2011-12
- 2011-12-02 Perhimpunan Akhlak Mulia
- 2011-12-02 Di Tepi Sungai Nil
- 2011-12-02 Madrasah Al Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur
- 2011-12-02 Pengorbanan
- 2011-12-02 Kompetisi
- 2011-12-02 Asosiasi Anti Haram
- 2011-12-03 Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah
- 2011-12-05 Filosofi
- 2011-12-07 Problematika Umat
- 2011-12-08 Optimisme
- 2011-12-12 Pekerjaan Besar dan Pekerjaan
- 2011-12-15 Vitalitas
- 2011-12-16 Pengantar Fikih Sunnah
- 2011-12-17 Pengantar Risalah Pergerakan
- 2011-12-19 Menilai Diri Sendiri
- 2011-12-21 Ad Da’watu Waludatun
- 2011-12-22 Momentum Kepahlawanan
- 2011-12-25 Dakwah Kami: Empat Golongan Obyek Dakwah
- 2011-12-26 Keunikan
- 2011-12-27 Surat dari Penjara
- 2011-12-27 Pendahuluan Halal dan Haram
- 2011-12-28 Ri’ayah Dakwah
- 2011-12-29 Kesempurnaan
2011-12-02 Perhimpunan Akhlak Mulia
Di antara guru-guru yang mengajar di Madrasah I’dadiyah ini adalah Muhammad Afandi Abdul Khaliq rahimahullah, seorang guru matematika dan olahraga. Dia memiliki akhlak yang mulia. Dialah yang mengusulkan agar siswa-siswa kelas tiga mendirikan sebuah organisasi sekolah, yang akhirnya disepakati dengan nama Perhimpunan Akhlak Mulia.
Dia sendiri yang membuat tata aturannya, sekaligus yang bertindak sebagai Pembina. Ia juga mengarahkan para siswa untuk memilih personil dewan pimpinan organisasi itu. Substansi tata aturan internalnya terkandung dalam ungkapan sebagai berikut: “Barang siapa memaki saudaranya, didenda satu millim (mata uang terkecil di Mesir); yang memaki ayahnya, didenda dua millim, yang memaki ibunya, didenda satu qirsy (sen Mesir), yang mencela agama, didenda dua qirsy, yang bertengkar dengan temannya, didenda dua qirsy. Sanksi ini akan dilipatgandakan jika yang melakukan adalah personil anggota dewan pimpinan dan pemimpinnya.
Barangsiapa tidak mau menunaikan sanksi ini, ia diasingkan teman-temannya hingga mau menunaikannya. Denda-denda uang yang yang terkumpul itu akan diinfaqkan untuk kebaikan dan kegiatan sosial. Seluruh anggota perhimpunan ini harus saling mengingatkan agar selalu berpegang teguh kepada agama, menunaikan shalat tepat pada waktunya, menaati Allah, mematuhi kedua orang tua, dan mematuhi siapa saja yang lebih tua atau yang lebih mulia.”
Bekal yang diperoleh dari Madrasah Diniyah Ar-Rasyad menjadi faktor penyebab si murid ini lebih berprestasi dibanding teman-temannya. Mereka pun menaruh perhatian yang besar kepadanya, sehingga ketika pemilihan dewan pimpinan perhimpunan ini dilakukan, pilihan mereka pun jatuh kepadanya untuk diangkat sebagai ketuanya.
Perhimpunan ini dapat menunaikan programnya dengan baik dan menindak setiap anggota yang melakukan pelanggaran dengan menarik denda dari mereka. Dari denda-denda itu terkumpullah uang cukup banyak. Uang itu dimanfaatkan untuk membantu mereka yang memerlukan. Misalnya, pernah membantu salah seorang siswa bernama Labib Iskandar, saudara kandung dokter sekolah yang harus pindah ke negara lain.
Sebagian dana yang lain dimanfaatkan untuk biaya mengurus mayat tak dikenal yang tenggelam di sungai Nil, yang secara kebetulan madrasah berada di pinggirnya. Tidak diragukan lagi bahwa perhimpunan semacam ini jauh lebih efektif dalam membina akhlak, dibanding dua puluh mata pelajaran yang teoritis sifatnya. Oleh karena itu, madrasah-madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya hendak memberi perhatian yang lebih besar lagi terhadap perhimpunan-perhimpunan semacam ini.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Di Tepi Sungai Nil
Kiranya saya perlu menyebutkan salah satu pengaruh perhimpunan ini (Perhimpunan Akhlak Mulia – penyunting) yang melekat di jiwa para anggotanya.
Suatu hari saya berjalan-jalan melewati tepi sungai Nil. Di sana terdapat banyak pekerja yang sedang membuat kapal layar. Pekerjaan membuat kapal layar ini memang banyak terdapat di Mahmudia. Saya perhatikan salah seorang pemilik kapal yang sedang dibuat itu menggantungkan patung orang telanjang yang terbuat dari kayu pada tiang kapalnya. Hal ini jelas bertentangan dengan etika dan moral. Apalagi di tempat ini banyak sekali kaum wanita yang bolak-balik mengambil air. Apa yang saya lihat ini cukup menggelisahkan.
Akhirnya saya pun segera pergi melapor kepada aparat setempat–ketika itu Mahmudiyah belum menjadi sebuah kota pusat administratif—untuk mengadukan hal ini. Aparat itu menanggapi dengan serius dan seketika itu pula ia pergi bersama saya untuk memberikan peringatan kepada pemilik kapal tersebut dan memerintahkan agar menurunkan patung saat itu juga. Tidak hanya itu yang dilakukan oleh aparat tersebut, bahkan keesokan harinya ia datang ke sekolah dan menyampaikan berita mengenai kejadian itu kepada kepala sekolah dengan penuh kegembiraan dan ketakjuban.
Kepala sekolah saat itu adalah seorang pendidik yang sangat terhormat. Beliau adalah Ustadz Mahmud Rusydi yang sekarang ini menjadi seorang tokoh di jajaran kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia memberikan sambuatan pada upacara bagi kepada para siswa dengan memberikan dorongan kepada mereka agar selalu memberikan nasihat kepada sesama serta berupaya untuk menolak kemungkaran di mana saja berada. Kelihatannya perhatian semacam ini sudah jarang terjadi pada saat sekarang, apalagi banyak aparat dan penguasa yang sudah tidak peduli terhadap hal-hal yang demikian. Hal ini tentu sangat disayangkan.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Madrasah Al Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur
“Siswa yang satu ini” dapat memenui janjinya, yakni melanjutkan hafalan Al Qur’an yang pernah dimulainya dahulu di Madrasah Ar Rasyad. Kini ia tambah seperempatnya lagi hingga sampai surat Yasin.
Dewan Teritorial kota Bahirah menetapkan penghapusan sistem Madrasah I’dadiyah dan diganti dengan Madrasah Ibtida’iyah. Maka tidak ada alternatif lain bagi siswa ini kecuali harus memilih; mendaftarkan diri ke Al Ma’had Ad Diniy di Iskandaria –agar kelak menjadi “Azhari” (gelar bagi alumni Al-Azhar, pent)– atau ke Madrasatul Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur untuk dapat menyingkat waktu, karena setelah tiga tahun menempuh pelajaran di sini akan menjadi seorang guru. Akhirnya pilihan kedua inilah yang ia pilih.
Tibalah saatnya pendaftaran.
Ternyata ada dua kendala menghadang: kendala usia (umurnya baru tiga belas setengah tahun, padahal usia minimal untuk dapat diterima adalah empat belas tahun) dan kendala hafalan Al-Qur’an (mengingat hafalan merupakan syarat untuk diterima di madrasah ini dan harus diuji secara lisan).
Kepala sekolah ketika itu –Ustadz Basyir Ad-Dasuqi Musa—adalah seseorang yang murah hati. Beliau memberi dispensasi kepada siswa yang satu ini dengan tidak mempersoalkan syarat usia. Adapun mengenai hafalan Al-Qur’an, beliau dapat menerimanya dengan perjanjian menambah hafalan Al-Qur’an yang tinggal seperempatnya itu. Beliau menyatakan tetap akan melakukan tes tulis dan lisan. Akhirnya ia pun berhasil menyelesaikannya dan lulus. Sejak saat itu ia menjadi salah satu siswa di Madrasatul Mu’alimin Al-Awwaliyah di Damanhur.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Pengorbanan
Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui kesalahan dan kelemahannya itu “tertelan” oleh kebaikan dan kekuatannya.
Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau pumama yang merubah malam jadi indah, atau air yang menghilangkan dahaga.
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa ya ng kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Maka, Rasulullah saw berkata, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.”
Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batasbatas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya di mana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan.
Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang. Di sini ia bertemu dengan pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran. Tiga hal terakhir ini adalah wadah-wadah kepribadian yang hanya akan menemukan makna dan fungsi kepahlawanannya apabila ada pengorbanan yang mengisi dan menggerakkannya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran.
Maka, keempat makna dan sifat ini—rasa tanggung jawab keagamaan, semangat pengorbanan, keberaninn jiwa, dan kesabaran, adalah rangkaian dasar yang seluruhnya terkandung dalam ayat-ayat jihad. Dorongannya adalah tanggung jawab keagamaan (semacam semangat penyebaran dan pembelaan). Hakikat dan tabiatnya adalah pengorbanan. Perisainya keberanian jiwa. Namun. nafas panjangnya adalah kesabaran.
Maka, benarlah apa yang dikatakan Sayyid Quthb, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”
Kaidah itu tidak saja berlaku bagi kehidupan individu, tetapi juga merupakan kaidah universal yang berlaku bagi komunitas manusi. Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju menjelaskan jawabannya dalam kalimat yang sederhana, “Karena, ” kata Syakib Arselan, “orang-orang Barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya.”
Sekarang, mengertilah kita. Dan ketika ada pertanyaan, “Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam realitas kehidupan?” Maka jawabnya adalah hadirnya ara pahlawan sejati yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tetapi hidup bagi orang lain dan agamanya, serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Kompetisi
Para pahlawan mukmin sejati tidak akan membuang energi mereka untuk memikirkan seperti apa ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Itulah sejarah yang sebenarnya. Jika suatu ketika sejarah manusia memberi mereka posisi yang terhormat, itu hanyalah—seperti kata Rasulullah saw, “berita gembira yang dipercepat.”
Ridha Allah dan tempat yang terhormat di sisi-Nya. Itulah cita-cita sejati para pahlawan mukmin. Itulah ambisi yang sebenarnya, ambisi yang disyariatkan, ambisi yang mendorong lahirnya semangat kompetisi yang tak habis-habis. Di sini medan kompetisi itu sangat berbeda dengan kompetisi di medan lain. Yang membedakannya adalah luas wilayah kompetisi yang tak terbatas, kecuali oleh batasan kebaikan itu sendiri. Sebab, hadiah yang disediakan untuk para kompetitor itu juga tak terbatas.
Dari mata air inilah para pahlawan mukmin sejati itu mereguk surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang bertakwa, “(yaitu) orangorang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berhuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).
Kompetisi adalah semangat yang melekat dalam diri para pahlawan, karena ini merupakan cara terbaik untuk mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Maka, mereka membutuhkan medan kompetisi yang tak terbatas, sebab ketidakterbatasan itu akan mendorong munculnya semua potensi tersembunyi dalam diri mereka. Dan, medan kompetisi ini memang tidak terbatas, sebab medannya adalah “amal shalih”, dan amal shalih itu beragam serta tidak terbatas.
Kompetisi juga merupakan cara terbaik untuk membedakan “pertngkat” para pahlawan sejati itu di mata Allah SWT. Itulah sebabnya Allah SWT menyebut generasi mukmin angkatan pertama sebagai assabiqunal awwalun (orang-orang pertama yang mendahului) atau semacam ‘edvanced competitor’. Itu pula sebabnya Allah SWT memberi ganjaran pahala yang berbeda-beda sesuai dengan capaian masing-masing mereka.
Indikator yang digunakan untuk menilai kompetisi itu adalah paduan-paduan yang harmonis antara waktu (kecepatan), kualitas, kuantitas, dan manfaat sosial dari setiap unit amal yang kita lakukan. Maka, pahala mujahidin Badar berbeda dengan pahala para mujahidin dari peperangan lain selain Badar.
Begitulah akhirnya para pahlawan mukmin sejati itu memaknai kebahagiaan. “Setiap kali ia menye-lesaikan satu unit amal, dalam tempo yang ringkas dan cepat, dengan kualitas maksimum, dan dengan manfaat sosial sebesar-besarnya, barulah mereka dapat menikmati rentang waktu itu. Kebahagiaan mereka terletak pada selesainya unit-unit amal shalih yang mereka kerjakan dengan cara yang sempurna.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Asosiasi Anti Haram
Kegiatan internal di atas sepertinya belum dapat memuaskan keinginan para siswa dalam melakukan gerakan perbaikan. Mereka pun lalu berkumpul; antara lain Ustadz Muhammad Ali Badir (sekarang menjadi tenaga pengajar di Departemen Pendidikan), Labib Afandi Nawwar (sekarang berprofesi sebagai pedagang), Al Akh Abdul Muta’al Sankal Afandi, Ustadz Abdurrahman As Sa’ati (sekarang menjadi pegawai di Perusahaan Kereta Api), dan Ustadz Sa’id Badir (sekarang menjadi seorang insinyur). Mereka memutuskan untuk membuat sebuah asosiasi keislaman dengan nama Jam’iyah Man’ Al Muharramat (Asosiasi Anti Haram).
Kontribusi finansial berupa iuran, yang diberikan oleh anggota asosiasi tersebut, bervariasi antara lima sampai sepuluh millim setiap pekan. Pekerjaan-pekerjaan asosiasi dibagi kepada setiap anggota. Aktivitas yang dilakukan adalah memberi teguran dengan tulisan kepada pelaku dosa.
