya terusir dari kelas-kelas sekolah yang dibangun dengan pajak ummatnya karena tak mau melepas pakaian taqwa penutup aurat mereka. Tanpa pemasaran lewat catwalk rumah-rumah butik yang hari ini menjamur, tanpa bayar royalti kepada para korban yang diusir dari sekolah mereka. Mendunia kebangsaannya tanpa kehilangan kecintaan yang tulus ke puak sendiri. Bila ada yang berbangga dengan kelompok, suku atau bangsa, segera rajaz melantun dari mulut Salmannya: “Ayahku Islam dan tak ada lagi bapak selainnya bila mereka berbangga dengan Qais dan Tamim.”

Dan dalam kerja, semboyan ini meningkat gelora jiwanya menepiskan semua pengandalan status dan nama besar : “Siapa yang lamban amalnya, tak dapat dipercepat oleh nasabnya.”


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-19 Baitud Da’wah

Rahmat-Abdullah.jpg

Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, Khalifah II Umar bin Khathab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.

“Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita.”

“Bu, saya tidak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita.”

“Siapa sih sepagi ini mengintai kita?” sang ibu bertanya.

“Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita.”

Khalifah segera kembali dengan satu tekad yang esok akan dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk puteranya, ‘Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu: Umar bin Abdul Azis, khalifah kelima.

***

Tuan dan Nyonya da’wah yang saya hormati.

Tentu saja istilah baitu da’wah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktivitas belajar mengajar seperti layaknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun bertarget jelas.

Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. “Keterlambatan” itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukan kerja di luar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreativitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.

Banyak orang merasa telah menjadi suami, isteri, atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suami atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan isu sentral “pewarisan nilai-nilai kehidupan” dalam kehidupan mereka tak ada soal. Buktinya tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau, atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa anak manusia bertingkah laku babi, serigala, harimau, atau musang.

Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghapal seluruh program yang dijejalkan bapak ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru. Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islam yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.

Misteri Berkah

Saat ini ada beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh “intuisi” kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hapal 1000 Alfiah Ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesama mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di negara Arab. Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak bea siswa ke sebuah universitas unggulan di Eropa. Lainnya bisa melakoni dua kuliah yang “pelik” : bahasa Arab di sebuah kolese paling representatif sementara siangnya mengambil jurusan ekonomi.

Kemenakannya hafal Al Qur’an 30 juz menjelang akhir semester delapan di Institut Teknologi paling bergengsi di negeri ini. Kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.

Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal yang spesial dari kelakuannya, muncul jawaban yang signifikan: kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti yang sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma’ruf nahi mungkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh.

Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, maka anak, istri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya.”

Ternyata memang, keikhlasan seorang atau keluarga kerap menembus sampai generasi sesudahnya. Boleh jadi seseorang telah menjadi bagian dari da’wah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da’i yang dirawatnya. Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak da’iyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkannya terhadap masyarakat. Padahal besar kemungkinan mereka tidak tersentuh da’wah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.

Ikhlas, Nilai Plus yang Menembus Lintas Generasi

Keikhlasan yang “naif” nabi Ibrahim yang rela -demi melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS  Ibrahim : 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.

Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al Qur’an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan yang penuh berkah -ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW di malam yang sangat beralasan baginya untuk “meratapi” bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri nabi Luth dan nabi Nuh -yang karenanya Allah menyebutnya dengan imra’ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya)- melahirkan generasi yang sangat berbeda.

Yang satu generasi sangat rabbani sepertiNabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid: “Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS  Ash Shaffat : 102)

Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, “Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah.” (QS  Hud : 43)

Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungii anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak bergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya di sana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:

“Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kautnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata : “Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan beramal shalih yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri.”


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-20 Keberanian

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian tanpa risiko.

Naluri kepahlawan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan risiko yang akan diterimanya.

Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Cobalah perhatikan betapa Al-Qur’an memuji ketegaran dalam perang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada risiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat Muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedangl” Adakah makna lain, selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke surga? Maka, dengarlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.“

Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kual terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas’ud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid. Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka, beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sab-da Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.“

Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah.” Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mcndukung muneulnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keheranian iman. Maka, dengarlah nasehat Umar, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.“

Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian.Andaikata kalian berada diperut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian.” Roh keberanian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-21 Bersama Amal Thulabi Membangun Peradaban

Mustafa-Kamal.jpg

Guru! Apa yang masih menarik dari sebutan ini di saat ummat mengalami keterpurukan moral? Ketahuilah, Hasan Al Bana, sang pendiri Ikhwanul Muslimun, menjadikan kata “guru” sebagai predikat akhir dari perjuanga nya. Beliau menggariskan bahwa tujuan akhir dari murotibul amal yang disusunnya adalah ustadziyatul alam; menjadi guru peradaban. Tujuan akhir ini memang tidak lebih sering diucapkan dibanding tujuan-tujuan antaranya. Namun di masa depan, kata “guru” secara proporsional harus dikembalikan kewibawaannya. Hingga segenap aktivis harakah memahami benar tujuan hakiki dari tertib amal yang sedang ditekuninya.

Perbincangan seputar wacana guru juga akan segera mengingatkan para aktivis harakah tentang inti sebuah peradaban; manusia. Lebih khusus lagi wacana ini akan membentangkan betapa luasnya lahan pembinaan generasi muda, dan betapa masih jauhnya perjalanan dakwah untuk itu. Bagaimanapun istimroriyatudda’wah (kesinambungan dakwah) amat sangat tergantung pada keberhasilan guru-guru yang mampu mewariskan sifat-sifat kenabian dari generasi ke generasi.

