2012-02
- 2012-02-01 Menumbuhkan Kemampuan Menguasai Masyarakat
- 2012-02-01 Ath Thariqah Al Hashafiyah
- 2012-02-01 Mengapa Aku Dihukum Mati?
- 2012-02-02 Pendahuluan Adab Guru dan Murid
- 2012-02-02 Islam Kami
- 2012-02-02 Tips Persiapan Menjadi Murabbi Sukses
- 2012-02-02 Sumber-sumber Sirah Nabawiyah
- 2012-02-03 Metode Penulisan Buku Kebebasan Wanita
- 2012-02-03 Islam dan Kebudayaan
- 2012-02-03 Pengantar Penerjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
- 2012-02-04 Khazanah Peradaban Islam
- 2012-02-04 Sekilas Tentang Hasan Al Banna
- 2012-02-04 Pengantar Membina Angkatan Mujahid
- 2012-02-05 Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
- 2012-02-05 Sekularisme
- 2012-02-05 Pengantar Tafsir Hasan Al Banna
- 2012-02-06 Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan As Sunnah
- 2012-02-06 Al Qur’an
- 2012-02-06 Perspektif Buruk dalam Penulisan Sejarah Khilafah Turki Utsmani
- 2012-02-07 Definisi Hadits
- 2012-02-07 Hasil-hasil Kajian ‘Kebebasan Wanita’
2012-02-01 Menumbuhkan Kemampuan Menguasai Masyarakat
Penguasaan masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya lima jenis kader dakwah sebagai berikut,
Pertama, al khatib al jamahiriy, tumbuhnya para khutaba yang bersemangat, yaitu mereka yang mampu menyampaikan pesan-pesan Islam dengan jelas dan terang, penuh gairah dan dinamika. Para khatib bersemangat muda yang menyampaikan hikmah (pengetahuan) orang-orang tua yang penuh pengalaman (hikmatus syuyukh fi hamasatus syabab). Bukan semangat orang tua dengan pengetahuan pemuda yang cetek.
Para khutaba ini hendaknya mampu melakukan tahridh (pengerahan massa) dan menumbuhkan tahmis (semangat) berdasarkan iman dan pengetahuan bukan emosi dan kebencian.
Kedua, al faqih asy sya’biy, orang-orang faqih di tengah masyarakat, yaitu para ulama yang takut pada Allah dan hidup di tengah-tengah masyarakat, memberikan bimbingan dan fatwa-fatwa yang lurus dan benar tentang masalah yang dihadapi masyarakat. Menjadi pendidik dan tempat bertanya yang tidak menimbulkan keraguan dan perpecahan. Selalu menghidupkan toleransi antar mazhab (fiqh) yang menjadi titik temu yang mempersatukan ummat. Dari itu ia senantiasa dicintai, didukung dan dibela oleh masyarakatnya. Khotib jamahiriy menjadi pendorong masyarakat ke jalan Alloh sedang faqih sya’biy membimbing masyarakat dalam jalan Alloh. Dia bukan faqih jetset yang memberi fatwa berdasarkan order, tetapi benar-benar menyuarakan pimpinan Allah dan RasulNya.
Ketiga, al amal atau at ta’awuni al khairiy, aktifitas kejama’ahan sosial. Tujuan utama dari aktifitas ini adalah memfungsikan masjid-masjid sesuai dengan bimbingan Rasululloh. Untuk itu harus dibuat kerjasama sosial dengan berbagai lapisan masyarakat untuk mendekatkan ummat pada masjid. Sasaran program ini adalah ta’zizud da’iyah, memperkuat para da’i sebagai pelopor di berbagai bidang. Para da’i kita hendaknya disokong sepenuhnya agar mampu menyantuni massa umat sehingga ia memiliki gengsi dan prestise yang tinggi yang membuat umat ikut pada arahannya. Biasanya masyarakat kita sangat patuh bila dakwah dimulai dengan santunan yang memperhatikan kebutuhan mereka.
Keempat, masyru’ al iqtishodis sya’biy, menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil. Harakah dakwah harus turut meningkatkan taraf ekonomi umat Islam yang pada umumnya masih sangat lemah. Usaha-usaha ekonomi hendaknya usaha yang ringan, mudah dijangkau dan memasyarakat. Berbagai klub, perhimpunan atau organisasi ekonomi kecil perlu ditumbuhkan dan dibimbing oleh para da’i yang sekaligus menjadi pembimbing rohani mereka. Sasaran program ini adalah agar masyarakat pendukung da’wah dapat iktifa’ dzati (berdikari) di satu sisi dan di sisi lain bisa mengendalikan laju ekonomi secara keseluruhan.