Untuk itu dibuatlah lembar teguran; ada yang tugasnya menyiapkan bahan-bahan, ada yang menyusunnya, ada pula yang mencetaknya. Sedangkan yang lain lagi bertugas untuk membagi-bagikan lembaran itu kepada para pelaku. “Pelaku” di sini adalah mereka yang diketahui oleh asosiasi telah melakukan tindakan dosa atau tidak menunaikan ibadah sebagaimana mestinya, khususnya berkenaan dengan shalat. Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ketahuan oleh anggota asosiasi, maka tidak lama kemudian akan datang kepadanya selembar kertas teguran yang memperingatkan dengan keras tindak kemungkaran ini. Mereka yang ketahuan shalatnya dilakukan dengan semaunya saja juga akan dikirimi lembar teguran dari asosiasi. Lelaki yang ketahuan memakai perhiasan emas akan dikirimi lembaran kertas yang berisi keterangan tentang larangan syariat mengenai hal itu. Kaum wanita yang ketahuan melakukan tindakan menampari muka sendiri di pemakaman atau berseru dengan seruan–seruan jahiliyah, maka suami atau walinya akan segera dikirimi kertas teguran oleh asosiasi.
Demikianlah, dengan tanpa pandang bulu; tua maupun muda, yang diketahui telah melakukan tindakan dosa sudah pasti akan dikirimi kertas teguran oleh asosiasi yang berisi larangan atas tindakan dosa tersebut. Sangatlah mudah bagi para anggota asosiasi–karena usia mereka yang masih muda dan tidak ada yang memperhitungkan mereka—untuk dapat mengetahui tindakan–tindakan dosa yang dilakukan oleh orang lain. Mereka tidak dapat bersembunyi dari pengawasan para anggota asosiasi.
Uniknya, orang-orang mengira bahwa semua ini adalah ulah ustadz kami: Syaikh Zahran rahimahullah, sehingga mereka menghadap beliau untuk menyampaikan keberatannya. Mereka meminta kepada beliau agar langsung saja berbicara dengan pelaku mengaenai apa yang beliau inginkan, daripada menulis di lembaran kertas seperti itu. Tentu beliau membantah dan lepas tangan dari semua itu. Hampir saja mereka tidak percaya, sampai pada suatu hari beliau sendiri yang menerima lembar itu dari asosiasi. Isinya mengingatkan bahwa beliau telah melakukan shalat zhuhur di antara tiang-tiang (yang hukumnya makruh). Padahal beliau adalah seorang ulama di negerinya, yang tentunya harus menjauhkan diri dari hal-hal makruh agar orang lain yang masih awam dapat menjauhkan dirinya dari hal-hal yang haram.
Saya masih ingat, ketika itu Syaikh Zahran rahimahullah memanggil saya untuk bersama-sama membuka diskusi mengenai hukum masalah ini dalam kitab Fathul Bari fi Syarhil Bukhari. Hubungan saya dengan beliau memang terus berlanjut melalui kajian-kajian umum, meskipun saya sudah meninggalkan madrasah dan perpusatakaan beliau. Saya senantiasa mengenang diskusi tema itu, seakan-akan waktu itu adalah hari ini. Ketika itu saya membaca kitab di hadapan beliau sambil tersenyum. Beliau bertanya-tanya tentang orang-orang yang mengirim lembar teguran kepadanya. Lalu beliau menyatakan bahwa memang benar adanya. Selanjutnya saya sampaikan berita ini kepada para anggota asosiasi. Mereka pun sangat gembira dan kecintaannya kepada Syaikh Zahran bertambah besar.
Asosiasi terus melaksanakan tugasnya lebih dari enam bulan. Asosiasi membuat orang-orang heran dan tercengang. Aktivitasnya belakangan terbongkar oleh seorang pemilik kafe yang dikirimi lebar terguran karena menghadirkan penari wanita. Surat-surat yang dikirimi oleh asosiasi memang tidak melalui pos, namun dibawa langsung oleh anggota asosiasi. Ini demi menghemat biaya.
Surat itu diletakan di tempat yang dapat dipastikan akan dilihat oleh pihak yang dituju, sehingga ia dapat menerima surat itu tanpa melihat siapa pengirimnya. Akan tetapi, kali ini diketahui oleh pemilik kafe, sehingga dapat menangkap basah salah seorang anggota asosiasi yang sedang bertugas. Pemilik kafe itu langsung mencaci makinya di hadapan para pengunjung. Ketika asosiasi mengetahui kejadian ini, ketua menyarankan kepada seluruh anggota agar lebih berhati-hati dalalm menunaikan tugas, serta agar melakukan alternatif cara lain untuk memberantas perilaku haram.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-03 Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah
Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Musthafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Penjagaan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata beliau, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.
Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang…..
Suatu Masa, di Era 1980-an…..
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang aktivis dakwah, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruangan yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu’, khidmat, tawadhu’.
Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia. Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.
Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.
Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Sejuk, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap hingga ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruangan. Satu per satu. Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.
Masa Bergerak, ke Era 1990-an
Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung hingga seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.
Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.
Sekumpulan aktivis dakwah, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang serasi.
Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna. Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.
Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu’, jiwa mereka tawadhu’. Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan. Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat.
Perlahan mereka meninggalkan ruangan, menuju tempat beraktivitas masing-masing. Khidmat, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.
Masa Terus Mengalir, Sampai ke Era 2000-an….
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruangan ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewa untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta dipasang indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruangan.
Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khas, menjaga keamanan acara.
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.
Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rancangan kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.
Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruangan dengan khidmat. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dihidupkan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruangan.
Masa Cepat Bergulir, Hingga di Era 2010-an…..
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruangan yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh hingga Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.
Ruangan yang besar itu penuh diisi para aktivis dakwah yang datang dari seluruh pelosok wilayah. Dakwah telah tersebar hingga ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.
Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan. Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang. Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.
Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, “Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Lantaran kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah”.
Lugas, tuntas. Arahan telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu’ munajat kepadaNya agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Bergerak melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.
Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kejayaan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan…..
Kabulkan permohonan kami, Ya Allah….
nDalem Mertosanan –Yogyakarta
3 Desember 2011
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-05 Filosofi
Tidak ada pahlawan sejati yang besar yang tidak mempunyai struktur filosofi yang solid dan kuat. Filosofi adalah sebuah ruang kecil dalam kepribadian kita darimana seluruh tindakan diarahkan dan dikontrol. Tindakan-tindakan kepahlawanan selalu lahir dari pikiran-pikiran kepahlawanan. Orang-orang yang tidak mempunyai pikiran-pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan.
Filosofi adalah kerangka pikiran yang terbentuk sedemikian rupa dalam diri kita dan berfungsi memberi kita ruang bagi semua tindakan yang “mungkin” kita lakukan. Semakin luas “kerangka berpikir” itu, semakin luas pula “wilayah tindakan” yang mungkin kita lakukan. Saya menyebutnya “wilayah kemungkinan”. Setiap tindakan yang mempunyai wujud dalam pikiran kita akan segera masuk dalam wilayah kemungkinan. Pada saat sebuah tindakan masuk dalam wilayah kemungkinan itu, kita akan segera merasakan sesuatu yang ingin saya sebut sebagai “perasaan berdaya”. Yaitu semacam keyakinan yang menguasai jiwa kita bahwa kita “mampu” melakukannya.
Keyakinan itu saja sudah memadai untuk merangsang dorongan dari dalam jiwa kita untuk melakukannya. Begitulah akhirnya “tekad” terbentuk. Dan tekad seperti ini adalah “power” karena ia lahir dari perasaan berdaya.
Filosofi terbentuk dalam diri kita sebagai kumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan bagian dari fungsi pikiran dan emosi sekaligus. Itu merupakan proses yang paling sublim dalam diri kita, tetapi sekaligus merupakan tahapan kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian kita. Seperti ketika kita menyusun kata menjadi kalimat, atau memadukan warna menjadi gambar, atau menyerap selera ke dalam desain, seperti itulah imajinasi mempertautkan anak-anak pikiran menjadi sebuah filosofi.
Sebagian dari yang terekam dalam filosofi itu adalah cara memaknai suatu sisi kepahlawanan. Misalnya, cara Khalid bin Walid memaknai jihad atau peperangan yang menjadi sisi kepahlawannya. Ia pernah mengatakan, “Berada pada suatu malam yang sangat dingin untuk berjihad di jalan Allah lebih aku senangi daripada mendapatkan hadiah seorang pengantin perempuan cantik di malam pengantin.”
Atau misalnya, cara ‘Amr bin ‘Ash memaknai keterampilan politik seorang pemimpin: “Jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki suatu urusan, maka ia harus tahu juga bagaimana cara keluar dari urusan itu. Sesempit apapun jalan keluar yang tersedia.“
Atau misalnya, cara Umar bin Khattab memaknai akseptibilitas seorang pemimpin di mata Allah dalam sebuah pesannya kepada para pejabat di masa kekhalifahnnya, “Ketahuilah kedudukan Anda di mata Allah dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada Anda.“
Akan tetapi, filosofi juga membicarakan harapan-harapan kita, arti kehormatan, sumber motivasi, apa-apa yang kita suka dan benci, proses pemaknaan terhadap sesuatu, fungsi keterampilan kepribadian, dan seterusnya. Pada akhirnya apa digambarkan oleh filosofi itu adalah keseluruhan kepribadian kita. Dan itulah kunci kepribadian kita.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-07 Problematika Umat
Kita tidak akan menganggap berlebihan orang yang mengatakan bahwa kita adalah ummat yang terbelakang dalam pentas peradaban dunia, yang konsumtif dan tidak produktif, mengekor dan tidak kreatif, dan menyerahkan urusan kita kepada orang lain, serta bahtera kita dikemudikan orang lain ke arah kepentingan yang ia inginkan.
Para pemikir yang menganalisa sebab-sebab keterbelakangan ini terbagi menjadi dua kelompok:
- Kelompok yang menyatakan bahwa penjajahan sebagai biang seluruh keterbelakangan ummat.
- Kelompok yang memandang bahwa kebodohan di tengah ummat, kerusakan akhlak, dan kondisi jumud dalam pemikiran serta keilmuan, itulah penyebab kehancuran peradaban, kemudian datanglah penjajah menambah keterbelakangan ini dan mengambil kesempatan di tengah kelemahan ummat. Kelompok ini meyakini seandainya ummat Islam menghadapi serangan penjajah dalam kondisi berpegang teguh dengan dien dan akhlaknya, kreatif dalam bidang ilmu pengetahuan, maju dalam pemikiran dan peradaban, niscaya penjajah tersebut gagal total dalam mempengaruhi ummat, bahkan bisa jadi justru merekalah yang terpengaruhdengan kepribadian ummat sebagaimana terjadi pada pasukan Tatar (Mongol) dan pasukan Salib.
Sedangkan serangan penjajah Barat yang terakhir sejak awal abad ke-X Hijriyah dan berlangsung selama empat abad, baru berhasil menguasai negeri-negeri Islam sesudah Perang Dunia I. Negeri-negeri Islam dijajah dengan menggunakan kekerasan yang paling keji dan dipecah belah menjadi beberapa kabilah, kelompok, atau negeri kecil. Fikrah Islamiyyah yang merupakan asas kesatuan ummat pun diperangi, sambil ditanamkan dalam otak pemikir-pemikir muslim khususnya, dan ummat secara umum, bahwa dunia Timur (Islam) tidak akan bangkit dari keterbelakangan kecuali bila ummat membuang agama mereka sebagaimana Barat melakukannya. Dan, peradaban Barat yang “ilmiyah” harus diterima sepenuhnya, karena di dalamnya terdapat solusi bagi problematika masyarakat dulu dan kini.
Kisah Barat dan Agama
Kekuasaan saat itu ada di tangan gereja, semua tunduk kepadanya, termasuk para penguasa. Tokoh-tokoh gereja membangun istana keyakinan mereka di atas kumpulan teori filsafat ilmiah Yunani. Ketika zaman kebangkitan muncul, dan para ilmuwan mulai melakukan analisa dan uji coba, barulah mereka mengetahui betapa jauhnya kerancuan teori ilmu dan falsafah gereja tersebut.
Di sisi lain gereja tidak mungkin menarik kembali keyakinannya, atau berkompromi, atau menerima kritik obyektif dari para ilmuwan, apalagi menguji kembali secara ilmiah doktrin-doktrin yang diajarkannya. Bahkan gereja berkeyakinan bahwa jika asas keyakinan mereka terbongkar kepalsuannya, pasti seluruh bangunan keyakinan itu akan hancur, dan itu berarti kehancuran agama Nasrani. Oleh karena itu, mereka memerangi para ilmuwan dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki: memenjarakan, membunuh, dan membakar para ilmuwan. Maka jurang pemisah antara gereja dan para ilmuwan semakin besar.
Keadaan berpihak kepada para ilmuwan dan tokoh-tokoh pencerahan hingga akhirnya kekuasaan gereja tersingkir dan runtuh. Tetapi gelombang perlawanan tidak hanya terjadi pada gereja dan agama Nasrani saja, melainkan menimpa seluruh agama. Jadilah agama dalam pandangan mereka kebohongan dan kepalsuan yang bertentangan dengan akal sehat. Keyakinan agama hanyalah ketundukan buta tanpa dalil dan argumentasi ilmiah, sehingga tokoh-tokoh agama khawatir dengan kebangkitan ilmu pengetahuan yang bisa membongkar kepalsuan mereka.