Kemanakah guru-guru di jajaran harakah Islamiyah seharusnya membidik barisan inti perjuangannya? Jawabnya adalah ke kaum terpelajar. Merekalah SDM (Sumber Daya Manusia) strategis peradaban di zaman ini. Mereka pulalah yang potensial mengemban misi kenabian di masa-masa yang akan datang. Mereka katakanlah, semacam “nabi kolektif” yang memberi pengharapan terhadap ummat tentang masa depan yang cerah.

Buku setebal 249 halaman ini kebetulan mengisahkan tentang bagaimana sebuah perubahan diusung oleh elit terpelajar yang disebutnya sebagai “thullaby.” Kisah tentang bagaimana sifat-sifat kenabian itu diwariskan melalui sebuah manajemen dakwah di kalangan generasi muda terpelajar. Buku ini mengukuhkan amal thullaby (dakwah kampus) sebagai lingkaran dakwah pertama yang menjadi inti harakah islamiyah — kemudian amal mihany (dakwah profesi) dan akhirnya amal siyasi (dakwah partai politik). Urut-urutan amal ini seolah telah menjadi khittah perjuangan dunia Islam yang tengah mengalami keterpurukan semenjak runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani di awal abad 20.

Tesis tentang elit terpelajar sebagai anashirut taghyir (agent of change) memang bukan hanya milik dunia Islam. Perubahan di berbagai negeri di seganjang abad 20 telah menjadikan kaum terpelajar secara historis sebagai dalil perubahan. Meski bukan satu-satunya kekuatan perubah namun elit dari sebuah pergerakan mestilah kaum terpelajar. Di Indonesia, fenomena lahirnya kaum terpelajar di berbagai perguruan tinggi telah mendorong lahirnya organ-organ pergerakan kemerdekaan di awal abad 20. Tokoh-tokoh penting pergerakan itu kemudian menjadifoundingfathers Republik Indonesia.

Seorang Indonesianis menyebut lahirnya kaum terpelajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi itu sebagai elit modern. Istilah elit modern sesungguhnya menandai pengaruh gelombang modernisasi di dunia Islam. Kepemimpinan tradisional yang semula dipegang oleh kaum bangsawan dan kaum ulama bergeser ke model kepemimpinan baru yang berasal dari perguruan tinggi-perguruan tinggi modern. Seiring dengan itu wacana kenegaraan pun berubah di dunia Islam. Ketika satu per satu dunia Islam membebaskan diri dari penjajahan Barat dan kemudian memerdekakan diri, bermunculanlah negara-negara modern dengan warna Barat yang sekuler.

Sepintas penjajah Barat telah berhasil menyapih negeri-negeri jajahannya untuk merdeka dengan model kepemimpinan dan negara modern ala Barat yang sekuler. Namun wacana kemoderenan di sisi lain ternyata mengandung sunnah-sunnah kehidupan yang objektif, yang apabila ditafsirkan sebagai hukum-hukum kekuatan dan kemajuan sebuah peradaban menjadi sesuatu yang bisa diadopsi dan diadaptasi ke dalam dunia Islam. Perdebatan tentang wacana ini misalnya telah melahirkan berbagai pendapat di seputar islamisasi science. Di Indonesia perdebatan ini dijembatani dengan memadukan iptek (ilmu pengetahuan teknologi) dan imtaq (iman dan taqwa). Diam-diam dunia Islam seperti menyepakati adanya nilai-nilai objektif dari kemoderenan. Bak mutiara yang hilang, nilai-nilai itu harus direbut kembali sebagai syarat-syarat yang tak terelakan dari sebuah supremasi peradaban.

Dalam konteks inilah strategi harakah islamiyah dapat mengambil manfaat dari tumbuh berkembangnya perguruan tinggi-perguruan tinggi dan bahkan negara modern yang dirancang Barat. Meski warna perguruan tinggi-perguruan tinggi dan negara di dunia Islam terimbas oleh sekularisme Barat, namun ada yang tetap tak mampu dijarah oleh Barat; aqidah. Dengan kekuatan aqidah kaum muslimin bahkan dapat “menikmati” perguruan tinggi dan negara rancangan Barat itu sebagai semata-mata sarana dakwah. Dengan kekuatan aqidah itu pula kaum muslimin dapat membangun kembali peradabannya tanpa harus menjadi sekuler atau menjadi Barat.

Bagi harakah islamiyah tidak semua yang datangnya dari Barat serta merta haram dan tidak pula serta merta halal. Mungkin saja permasalahannya bukan soal halal dan haram, tapi lebih merupakan hal-hal yang bersifat taktis. Dengan moderasi semacam itu harakah islamiyah dapat menuai hasil dakwahnya dari waktu ke waktu. Perlahan tapi pasti satu jenjang marhalah ke jenjang marhalah berikutnya ditapaki. Dari satu mihwar ke mihwar yang lebih luas cakupannya pun diraih.

Kembali pada buku ini, sungguh di dalamnya sarat berbagai pengalaman dakwah di negeri-negeri Islam dalam mengelola ruang-ruang yang semula seperti sempit menghimpit gerak dakwah menjadi peluang yang mendatangkan gelombang dakwah. Kiat-kiat praktis amal thullaby dipaparkan dengan sangat detail satu per satu. Buku ini seolah-olah ingin merangkum seluruh pertanyaan seputar amal thullaby dan seperti tidak merasa perlu banyak uraian lagi karena pembacanya sudah sangat ingin berkerja. Kumpulan gagasan yang terhimpun di buku ini bagai sebuah juklak yang tersusun secara sistematis mulai dari problem filosofis hingga teknis. Para aktivis dakwah terutama di kampus-kampus dan sekolah dapat menjadikannya sebagai buku pegangan dalam mengelola amal thullaby.