Kelima, al i’lam as sya’biy, penerangan yang memasyarakat. Potensi i’lam hendaknya tumbuh dari orang-orang yang memahami aqidah, fikrah dan manhaj serta mundhabith (disiplin) kebijaksanaan jama’ah, agar pembentukan ra’yul ‘aam (opini umum) sesuai dengan rancangan da’wah. Sebab bidang ini merupakan titik rawan amni suatu gerakan da’wah. Pers yang ditumbuhkan dari dalam adalah pers yang murah dan mudah dibaca oleh masyarakat. Bukan penampilan elite yang membuat umat enggan membacanya atau menyedot potensi harakah dalam mengerjakannya. Yang penting bukan nama besar tetapi kemampuan menyebar dan meluas dengan cepat dalam berbagai bentuknya yang ringan; buletin, brosur, maklumat, majalah, koran dan aneka bentuk lainnya yang murah dan terjangkau, menyebar dari berbagai sumber dan dikerjakan cukup oleh setiap rumah tangga.
Selain itu perlu juga menyokong pers umat Islam yang telah ada agar memiliki ruh dan fikrah Islami. Para pakar jama’ah dakwah hendaknya menyumbangkan tulisan-tulisan bermutu pada pers yang dimiliki umat Islam. Bila perlu kita mampu menumbuhkan pers kaum muslimin menjadi pers harakah. Yaitu pers yang dikendalikan oleh personil harakah kita.
Dalam i’lam sya’bi perlu pula dimunculkan pendidikan Islam melalui radio-radio, televisi dan sebagainya. Tentu melalui thariqah yang mungkin bisa ditempuh dengan tidak meninggalkan unsur-unsur syar’i dalam penyajiannya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-01 Ath Thariqah Al Hashafiyah
Di sebuah masjid kecil saya melihat Al Ikhwan Al Hashafiyah (para pengikut tarekat Hashafiyah) melakukan dzikir setiap malam usai shalat ‘isya. Saya sendiri secara tekun menghadiri kajian Syaikh Zahran rahimahullah, antara maghrib dan isya’. Saya sungguh dibuat terpesona oleh halaqah dzikir dengan suaranya yang teratur, nasyid-nya yang bagus, dan semangat ruhiyah yang menggelora. Saya juga terpikat oleh toleransi dan sikap rendah hati orang-orang yang berdzikir, yang terdiri dari para sesepuh yang mulia dan para pemuda yang shalih. Mereka begitu toleran dan rendah hati menghadapi anak-anak kecil yang ikut meramaikan majelis mereka untuk berdzikir. Akhirnya, saya pun ikut bergabung bersama mereka. Hubungan saya dengan para pemuda Al Ikhwan Al Hashafiyah pun terjalin dengan eratnya.
Tiga dari kalangan senior mereka adalah Syaikh Syalbi Ar Rijal, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, dan Syaikh Sayyid Utsman. Sedangkan dari kalangan pemuda, yang kurang lebih seusia dengan saya, adalah Shawi Afandi Ash Shawi, Abdul Muta’al Afandi Sankal, Muhammad Afandi Ad Dimyati, dan lain-lain. Di arena yang penuh berkah inilah untuk pertama kali saya bertemu dengan Ustadz Ahmad As Sukri –dikemudian hari menjadi wakil ketua Ikhwanul Muslimin-. Pertemuan ini menggoreskan kenangan yang sangat dalam pada kehidupan kami berdua.
Sejak saat itu nama Syaikh Al Hashafi (pemimpin tarekat Al Hashafiyah) terus menggiang di telingaku. Beliau meninggalkan pengaruh yang demikian dalam pada jiwaku. Kerinduan untuk dapat melihat Syaikh, duduk mendampinginya, dan mengambil manfaat darinya, terus mewarnai pikiran saya dari waktu ke waktu. Saya mulai tekun mengamalkan wirid Al Wazhifah Az Zuruqiyah pada pagi dan sore hari. Yang lebih menambah ketakjuban saya, ternyata Ayah telah menulis komentar singkat dengan memaparkan argumentasi yang berdasarkan hadits-hadits shahih. Risalah ini dinamakan Tanwirul Af’idah Az Zakiyah bi Adillati Adzkar Az Zuruqiyah. Wazhifah (wirid) ini tidak lebih dari ayat-ayat Al Qur’an Al Karim dan hadits-hadits Nabi mengenai doa-doa pagi dan petang yang ditulis dalam kitab-kitab Sunah (buku-buku hadits). Tidak ada tambahan ucapan-ucapan asing sama sekali, tidak juga ungkapan filsafat, atau kata-kata yang mirip mantera. Semua berupa doa.
Ketika itu saya mendapatkan kitab Al Manhaj Ash Shafi fi Manaqib Hasanain Al Hashafi. Hasanain Al Hasyafi adalah syaikh pertama tarekat ini dan ayah dari syaikh tarekat yang sekarang, yaitu yang mulia Syaikh Abdul Wahhab Al Hashafi – semoga Allah berkenan memanjangkan umurnya dan menjadikannya bermanfaat-. Syaikh Hasanain Al Hashafi sudah meninggal dan saya belum pernah melihatnya. Beliau meninggal pada hari Kamis, 17 Jumadil Akhir 1382 H. Ketika itu saya baru berusia empat tahun. Saya tidak sempat berkumpul dengan beliau, karena beliau sering pergi ke berbagai daerah. Akhirnya saya hanya dapat mengenal beliau melalui buku tentang riwayat hidup beliau.