Pengaruh yang Ditimbulkan
Peristiwa di atas memberikan pengaruh yang sangat besar pada visi peradaban Barat terutama dalam menciptakan teori filsafat dan teori sosial sebagai pengisi otak dan jiwa masyarakat yang kosong yang telah ditinggalkan oleh agama. Di antara pengaruh yang ditimbulkan adalah:
- Munculnya pendapat bahwa agama hanyalah urusan hati dan pribadi seseorang, tidak ada hubungannya dengan masalah sosial, politik, atau ekonomi sama sekali.
- Terus berlangsungnya permusuhan antara agama dengan ilmu, seni, serta sastra sejak lahirnya masa pencerahan ilmiah, sehingga muncullah peradaban sekuler yang bebas dari nilai-nilai dan batas-batas. Jika agama memiliki persepsi tertentu tentang eksistensi manusia, maka peradaban sekuler pun mencoba membuat persepsi tentang eksistensi manusia dan alam. Persepsi itu adalah: “Bahwa manusia ada begitu saja di atas muka bumi, tidak bertanggung jawab kepada siapapun, tidak menerima arahan dan petunjuk dari siapapun, hanya pengalaman dirinya dan pengalaman generasi sebelumnya yang menjadi sumber petunjuk hidup.”
Adapun keberadaan manusia dan keterikatannya dengan alam dan kehidupan, maka peradaban hari ini memiliki persepsi dan teori filsafat tentangnya berdasarkan pada dua hal:
- Bahwa kehidupan adalah materi, manusia tidak boleh percaya dengan sesuatu di luar hukum sebab-akibat atau uji coba ilmiah.
- Bahwa hidup adalah pertarungan.
Heigel Memimpin Pertarungan
Dalam samudera pertarungan, Heigel, salah seorang filosof mengatakan, “Bahwa setiap masa memiliki peradaban, dan peradaban ini kokoh lewat pertarungan melawan nilai-nilai sebelumnya. Nilai-nilai itu jatuh di tengah jalan, sedangkan yang tetap bertahan bergabung bersama peradaban baru. Kemudian jika masa dan peradaban tersebut sudah tua, akan lahir kelompok dan pemikiran baru yang kontradiktif dan melanjutkan pertarungan sehingga melahirkan peradaban baru untuk zaman yang baru.”
Filosofi inilah yang menjadi tulang punggung alfikru al gharbi (pemikiran Barat). Secara singkat, ia mengandung arti bahwa tidak ada sesuatu yang bernilai di masa lalu yang dapat dijadikan petunjuk di dalam kehidupan.
Artinya, tidak ada kesempatan —dalam pandangan teori ini— untuk menunggu atau mencari hidayah agama-agama, karena agama telah berlalu sekian abad lamanya.
Teori Darwin
Sedangkan Darwin memandang bahwa kehidupan adalah medan pertarungan antara yang kuat melawan yang lemah. Bahwa yang kuat akan menang dan bertahan karena ia berhak hidup, sedangkan yang lemah akan mati karena dengan kelemahannya ia tidak berhak hidup. Teori ini diterapkan oleh penjajah di seluruh negeri jajahan mereka, bahkan hingga pemikir-pemikir dan penulis-penulis mereka menegaskan bahwa kaum kulit berwarna tidak berhak hidup kecuali sebagai “jongos” bagi “tuan-tuan” kulit putih.
Di bawah teori inilah hancurnya nilai-nilai dan akhlak yang diajarkan agama-agama, terutama Islam yang telah meninggikan dan membuktikan syi’arnya yang adil sepanjang sejarah.
Marx dan Pertarungan
Kari Marx tidak menambah teori konflik ini kecuali hanya membatasi konflik pada “konflik golongan (antar kelas)” dalam meraih tujuan materi. Sejauhmana ketajaman konflik berlangsung dan seberapa banyak darah yang mengalir, sebesar itu pula kedahsyatan dan kepentingan berlangsungnya revolusi kemanusiaan.
Inilah garis-garis besar filsafat peradaban Barat yang dibawa oleh para pemikir Eropa pada saat tentara mereka menguasai negeri-negeri Islam.
Dunia Islam menjadi sasaran penjajahan asing yang menginginkan bukan hanya penjajahan militer yang pasti berakhir cepat atau lambat, tetapi juga bentuk-bentuk penjajahan yang lain. Oleh karena itu berlangsunglah konfrensi-konfrensi yang diikuti para petinggi militer yang berpengalaman beserta para ahli perencanaan strategi, pendidikan dan perundang-undangan, dan propagandis.
Berjalanlah para propaganda peradaban Barat di samping pasukan perang, dan ketika pasukan perang meninggalkan dunia Islam setelah separuh abad atau lebih, mereka meninggalkan problematika lain bagi ummat Islam. Para penjajah telah berhasil menggantikan nilai-nilai setempat dengan nilai-nilai penjajah, dan menganggap serta mengatakan kepada kita bahwa kedatangan mereka untuk memakmurkan negeri, bahwa mereka adalah kawan baik.
Lalu apa yang telah dilakukan oleh “kawan baik” ini?
Di Bidang Politik
Politik penjajah berdiri di atas:
1. Politik Pecah Belah (At Taj’i’ah).
Usaha pertama yang dilakukan penjajah terhadap dunia Islam adalah membaginya menjadi bagian-bagian atau negeri-negeri kecil. Langkah awal mereka adalah membuat bangsa Arab “dengan senang hati” memberontak terhadap Turki Utsmani dengan alasan mereka lebih berhak memegang khilafah, dan menjanjikan mereka dengan terbentuknya Imperium Arab yang menyatukan seluruh bangsa Arab, jika mereka mau melakukan pemberontakan.
Di antara hasil dari perang dunia pertama ini ialah Turki Utsmani terkepung dan terisolasi, sedangkan negeri-negeri Arab terbagi menjadi lebih dari dua puluh negara kecil. Perpecahan itu berlangsung hingga kini tidak hanya dalam batas teritorial, tapi juga perpecahan dalam mencapai kepentingan. Penjajah telah meninggalkan luka perpecahan yang tetap berlangsung dan mudah menganga kembali ketika terlihat mulai sembuh. Yang aneh justru Inggris menyatukan India ketika menjajahnya, dan sebaliknya memecah belah negeri Islam yang tadinya bersatu.
2. Sekularisme (Al I’adimyah)
Pena-pena eksternal dan internal ummat Islam mulai menjajakah peradaban sekuler: ada Kook Alab di Turki, Thoha Husein dan Qosim Amin serta ‘Ali Abdur Raziq di Mesir, Ahmad Khan di India, dan lain-lain, yang awalnya masih malu-malu menulis bahwa agama hanyalah hubungan seseorang dengan Tuhan-nya, tidak ada hubungan selain itu, jika ummat ingin meninggalkan kebodohan dan keterbelakangannya maka ia harus melewati fase agama (fase penuh khurafat) menuju fase ilmu dan materi atau uji coba ilmiyah. Jika seseorang ingin melaksanakan sholat dan berdo’a, maka itu adalah urusan pribadinya, di luar itu tidak ada peran agama baik di bidang politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, sastra, seni, dan akhlak.
3. Nasionalisme (Al Qaumiyah Al Unshuriyah)
Nasionalisme yang mereka sebarkan di negeri kita ialah nasionalisme sekuler. Telah terjadi kesepakatan antara Asy Syarif Husein dengan Inggris dalam surat-suratnya bahwa negara Arab yang dicita-citakan adalah negara nasionalis, bukan agamis. Dan, nasionalisme yang lepas dari nilai-nilai Islam akan mencari syi’ar-syi’ar dan simbol-simbol lain untuk menyatukan rakyatnya, maka di Mesir ada Fir’aunisme, di Syiria ada Al Asyuriyyah. Kemudian jadilah setiap daerah memiliki simbol-simbol khusus seperti Libanon, Yordania, Syiria, yang masing-masing merasa memiliki peradaban sendiri.
4. Demokrasi Palsu (Ad Dimuqrathiyah Al Mu’ayafah)
Yaitu hukum rakyat untuk rakyat sebagai uslub/cara pemerintahan. Barat telah berhasil sampai batas tertentu merealisasikan sistem ini, dan manusia telah mencapai kebebasan yang cukup banyak di bawah naungannya. Sedangkan Dunia Ketiga atas nama demokratisasi mengalami banyak penindasan, dan di bawah nama demokrasi berdirilah lembaga-lembaga yang justru merendahkan kemerdekaan manusia.
Di Bidang Perundang-undangan
Bidang perundang-undangan adalah bidang yang paling dicermati oleh penjajah. Mereka tidak akan meninggalkan daerah jajahan kecuali jika telah yakin bahwa penduduknya siap memberlakukan undang-undang sekuler (Barat), sebagai ganti syari’at Islam.
Dalam peringatan lima puluh tahun Perjanjian Lousanne, televisi Turki mewawancarai Ismat Anino (utusan Turki pada perjanjian tersebut). Ketika televisi menanyakan tentang perjanjian yang telah berlalu 50 tahun itu, ia mengatakan: “Barat telah menyetujui tuntutan kemerdekaan kita (Turki) dan menarik pasukannya dengan syarat-syarat. Syarat yang paling penting adalah penghapusan khilafah, menyingkirkan seluruh keluarga Utsman dari Turki, dan mengganti syari’at Islam dengan undang-undang Eropa. Mereka juga mengharuskan pengiriman utusan khusus mereka untuk mengawasi pelaksanaan syarat yang terakhir”.
Seluruh negeri-negeri muslim yang telah meraih kemerdekaan secara politis telah menyingkirkan syari’at Islam dan menggantikannya dengan undang-undang Barat, dan penerapan syari’at hanya terbatas pada urusanurusan pribadi, bahkan akhirnya itupun tidak diberlakukan lagi.
“Undang-undang memiliki hubungan erat dengan akhlak masyarakat. Apabila manusia menetapkan suatu undang-undang, pasti di balik itu ada filosofi perilaku kemasyarakatan, dan masyarakat pasti akan diarahkan untuk hidup sesuai filosofi tersebut. Demikian juga jika manusia menghapus sebuah undang-undang, berarti ia menghapus konsep akhlak dan filosofi kemasyarakatannya yang menjadi landasan undang-undang tersebut. Maka tatkala penjajah menghapus syari’at Islam dan menggantinya dengan undang-undang mereka, hal itu tidak berarti sebuah undang-undang telah digantikan oleh undang-undang lain saja, tetapi juga berarti bahwa di negeri itu sistem akhlak dan kemasyarakatan telah dihapus dengan sistem yang lain.” [Waqi’ Al Muslimin Wa Sabil An Nuhudhi Bihim (Realitas Ummat Islam dan Jalan Menuju Kebangkitannya), Al Maududi: hal. 177]
Di Bidang Tsaqafah
Sejak meletakkan kakinya di negeri muslim, penjajah telah berupaya mengganti struktur bangunan kebudayaan masyarakat Islam. Mereka menghapus sekolah-sekolah tradisionalnya, mengurangi harga universitas-universitas Islam di mata masyarakat, dan mengecilkan kualitas alumnusnya. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dikirim ke universitas-universitas Barat, kemudian lulus dengan membawa tsaqofah dan pemikiran Barat dalam kehidupan.
Saat ini, meskipun telah berlalu hampir satu abad, lembaga-lembaga pendidikan di negeri kita, juga para pelajar dan mahasiswa yang merupakan cadangan masa depan bangsa, masih tetap melahap budaya Barat, dan pemikirannya di bidang hukum, ekonomi, sosial, sejarah, dan pandangan manusia terhadap alam dan kehidupan. Dan, tokoh-tokoh pemikir Barat sering menyatakan bahwa mereka lebih mengandalkan lembaga pendidikan (untuk kepentingan mereka) daripada pasukan perang.
Dalam ceramahnya pada peringatan Hari Kemerdekaan Turki, Pemimpin Partai Refah, Prof. Dr. Najmuddin Arbakan mengatakan: “Sungguh bangsa kita telah mengalahkan pasukan Yunani dan mengusirnya dari negeri kita, dan kita selalu memperingati Hari Kemerdekaan ini sedap tahun. Tetapi, kita harus tahu bahwa Yunani yang telah kita usir pasukannya, pemikirannya masih dipelajari oleh para mahasiswa kita di kampus-kampus, dengan menganggapnya sebagai ideologi yang paling tinggi dan agung. Ummat harus tahu bahwa kemerdekaan hakiki adalah keluarnya tentara Yunani, ideologi, dan budaya mereka sekaligus dari negeri kita.”
Di Bidang Ekonomi
Kita dapat melihat dan menganalisa kondisi ekonomi negeri-negeri muslim di era penjajahan dengan cara yang sama, bagaimana mereka mampu mengubah sistem perekonomian masyarakat hingga sesuai dengan kepentingan mereka. Tangan-tangan penjajah menjadi kuat di negeri-negeri kita dengan atau tanpa kehendak kita. Masalah hutang negara-negara ketiga dan ketidakmampuan membayarnya atau bahkan membayar bunganya, adalah bentuk penjajahan baru yang mereka ciptakan untuk menjadikan negara-negara tersebut tergantung kepada mereka. Kekayaan yang dimiliki Dunia ketiga hanyalah angka-angka yang dititipkan kepada mereka tanpa mampu dimanfaatkan sedikitpun, “Sang Tuan lebih berhak menggunakannya.”
Demikian pula dengan kekayaan alam strategis milik Dunia Ketiga seperti minyak, atau lainnya, menjadi hak mereka untuk memanfaatkannya dan menumpuk kekayaannya. Tidak ada peran pemilik sahnya kecuali menjaganya, dan bagian kecil keuntungannya. Tanah di bumi ini telah menjadi kotak catur oleh Tatanan Dunia Baru yang dimainkan oleh Amerika.