Sukses dakwah kampus yang ditandai oleh gelombang-gelombang perubahan ke arah cita-cita Islam pada gilirannya akan membangun kekuatan di masa depan. Semakin massif dan intensifnya dakwah Islam di kalangan terpelajar akan menciptakan kelas menengah yang siap mengusung perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Dunia Islam sepertinya harus bersiap-siap menuai sebuah revolusi global yang akan menggusur rezim otoriter pewaris feodalisme pra Islam yang masih bercokol di negeri-negeri Islam; mungkin lebih dramatis dari Revolusi Prancis. Dunia Islam sepertinya juga harus bersiap-siap untuk menuai sebuah revolusi peradaban yang akan mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; mungkin lebih spektakuler dibanding Revolusi Industri. Bila semua itu benar-benar terjadi, atas izin Allah segenap dunia Islam satu per satu akan menapak ketinggian peradabannya di era pasca modern; di mana dunia benar-benar menjadi tanpa tapal batas, ummat menjadi guru peradaban, dan Islam menjadi rahmatan lil alamin.

Jakarta, 14 Agustus 2002

Mustafa Kamal


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-21 Memoar Hasan Al Banna untuk Da’wah dan Para Da’i

Hasan-Al-Banna.jpg

Saya tidak mengerti  mengapa tiba-tiba saya berkeinginan kuat untuk menulis memoar ini, padahal dahulu saya sudah tidak ingin menulis memoar lagi seusai menulis memoar saya pada tahun 1943. Saya merasakan hal itu cukup melelahkan dan tidak menghasilkan kemanfaatan, kecuali sekedar memaknai kata-kata atau kesimpulan yang tidak sesuai dengan isinya hanya dengan alasan bahwa hal itu merupakan kemauan publik sebagai pihak yang punya “kekuasaan” untuk menuntut.

Boleh jadi hilangnya sebagian besar dari memoar saya itu merupakan sebab yang memotivasi saya untuk menulis memoar itu kembali. Sebab, tampaknya sayang sekali jika sebuah kenangan hidup hilang begitu saja, atau takut apabila hal itu akan terlupakan dan hilang ditelan masa, sedangkan itu merupakan lembaran-lembaran kehidupan yang akan dapat membahagiakan si penulisnya apabila ia membacanya kembali, selain dapat mewariskan kenangan itu kepada orang-orang sepeninggalnya. Sekalipun memoar saya yang pertama itu hilang, namun saya masih ingat kejadian-kejadiannya.

Barangkali inilah sebab lain  yang membuat saya mempunyai keinginan untuk kembali menulis, sehingga perputaran zaman tidak lagi mendatangi memori ini. Perputaran siang dan malam pun terlupakan.

Apa pun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis itu    adalah sesuatu yang benar, maka alhamdulillah; namun jika tidak, maka astaghfirullah. Saya yakin bahwa kalaupun tulisan ini tidak bermanfaat, insya Allah tetap tidak akan membawa mudharat. Namun kebaikanlah yang saya inginkan, dan Allah sajalah yang dapat memberi taufiq.

Kalaulah saya berpesan, (kepada orang-orang yang mendermakan dirinya untuk beramal dan mereka menyadari bahwa dirinya adalah orang yang rentan bersinggungan dengan pemerintah) agar mereka tidak usah getol menulis, hal itu karena lebih baik bagi dirinya dan bagi masyarakat banyak. Selain karena hal itu akan semakin menjauhkan kekeliruan penafsiran dan interpretasi.

Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukan jalan yang lurus.” (Al Ahzab:4)

Imam Hasan Al Banna

sumber: hasanalbanna.id

2011-11-22 Shallu ‘Alan Nabi

Rahmat-Abdullah.jpg

Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan dicelah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu menguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan suara adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia akan makan dilantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda rumah.

Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan; “Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hokum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”

Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk lebih dari satu dua kali berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Assidiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai orang rumah”.

Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.”Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” Demikian pesannya.

Disela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.

Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.

Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.

Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.

Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.

Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”

Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.” Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.

Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”

Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.

Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”

Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih!


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-23 Kesabaran

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pablawan. Maka, ulama kita dulu mengatakan, “Keberanian itu sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat.“

Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Itulah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya, “…Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir.” (Al-Anfal: 65).

Ada banyak pemberani yang tidak dapat mengakhiri hidupnya sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban risiko. Jadi, keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Akan tetapi, kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah SWT ini, “Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka selalu yakin dengan ayat-ayai Kami.” (As-Sajdah: 24).

Demikianlah kemudian ayal-ayat kesabaran turun beruntun dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketika Ia mengatakan, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sunguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45).

Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaraniah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja, dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan,

Akan tetapi, kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya, “Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama” (HR. Bukhari dan Muslim).

Jadi, pahitnya dari kesabaran itu hanya permulaannya. Sebab, kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. “Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah,” kata penyair Arab nomor wahid sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi. Mereka yang meniiliki naluri kepahlawan dan keberanian harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal; ketaatan, meninggalkan maksiat, atau menghadapi cobaan. Dan dengan kesabaran tertinggi. Sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim, “Sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya.“


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-24 Tujuan Penulisan Risalah Pergerakan Pemuda Islam

Musthafa-Muhammad-Thahan.jpg

Hari ini dunia melewati fase perubahan yang sangat besar, setelah jatuhnya komunisme, dunia menjadi hanya satu blok. Jika dicermati, penyatuan ini mengabaikan semua manusia kecuali bangsa Barat. Sedangkan belahan dunia lain yang mereka sebut ‘negara-negara selatan’ atau ‘miskin’ atau ‘dunia ketiga’ tidak mereka perhitungkan kecuali perhatian mereka dalam perlombaan memeras kekayaan alamnya, atau membagi-bagi pasar bagi produk mereka.