Saya pun menjadi tahu bahwa beliau adalah salah seorang ulama Azhari (alumni Al Azhar, pent) yang telah mendalami fiqih menurut Madzhab Al Imam Syafi’i serta mendalami ilmu – ilmu agama secara luas. Beliau menimba tarekat dari para syaikh di masa itu. Beliau adalah seorang yang sangat taat, selalu bersungguh-sungguh, serta tekun dalam ibadah dan dzikir. Sampai – sampai beliau menunaikan haji tidak hanya sekali, dan beliau menunaikan umroh setiap kali berhaji. Ini lebih sering beliau lakukan dari pada sekedar melakukan umroh saja. Orang-orang yang dekat dengan beliau berkomentar, “Kami tidak pernah melihat orang yang lebih kuat dalam menaati Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban dan memelihara sunah-sunah melebihi beliau rahimahullah. Ini diistiqomahi oleh beliau hingga hari-hari akhir kehidupannya yang sudah cukup tua (lebih dari enam puluh lima tahun). Beliau menyeru kepada Allah dengan menggunakan cara ahli tarekat, tetapi tetap berada dalam ‘cahaya’ serta berdasarkan kaidah-kaidah yang benar dan lurus. Dakwah beliau dibangun di atas fondasi ilmu, ibadah, ketaatan, dan dzikir. Beliau memerangi berbagai bid’ah dan khurafat yang merajalela di tengah pengikut tarekat; membela Kitab dan Sunah dalam kondisi apapun; memelihara ilmu dan berbagai ta’wil yang merusak; beramar ma’ruf nahi mungkar; serta menyampaikan nasihat kapan dan di mana saja berada, sehingga beliau berhasil mengubah banyak hal yang diyakini bertentangan dengan Kitab dan Sunah, yang banyak dijadikan pegangan oleh syaikh pengikut beliau”.
Hal yang sangat melekat dalam jiwa saya dari riwayat hidup beliau adalah ketegasan beliau dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam melaksanakan hal ini, beliau tidak pernah merasa takut terhadap celaan orang. Beliau tidak pernah meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun terhadap pembesar atau penguasa.
Sebagai salah satu contoh, beliau pernah mengunjungi Rayyadh Pasha yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Dalam waktu yang bersamaan salah seorang ulama juga mengunjungi Rayyadh Pasha. Ulama ini mengucapkan salam kepada Rayyadh Pasha dengan membungkukkan badan hingga hampir seperti ruku’. Melihat hal itu, Syaikh langsung berdiri dengan marah dan menampar pipinya serta membentak dengan keras,”Hai lelaki, berdiri kau! Ruku’ itu tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah. Jangan hinakan agama dan ilmu sehingga Allah nanti akan menghinakan kalian!” Ulama tersebut maupun Pasha tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak menghukumnya.
Saat itu pula, salah seorang bangsawan Pasha lainnya – yang juga seorang teman Rayyadh Pasha – datang berkunjung. Ia mengenakan cincin emas dan memegang tongkat yang pegangannya terbuat dari emas pula. Syaikh kemudian menoleh kepadanya seraya berkata, “Apa-apaan ini? Menggunakan emas untuk perhiasan seperti ini adalah haram bagi laki-laki, sekalipun ia halal bagi wanita. Berikan saja keduanya kepada istri-istrimu. Janganlah menyelisihi perintah Rasulullah saw.!” Ia hendak membantah, namun akhirnya Rayyadh Pasha melerai keduanya. Meski demikian Syaikh tetap berpendirian bahwa orang itu harus melepas pegangan tongkat dan cincin emas itu sehingga tidak ada lagi kemungkaran.
Suatu ketika beliau menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Gubernur Taufiq Pasha bersama para ulama. Beliau mengucapkan salam kepada Gubernur dengan suara yang cukup dapat didengar, namun Gubernur hanya membalas dengan isyarat tangan saja. Maka beliau akhirnya dengan tegas mengatakan kepadanya, “Membalas salam itu paling tidak harus sama atau lebih baik lagi. Maka katakanlah,’Wa’alaikumussalaam wa rahmatullahi wa barakatuh’. Menjawab salam hanya dengan isyarat tidaklah dibenarkan.” Sang Gubernur pun tidak punya pilihan lain kecuali harus menjawab salam Syaikh dengan lafal yang diperintahkan oleh Syaikh tersebut, bahkan ia memuji pendirian Syaikh dan sikap istiqomahnya pada agama.