Di Bidang Sosial
Demikian pula kondisi sosial terutama masalah wanita. Mereka berupaya agar masalah yang ada keluar dari proporsi yang sebenarnya, dan menafsirkannya dengan tafsiran yang bukan sebenarnya. Sangat disayangkan bahwa ummat Islam mengekor di belakang orang-orang Barat dalam kehidupan sosial mereka selangkah demi selangkah.
Siapa yang Akan Mengembalikan Bangunan yang Hilang?
Tidak hanya sampai di situ, ummat Islam sampai pada tingkat “mengingkari” akhlak dan kepribadian islami serta mencoba meminjam kepribadian yang lain. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kekalahan dari dalam, di samping kekalahan lain di seluruh sektor kehidupan. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah telah hilang, dibutuhkan orang-orang yang mampu mengembalikan bangunannya ke setiap individu muslim.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-08 Optimisme
Titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Akan tetapi, ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama; mereka tetap berpijak di permukaan bumi. Itu bukan dua hal yang saling benentangan. Sebab, di pertengahannya ada sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa saling beririsan: optimisme.
Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Namun, mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah.
Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapaikan kemenangan, walaupun mereka tidak selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah. Bahwasanya mereka kemudian gugur di perjalanan atau hidup dan menyaksikan kemenangan itu, maka itu semua hanya merupakan cara Allah membagi-bagi keutamaan-Nya kepada para tentara-Nya.
Dari keyakinan-keyakinan seperti inilah mereka menemukan kejujuran iman, dan dari kejujuran iman itulah mereka menemukan mata air kekuatan jiwa yang memberi mereka harapan dan optimisme: “Di antara orang-omng beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu (sampai saat kemenangan), dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya.” (AJ-Ahzab: 23).
Namun, mereka sepenuhnya percaya pada sebuah hikmah Allah; bahwa Allah hanya mau memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Sebab jika tidak demikian, Allah tidak perlu mengutus nabi dan rasul, mewajibkan jihad, dan memilih syuhada. Tantangan-tantangan itu diciptakan untuk menguji kejujuran iman yang terpatri dalam jiwa para pahlawan mukmin.
Mukjizat atau karomah tentu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu, tetapi itu berfungsi penguatan, bukan penyelesaian misi. Ketentuan itulah yang membuat mereka harus realistis dalam menata garis perjuangan. Sebab, mereka bergerak dalam ruang yang terbatas, waktu dan tempat yang terbatas, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, dan sumber-sumber finansial yang terbatas serta technical resources yang sama terbatasnya.
Dalam segala hal ada keterbatasan. Itulah sebabnya mereka harus bekerja efektif dan menggunakan tenaga seefisien mungkin. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak berjuang. Sebab, Allah berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu….” (At Taghaabun: 16). Bahkan, nilai kepahlawanan itu sesungguhnya terletak pada capaian-capaian besar di atas keteibatasan.
Keterbatasan itu ditata dalam konsep yang mereka sebut sebagai hukum alam, atau yang kita sebut sebagai sunnatullah. Kita semua bergerak dalam kerangka sunnatullah itu. Dan, para pahlawan itu bukanlah manusia istimewa yang turun dari langit dengan hak-hak istimewa untuk tidak mentaati sunnatullah. Mereka menjadi istimewa karena mereka menggunakan kaidah yang pernah diucapkan Imam Syahid Hasan Al-Banna, “Jangan pernah melawan sunnatullah pada alam, sebab ia pasti mengalahkanmu. Tapi, gunakanlah sebagiannya untuk menundukkan sebagian yang lain, niscaya kamu akan sampai ke tujuan.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-12 Pekerjaan Besar dan Pekerjaan
Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasi karya-karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya besar mereka secara berlebihan, tetapi mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaari-pekerjaan kecil yang mereka lakukan.
Besar kecilnya suatu karya atau pekerjaan tidaklah ditentukan oleh satu faktor saja. Misalnya, faktor kemampuan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi cara penilaian terhadap suatu karya dan pekerjaan seorang pahlawan. Misalnya, tingkat kebutuhan saat itu, kesinambungannya dengan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, atau dengan pekerjaan-pekerjaan sesudahnya, luas wilayah distribusi manfaat, tingkat kemampuan pelaku, tingkat keterlibatan orang lain, banyaknya daya dukung, dan seterusnya. Kata kunci yang dapat menyimpul semua faktor tersebut adalah ketepatan. Yaitu, pekerjaan itu tepat pada waktunya, tepat pada sasarannya, tepat pada tempatnya, tepat pada orangnya, tepat pada niatnya, tepat pada caranya, dan tepat pada cost-nya.
Akan tetapi, bagaimanakah cara kita menilai tingkat ketepatan? Jawabannya adalah pada strategi. Strategilah yang menentukan nilai dari sebuah pekerjaan. Individu dan pekerjaannya dalam sebuah strategi adalah unit-unit yang tidak berdiri sendiri.
Strategilah yang menentukan jenis pekerjaan dan orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Jika dalam strategi itu ditentukan bahwa seseorang harus melakukan suatu pekerjaan yang ‘tidak terlihat’ dalam waktu lama, maka ia harus melakukannya. Dan letak kepahlawanannya ada pada keikhlasannya, pada diamnya, dan pada penyelesaian pekerjaan itu pada waktunya. Demikian juga sebaliknya.
Dalam kerangka strategi itu, kita mungkin akan menemukan kenyataan-kenyataan yang boleh jadi paradoks dalam pandangan kasat mata kita. Apa yang kita duga sebagai pekerjaan-pekerjaan besar, ternyata mempunyai nilai yang kecil dalam kerangka strategi tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah memandang dirinya lebih besar dari strategi. Sebaliknya, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu instrumen dari strategi tersebut. Demikianlah, Rasuluilah saw pernah bersabda, “Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan walaupun itu kecil.”
Padanan dari ketepatan dalam bahasa agama kita adalah hikmah. Dan inilah hikmah yang dimaksud oleh Allah sebagai sumber dari semua kebaikan. Allah SWT berfirman, “…Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak….” (Al-Baqarah: 269).
Akan tetapi, para pahlawan mukmin sejati itu sama-sama menyimpan sebuah impian di kedalaman jiwa mereka. Mereka semua bermimpi untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan unggulan yang menjadi alasan utama bagi Allah untuk memasukkan mereka kedalam surga-Nya. Seorang sahabat pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar beliau mendoakan dirinya kepada Allah SWT untuk dimasukkan ke dalam surga.
Rasulullah saw lalu mengatakan kepada sahabat tersebut, “Bantulah aku (agar doamu ter-kabul) dengan memperbanyak sujud.”
Itulah amal unggulannya. Dan apakah amalan unggulan Anda, hai calon pahlawan?
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-15 Vitalitas
Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalm kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu dalam jiwa mereka. Itulah yang membuat sorot mata mereka selalu tajam, di balik kelembutan sikap mereka. Itulah yang membuat mereka selalu penuh harapan di saat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. Itulah vitalitas.
Tidak pernahkah kesedihan menghingggapi hati mereka? Tidak adakah jalan bagi ketakutan menuju jiwa mereka? Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk mengendurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah di saat-saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan merasa tidak mungkin memenangkan pertempuran?
Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang dirasakan oleh manusia biasa juga dirasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan, dan keterpurukan juga pernah mendera jiwa mereka.
Tapi yang membedakan dengan manusia biasa adalah bahwa mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan viatalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan, melawan kesedihan-kesedihan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.
Vitalitas hidup biasanya di bentuk dari paduan keberanian, harapan hidup, dan kegembiraan jiwa. Tapi ketiga hal ini dibentuk paduan keyakinan-keyakinan iman dan talenta kepahlawanan dalam diri mereka. Dari sini saya kemudian menemukan bahwa para pahlawan mukmin sejati selalu memilki tradisi spiritual yang khas. Mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang khas di bentuk oleh keyakinan yang unik terhadap keghaiban. Dengan cara itu mereka mereka mempertahankan stamina perlawanan yang konstan. Kebiasaan-kebiasaan yang khas itu biasanya berbentuk ibadah mahdhah, tapi biasanya disertai dengan perilaku-perilaku tertentu yang sangat pribadi. Misalnya dua contoh berikut ini :
Dalam suatu peperangan kaum Muslimin menemukan betapa kekuatan Ibnu Taimiyah melampaui para mujahidin lainnya. Mereka pun menanyakan rahasia kekutan itu pada Ibnu Taimiyah. Beliau menjawab: “Ini adalah buah dari Ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang dahsyat setiap setelah melakukan wirid itu Tapi jika suatu saat saya tidak melakukannya, saya akan merasa lumpuh pada hari itu.”
Suatu saat, dalam perang Yarmuk, Khalid bin Walid menyuruh dengan marah beberapa pasukannya untuk mencari topi perangnya yang hilang dari kepalanya. Beberapa saat kemudian pasukannya muncul dan melaporkan kalau topi Khalid tidak berhasil ditemukan. Khalid pun marah dan menyuruh mereka mencari kembali. Akhirnya mereka menememukannya. Tapi Khalid merasa perlu menjelaskan sikapnya yang unik itu. “Dibalik topi perang saya ini ada beberapa helai rambut Rasulullah SAW. Tidak pernah saya memasuki suatu peperangan dan memakai topi ini melainkan pasti saya merasa yakin bahwa Rasulullah SAW selalu mendoakan kemenangan bagi saya.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-16 Pengantar Fikih Sunnah
“Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada juniungan kita, Nabi Muhammad SAW., pemimpin umat manusia sejak zaman dahulu hingga akhir zaman. Demikian juga, kepada seluruh keluarga dan orang-orangyang mengikuti petunjuk dan ajarannya hingga hari kiamat.
Buku ini merupakan jilid pertama dari kitab Fikih Sunnah, yang di dalamnya membahas masalah nasalah fikih Islam yang disertai dalil-dalil yang bersulnber dari AI Quran, Sunnah yang shahih, dan ijma’ para ulama.
Kajian dalarn buku ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan lengkap, yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Di samping itu, saya berusaha untuk tidak mengangkat perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Namun, jika tidak dapat dimungkinkan karena permasalahan yang mengharuskannya, saya akan mengemukakannya dengan sekilas,
Dengan begitu, buku ini diharapkan dapat menampilkan gambaran fikih Islam yang benar. Inilah di antara misi diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah di permukaan bumi. Buku ini juga diharapkan dapat membuka pintu pemahaman umat manusia mengenai Allah dan rasul-Nya, mempersatukan umat Islam supaya berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah serta menghilangkan perbedaan pendapat dan bid’ah fanatisme pada mazhab. Buku ini juga diharapkan dapat menghapus prasangka (sebagian orang) yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Inilah kontribusi yang saya persembahkan sebagai bakti saya kepada agama. Semoga bermanfaat bagi saudara-saudaraku yang sekeyakinan. Kami senantiasa berdoa kepada Allah SWT, agar amal bakti ini bermanfaat, disertai keikhlasan dan hanya mengharapkan keridhaan-Nya semata. Hanya Allah, tempat kita berpegang, Dia-lah sebaik-baik pelindung.
Kairo, 15 Sya’ban 1365 H
As Sayyid Sabiq
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-17 Pengantar Risalah Pergerakan
Islam, sejak kemunculannya yang pertama –dibawakan oleh Rasulullah Muhammad saw. hingga hari ini telah berumur empat belas abad. Sepanjang waktu itu, Islam mentalami Pasang surut peradaban. Dalam sebuah nubuwatnya Rasulullah Pernah menengarai bahwa umat lslam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti; peridode Kenabian, periode Kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode Mulkan Aadhan atau Penguasa yang Menggigit,peridode mulkan jabariayan atau Penguasa yang menindas, dan terakhir sebelum datangnya Kiamat umat ini sekali lagi akan berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian. (disarikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi)
Satu pertanyaan paling relevan kita ungkapkan demi membawa nubuwat Rasul tersebut adalah, “Pada peridode yang manakah umat Islam sekarang ini berada?” Jawaban atas pertanyaan ini akan (dan sudah) menjadi titik tolak maraknya diskursus mengenai Kebangkitan Islam abad 20 menjelang 21.
Betapa tidak? Berdasarkan nubuwwat tersebut -sembari mengaca pada realitas sejarah- kita akan menemukan bahwa umat ini tidak pada periode pertama (periode Kenabian), tidak juga pada periode kedua (Kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, bukan pula periode ketiga (Mulkan Aadhan). Secara harfiyah, istilah yang disebut terakhir itu artinya adalah “penguasa yang menggigi”. Yakni suatu pemerintahan yang secara legal-formal masih menjadikan Islam, Al Quran, dan SUnnah sebagai dasar sistem politik, namun dalam praktiknya tidak konsisten, bahkan bertabur penyimpangan.
Karena itu dapat disimpulkan bahwa- umat sekarang ini berada pada seburuk-buruk periode, yakni Mulkan Jabariyan. Suatu periode secara de jure hukum Islam tidak lagi tegak di muka bumi, apalagi secara de facto. Inilah periode perlalanan umat dimana Khalifah Islamiyah tidak lagi tegak. Dan itulah yang sedang dialami umat Islam pada hari ini.
Tentang Mulkan Jabariyan ini Rasulullah saw mengingatkan dengan sabdanya, “Sesungguhnya di neraka Jahannam itu ada lembah, dan di dalam lembah itu ada sebuah sumur yang disebur Habhab. Adalah hak Allah untuk menempatkan penguasa Jabbarun ‘Anid ke dalamnya.” (HR ATh Thabrani)
Umatlslam telah melalui sejarahnya yang panjang dengan kebangkitan dan kernunduran yang darang silih berganti. Hal yang sama juga
dialami oleh peradaban-peradaban ain. Ini merupakan sunatullah yang tidak bisa ditawar-tawar.