Dunia ketiga telah menelan semua faktor penyebab kehinaan, penjajahan, pemiskinan, dan cuci otak. Istilah ‘Tatanan Dunia Baru’ telah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan raksasa yang berpusat di Wall Street – New York untuk menguasai dunia. Saat ini Dunia Ketiga paling merasakan kezholiman dan penindasan yang terjadi. Perasaan inilah langkah awal untuk mencapai hak-hak yang terampas.

Di sisi lain, dunia Barat juga menghadapi tantangan internal yang besar: mereka memiliki kekuatan militer yang zholim, sistem ribawi yang zholim, dan penduduk yang terpolusi oleh alkohol, obat-obat terlarang, homoseksual/lesbian, aids, perdagangan budak, pembunuhan, pencurian, fanatisme buta, dan kebencian antar masyarakat. Semua itu mengisyaratkan bahwa mereka berada dalam fase keruntuhan. Komunisme telah jatuh, dan kini telah datang giliran kehancuran kapitalisme.

Pertanyaannya: Jika kejatuhan mereka terjadi, apakah berarti kesempatan membalas dendam? Ataukah tugas ummat Islam  lebih besar dari itu?Apakah ummat akan disibukkan oleh dendam dan benci atau oleh pembinaan (binad) dan pemakmuran (ta’miir)? Apakah umat akan mengejar ilmu dan pemahaman untuk meletakkan dasar peradabannya yang tinggi agar semua manusia hidup mulia sesuai dengan kehendak Rabb-nya? Apakah ummat akan memperlakukan musuhnya dengan perlakuan musuh terhadapnya, ataukah dengan akhlak yang diajarkan Rab-nya?

Sesungguhnya jarak antara kekalahan dan kemenangan itu dekat, dekat bagi generasi terdepan ummat ini yang shodiq (jujur), ‘alim (berilmu), dan waa’i (sadar), yang memahami prioritas kerja, beramal produktif dengan penuh kesabaran dan akhlak karimah. Juga dekat bagi qiyadah (pemimpin) yang waa’iyah (sadar) dan rosyidah (lurus), mempunyai sasaran yang jelas dan uslub yang istimewa. Dengan bekal rabbani ini, jarak antara kekalahan dan kemenangan akan sangat dekat dan makin dekat.

Pelajar dan Mahasiswa adalah generasi terdepan ummat, sedangkan Pelajar dan Mahasiswa yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, berpegang teguh dengan nilai-nilai rabbani, dan ikhlas demi kejayaan ummatnya merekalah harapan ummat yang paling memungkinkan untuk mengemban amanah generasi saat ini dan akan datang. Untuk merekalah buku ini dibuat.

Dalam beberapa dekade, seluruh negara di dunia umumnya dan negaranegara di dunia Islam secara khusus telah menyimpan dan memupuk potensi gerakan pelajar/mahasiswa yang aktif. Sebelumnya gerakan ini merupakan pelopor kemerdekaan di negerinya, kemudian menjadi potensi dan sumber daya negara itu untuk membangun dan mencapai kemajuan. Selama berlangsungnya gerakan dalam beberapa dekade itu, telah lahir puluhan bahkan ratusan pengalaman dan eksperimen berharga yang telah diwarisi oleh generasi selanjutnya, terutama kader-kader gerakan dari berbagai negara, sehingga pengalaman-pengalaman ini turut berperan dalam perkembangan dan kemajuan gerakan pelajar/mahasiswa (Amal Thullaby).

Meskipun begitu banyak pengalaman yang dihasilkan, masih sedikit orang yang mengumpulkannya atau mencatatnya dalam sejarah, akibatnya pengalaman-pengalaman itu lenyap sia-sia seiring berlalunya waktu. Hal ini menjadi penyebab melemahnya kemampuan generasi selanjutnya dalam membangun atau meneruskan kerja generasi sebelumnya, bahkan ironisnya justru mereka mengulang kesalahan dan menghadapi problematika yang sama.

Oleh karena itu Ittihaad Al-Munazhomaat Ath-Thullaabiyyah (Persatuan Organisasi Pelajar dan Mahasiswa) telah berinisiatif untuk membuat sebuah buku petunjuk yang menghimpun pengalaman-pengalaman gerakan dari puluhan kader aktivis di banyak negara. Kami ingin menjaganya dan mempersembahkannya dengan tulus kepada generasi mendatang di seluruh dunia, semoga dapat membantu dalam membangun gerakan, menghindari kesalahan, dan mengatasi masalah.

Secara singkat dapat kami kemukakan bahwa tujuan penulisan buku ini adalah:

Kami telah berupaya agar buku ini cukup lengkap mencakup semua sisi Amal Thullabi baik teoritis maupun praktis. Buku ini terdiri dari empat belas pasal1:

Pasal I : Problematika Ummat, Dulu dan Kini.

Pasal II : Peranan Amal Thullabi dalam kebangkitan ummat dan kepeloporannya dalam kemajuan ummat.

Pasal III : Siyasat (Kebijakan) Amal Thullabi yang mengontrol gerakannya dan mengarahkannya ke arah yang benar.