Suatu ketika beliau mengunjungi salah seorang murid beliau yang menjadi pekerja bangunan. Beliau melihat sebuah patung yang terbuat dari gypsum (batu kapur) di atas meja pekerja itu. Beliau kemudian bertanya, “Apa ini, hai Fulan?”, “Ini adalah patung yang kami butuhkan dalam pekerjaan kami.” jawabnya. Beliau lalu mengatakan, “Itu haram hukumnnya.” Beliau kemudian mengambil patung itu dan mematahkan lehernya. Pada waktu yang sama, seorang Inspektur Inggris masuk ke ruangan dan melihat kejadian itu. Sang Inspektur meminta keterangan Syaikh mengenai tindakan tersebut. Syaikh lalu memberikan jawaban dan penjelasan yang bijak dan memahamkan sang Inspektur bahwa Islam datang untuk menegakkan tauhid yang murni dan mematikan paham paganisme dalam segala bentuknya. Oleh karena itulah Islam mengharamkan patung, karena keberadaannya dapat membuka jalan bagi praktek penyembahan. Penjelasan yang bijak ini membuat sang Inspektur merasa senang, padahal sebelumnya ia menyangka bahwa Islam berisi kebodohan yang berasal dari paganisme. Ia akhirnya mengucapkan salam kepada Syaikh serta memberi pujian kepadanya.
Suatu ketika beliau mengunjungi Masjid Al Husain dengan diikuti oleh sebagian muridnya. Beliau berhenti sejenak di kuburan untuk memanjatkan doa mat’sur (ada riwayatnya dari Rasulullah saw.) “Assalaamu’ala ahlid diyar minal mu’minin…” Salah seorang pengikut berkata kepada beliau, “Wahai Syaikh, mohonkanlah pada Tuan Husain agar berkenan meridhaiku.” Mendengar permintaan ini beliau menatapnya dengan murka seraya berkata, “Yang dapat meridhai kami, meridhaimu, dan meridhainya hanya Allah.” Usai melakukan ziarah itu, beliau menjelaskan kepada para muridnya mengenai hukum dan etika berziarah, menerangkan kepada mereka tentang perbedaaan antara ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syar’i (dibenarkan secara syariat).
Ayah pernah bercerita kepada saya bahwa ia pernah berkumpul dengan Syaikh Al Hashafi rahimahullah di rumah salah seorang pembesar kota Mahmudia, yaitu Hasan Bek Abu Sayyid Hasan rahimahullah bersama para muridnya. Seorang pelayan wanita yang sudah cukup dewasa keluar untuk menghidangkan kopi kepada Syaikh, sementara kedua tangannya –mulai dari siku hingga ujung jari- dan kepalanya terbuka. Syaikh melihatnya dengan murka dan langsung memerintahkannya dengan tegas agar segera pergi dari ruangan itu untuk mengenakan penutup atau hijab. Syaikh enggan meminum kopi. Setelah itu Syaikh pun menyampaikan ajaran mengenai wajibnya menyembunyikan anak-anak wanita, sekalipun ia adalah pembantu, dan agar jangan sampai ada laki-laki asing yang melihat mereka.
Mengenai hal semacam itu beliau mempunyai banyak pengalaman dan memang demikianlah yang selalu beliau lakukan. Aspek inilah yang melahirkan perasaan kagum luar biasa dalam jiwa saya. Para murid beliau sering membicarakan tentang karamah (kekeramatan) Syaikh yang terlihat nyata, namun saya sendiri tidak pernah mendapati karamah yang mereka maksudkan itu. Yang kami dapati pada diri beliau adalah sudut-sudut amaliah seperti di atas. Saya sendiri meyakini bahwa karamah paling agung yang diberikan oleh Allah swt kepada beliau adalah taufiq dan hidayah-Nya untuk menyebarkan dakwah Islam berdasarkan fondasi-fondasi yang lurus dan benar, rasa benci kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt, dan senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar. Semua itu saya rasakan ketika usia saya belum lebih dari dua belas tahun.
Yang semakin membuat ikatan saya bertambah kuat dengan Syaikh yang mulia ini rahimahullah adalah pada waktu setelah berulang-ulang saya membaca buku Al Manhal. Saya bermimpi pergi ke kuburan kota. Saya melihat sebuah kuburan besar yang bergerak-gerak dan semakin menjadi-jadi hingga akhirnya terbuka. Darinya keluar api yang menjulang sampai menyentuh awan di langit, lalu perlahan membentuk seorang lelaki yang tinggi dan wajahnya mengerikan. Orang-orang pun berdatangan dari berbagai penjuru lalu mengelilinginya. Lelaki itu kemudian berteriak dan mengatakan kepada mereka, ”Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghalalkan segala yang pernah diharamkan-Nya atas kalian, maka berbuatlah sesuka kalian.” Saya pun lalu berteriak lantang di hadapannya, “Engkau dusta!” Setelah itu saya menatap wajah orang-orang yang berkumpul sembari berkata, ”Wahai manusia, ini adalah iblis terlaknat yang datang untuk menguji kalian berkenaan dengan urusan agama kalian dan untuk membisik-bisikkan kejahatan kepada kalian. Karena itu, janganlah kalian dengarkan perkataannya.” Ia marah besar seraya berkata kepadaku, ”Mari kita beradu cepat dihadapan orang-orang ini. Jika engkau dapat mengalahkan saya dan dapat kembali kepada mereka sedangkan saya tidak dapat menangkapmu, engkau berarti benar.” Saya pun menerima tantangan itu. Alhasil, saya berhasil melampauinya dengan kecepatan yang luar biasa jauh di depannya. Padahal langkah saya sangat kecil jika dibandingkan dengan langkahnya. Sebelum ia dapat menangkap saya, Syaikh rahimahullah muncul secara tiba-tiba lalu menggandeng tangan saya ke sebelah kirinya. Dengan mengangkat tangan kanan, ia terus berjalan ke hadapan siluman ini dan dengan berteriak beliau berkata kepadanya,”Enyahlah kamu, wahai terlaknat!” Akhirnya ia pun meninggalkan tempat dan hilang lenyap. Setelah itu Syaikh menyusul pergi. Saya kembali ke kerumunan orang dan saya berkata kepada mereka, “Tahukah kalian bagaimana si terlaknat itu menyesatkan kalian dari perintah-perintah Allah?” Seketika itu saya terbangun. Tiba-tiba saya telah diharu biru perasaan rindu kepadanya. Saya lalu menunggu-nunggu kehadiran As Sayyid Abdul Wahhab Al Hashafi, putra Syaikh Al Hashafi rahimahullah, lantaran saya ingin sekali dapat melihatnya dan segera mengambil amalan tarekat darinya. Akan tetapi dalam kesempatan itu beliau tidak hadir.