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereha mendapat pelajaran).” (Ali Imran; 140)
Begitulah pada setiap kurun yang dilalui umat ini, kita selalu melihat di dalamnya terdapat krisis dalam aspek-aspek tertentu dari kehidupannya. Krisis itu kemudian memicu munculnya gerakan pembaruan (baca: kebangkitan) dengan lontaran isu-isu yang khas sesuai dengan ragam dan karakteristik binis yang terjadi saat itu.
Sebutlah misalnya Abu Bakar Ash shidiq, Umar bin Abdut Aziz, Ibnu Taimiyah, Shalahudin Al Ayubi, Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Sanusi, dan masih banyak yang lain. Masing-masing mereka berhak menyandang predikat mujahid dan mujahid Islam. Namun, tentunya aksi yang mereka lancarkan dan karya tulis yang mereka hasilkan tidak sama dan sebangun. Ibnu Taimiyah banyak menuliskan masalah-masalah tauhid dan sistem kenegaraan dalam karya-karyanya, karena memang saat itu terjadi penyelewengan dalam pemikiran Islam oleh kaum MU’tazilah dan penyerbuan asing terhadap dunia Islam. Sementara Shalahuddin Al Ayubi memusatkan perhatian pada [enghancuran pasukan Salib dan bagaimana menghalau mereka dari tanah suci Palestina. Tentu orang yang bijak tidak akan mengatakan bahwa Shalahuddin kurang memperhatikan tauhid atau Ibnu Taimiyah acuh tak acuh terhadap pembebasan Masjidil Aqsha.
Sekarang kita sampai pada kesimpulan sementara bahwa krisis dan kebangkitan adalah dua kata kunci yang harus kita sertakan setiap kali kita membahas tentang perjalanan sejarah umat Islam. Dan kita akan melakukan apresiasi terhadap buku yang ada di hadapan pembaca ini dengan asumsi dasar tersebut.
Buku ini berjudul Majmu’ah Rasail (Kumpulan Risalah), karya Imam Syahid Hasan Al Banna. Sesuai dengan namanya, buku ini berisi kumpulan surat, makalah, dan transkrip pidato yang pernah disampaikan oleh Hasan Al Banna sepanjang hayatnya di medan dakwah dan jihad. Keistimewaan buku ini terletak pada keistimewaan penulisnya dan gerakan dakwah yang dirintisnya, yakni Ikhwanul Muslimin.
Tentang siapa dan bagaimana sosok Hasan Al Banna sendiri telah dijelaskan dalam salah satu bagian buku ini. Ia dipandang sebagai tokoh pembaharu Islam yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh pembaharu yang muncul pada masa-masa sebelumnya. Dengan seluruh karakter yang melekat pada dirinya, kiranya dia layak menjadi representasi dari tokoh kebangkitan Islam abad 21.
Sedangkan kehadiran Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan jawaban terhadap krisi yang tengah melanda umat Islam abad ii. Hasan Al Banna sebagai peletak dasar gerakan inni bernar-benar memahami karakter krisi tersebut, kemudian dia berusaha menyusun jawabannya yang memadai untuk menanggulanginya.
Krisis yang tengah melanda umat Islam saat inni tidak lagi terkonsesntrasi pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat, melainkan menyentuh keseluruhannya, hampir dalam semua segi kaum muslimin mengalami kemunduran. Lihatlah betapa secara politik mereka terjajah dan tidak memiliki lembaga “Daulah Islamiyah” yang mampu mengayomi warganya. Secara ekonomi mereka marginal, dalam masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan mereka tertinggal, dalam aspek sosial budaya mereka mengekor pada kehidupan Barat, dan demikian seterusnya pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Bahkan dari segi kefahamannya terhadap ajaran Islam sendiri, mayoritas mereka masih jauh dari memadai. Tentang kemunduran umat Islam ini Amir Syaqib Arsalan mendeskripsikan secara gamblang dalam bukunya, Limadza Ta’akhkharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum.
Lantas apa yang dibutuhkan oleh umat semacam ini? Tidak lain kecuali munculnya sebuah gerakan dakwah yang terpadu dan menyodorkan solusi sistemik bagi permasalahan umat yang sudah demikian parah dan berlarut-larut. Dan peran inilah yang coba dimainkan oleh Jamaah Ikhwanul Muslimin. Maka ia dengan segenap sumber daya dan perangkat yang dimiliki -tampil dengan melontarkan isu sentral: “Kembali kepada keutuhan Islam”. Yakni kembali kepada pemahaman Islam secara integral dan komprehensif, bukan Islam yang parsial dan tambal sulam. Islam sebagai suatu sistem nilai yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya, bukan Islam yang dipahami sebatas simbol dan ritual peradaban semata.
Lebih lanjut tentang siapa dan bagaimana Hasan Al Banna, seperti apa pula profil gerakan Ikhwanul Muslimin yang dicanangkannya? Sebagaian besar (kalau bukan semua) terekam secara kronologis maupun tematis dalam buku ini. Inilah sumber mata air pertama yang berisi informasi dari tangan pertama. Tentu kita harus menelaahnya pertama kali sebelum menerima penjelasan dari sumber yang lain. Selamat menyimak.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-19 Menilai Diri Sendiri
Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar pahlawanan dari setiap perbuatan dan karyanya. Mereka tidak biasa membesarkan-besarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya. Merekajuga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka tidak akan pernah memaksakan kehendak dan juga tidak akan pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri menjadi pahlawan dalam medan ilmu pengetahuan.
Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak keterampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Sampai di tahap ini, seni itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakalia memasuki penilaian tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setap manusia mempunyai kecenderungan untuk membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas.
Simaklah firman Allah tentang kecenderungan ini, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka akan supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih.” (Ali Imran: 188).
Para ilmuwan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah dari karya-karya mereka yang paling monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya ilmiah mereka itu di hadapan para ilmuwan lain yang sejenis. Para sastrawan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu di antara karya-karya para sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah pertarungan yang telah dimenangkannya yang paling monumental, dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan para pemimpin perang lainnya dalam jenis-jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka menilai jejak-jejak kepemimpinan mereka tentang dimanakah letak kehebatannya dan seperti apa nilai kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam bidang politik dan dakwah?
Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang Khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, “Saya tidak akan pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya rencanakan. Tapi saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-21 Ad Da’watu Waludatun
Puluhan tahun yang lalu, langkah-langkah harakah di sini, di Indonesia, sunyi sepi, illa ma’allah, kecuali bersama Allah. Mengayunkan kaki seorang diri. Beberapa waktu kemudian dilakukan ta’sis haraki atau ta’sis amali. Dalam ta’sis tanzhimi waktu itu, kita hanya berkumpul empat orang. Kita hanya duduk lesehan, bukan di hotel. Dari hanya empat orang, sekarang di level qiyadah saja sudah ada ratusan orang.
Saya menjadi yakin, kata-kata dari salafush shalih dalam dakwah ini yang mengatakan, “Ad Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat mudah beranak pinak. Sangat subur dan mudah berketurunan.
Lihat saja ikhwan dan akhwat yang bergabung dalam dakwah ini, secara biologis pun jumlah anaknya lumayan. Saya kira secara nasional keluarga kita ‘paling berprestasi’, lima, delapan, sepuluh, atau tiga belas orang anak. Ini salah satu indikator bahwa “Ad Da’watu Waludatun”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru. Bahkan secara biologis lebih dulu dibuktikan oleh Allah SWT secara ‘a’iliyah thabi’iyyah.
Secara haraki da’awi pun kita lihat luar biasa. Ini membuat saya di hari tua tersenyum. Rasanya saya tidak perlu berdo’a seperti Nabi Zakaria, yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam surah Maryam. Dia merayu dan merajuk kepada Allah SWT, dalam kesepuhan dan kerentaan, beliau masih belum juga memiliki generasi penerus yang akan melanjutkan langkah-langkah dakwah. Langkah-langkah dakwah yang diharapkan dapat diteruskan oleh pewaris itu belum juga muncul, sehingga beliau melanjutkan dengan do’a yang dijelaskan oleh Allah SWT,
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS. Maryam, 19: 5-6)
Agar menjadi pewaris esensinya adalah pewaris dakwah. Penerus-penerus risalah Nabiyullah Ya’qub ‘alahissalam.
Sepertinya saya tidak perlu berdo’a seperti ini, karena baik secara biologis atau secara haraki pun, Allah telah membuktikan bahwa “Ad Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru, termasuk generasi kepemimpinan. Bahwa dakwah ini mendapat sambutan yang hangat dari generasi terbaik dari umat ini. Bahkan sebetulnya, kalau kita pelajari secara demografis, penduduk negara-negara Muslim itu rata-rata banyak. Berarti pula “Ad Da’watu Waludatun.” Itu berpangkal dari “Al Ummatu Waludatun”, bahwa umat kita sangat tinggi populasinya dan mudah beranak pinak. Ada masyaikh dakwah yang mengatakan bahwa di bumi di mana kalimat ‘La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah’ dikumandangkan, maka segalanya akan subur. Cepat melahirkan betapa pun kondisinya sulit.
Di Palestina dalam kondisi terhimpit, terjajah, tertindas, dan ada pembantaian, perbandingan kelahiran antara Muslimin Palestina dan Yahudi adalah 1 : 50. Yahudi sebelum takut oleh ledakan roket-roket HAMAS, sudah takut oleh ledakan penduduk umat Islam Palestina.
Jadi ikhwan wa akhwat fillah, kalau kemudian para salafush shalih mengatakan al mustaqbal lil Islam dan al mustaqbal li da’watina, itu sesuai dengan fitrah pertumbuhan. Baik secara demografis maupun secara dakwah dan harakah.
Harakah dan dakwah kita di Indonesia sangat berpeluang dan paling berpotensi dalam segi pertumbuhan. Kalau dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sangat jauh. Bahkan dengan saudara-saudara kita di negeri tetangga. Kita sudah memasuki era musyarakah, dengan mizhallah siyasiyah, payung politik yang besar dan lebar. Tersedia medan yang luas untuk bergerak, peluang-peluang juga sangat luas di segala bidang. Dan Alhamdulillah pertumbuhan kader pun sangat menggembirakan. Ini adalah pemberian Allah semata. Umat Islam di Indonesia dengan populasi penduduk lebih dari 220 juta, juga menjadikan harakah dakwah kita populasinya tumbuh pesat. Pertumbuhan itu akan semakin pesat dengan dipicu dan dipacu oleh target-terget yang sudah digariskan dalam kebijakan jama’ah.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-22 Momentum Kepahlawanan
Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu-padu. Saat itulah ia tersejarahkan.
Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Simaklah firman Allah SWT, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan….” (Al-Qashash: 14)
Usaha manusiawi yang dapat kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan di sini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan kemudian mengkristalisasikanya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruang keserbamungkinan” dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah.
Atau, setidaknya mengantar kita untuk berdiri di pintu gerbang sejarah. Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah mem-persoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam investasi. Seperti apapun baiknya peluang Anda, hal itu tidak berguna jika pada dasarnya Anda memang tidak punya modal. Peluang sejarah hanyalah ledakan keharmonisan dari kematangan yang terabadikan. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian dalam medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi, jika Anda harus memilih salah satunya, maka pilihlah keberanian tanpa pedang dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam ilmu. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dimana Anda mengharapkan datangnya sentuhan keberuntungan.
Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Para pahlawan mukmin sejali bukanlah pemimpi di siang bolong, atau orang-orang yang berdoa dalam kekosongan dan ketidakberdayaan. Mereka adalah para petani yang berdoa di tengah sawah, para pedagang yang berdoa di tengah pasar, para petarung yang berdoa di tengah kecamuk perang. Mereka mempunyai mimpi besar tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sekali-kali mereka menatap langit untuk menyegarkan ingatan pada misi mereka. Namun, setelah itu mereka menyeka keringat dan bekerja kembali.
Wilayah kerja adalah lingkaran realitas, sedangkan wilayah peluang adalah ruang keserbamungkinan. Semakin luas pijakan kaki kita dalam lingkaran kenyataan, semakin besar kemampuan kita mengubah kemungkinan menjadi kepastian, mengubah peluang menjadi pekerjaan, mengubah mimpi menjadi kenyataan. Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pinlu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Chairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau……
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-25 Dakwah Kami: Empat Golongan Obyek Dakwah
Keterusterangan
Kami ingin berterus terang kepada semua orang tentang tujuan kami, emaparkan dihadapan mereka metode kami, dan membimbing mereka menuju dakwah kami. Di sini tidak ada yang samara dan remang-remang. Semuanya terang. Bahkan lebih terang dari dari sinar mentari, lebih carah dari cahaya fajar, dan lebih benderang dari putihnya siang.
Kesucian
Kami juga ingin agar umat kami –dan kaum muslimin semua adalah umat kami–mengetahui bahwa Ikhwanul Muslimin membawa misi dakwah yang bersih dan suci; bersih dari ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia, dan bersih dari hawa nafsu. Ia terus berlalu menapaki jalan panjang kebenaran yang telah digariskan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam firman-Nya,
“Katakanlah, ‘inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.’ Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf : 108)
Kami tidak mengaharapkan sesuatu pun dari manusia; tidak mengharap harta benda atau imbalan yang lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih. Yang kami harap hanyalah pahala dari Allah, Dzat yang telah menciptakan kami.
Kasih Sayang
Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai dari pada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehoramatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, mengusai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan.
Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai audara-saudara tercinta. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian.