Pasal IV : Ahdaf (Sasaran) Amal Thullabi di semua tingkatan ditambah dengan sarana-sarananya yang beragam dan dibahas secara rinci yang meletakkan pembaca di awal perjalanan gerakan.

Pasal V : Kelembagaan Amal Thullabi: Lembaga Kemahasiswaan, Ikatan Keluarga Mahasiswa, dan Kelompok Lintas Desa/Kepanduan, mencakup tujuannya, kegiatannya, dan bagaimana mengelolanya.

Pasal VI : Bidang Garapan Amal Thullabi, dibahas mendetil yang mencakup aktivitas amal thullabi di SLTA, kampus, ma’had, pertukaran pelajar, asrama pelajar/mahasiswa, aktivitas bersama mahasiswi, dan da’wah di tengah para dosen.

Pasal VII : Tarbiyah dalam Amal Thullabi: karakteristiknya, peranannya dalam menyatukan pemahaman, metode terpadu bagi tarbiyah siyasiyyah, peran pembahasan serta kajian dalam tarbiyah, dan terakhir adab seorang pelajar/mahasiswa terhadap Rabb-nya, dirinya, dan masyarakatnya.

Pasal VIII : Manajemen Amal Thullabi, membahas prinsip-prinsip umumnya.

Pasal IX Pelatihan dalam Amal Thullabi: urgensinya, bagaimana proses pelatihan, peta pelatihan, dan ulasan singkat tentang puluhan materi pelatihan.

Pasal X : Media Massa dalam Amal Thullabi.

Pasal XI : Amal Thullabi dan Lembaga-lembaga di Masyarakat, di antaranya: masjid, klub-klub, organisasi profesi, partai, dan NGO (Non Government Organization).

Pasal XII :  Tantangan Masa Depan: mencakup gambaran umum tentangnya, aktivitas da’wah di situasi sulit, dan bagaimana menjaga kesinambungan generasi.

Pasal XIII : Pengalaman-pengalaman Penting dalam Amal Thullabi, seperti: Lembaga Independen, Cikal Bakal Pemimpin Masa Depan, dan Forum Dialog Intelektual.

Pasal XIV : Amal Thullabi dan Sejarah: memberikan gambaran kepada pembaca tentang sejarah Amal Thullabi di beberapa negara sebagai contoh gerakan, kemudian dibahas beberapa momen-momen sejarah yang penting seperti: Hari Al-Quds, dan Hari Pelajar/ Mahasiswa Sedunia.

Kami berharap buku yang berada di tangan para kader dan mahasiswa ini semoga memberi manfaat yang banyak dan membantu mereka dalam melaksanakan aktivitas da’wah Amal Thullabi yang terdepan dan berkembang maju. Untuk itu, kami berharap agar para kader dan aktivis mempelajari dan mengkaji setiap pasalnya dari berbagai sisi baik teoritis maupun praktek, serta mengujinya dengan realitas di lapangan. Hendaklah para kader mengambil manfaat dari siyasat, tujuan dan berbagai sarana yang disebutkan buku ini sesuai dengan situasi dan daya dukung di tempatnya. Demikian juga dengan pengalaman-pengalaman berharga yang telah diungkapkan demi kemajuan Amal Thullabi.

Terakhir, kami tidak lupa berpesan tentang pentingnya andil para pembaca dalam menyempurnakan buku ini dan memperbesar manfaatnya melalui kritik dan saran terhadap setiap pasal atau pemikiran yang terdapat di dalamnya, atau dengan memperluas dan mempertajam pemikiran tersebut, atau menambah ide baru, pasal yang baru, bahkan kajian baru yang dapat dimasukkan ke dalam buku ini. Dengan demikian, semakin besar manfaat yang dapat diambil darinya.

Kami menanti kritik, saran, pengalaman, dan kajian para aktivis di alamat-alamat berikut:

::: Alamat Surat:::

P.O. Box 8631 Salmiya 22057

Kuwait – Arabian Gulf.

:: Telepon: 00965 2443548.

:: Faks: 00965 2443549.

: E-mail: soutahhan@hotmail.com

Web Site: www.Students-Online.ws

Mei, 2001

Ittihaad Al-Munazhomaat Ath-Thullaabiyyah

Student Organization Union


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-24 Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul

Hilmi-Aminuddin.jpg

Kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.

Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.

Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki “judul”, baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.

Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.

Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah ‘alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.

Uustadz Hilmi Aminuddin, Lc

sumber: hasanalbanna.id

2011-11-24 Madrasah Diniyah ‘Ar Rasyad’

Hasan-Al-Banna.jpg

Semoga Allah berkenan  mencurahkan rahmat kepada ustadz kami Syaikh Muhammad Zahran, pemilik Madrasah Diniyah Ar Rasyad. Beliau adalah seorang yang  brilian, berilmu, bertaqwa, dan berwibawa. Di tengah masyarakat, beliau –dengan cahaya ilmu dan keutamaannya- bagaikan pelita yang menerangi setiap tempat. Meskipun jenjang pendidikan beliau secara formal tidak sampai pada tingkatan ulama yang resmi, tetapi kecerdasan, kemauan, dan kesungguhan beliau telah menjadikan beliau berada jauh di depan dalam bidang ilmu dan amal.

Beliau mengajar masyarakat di masjid, selain juga mengajar kaum wanita di berbagai majelis ta’lim. Disamping itu, beliau juga mendirikan Madrasah Diniyah Ar Rasyad sekitar tahun 1915 M untuk memberikan pengajaran kepada generasi muda dengan model seperti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang –ketika itu— telah tersebar luas di desa-desa dan kampung-kampung. Meski demikian, madrasah tersebut menggunakan pola pengajaran dengan mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang bagus.