Saya diingatkan kembali oleh kisah di suatu kuburan dengan saudara kami, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, seorang pedagang di kota Mahmudia. Ia banyak memberikan tarbiyah ruhiyah kepada kami. Ia pernah mengumpulkan kami yang berjumlah sekitar sepuluh orang, untuk dibawa ke kuburan. Kami berziarah kubur dan duduk di masjid Syaikh An-Najili. Di sana kami membaca wirid (wazhifah). Selanjutnya Syaikh Muhammad Abu Syausyah menceritakan kisah orang-orang shalih dan perilaku hidup mereka kepada kami, kisah yang dapat melunakkan hati dan memberi berbagai hikmah dan pelajaran. Setelah itu beliau memperlihatkan kuburan yang terbuka kepada kami, serta mengingatkan kami bahwa suatu saat nanti kita akan masuk ke dalamnya. Beliau bahkan sempat menyuruh salah seorang di antara kami agar masuk ke liang kubur dan berbaring sebentar untuk mengingatkan diri bahwa itulah tempat kembali, selain juga agar kami menyadari kegelapan di alam kubur. Akhirnya ia pun menangis dan kami menangis pula menyertainya. Setelah itu kami memperbarui tobat dengan penuh kekhusyu’an, semangat, penyesalan, dan tekad. Banyak di antara kami ketika itu yang saling mengikatkan gelang di pergelangan masing-masing yang terbuat dari benang tebal yang dinamakan dubarah dengan maksud agar gelang ini menjadi kenang-kenangan taubat. Kami mendapatkan pesan bahwa jika salah seorang diantara kami berhasrat melakukan maksiat atau terkalahkan oleh setan, hendaklah ia segera memegang gelang ini dan mengingat kembali bahwa ia dahulu telah bertaubat kepada Allah, serta telah berjanji akan menaati-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya. Dari nasihat ini, kami mendapat faedah yang cukup banyak. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada beliau.
Hatiku benar-benar telah terpaut dengan Syaikh rahimahullah ini, hingga saya sekolah di Madrasah Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur. Di sanalah terletak makam beliau dan bangunan masjidnya yang belum lagi selesai dibangun ketika itu. Namun tidak lama kemudian berhasil juga diselesaikan. Saya cukup tekun mengunjunginya, bahkan hampir setiap hari. Saya bersahabat dengan ikhwan-ikhwan Hashafiyah di Damanhur. Saya juga tekun datang ke masjid At Taubah setiap malam. Saya menanyakan siapa yang menjadi ketua ikhwan-ikhwan di sini. Ternyata ia adalah seorang lelaki shalih yang bertaqwa, Syaikh Basyuni, yang juga seorang pedagang. Saya memohon kepadanya agar ia mengizinkanku berbai’at kepadanya. Ia pun menyanggupi. Ia berjanji kepadaku bahwa ia akan membawa diriku ke hadapan As Sayyid Abdul Wahhab apabila nanti beliau sudah datang.
Hingga saat ini saya belum pernah berbai’at resmi kepada seorangpun dalam jamaah tarekat. Saya hanyalah salah satu dari muhibbun, menurut istilah mereka.
Akhirnya As-Sayyid Abdul Wahhab tiba di Damanhur dan para ikhwan pun memberitahuku soal kedatangan beliau. Saya gembira sekali dengan berita ini. Saya menghadap Syaikh Basyuni dan memohon agar dapat berguru kepada Syaikh. Ia pun mengabulkan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Ramadhan 1341 H, usai shalat ashar. Apabila saya tidak salah ingat, peristiwa itu bertepatan dengan hari Ahad yang pada hari itulah saya mengambil tarekat Hashafiyah Syadziliyah dari beliau dan beliau mengizinkanku untuk melaksanakan daur dan wazhifah (wirid) tarekat tersebut.