Semua Keutamaan Hanyalah Milik Allah
Andaikan yang kami lakukan ini adalah sebuah keutamaan, maka kami sama sekali tidak menganggap itu keutamaan diri kami. Kami hanya percaya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 17)
Kami sering mengangankan –andaikan angan-angan itu bermanfaat– bahwa suatu saat tersingkaplah isi hati kami dihadapan penglihatan dan pendengaran umat ini. Kami hanya ingin mereka menyaksikan sendiri: adakah sesuatu dalam hati ini selain kecintaan yang tulus, rasa kasih yang dalam, serta kesungguhan kerja guna mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi mereka ? Adakah sesuatu dalam hati ini selain lara dan perih atas musibah yang menimpa mereka?
Namun biarlah, cukup bagi kami keyakinan bahwa Allah swt. mengetahui itu semua. Hanya Dia-lah yang menanggung kami dengan bimbingan-Nya dalam langkahlangkah kami. Di tangan-Nya-lah berada semua kunci dan kendali hati manusia. Siapa yang ia sesatkan maka tak akan ada yang dapat menunjukinya, dan siapa yang ia tunjuki maka tak akan ada yang dapat menyesatkannya. Cukuplah Dia bagi kami. Dia-lah sebaikbaik tempat bergantung. Bukankah hanya Allah yang mencukupi kekurangan hamba-Nya?
Empat Golongan Obyek Dakwah
Kami hanya ingin agar kelak –dalam mensikapi dakwah kami– orang akan masuk ke dalam salah satu dari empat golongan berikut:
Pertama, Golongan Mukmin
Mereka adalah orang-orang yang meyakini kebenaran dakwah kami, percaya kepada perkataan kami, mengagumi prinsip-prinsip kami, dan menemukan padanya kebaikan yang kebaikan yang menenangkan jiwanya. Kepada orang seperti ini kami mengajak untuk segera bergabung dan bekerja bersama kami agar jumlah para mujahid semakin banyak, dan agar dengan tambahan suara mereka, suara para da’i akan semakin meninggi.
Iman takkan punya arti bila tidak disertai dengan amal. Akidah tak akan memberi faedah bila tidak mendorong penganutnya untuk berbuat dan berkorban demi menjelmakannya menjadi kenyataan. Begitulah yang terjadi pada generasi terdahulu umat ini, dimana Allah melapangkan dada mereka untuk menerima hidayah-Nya. Mereka mengikuti jejak para Nabinya, beriman kepada risalahnya, dan berjihad dengan jihad yang benar dalam menegakkan misi suci itu. Kami berharap agar Allah swt. Berkenan memberikan pahala yang banyak kepada para pendahulu ini, ditambah dengan pahala orang-orang yang mengikuti jejek mereka, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti itu.
Kedua, Golongan Orang Yang Ragu-ragu
Boleh jadi mereka orang-orang yang belum mengetahui secara jelas hakekat kebenaran dan belum mengenal makna keikhlasan serta manfaat di balik ucapan-ucapan kami. Mereka bimbang dan ragu. akan halnya golongan ini, biarkanlah mereka bersama keraguannya, sembari disarankan agar mereka tetap berhubungan dengan kami lebih dekat lagi, membaca tulisan-tulisan kami dan apa saja yang terkait dengan kami –baik dari jauh maupun dari dekat–, mengunjungi klub-klub kami, dan berkenalan dengan saudara-saudara kami. Setelah itu, isnya Allah hati mereka akan tentram dan dapat menerama kami. Begitulah juga tabiat golongan manusia peragu, yang menjadi pengikut para rasul zaman dahulu.
Ketiga, Golongan yang Mencari Keuntungan
Boleh jadi mereka adalah kelompok yang tidak ingin memberikan dukungan kepada kami sebelum mereka mengetahui keuntungan materi yang dapat mereka peroleh sebagai imbalannya. Kepada mereka ini kami hanya ingin mengatakan, “Menjauhlah! Disini hanya ada pahala dari Allah jika kamu memang benar-benar ikhlas, dan surga-Nya jika ia melihat ada kebaikan dalam hatimu. Adapun kami, kami adalah orang-orang yang miskin harta dan popularitas. Semua yang kami lakukan adalah pengorbanan dengan apa yang ada di tangan kami dan dengan segenap kemampuan yang ada pada kami, dengan harapan bahwa Allah akan meridhai. Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Bila kelak Allah menyikap tabir kegelapan dari hati mereka dan menghilangkan kabut keserakahan dari jiwanya, niscaya meraka akan tahu bahwa sesungguhnya apa yang ada disisi Allah itu jauh lebih baik dan lebih kekal. Kami percaya, hal itu akan mendorongnya bergabung dengan barisan Allah. Saat itu, dengan segala kemurahan hati mereka akan mengorbankkan seluruh hartanya demi memperoleh balasan Allah di akhirat kelak. Apa yang ada padamu (manusia) akan habis musnah, dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi.
Andaikan tidak demikian, sungguh Allah tidak membutuhkan orang yang tidak melihat bahwa hak Allah-lah yang pertama harus ditunaikan, pada diri, harta, dunia, akhirat, hidup, dan matinya. Begitulah yang pernah terjadi, ketika sekelompok orang enggan berba’iat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kecuali jika nantinya beliau berkenan memberikan porsi kekuasaan setelah Islam menang. Pada waktu itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hanya menyatakan bahwa bumi ini adalah milik Allah, yang ia wariskan kepada siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya kemenangan akhir selalu menjadi milil orang-orang yang bertaqwa.
Keempat, Golongan yang Berprasangka Buruk
Barangkali mereka adalah orang-orang yang selalu berprasangka buruk kepada kami dan hatinya diliputi keraguan atas kami, mereka selalu melihat kami dengan kacamata hitam pekat, dan tidak berbicara tentang kami kecuali dengan pembicaraan yang sinis. Kecingkakan telah mendorong mereka terus berada pada keraguan, kesinisan, dan gambaran negatif tentang kami.
Bagi kelompok macam ini, kami bermohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar berkenan memperlihatkan kepada kami dan kepada mereka kebenaran sebagai kebenaran dan memberi kekuatan kepada kami untuk mengikutinya, serta memperlihatkan kebatilan sebagai kebatilan dan memberi kekuatan kepada kami untuk menjauhinya. Kami memohon kepada Allah swt. Agar berkenan menunjuki kami dan mereka ke jalan yang lurus.
Kami akan selalu mendakwahi mereka jika mereka mau menerima, dan kami juga berdoa kepada Allah swt. Agar berkenan menunjuki mereka. Memang, hanya Allah-lah yang dapat menunjuki mereka. Kepada Nabi-Nya Allah berfirman tentang segolongan manusia,
“Sesunguhnya, kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada siapa yang kamu suka, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang ia kehendaki.” (Al-Qashash: 56).
Walaupun begitu, kami tetap mencintai mereka dan berharap bahwa suatu saat mereka akan sadar dan percaya pada dakwah kami. Terhadap mereka kami menggunakan semboyan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw., “Ya Allah ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Kami menginginkan ada salah satu dari keempat golongan tadi yang bergabung bersama kami. Kini tiba saatnya bagi setiap muslim untuk memahami tujuan hidupnya dan menentukan arah perjalanannya. Ia harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menempuh jalan tersebut agar dapat mencapai tujuannya. Adapun mereka yang lalai dan terus dalam kebingungan, yang suka bersantai-santai, yang hatinya buta dan gampang terbujuk oleh rayuan, maka tidak ada tempat bagi mereka di jalan panjang orang-orang yang beriman.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-26 Keunikan
Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan dalam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum historis yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, kemudian menemukan lingkungan yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.
Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup di tengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena mereka memang tidak berbakat.
Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian dari keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia diciptakan.“
Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya-karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang tidak berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini meyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.
Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhimya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar Bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan itu bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.
Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi kita dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat untuk menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu terkumpul dalam diri sang pahlawan.
Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid Bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa daan derai air mata adalah bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.
Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama; kelak mereka akan merasa kehilangan.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-27 Surat dari Penjara
Bapak Abdullah bin Rawahah, dalam jannah, ridha dan maghfirah Allah,
Dari penjara pengap tempat begitu banyak anak manusia bertarung merebut jatah makan dan hunian terbaik, kutulis surat ini untuk mengungkapkan pengakuan dan kekagumanku atas sikapmu yang tergurat dalam rajaz-mu. Setidaknya bahwa orang tahu bahwa aku sangat menerima jalan pikiranmu. Atau agar diriku sendiri tahu dan sadar bahwa kebenaran semata-matalah yang melandai ungkapanmu yang di negeriku pernah dinyanyikan dengan semangat:
ku bersumpah; wahai jiwa, turunlah berlaga
turunlah atau haruskah engkau dipaksa
mengapa kulihat engkau membenci surga
hai jiwa, jika engkau tidak dibantai
kau kan pasti binasa
Di sebuah sel paling indah dari penjara yang berjajar dengan penghuni yang berblok-blok dan saling curiga, dengan aliansi yang cepat berubah hanya karena kepentingan berebut kesenangan, aku tinggal bersama tahanan yang akan ditentukan nasibnya dan menentukan suratannya. Maksudku, mereka akan mendapat keputusan, akan direhabilitasikah mereka? Atau dieksekusi atau ditingkatkan ke penjara yang lebih mengerikan? Kejadian silih berganti dan betapa mulia warnanya jalan hidup mereka. Penduduknya sangat majemuk. Ada yang menerbitkan koran berbau menyan. Ada yang menyebutkan Muhammad SAW junjungan kita tanpa gelar cinta di hati atau shalawat di mulut. Ada yang mau mmeberi apa saja demi kebahagiaan nanti, sampai-sampai dapat kau temukan kejadian yang kau dapatkan di zaman sahabatmu Ali bin Abi Thalib, saat seorang haruri yang memberontak kepada khalifah yang sah dan memisahkan diri dari jamaah Muslimin dan berteriak bangga, “Aku bersegera kepada-Mu ya Rabbi, agar Engkau ridha.” (QS Thaha: 80) sementara ususnya terburai oleh pedang pasukan Muslim yang loyal.
Bapak Khubaib bin Adi, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
(Maaf, kalau ukuran satu-satunya cuma usia, sebaiknya kupanggil engkau dengan adinda, karena saat kutulis surat ini, baik engkau atau Abdullah bin Rawahah adalah pemuda yang segar, terlebih di negerimu kini engkau takkan lagi mengalami keriput dan pikun)
Kalaulah tidak karena kejumudan lama dan dekadensi hari ini, tentu semua pemuda akan sangat apresiatif terhadap untaian syair kematianmu yang begitu manis, ironis dengan penyiksaan dan pembunuhan perlahan-lahan yang mereka lakukan terhadapmu:
dan aku tidak peduli ketika dibunuh sebagai Muslim
di arah manapun, pastilah jalan Allah gugurku
karena dalam pandangan Ilah, jika ia berkenan
Ia kuasa berkahi kepingan tubuh yang berserakan
Seorang bapak yang pergi ke hutan untuk membela Tuhan, menghibur anak lelakinya yang gemetar di usianya yang empat tahun itu. Di tingkah rentetan senapan mesin dan ledakan bom ia berpesan: “Jangan takut, tenangkan hatimu, karena setiap peluru dan bom itu sudah punya address, alamat siapa yang akan jadi korbannya. Bila tak ada namamu di situ, pasti ia tidak akan memangsamu.”
Mungkin terngiang di telingamu ayat tabsyir ini yang turun jauh sesudah pulangmu ke negeri abadi, “Mereka bergembira dengan orang-orang yang belum berjumpa dengan mereka di belakang mereka, tidak ada ketakutan pada mereka dan tak juga bersedih.” (QS Ali Imran: 170)
Bapak Abu Dujanah, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
Di anatara kami ada yang pergi mencari mati, namun lebih banyak mereka yang pulang dan berumur panjang. Banyak di antara kami yang amat ketakutan jika berjalan seperti kalian para syuhada, kata mereka hidup jadi pendek dan keluarga jadi terlantar. Maka, kalau ia seorang pejabat profesional atau serdadu, hidupnya penuh dengan kesibukan menumpuk harta curian. Jika ia ulama, maka ia menghindari topik-topik koreksi atas kemungkaran dan kecurangan. Banyak orang menjadi sangat miskin karena sangat memimpikan kekayaan. Mungkin kita bisa sama-sama terkesan dengan sebuah kalimat doa, “Allahumma aghnini bil iftiqari ilaika, wa la tufaqqirni bil istighna’i ‘anka (Ya Allah, kayakanlah daku dengan kesadaran diri sangat berhajat kepadaMu, dan jangan miskinkan daku karena merasa tak memerlukanMu).”
Bapak Annazham, filsuf para Mu’tazilah,
Hari ini bansaku mengulang kembali apa yang dikatakan orang-orang bijak dan penyair masa lalu tentang kebusukan dan kezaliman;
siapa tidak ikut gila, tidak kebagian
siapa yang tak mampu menzhalimi orang, maka ia akan dizhalimi
Sebagian lain menenggak begitu banyak racun yang menghancurkan akal mereka. Ah, ternyata engkau jauh lebih elegan dari anak-anak kampungku yang pagi-pagi beercerita dengan bangga bahwa mereka puas, hebat, modern, karena semalam tidur di selokan mabuk. Ya Annazham, engkau mabuk dengan cita rasa seni yang tinggi.
dengan lembut terus kuhirup sukma botol ini
dan kuhalalkan darah yang bukan dari luka
sampai aku terbungkuk-bungkuk dengan dua nyawa
botol pun tercampak, jadi badan tanpa jiwa
Mabuk di Selokan atau dengan Hadiah Nobel Sastra, Tetap Mabuk, kan?