Sebagai tempat menempa ilmu maupun penggemblengan pribadi, boleh dikata itu sebagai madrasah yang istimewa dalam bidang materi yang diajarkan maupun metodologi yang diterapkan. Materi-materi pelajaran yang ada, di samping materi-materi yang populer diajarkan di berbagai madrasah semisalnya, juga ditambah dengan hadits-hadits Nabi dengan target menghafal dan memahaminya.

Semua murid diharuskan mengkaji hadits baru yang sebelumnya telah disampaikan syarahnya kepada mereka sampai mereka mampu memahaminya. Hal ini dilakukan setiap pekan sekali pada akhir jam pelajaran, yakni pada hari Kamis. Mereka harus mengulang-ulangnya sampai hafal, disamping masih harus hafal juga hadits-hadits yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sehingga ketika mereka telah menempuh pendidikan satu tahun saja, mereka telah memperoleh perbendaharaan hadits yang cukup. Sebagian hadits-hadits yang dihafalkan itu benar-benar melekat dalam otak sejak saat itu.

Madrasah ini juga mengajarkan insya’ (mengarang), qawa’id (tata bahasa), dan tathbiq (praktek)nya. Selain itu juga diajarkan tentang adab (tata karma) yang dituangkan dalam pelajaran muthala’ah (wacana) atau imla (dikte), serta mahfuzhat (hafalan) yang ditulis dalam bentuk puisi atau prosa yang indah. Materi-materi semacam ini tidak populer di madrasah-madrasah lain yang semisal dengannya.

Ustadz Muhammad Zahran menguasai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan membawa hasil, meskipun ia tidak pernah belajar ilmu-ilmu pendidikan dan tidak pernah mendapatkan kaidah-kaidah ilmu psikologi. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya dengan murid-muridnya. Beliau sangat berhati-hati dalam menghadapi mereka dengan selalu menaruh kepercayaan kepada mereka dan memberikan penghargaan atas tindakan baik mereka atau memberikan hukuman yang mendidik atas tindakan buruk mereka, yang hal itu akan menimbulkan keridhaan dan kegembiraaan di dalam jiwa. Seringnya, hal itu dilakukan dengan melontarkan anekdot yang hangat, bait-bait syair, atau ajakan yang baik. Saya masih teringat akan sebait syair yang dihadiahkan beliau kepada salah seorang murid karena berhasil menjawab soal dengan baik. Beliau menyuruh murid tersebut agar menulis syair berikut ke dalam buku catatannya:

Hasan telah memberi jawaban
Jawaban yang demikian bernas
Kepadanya semoga Allah memberikan
Keridhaan dan bimbingan

Saya juga masih ingat akan sebait syair lainnya yang dihadiahkan kepada seorang murid atas jawaban yang belum memuaskannya. Beliau pun menyuruhnya agar menulis bait syair berikut di dalam buku catatannya:

Wahai kuda Allah
Percepatlah lagi langkahmu
Untuk mengambil pemuda ini
Wahai kuda Allah

Akhirnya saya jadikan hal itu sebagai contoh dan saya panggil teman tersebut dengan nama itu. Jika kami memarahinya, maka kami memanggilnya, “Wahai kuda Allah!”. Ustadz sebenarnya hanya ingin berpesan kepada pemilik buku tulis itu agar ia menulis sendiri apa yang didiktekan oleh ustadz kepadanya, karena beliau adalah seorang tuna netra. Namun demikian dalam dadanya terdapat cahaya yang lebih terang daripada yang teradapat pada orang-orang yang tidak buta. Memang, -sebagaimana sebuah ayat menuturkan-

“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, namun hati yang di dalam dada itulah yang buta” (Al Hajj:46)

Sejak saat itulah saya sadar dan tahu -sekalipun saya belum merasakannya- tentang pengaruh keharmonisan hubungan ruhiyah dan ketertautan perasaan antara seorang murid dengan gurunya. Kami sangat mencintai ustadz, sekalipun ustadz membebani kami dengan banyak pekerjaan yang cukup menyulitkan. Barangkali dari situlah saya dapat memetik faedah akan kecintaan beliau untuk menelaah dan banyak membaca, sebab hal itu sering memaksa saya untuk hadir ke perpustakaannya. Di perpustakaan itulah saya dapat membaca sekian banyak karya tulis yang bermanfaat. Saya juga membacakan kepada beliau berbagai masalah yang beliau butuhkan dari kitab-kitab itu. Seringkali beliau juga didampingi oleh orang-orang pandai lainnya yang sama-sama mengkaji, menelaah, dan berdiskusi, sementara saya mendengarkannya.

Demikianlah hubungan secara langsung antara seorang ustadz dengan murid guna membuahkan pengaruh yang terbaik. Alangkah baiknya jika para pengajar dan pendidik yang ada ditakdirkan demikian dan tentunya –dengan izin Allah– akan membawa kebaikan yang banyak. Di madrasah yang penuh berkah ini usia saya berlalu dari delapan sampai dua belas tahun.