Semoga Allah berkenan memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami. Saya beruntung sekali karena dapat berdampingan dengan beliau. Tidak ada yang kuketahui soal agama dan tarekat beliau selain kebaikan adanya. Sifat-sifat kebaikan yang melekat pada diri pribadi beliau merupakan keistimewaan beliau. Sifat-sifat yang kami maksudkan adalah hatinya bersih dari memiliki harta yang ada di tangan orang lain, serius dalam segala hal, dan tidak pernah menggunakan waktu kecuali dalam rangka menuntut ilmu, berdzikir, atau melakukan ibadah yang lain, entah ketika sedang sendirian maupun ketika sedang bersama para pengikutnya. Beliau juga selalu memberikan pengarahan yang baik kepada para pengikutnya serta mengajak mereka untuk senantiasa berukhuwah, menuntut ilmu dan meningkatkan ketaatan kepada Allah.
Kiranya saya perlu menyebutkan salah satu diantara cara beliau yang bijaksana dalam men-tarbiyah. Beliau sama sekali tidak pernah memperkenankan para pengikutnya untuk memperbanyak debat dalam masalah-masalah khilafiyah dan mutasyabihat, atau menyitir pendapat kaum atheis, zindiq, maupun misionaris. Beliau menyarankan kepada mereka, ”Adakan hal semacam ini di majelis-majelis khusus kalian, di mana kalian sendiri bisa saling mempelajari dan mendiskusikannya. Adapun kepada masyarakat, hendaklah kalian berbicara dengan pengertian-pengertian yang secara nyata dapat memberikan pengaruh kepada mereka untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena kadang-kadang ada syubhat yang menimpa sebagian dari mereka, sementara mereka tidak tahu bagaimana harus mengatasinya, sehingga aqidahnya menjadi kacau tanpa tahu sebabnya; dan berarti kalianlah yang menjadi penyebabnya.”
Di antara kata-kata beliau yang masih terus saya ingat adalah apa yang disampaikan kepada saya dan Ustadz Ahmad As-Sukri dalam suatu majelis. Ungkapannya kurang lebih sebagai berikut: ”Sesungguhnya saya melihat suatu tanda bahwa Allah swt akan menggabungkan hati manusia dengan kalian, dan menghimpunkan banyak orang dengan kalian. Ketahuilah bahwa Allah akan menanyai kalian tentang waktu-waktu yang digunakan oleh orang-orang itu. Sudahkan kalian memberi sesuatu yang bermanfaat kepada mereka pada waktu-waktu itu, sehingga mereka memperoleh pahala, demikian juga kalian? Ataukah kalian justru membiarkan waktu itu sia-sia sehingga mereka hanya akan memperoleh siksa, demikian juga kalian?”
Demikian arahan beliau yang semuanya selalu diarahkan kepada kebaikan; dan yang saya tahu dalam diri beliau yang ada hanyalah kebaikan. Kami tidak menyatakan sesuatu kecuali yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui hal yang ghaib.
Disela-sela kesibukan, saat di Mahmudia, kami mendirikan sebuah asosiasi yang bervisi ishlah (perbaikan), yakni Jam’iyatul Hashafiyah Al-Khairiyah. Ahmad Afandi As-Sukri, seorang pedagang di kota Mahmudia, terpilih sebagai ketuanya, sedangkan saya terpilih sebagai sekretarisnya. Asosiasi ini menitikberatkan kerjanya pada dua bidang penting.
Pertama, menyerbarkan seruan untuk berakhlak mulia, serta memberantas berbagai kemungkaran dan hal-hal haram yang telah merajalela seperti khamr, judi, dan berbagai tradisi bid’ah yang berkaitan dengan upacara pemakaman.
Kedua, membendung gerak misionaris yang dilakukan oleh penjajah Inggris yang telah menetap di berbagai wilayah. Pilarnya adalah tiga orang wanita yang diketuai oleh Mrs. Weit. Ia melakukan misi pengkristenan di bawah kedok kegiatan sosial dan kesehatan, pengajaran dan keterampilan seperti jahit-menjahit, dan melalui panti-panti asuhan untuk menampung anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Asosiasi ini menjalankan perjuangan misinya yang patut disyukuri dan di kemudian hari perjuangan ini terus dilanjutkan oleh Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Hubungan kami dengan Syaikh As Sayyid Abdul Wahhab terus berlanjut dengan baik, sampai saya mendirikan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Jamaah ini berkembang pesat. Mengenai ini, beliau mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan kami. Masing-masing cenderung pada pendapatnya sendiri. Kami masih mengenang As Sayyid Abdul Wahhab – semoga Allah memberikan kebaikan kepadanya atas jasa baiknya kepada kami- dengan kenangan terindah yang pernah dialami oleh seorang murid, yang cinta dan tulus kepada gurunya, lantaran ia banyak beramal dan bertaqwa. Beliau selalu memberikan nasihat dengan tulus, serta menyampaikan petunjuk dan pengarahan dengan sebaik-baiknya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-01 Mengapa Aku Dihukum Mati?