Kata orang bijak, dunia hanya dibangun dan dipimpin oleh para pemberani, dalam hak atau batil. Kini mubarazah (duel) yang mengawali pertempuran massal tak dapat dilaksanakan. Bukan karena pertempuran tak lagi menggunakan pedang, tetapi jiwa pengecut itu yang jadi mahkota di kepala anak-anak laki-laki korban sekolah itu. Oh, Bani Arfidah penari perang dan penempur yang gagah berani, hari rayaku kini ramai dengan orang menangis di kuburan atau orang mabuk di selokan. Tari perangmu yang membangkitkan api ksatria telah berganti dengan penari latar norak, culun, dan penuh kepura-puraan. Laki-laki dan perempuan bergerak dengan dan karena ketakukan yang sangat kalau tak jadi terkenal. Laki-laki memakai rantai anjing dan menyobek lutut Jeans-nya dan “gadis-gadis”nya membuka seluas mungkin jengkal demi jengkal kehormatan yang seharusnya mereka tutup.
Tetapi Allah bukan si miskin yang tidak punya cadangan kekayaan hamba-hamba dari jenis kain atau si dungu yang tak tahu bagaimana mengganti perlengkapan rumahnya yang usang. Dari puing-puing sejarah bangsa kami masih muncul kepala-kepala lain dengan pikiran-pikiran lain, impian-impian lain. Benar kata orang bijak, “Perjuangan dirancang oleh orang alim, diperjuangakan oleh orang-orang ikhlas, dimenangkan oleh orang-orang berani, dan akhirnya dinikmati oleh orang-orang pengecut!”
Bapak Abdurahman bin Auf,
Betapapun tidak bisa mengejar tingkat pengorbananmu, namun masih ada pedagang kami yang kebih suka “hijrah” dari nikmat rezeki yang cemar lalu mengambil susu fitrah bagi kekayaan batin prajurit tauhid yang melimpah dan istiqamah.
Bapak Salman Al Farisi, biarpun tidak seperti keutamaanmu, namun masih banyak muhandis (insinyur) muda yang sibuk menggali khandaq penahan laju ahzab sekutu. Mereka seperti yang kau dapatkan juga dari Rasul tercinta, adalah sungguh-sungguh ahlul bait, karena menjaga rumah besar kita dari keruntuhan.
Bapak Bilal, gema adzanmu tetap dibunyikan oleh Bilal-bilal masa kini, dengan seruan hayya ‘alal falah yang santun, damai, dan perkasa. Ajaib, suara dari kerongkonganmu tak tergantikan oleh kecanggihan teknologi musik yang telah begitu jauh maju. Dan, ia telah menjadi “lagu kebangsaan” yang mendunia mengukuhkan kesistensi kami di tengan 6 milyar penduduknya.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-27 Pendahuluan Halal dan Haram
Direktorat Jenderal Urusan Kebudayaan Islam Universitas Al Azhar meminta kepada saya untuk memenuhi keinginan Universitas, agar saya menyusun buku-buku kecil yang sederhana untuk diterjemah ke dalam bahasa Inggris, guna memperkenalkan Islam kepada masyarakat Eropa dan Amerika, khususnya ummat Islam di sana; disamping sebagai usaha da’wah untuk orang luar Islam.
Rencana penyusunan buku-buku kecil sebagai tersebut, sangat baik sekali yang sudah seharusnya direalisir sejak lama, sebab masyarakat Islam di Eropa dan Amerika mengenal Islam hanya sedikit sekali. Sedang yang sedikit itupun tidak lepas dari kekeliruan dan kesalahan.
Dalam waktu dekat, seorang rekan lulusan Al-Azhar yang dikirim ke salah satu negara bagian USA mengirimkan surat kepada saya, ia mengatakan: “Bahwa kebanyakan ummat Islam di negara ini mencari pencaharian dengan membuka bar-bar dan memperdagangkan arak dengan tidak merasa bahwa hal tersebut suatu dosa besar dalam pandangan hukum Islam.”
Dalam suratnya itu dikatakan pula: “Bahwa laki-laki muslim di negara tersebut banyak yang mengawini perempuan-perempuan Kristen dan Yahudi –mungkin juga penyembah berhala– dengan meninggalkan perempuan-perempuan muslimah, mereka ini banyak yang tidak laku, dan sebagainya …”
Kalau demikian keadaannya ummat Islam, bagaimana lagi gerangan yang bukan Muslim? Mereka tidak mengenal hanya bentuk muka yang jahat tentang Islam, Nabi Muhammad dan para pengikutnya dikenal dengan sifat-sifat yang tidak baik. Bentuk mana merupakan usaha-usaha propagandis Kristen dan kaum penjajah yang berbisa, yaitu dengan merendahkan Islam dalam berbagai seginya. Hal ini justeru terjadi di saat kita sedang lengah dan lalai.
Kini telah tiba waktunya untuk memulai rencana itu serta merealisir cita-cita yang sangat dibutuhkan demi berda’wah kepada Islam dan hal ini meminta diperhatikan dengan serius. Untuk mencapai langkah yang sangat baik ini, harus kita bentuk suatu kelompok yang benar-benar sanggup mempertahankan dan melaksanakannya baik di kalangan Al-Azhar sendiri maupun di luar Azhar, dengan suatu permintaan kepada mereka ini supaya mau menghadapi lebih serius diiringi suatu doa semoga mereka selalu beroleh taufiq dari Allah.
Pokok persoalan yang diberikan kepada saya yaitu tentang masalah “Halal dan Haram dalam Islam”. Direktorat itu berpesan kepada saya agar saya menulis persoalan tersebut dengan sederhana (sederhana) dan mudah difahami serta diadakan comparative (perbandingan) dengan pandangan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain.
Barangkali nampaknya persoalan “Halal dan Haram” untuk pertama kalinya amat mudah, tetapi kenyataannya sangat sukar. Pengarang-pengarang di masa-masa yang telah lalu maupun yang belakangan ini belum ada yang menulis secara khusus persoalan tersebut. Akan tetapi penulis sendiri menjumpainya berserakan dalam beberapa bab di kitab-kitab Fiqih, dan juga sebagiannya di kitab-kitab Tafsir dan Hadis.
Persoalan inilah yang mendorong penulis dengan serius untuk memperhatikan beberapa persoalan yang oleh ulama-ulama dahulu diperselisihkan hukumnya dan ditentang pula oleh pendapat-pendapat ahli Hadis tentang persoalannya maupun alasan-alasannya.
Untuk mentarjih suatu pendapat lainnya dalam masalah halal dan haram diperlukan suatu pembahasan dan penelitian yang lama sekali; disamping penulis sendiri harus mengikhlaskan diri kepada Allah guna mencari yang benar, sebagai suatu keharusan yang harus ditempuh manusia.
Saya melihat kebanyakan para penyelidik Islam di zaman modern ini hampir-hampir terbagi dalam dua golongan:
Golongan Pertama: pandangannya disambar oleh kilauan kebudayaan barat; dan berhala yang besar ini ditakuti mereka sehingga kebudayaan itu disembahnya. Dan untuk ini mereka lakukan dengan penuh pengorbanan serta berdiri di hadapannya dengan menundukkan pandangannya dengan penuh kerendahan. Cara berfikir dan tradisi barat ini mereka jadikan sebagai suatu persoalan yang diterima yang tidak perlu ditentang dan diperdebatkan. Kalau Islam itu sesuai dengan fikiran dan tradisi barat, mereka menyambutnya; tetapi kalau bertentangan, mereka berusaha mencari jalan untuk mendekatkan, atau beralasan dan menjelaskan, atau mentakwil dan merubahnya, yang seolah-olah Islam itu diharuskan tunduk kepada kebudayaan barat, filsafat barat dan tradisi barat.
Dan begitu juga dalam pembicaraannya tentang sesuatu yang dihalalkan Islam, misalnya: masalah talaq dan poligami. Yang seolah-olah apa yang disebut halal dalam pandangan mereka; yaitu sesuatu yang dianggap halal oleh Barat. Dan yang dikatakan haram, yaitu sesuatu yang dianggap haram oleh Barat.
Mereka lupa, bahwa Islam itu Kalamullah (perkataan Allah), sedang Kalamullah itu selamanya tinggi; dia diikuti, bukan mengikuti, dia tinggi tidak dapat diatasi. Oleh karena itu bagaimana mungkin Allah akan mengikuti hambaNya; bagaimana pula Khaliq (pencipta) mengikuti Makhluk (yang dicipta)?
Firman Allah:
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya langit dan bumi ini serta makhluk yang didalamnya akan rusak!” (al-Mu’minun: 71)
“Katakanlah Muhammad! Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat menunjukkan ke jalan yang benar? Katakanlah: Allahlah yang menunjukkan ke jalan yang benar. Apakah Dzat yang menunjukkan ke jalan yang benar itu yang lebih patut diikuti ataukah orang yang tidak dapat memimpin kecuali (sesudah) dia dipimpin (itu yang lebih patut diikuti)? Bagaimana kamu berbuat begitu? Bagaimana kamu mengambil keputusan?” (Yunus: 35)
Golongan Kedua: terlalu apatis, fikirannya beku dalam menilai beberapa masalah halal dan haram, karena mengikuti apa yang sudah ditulis dalam kitab-kitab, dengan suatu anggapan, bahwa itu adalah Islam. Pendapatnya samasekali tidak mau bergeser, kendati seutas rambut; tidak mau berusaha untuk menguji kekuatan dalil yang dipakai oleh madzhabnya untuk dibandingkan dengan dalil-dalil yang dipakai orang lain, guna mengambil suatu kesimpulan yang benar sesudah ditimbang dan diteliti.
Apabila mereka ditanya tentang hukumnya musik, nyanyian, catur, mengajar perempuan, perempuan membuka wajah dan tangannya dan sebagainya, maka omongan yang paling mudah keluar dari mulutnya ataupun penanya yang bergores, adalah kata-kata haram.
Golongan ini lupa etika yang dipakai oleh salafus-shalih (orang-orang dulu yang saleh), dimana mereka samasekali tidak pernah mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dalil yang mengharamkannya dengan positif. Sedang yang belum begitu jelas, mereka mengatakan: “Kami membenci”, “Kami tidak suka”, dan sebagainya.
Saya sendiri berusaha untuk tidak termasuk pada salah satu dari dua golongan di atas.
Saya tidak rela –demi membela agamaku– untuk menjadikan Barat sebagai suatu persembahan, sesudah saya menerima Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasul!
Saya pun tidak rela –rasioku– terikat dengan suatu madzhab, dalam seluruh persoalan dan masalah, salah benar hanya mengikuti satu madzhab. Seorang muqallid (ikut-ikutan) menurut Ibnul Jauzie: “Tidak dapat dipercaya tentang apa yang diikutinya itu, dan taqlid itu sendiri sudah menghilangkan arti rasio, sebab rasio dicipta buat berfikir dan menganalisa. Buruk sekali orang yang diberi lilin tetapi dia berjalan dalam kegelapan.”
Benar! Memang saya tidak akan berusaha untuk mengikatkan diriku pada salah satu madzhab fiqih yang ada di dunia ini. Sebab kebenaran itu bukan dimiliki oleh satu madzhab saja. Dan imam-imam madzhab itu sendiri tidak pernah menganjurkan demikian. Mereka hanya berijtihad untuk mengetahui yang benar. Jika ternyata ijtihad mereka itu salah, akan mendapat satu pahala; dan jika benar, akan mendapat dua pahala.
Imam Malik r.a. berkata: “Setiap orang, omongannya boleh diambil dan boleh juga ditolak, kecuali Nabi Muhammad s.a.w.”
Imam Syafi’i r.a. berkata: “Apa yang saya anggap benar, mungkin juga salah; dan yang saya anggap salah, mungkin juga benar.”
Oleh karena itu tidak pantas seorang muslim yang berpengetahuan (alim) dan memiliki peralatan untuk menimbang dan menguji, bahwa dia akan menjadi tahanan oleh suatu madzhab, atau tunduk kepada pendapat seorang ahli fiqih. Tetapi seharusnya dia mau menjadi tawanan hujjah dan dalil. Selama dalil itu sah dan hujjahnya kuat, maka dialah yang lebih patut diikuti. Kalau sanadnya itu lemah dan hujjahnya pun tidak kuat, dia harus ditolak tidak memandang siapapun yang mengatakannya. Justeru itulah sejak pagi-pagi Ali r.a. mengatakan: “Jangan kamu kenali kebenaran itu karena manusianya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan kenal orangnya.”
Saya berusaha akan memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Kebudayaan itu semaksimal mungkin. Dalam hal ini saya akan selalu menjuruskan kepada masalah dalil, alasan dan partimbangan dengan bantuan analisa ilmiah dan pengetahuan modern yang mutakhir. Dan alhamdulillah, bahwa Islam memancar dengan membawa sejumlah dalil, karena Islam adalah agama universal dan abadi, yaitu seperti dikatakan Allah:
“(Islam) adalah ciptaan Allah, dan siapakah yang lebih baik ciptaannya selain Allah?” (al-Baqarah: 138)
Halal dan Haram sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat, sekalipun masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab-sebabnya. Kebanyakan dikaitkan dengan kepercayaan primitif, khurafat dan dongeng-dongeng.
Kemudian datanglah agama-agama Samawi yang besar-besar dengan membawa berbagai peraturan dan rekomendasi tentang halal dan haram yang mengangkat martabat manusia dari tingkatan khurafat, dongeng-dongeng, dan hidup primitif, menjadi manusia yang mulia dan terhormat. Akan tetapi sebagian yang halal dan haram itu disesuaikan dengan keadaan dan kondisi, serta berkembang menurut perkembangan manusia itu sendiri serta mengikuti perkembangan situasi dan kondisi.