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-28 Pindah ke Madrasah I’dadiyah

Hasan-Al-Banna.jpg

Ustadz kami memiliki banyak kesibukan, sehingga beliau tidak dapat mengelola madrasahnya lagi. Beliau menyerahkannya kepada ustadz-ustadz lain, yang tentu saja kurang setara dengannya dalam hal kekuatan ruhani, keilmuan, pengetahuan, serta akhlak yang memukau. Sehingga si murid ini (yakni penulis: Hasan Al-Banna), yang pernah merasakan manisnya kebersamaan dengan beliau, tidak lagi sabar untuk terus bersama mereka, sekalipun ia belum juga selesai menghafal Al-Qur’an dan belum dapat mewujudkan keinginan ayahnya yang menggebu: ingin melihat putranya menjadi seorang hafizh (penghafal) Qur’an. Ia belum juga selesai mengahafal surat Al-Isra’, setelah mengahafal surat-surat yang dimulai dari Al-Baqarah (yang berarti kurang lebih baru separo Al-Qur’an). Ketika itu pula, tiba-tiba sang ayah menyampaikan suatu rencana yang sangat mengejutkan; ia harus pindah dari sekolah ini ke Madraasah I’dadiyah, karena tidak kuat. Ketika itu, jenis pendidikan ini setingkat dengan Madarasah Ibtidaiyah, hanya tanpa pelajaran bahasa asing, namun ada tambahan beberapa pelajaran tentang undang-undang pertanahan dan perpajakan, serta sedikit tentang agrikultura, di samping mendalami secara luas tentang ilmu bahasa nasional (bahasa Arab) dan ilmu agama.

Sang ayah yang bersemangat itu tetap menginginkan agar putranya senantiasa menghafal Al-Qur’an. Akhirnya diambilah jalan keluar; hafalan Al-Qur’annya diselesaikan di rumah saja. Belum sepekan berselang, si anak pun sudah menjadi siswa di Madrasah I’dadiyah. Dengan demikian ia harus membagi waktunya untuk pelajaran sekolah di siang hari dan aktivitas lain yang ia lakukan seusai pulang sekolah hingga tiba waktu shalat isya’. Kemudian ia pun harus mengulangi pelajaran sekolah (belajar malan) hingga waktu tidur. Ia mengambil waktu untuk menghafal Al-Qur’an setelah shalat subuh hingga menjelang berangkat ke sekolah.

Imam Hasan Al Banna


sumber: hasanalbanna.id

2011-11-29 Guru Kehidupan

Rahmat-Abdullah.jpg

Ada murid dapat belajar hanya dari guru yang ber-SK, disuapi ilmu dan  didikte habis-habisan. Ada yang cukup belajar dari katak yang melompat atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan kota dan desa.  Ada yang belajar dari apel yang jatuh disamping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai itu.  Ada guru yang banyak berkata tanpa berbuat.  Ada yang lebih pandai berbuat daripada berkata.  Ada yang memadukan kata dan perbuatan.

Yang istimewa diantara mereka,  “bila melihatnya engkau langsung ingat Allah, ucapannya akan menambah amalmu dan amalnya membuatmu semakin cinta akhirat  (khiyarukum man dzakkarakum billahi ru’yatuh wa zada fi’amalikum mantiquh wa raggahabakum fil akhirati ‘amaluh)”

Yang tak dapat belajar dari guru alam dan dinamika lingkungannya, sangat tak berpotensi belajar dari guru manusia. Yang tak dapat mengambil ibrah dari pelajaran orang lain, harus mengambilnya dari pengalaman sendiri, dan untuk itu ia harus membayar mahal.

Bani Israil bergurukan Nabi Musa As, salah satu Ulul Azmi para rasul dengan azam berdosis tinggi. Bahkan leluhur mereka nabi-nabi yang dikirim silih berganti.

Apa yang kurang?

Ibarat meniup tungku, bila masih ada api di bara, kayu bakar itu akan menyala, tetapi apa yang kau hasilkan dari tumpukan abu dapur tanpa setitik api, selain kotoran yang memenuhi wajahmu?

Murid-murid Bebal

Berbicara seputar orang-orang degil, berarti menimbun begitu banyak kata seharusnya.  Seharusnya Bani Israil berjuang sepenuh jiwa dan raga,  bukan malah mengatakan: “Hai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan setelah engkau datang,” (QS.7:129), karena sesungguhnya mereka tahu ia benar-benar diutus Allah untuk memimpin mereka.

Seharusnya mereka tidak mengatakan: “Kami tak akan masuk kesana (Palestina), selama mereka masih ada disana, maka pergilah engkau dengan tuhanmu,  biar kami duduk-duduk disini,” (QS.5:24) karena berita tenggelamnya Fir’aun di lautan dan selamatnya Bani Israil, adalah energi besar yang mampu meruntuhkan semangat orang-orang Amalek yang menduduki bumi suci yang dijanjikan itu.

Adapun yang ditenggelamkan itu Fir’aun, mitos sejarah yang tak terbayangkan bisa jatuh. Kemudian seharusnya mereka yang dihukum karena sikap dan ucapan dungu tadi, pasrah saja di padang Tih, dengan jatah catering Manna dan Salwa serta tinggal beratapkan awan pelindung dari sengatan terik matahari.

Ternyata mereka mengulangi lagi kedegilan lama mereka.  “Hai Musa, kami tak bakalan sabaran dengan jenis makanan monotype, cuma semacam ini, karenanya berdoalah engkau kepada tuhanmu untuk kami, agar ia keluarkan untuk kami tumbuhan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang puihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya.” (QS.2:61)

Betul, manusia memerlukan guru manusia, tetapi apa yang dapat dilihatnya diterik siang di bawah sorotan lampu ribuan watt, bila matanya ditutup rapat?