Kami berharap agar tak ada seorang pun yang beranggapan, bahwa dokumen yang ditulis oleh Syahidul Islam (insya Allah) Sayyid Quthb ini adalah dokumen yang lengkap dan tidak dikurangi.
Dokumen yang kami beri judul Limadza A’damuni (Mengapa Aku Dihukum Mati) ini telah berpindah-pindah melalui banyak tangan. Mulai dari tangan para penyidik— maupun-selain penyidik—yang melakukan penyiksaan terhadap Asy Syahid Sayyid Quthb dan kawan-kawannya, sampai kepada tangan-tangan para penanggung jawab (para eksekutif) pemerintah dan kaki tangan mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa dokumen ini adalah tulisan tangan Asy Syahid Sayyid Quthb. Namun perlu dicatat, bahwa dokumen ini ditulis atas permintaan para penyidik yang menginterogasi beliau dan kawan-kawan beliau. Oleh karenanya, dokumen ini ditulis sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para penyidik atau jawaban atas lontaran pertanyaan yang bersifat umum.
Ketika majalah Al Muslimun mempublikasikan dokumen ini secara berseri—dimulai dari edisi kedua, muncul berbagai tanggapan dari orang-orang yang bersimpati terhadap Asy Syahid Sayyid Quthb. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa dokumen tersebut palsu, namun begitu, sebagian besar mereka tetaplah mengakui keaslian dokumen ini.
Adapun kini kami katakan, bahwa dokumen sekaligus kesaksian yang merupakan jawaban lengkap atas berbagai pertanyaan yang dilontarkan para penyidik ini, telah sampai kepada kami dalam bentuk tulisan tangan Asy-Syahid Sayyid Quthb. Namun perlu kami tegaskan, dokumen ini—sampai ke tangan kami—sudah dalam keadaan tidak lengkap, atau setidaknya telah dikurangi. Sebab kaki tangan penguasa thaghut berusaha menyembunyikannya di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Mereka berharap, hilangnya dokumen dan kesaksian yang tertulis dalam ‘lembaran-lembaran hitam’ tersebut dapat ‘memutihkan muka’ para penguasa tiran dan antek-anteknya, serta orang-orang yang telah diketahui terlibat dalam penyiksaan terhadap Asy-Syahid dan kawan-kawannya. Dimana tidak tersisa satu pun cara dan bentuk penyiksaan yang mereka ketahui, kecuali pasti telah mereka timpakan kepada Asy-Syahid Sayyid Quthb.
Akan tetapi, sanggupkah mereka menaklukkan hati dan jiwa beliau?
Tidak…! Sama sekali tidak!! Mereka memang berhasil menguasai fisik beliau yang fana, namun mereka takkan pernah mampu menguasai jiwa beliau selama-lamanya. Oleh karena itu, mereka menjatuhkan hukuman mati kepada beliau.
Ya … Karena itulah mereka menjatuhkan hukuman mati kepada beliau. Meskipun para ulama dan para pemuka dunia Islam telah menyerukan agar mereka mencabut hukuman mati kepada beliau.
Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka akan mencabut hukuman mati kepada beliau? Apakah mereka akan membiarkan keadaan fisik beliau menjadi saksi atas kebiadaban mereka?
Sebelum hukuman mati dijatuhkan, para ikhwan yang bersama Asy Syahid di dalam penjara menuturkan, bahwa mereka (para penyidik-ed.) telah menyiksa beliau dengan siksaan yang sangat keras. Mereka rusak wajah dan fisik beliau, agar dengannya mereka dapat melemahkan dan menaklukkan jiwa beliau. Akan tetapi, Allah tidak menghendaki mereka dapat menguasai jiwa beliau. Bukti yang paling nyata—dari kegagalan mereka—adalah mereka menjatuhkan hukuman mati kepada sang penulis Fi Zhilalil Quranini.
Semoga rahmat Allah tercurah kepada Asy Syahid Sayyid Quthb, dan semoga Allah melipat-gandakan pahala beliau terhadap apa yang telah beliau persembahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita akan kembali.
Hisyam dan Muhammad ‘Ali Hafizh
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Pendahuluan Adab Guru dan Murid
Warisan kenabian adalah acuan pembaruan yang benar, karena misi utama para Rasul alaihimussalam adalah tadzkir, ta’lim, dan tazkiyah. Karena itu, pewaris kenabian yang utuh adalah orang yang mampu menjaga hal-hal ini tetap utuh dan sempurna, melaksanakannya, dan menunaikan hak-hak Allah padanya. Jarang sekali tiga hal ini berhimpun pada seseorang. Ada seorang yang piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak banyak berilmu; ada seorang yang banyak berilmu tetapi tidak piawai dalam menyampaikan nasihat; ada seorang yang berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak mampu melakukan tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini maka dia telah memiliki “obat mujarab” kehidupan. Jika tidak maka proses tajdid tetap harus berlangsung di kalangan mereka yang menginginkan dan yang melaksanakannya.