Dalam agama Yahudi misalnya, ada beberapa hal yang diharamkan yang bersifat preventif sebagai suatu hukuman Allah terhadap Bani Israel karena kezaliman mereka. Hukum ini tidak dimaksudkan untuk berlaku selama-lamanya. Justeru itu al-Quran menuturkan perkataan Isa al-Masih kepada Bani Israel sebagai berikut:
“(Bahwa aku) membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan supaya aku menghalalkan kepadamu sebagian yang pernah diharamkan atas kamu.” (Ali-Imran: 50)
Setelah Islam datang, keadaan ummat manusia sudah makin meluncur, maka sudah tepat pada waktunya Allah menurunkan agamaNya yang terakhir itu. Hukum yang berlaku di kalangan ummat manusia ini ditutupnya dengan syariat Islam yang komplit, menyeluruh dan abadi (universal).
Dalam hal ini dapat kita baca firman Allah yang berhubungan dengan masalah haramnya makanan-makanan sebagai tersebut dalam surah al-Maidah, yaitu sebagai berikut:
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku sempurnakan atas kamu nikmatKu, dan Aku telah rela untukmu Islam sebagai agama.” (al-Maidah: 3)
Cara berfikirnya Islam dalam persoalan halal dan haram sangat sederhana dan jelas. Cara berfikir ini merupakan satu bagian dari amanat yang besar yang tidak diterima oleh langit, bumi dan gunung dengan dalih semua tidak sanggup memikulnya, tetapi kemudian manusia sanggup.
Amanat kewajiban Allah serta pertanggungan jawab manusia sebagai khalifah di permukaan bumi ini, adalah merupakan suatu pertanggungan jawab yang membawa konsekwensi dan merupakan dasar tindakan suatu hukum bagi manusia apakah dia itu diberi pahala atau disiksa. Untuk itulah maka manusia diberinya akal (rasio) dan berkehendak serta diutusnya para Rasul dengan membawa kitab. Oleh karena itu dia tidak akan ditanya: mengapa ada halal dan haram? Mengapa saya tidak membiarkan kendali itu tetap lepas?
Ini benar-benar merupakan suatu ujian khusus untuk manusia mukallaf, dan kiranya dengan itu manusia dapat berbeda dengan makhluk-makhluk Allah yang semata-mata Roh seperti Malaikat dan yang semata-mata syahwat seperti binatang, Dengan demikian manusia adalah makhluk tengah-tengah yang dapat meningkat menjadi Malaikat atau lebih, atau meluncur seperti binatang dan lebih rendah dari binatang.
Dan dari segi lain, bahwa halal dan haram beredar menurut perputaran perundang-undangan Islam secara umum, yaitu suatu perundang-undangan yang berdiri di atas landasan demi mewujudkan kebaikan untuk ummat manusia dan menghilangkan beban yang berat serta mempermudah ummat manusia.
Perundang-undangan Islam tetap menegakkan prinsip menghilangkan mafsadah dan mendatangkan maslahah untuk segenap ummat manusia, baik jasmaninya, jiwanya, rasionya, masyarakat keseluruhannya, yang kaya, yang miskin, penguasa, rakyat, laki-laki, perempuan; dan maslahah untuk seluruh macam manusia baik jenisnya, kulitnya, kebangsaannya, pada setiap masa dan generasi.
Oleh karena itu tepat kalau agama ini datang dengan membawa rahmat yang meliputi seluruh hamba Allah sampai pada akhir perkembangan manusia. Hal ini telah dinyatakan Allah sendiri dalam firmanNya:
“Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan membawa rahmat bagi segenap makhluk.” (al-Anbia’: 107)
Dan telah dinyatakan juga oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadisnya yang berbunyi sebagai berikut:
“Saya hanya diutus sebagai rahmat dan membimbing. ” (Riwayat al-Hakim, dan disahkan oleh adz-Dzahabi)
Salah satu daripada bentuk rahmatNya ini ialah: dengan meniadakan dari ummat ini semua macam penekanan, dosa-dosa karena melakukan yang halal seperti yang diada-adakan oleh kaum watsaniyin dan ahli kitab, sehingga mereka berani mengharamkan yang baik dan menghalalkan yang jelek.
Firman Allah:
“… RahmatKu meliputi segala sesuatu, maka akan Kutetapkan dia itu untuk orang-orang yang taqwa dan mengeluarkan zakat serta orang-orang yang mau beriman dengan ayat-ayatKu. Yaitu orang-orang yang mau mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang telah mereka jumpainya tertulis di sisi mereka dalam kitab Taurat dan Injil. Nabi tersebut akan memerintah mereka untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar, dan menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang jelek dan menghilangkan dari mereka beban yang berat dan belenggu yang ada atas mereka.” (al-A’raf: 156-157)
Undang-undang Dasar Islam tercermin dalam dua ayat yang kami bawakan juga dalam kitab ini, yaitu:
“Katakanlah:Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan rezeki-rezeki yang baik itu?” (al-A’raf: 32)
“Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan yang jelek, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan dosa, dan kejahatan yang tidak benar, dan kamu menyekutukan Allah dengan suatu yang Allah samasekali tidak menurunkan hujjah, dan kamu mengatakan atas (nama) Allah sesuatu yang kamu tidak tahu.” (al-A’raf: 33)
Saya yakin, bahwa pentingnya persoalan Halal dan Haram menjadikan kitab ini betapapun kecilnya telah dapat mengisi kekosongan literatur Islam yang baru dan dapat memecahkan problema-problema yang kini sedang dihadapi oleh ummat Islam, baik dalam kehidupannya sebagai perseorangan, rumah tangga maupun masyarakat luas. Dan kiranya telah dapat menjawab seluruh pertanyaan: apa yang dihalalkan buat saya? Dan apa pula yang diharamkan atas diri saya? Apa hikmah diharamkannya ini dan dihalalkannya itu?
Akhirnya, tidak ada yang mampu saya katakan dalam mengakhiri muqaddimah ini, melainkan saya harus berterimakasih kepada Syaihul Azhar dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Islam yang telah memberi kepadaku suatu kepercayaan untuk menulis persoalan tersebut pada pagi-pagi buta.
Dan saya pun mengharap: semoga apa yang saya tulis ini berarti saya telah menunaikan kepercayaan itu dan merealisir apa yang dimaksud.
Dan kepada Allah jua saya memohon semoga kitab ini besar manfaatnya dan memberinya kepadaku perkataan dan perbuatan yang benar, serta menjauhkan saya dari fikiran dan pena yang melampaui batas, dan mempersiapkan untuk suatu pimpinan dalam persoalanku ini. Sesungguhnya Dia selalu mendengarkan doa!
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-28 Ri’ayah Dakwah
Untuk menjamin nishabul baqa (angka atau quota yang aman bagi eksistensi gerakan dakwah), qudratu ‘ala tahammul (kemampuan memikul beban/tanggung jawab), dan hayawiyatul harakah (dinamika gerakan); perlu dilakukan ri’ayah da’wah, yang meliputi:
Ri’ayah Tarbawiyah
Ini sangat penting sebagai basis dari sebuah program. Sebuah recovery tarbiyyah. Walaupun kita juga harus tawazzun (seimbang), dalam arti, sering saya ingatkan bahwa kita ini harakah Islamiyah bukan harakah tarbawiyyah. Walaupun kita faham bahwa tarbiyah itu bukan segala sesuatu dalam jamaah ini—karena ia hanya juz’iyyatul ‘alal amal islami, tapi dia sangat menentukan segala sesuatu. Makanya jangan lalai dalam tarbiyah ini. Saya pun bertanggung jawab jangan sampai terjadi tawaruth siyasi (larut dalam dunia politik).
Hasil tarbiyah ini jangan dibatasi manfaatnya menjadi tarbiyah untuk tarbiyah. Artinya moralitas, idealisme, dan semangat yang dihasilkan tarbiyah itu jangan hanya dirasakan ketika ia menjadi murabbi saja. Tapi harus dirasakan juga produk tarbiyah itu baik secara moralitas, idealisme, akhlak, hayawiyah, semangat ke dalam dunia politik. Aktif dalam sektor bisnis, eksekutif, budaya, sosial, dan peradaban; perasaan bahwa mereka juga harus merasakan tarbiyah. Jangan sampai produk-produk tarbawi hanya semangat ketika mentarbiyah saja. Ketika di dunia politik dia lesu, di dunia ekonomi memble, di dunia sosial kemasyarakatan ketinggalan, dalam seni budaya jauh di urutan ke berapa.
Tarbiyah harus bisa memacu, memberikan semangat, memberikan moralitas tinggi, idealisme tinggi dalam segala bidang. Itu sebetulnya sudah kita rasakan, dan semakin kita butuhkan ketika kita semakin besar. Jangan sampai potensi apa pun yang ada tidak mendapat sentuhan tarbawi tersebut. Jangan terjadi apa yang dinamakan al-izaaban (pelarutan). Jangan sampai ketika aktif di bidang politik terjadi izaabatu syakhsiyyatul islamiyyah (pelarutan kepribadian islami), atau aktif di bidang ekonomi terjadi izaabatul akhlaqul islamiyyah. Pelarutan-pelarutan itu insya Allah tidak akan terjadi atau bisa diminimalisir jika tarbiyah kita konsisten.
Ri’ayah Ijtima’iyah
Kemampuan kita melakukan komunikasi sosial, baik dalam jama’ah sendiri atau juga di masyarakat, tahsinul ‘alaqotul ijtima’iyyah (perbaikan hubungan kemasyarakatan) ini sangat dibutuhkan dalam peran kita sebagai da’i.
Ri’ayah Tanzhimiyah
Jaringan struktur kita sebagai jalur komando harus solid. Agar cepat dan tepat, bisa menyalurkan program-program dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ri’ayah Iqtishadiyah
Ekonomi ini menjadi perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (sesaat setelah hijrah-red) setelah membangun masjid. Masjid untuk membangun anfus (jiwa) dan pasar untuk membangun potensi amwal (harta), keduanya untuk wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum.
Ekonomi kita masih berbasiskan ekonomi jaringan, belum berbasiskan ekonomi pasar. Yang dagang ikhwan dan akhwat, yang belanja juga ikhwan dan akhwat. Memang ekonomi jaringan itu nikmat, tapi sulit untuk menjadi besar, artinya ketemu pedagang sambil kangen-kangenan, tawar menawarnya juga enak. Dalam ekonomi kalau mau menjadi besar itu harus berbasiskan pasar.
Dalam ri’ayah iqtishadiyah, pelihara terus ekonomi jaringan, tetapi kembangkan menuju ekonomi pasar. Ekonomi jaringan itu menjadi basis ekonomi pasar. Jangan keasyikan berputar-putar di ekonomi jaringan, gak bisa besar. Sebab pasar kita terbatas. Coba hitung berapa persen kader kita yang menjadi pedagang, kemudian berapa komunitas kita yang jadi pasarnya. Apalagi kalau dibagi dengan jumlah pedagang yang berdagang dari halaqoh ke halaqoh, sehingga pembagian jumlah konsumen itu kecil.
Kita berada di negara yang pasarnya dipenuhi oleh negara-negara besar; Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang berebut pasar Indonesia. Kenapa kita sebagai pemilik pasar tidak mendayagunakannya sebesar-besar manfaat dari pasar Indonesia ini. Pasar Indonesia ini pasar yang jika dilihat dari luas geografisnya—bahkan secara demografisnya lebih luas lagi—sama dengan London – Moskow.
Ri’ayah Siyasiyah
Komunikasi politik kita harus lebih baik antar partai-partai. Jangan ada hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kita dengan mereka terputus. Terutama karena kita partai dakwah. Jangan ada komunikasi yang putus dengan siapa pun. PDIP mad’u (objek dakwah) kita, Golkar mad’u kita, bahkan PDS juga mad’u kita. Sebisa mungkin ada jalur komunikasi. Jika tidak ada komunikasi keumatan atau keislaman, maka bangun jalur kemanusiaan. Saya kira tidak ada partai yang anggotanya bukan manusia. Banteng simbolnya, tapi anggotanya tetap manusia.
Minimal hubungan kemanusiaan harus terbentuk dengan kelompok manapun. Ingat, seperti dulu saya tegaskan bahwa mihwar muassasi itu merupakan muqaddimah menuju mihwar dauli. Kalau kita sudah mencapai mihwar dauli, rakyat yang kita kelola itu dari beragam parpol, kelompok, dan agama; semuanya rakyat yang harus kita kelola. Harus kita layani. Jangan dibayangkan kalau sebuah partai dakwah berkuasa di sebuah negara, akan membumihanguskan golongan-golongan lain. Tidak! Karena khilafah fil ardhi, termasuk embrionya, mihwar daulah, itu juga mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil mu’minin saja. Semua komponen bangsa harus menikmati kehadiran kita dalam sebuah daulah, minimal secara manusia. Terjamin hak-hak kemanusiaannya, termasuk hak-hak politiknya tidak akan diberangus. Kita akan memberikan space kepada siapa pun komponen bangsa ini—sudah tentu yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara yang disepakati—agar mempunyai ruang hidup, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan relijius.
Itu latihannya dari sekarang. Membangun komunikasi politik, budaya, bisnis, dan sosial dengan semua golongan, semua lapisan masyarakat, semua kelompok, semua komponen bangsa dari sekarang. Sehingga kita diakui, laik memimpin negara ini. Allahu Akbar! Insya Allah tidak lama lagi.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-29 Kesempurnaan
Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan. Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah: 286).
Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al Ghazali dalam Jaddid Hayataka, teryata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori relativitas, jika dibanding dengan total umurnya? Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al Qur’an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).
Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempurnaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain.
Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.
Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukinin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu,kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”
Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya Surah An Nashr pada saat Fathu Makkah, “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya la Maha Menerima Taubat.”
Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya.
Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi’ bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat sederhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
sumber: hasanalbanna.id