Tarbiyah dzatiyah atau pendidikan mandiri untuk menguasai mata kuliah kehidupan sangat besar perannya. Sebuah bangsa yang sudah “merdeka” 54 tahun, namun tak peduli bagaimana menghemat cadangan energi, tak tahu bagaimana membuang sampah, ringan tangan membakar hutan dan me-WC-kan sungai-sungai kota mereka, tentulah bukan bangsa yang pandai mendidik diri.

Sebuah bangsa yang tergopoh-gopoh ikutan kampanye anti AIDS, dengan hanya menekankan aspek seks aman (dunia) saja tanpa mengingat murka Allah, tentulah bangsa itu belum kunjung dewasa. Bila diingat 6 dari 10 anak-anak mereka terancam flek paru-paru, lengkap sudah kebebalan itu.

Nurani yang Selalu Bergetar

Konon, Imam Syafi’ie ra sangat malu dan menyesal bila sampai ada orang mengutarakan hajat kepadanya. “Mestinya aku telah menangkap gejala itu cukup dari kilas wajahnya.”

Mereka yang akrab dengan arus batin manusia, mestinya selalu dapat menangkap isyarat muqabalah (oposit) makna ayat 2:273, “Engkau kenal mereka dengan ciri mereka, tak pernah meminta kepada manusia dengan mendesak.” Sementara yang bukan “engkau” tak dapat membaca gelagat ini:  “Si jahil mengira mereka itu kaya, lantaran mereka berusaha menjaga diri.”

Mereka yang berhasil dalam tarbiyah dzatiyah akan tampil sebagai manusia yang jujur, ikhlas dan merdeka. Karenanya, “Hindarilah bergincu dengan ilmu sebagaimana engkau menghindari ujub (kagum diri) dengan amal.  Jangan pula engkau meyakini bahwa aspek batin dari adab dapat diruntuhkan oleh sisi zahir dari ilmu. Taatilah Allah dalam menentang manusia dan jangan taati manusia dalam menentang Allah.  Jangan simpan sediktipun potensimu dari Allah dan jangan restui suatu amal kepada Allah yang bersumber dari nafsumu. Berdirilah dihadapan-Nya dalam shalatmu secara total.” (Al Muhasibi, Risalatul Mustarsyidin).

Akhirnya, semakin jauh perjalanan tarbiyah dzatiyahnya, semakin banyak kekayaan yang diraihnya. Ungkapan berikut ini tidak ada kaitannya dengan bid’ah atau khilafiyah fiqh. Ia lebih mewakili ibrah agar kita tak terjebak pada aktifitas formal atau sebaliknya.

“Pada aspek zahir ada janabah yang menghalangimu masuk rumah-Nya atau membaca kitab-Nya, dan aspek batin juga punya janabah yang menghalangimu memasuki hadhirat keagungan-Nya dan memahami firman-Nya. Itulah ghaflah (kelalaian)” (Ibnu Atha’illah, Taju’l Arus).

Hakikat Kematangan Ilmu

Kembali ke kematangan pribadi dan keberhasilan tarbiyah dzatiyah, seseorang tak diukur  berdasarkan kekayaan hafalannya atau keluasan pengetahuannya, tetapi pada kemampuannya memfungsikan bashirahnya: “Perumpamaan orang yang aktif dalam dunia ilmu namun tak punya bashirah, seperti 100.000 orang buta berjalan dengan kebingungan.  Seandainya ada satu saja di tengah mereka yang dapat melihat walau  hanya dengan satu mata, niscaya masyarakat hanya mau mengikuti yang satu ini dan meninggalkan yang 100.000”.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meredakan kemarahan para sahabat yang sangat tersinggung kepada seorang pemuda yang minta izin kepada beliau untuk tetap bisa berzina.

“Engkau rela ibumu dizinai orang?” tanya beliau dengan bijak.

“Demi Allah, saya tidak rela!”

“Relakah engkau jika anak perempuanmu, saudara perempuanmu dan isterimu dizinai orang?”

“Tidak, demi Allah!”

”Nah, demikianlah masyarakat….”

Demikianlah, amtsal merupakan metode pencerahan yang digunakan Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan dengan kata kunci yang patut dicermati:  “….Tak dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (29:43).

Citarasa yang tinggi dibangun dan sensitifitas dipertajam, mengantarkan manusia kepada puncak pencerahan ruhani mereka.

Sebuah ungkapan kedewasaan pun “Semua manusia dari Adam dan Adam dari tanah,  tak ada perbedaan antara Arab atas Ajam dan Ajam atas Arab melainkan dngan taqwa.”  Itulah zaman, saat sejarah tak lagi dimonopoli raja, puteri dan pangeran, tetapi menjadi hak bersama yang melambungkan nama Bilal budak hitam abadi dalam adzan,  atau Zaid menjadi satu-satunya nama sahabat dalam Al-Qur’an.

Demikianlah kemudian kita kenal Ammar, Sumayyah dan banyak lagi budak  yang melampaui prestasi dan prestise para bangsawan.  Padahal 13 abad kemudian pun Eropa masih mempertanyakan perempuan makhluk apa.  Dan, para intelektualnya sampai pada kesimpulan, “Mereka adalah iblis yang ditampilkan dalam tampilan manusia.”

Justru Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberi standar, “Takkan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan takkan menghinakan mereka kecuali manusia hina”.

Sementara para perempuannya seperti dilukiskan puteri Sa’id bin Musayyab: “Kami memperlakukan suami seperti kalian memperlakukan para pemimpin, kami ucapkan: “Ashlahakallah, hayyakallah!” (Semoga Allah  memperbaiki/melindungimu, semoga Allah memuliakanmu).


sumber: hasanalbanna.id