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian nasihat para pemberi nasihat adalah mengingatkan (tadzkirah) kepada ayat-ayat Allah di ufuk dan di jiwa; mengingatkan kepada perbuatan dan hari-hari Allah; mengingatkan kepada berbagai hukuman dan sanksiNya; mengingatkan kepada apa yang dijanjikan, disiapkan, dan diancamkan Allah kepada orang-orang yang bermaksiat atau ta’at kepadaNya.
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian ta’lim para ulama ialah ta’lim Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan penjelasan Al Quran.
“Akan tetapi (Dia Berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Ali Imran: 79)
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Al-Baqarah: 151)
Setiap zaman punya penyakit dan masalah tersendiri, dan sepanjang zaman juga punya penyakit dan masalah tersendiri, sedangkan seorang ‘alim yang rabbani ialah orang yang mampu mengobati penyakit-penyakit kontemporer dan penyakit-penyakit sepanjang zaman. Itulah tanda keberhasilannya dalam tazkiyah.
Semenjak abad pertama telah muncul aliran irja’ (Murji’ah), tasyayyu’ (Syi’ah), kharijiyah (Khawarij), dan i’tizal (Mu’tazilah). Inti ajaran irja’ ialah meninggalkan amal; inti tasyayyu’ ialah berlebihan dalam masalah ahlul bait Rasulullah saw; inti ajaran Khawarij ialah ketumpulan akal, terburu-buru mengkafirkan, tidak menghormati orang yang memiliki keutamaan, dan iman mereka yang tidak melampaui kerongkongan mereka; dan inti ajaran i’tizal adalah terburu-buru melakukan ta’wil yang tidak ilmiah. Aliran-aliran seperti ini dianggap sebagai penyakit sepanjang zaman yang bisa muncul terus-menerus. Demikian pula penyakit yang memiliki sifat langgeng dalam kemunculannya.
“Menjalar di antara kalian penyakit-penyakit ummat sebelum kalian yaitu dengki dan permusuhan…” (HR Ahmad dan Tirmidzi, Hadits ini Shahih)
Selain itu, setiap zaman punya penyakit tersendiri. Di antara penyakit zaman kita ialah apa yang diisyaratkan oleh beberapa nash:
“Ilmu yang pertama kali diangkat dari bumi adalah kekhusyu’an.” (HR Thabrani, hadits ini hasan)
“Tetapi kalian seperti buih banjir…dan sungguh Allah akan menanamkan wahn di hati kalian…cinta dunia dan takut mati.” (HR Abud Dawud, hadits ini hasan)
Anda lihat bahwa zaman kita sekarang ini adalah zaman dimana kekhusyu’an sangat sedikit tetapi cinta dunia dan takut mati sangat mendominasi. Karena itu, seorang ‘alim (guru atau syaikh) yang tidak berhasil menghilangkan penyakit-penyakit ini maka ia tidak banyak bisa melakukan tajdid. Seorang ‘alim harus memiliki kemampuan seperti ini sehingga para murid bisa merasakannya.
Seorang guru dan da’i harus menyelenggarakan berbagai majlis nasihat, majlis ilmu, dan majlis tazkiyah, sehingga mungkin bisa menggabungkan antara yang satu dengan yang lain, atau membuat majlis umum untuk nasihat dan majlis khusus untuk tazkiyah yang menyelenggarakan dzikir dan mudzakarah fardiyah atau jama’iyah dengan membaca sesuatu yang paling cocok dalam hal ini. Sementara itu diadakan pula majlis-majlis yang lain untuk ilmu-ilmu yang rinci seperti tilawah, tajwid, As Sunnah dan ilmu-ilmunya, tafsir, ilmu-ilmu Al Qur’an, fiqh, ushul fiqh dan lain sebagainya.
Titik awal keberhasilan amal ini adalah adab yang mengatur guru dan murid. Selagi tidak ada adab yang mengikat murid dengan gurunya maka tidak akan bisa berlanjut dalam perjalanan. Selagi guru tidak melaksanakan adab ta’lim (mengajarkan ilmu) maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia melaksanakan adab-adab tersebut. Oleh karena itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang sangat penting dalam perjalanan kepada Allah, bahkan untuk menegakkan agama dan dunia.
Gerakan da’wah yang paling berhasil dalam sejarah Islam adalah gerakan yang menekankan sejak awal pada:
- Kepercayaan (tsiqah) kepada pimpinan dan pemimpin, kepercayaan yang menumbuhkan ketaatan hati.
- Dzikir terus-menerus dan ilmu yang menyeluruh, yang diperlukan dan yang sesuai .
- Keakraban dengan lingkungan yang baik, menghadiri pertemuan-pertemuan –dzikir,ilmu dan lainnya- dan memperkuat berbagai hubungan antar-anggotanya
- Penumbuhan adab-adab hubungan yang baik antara dirinya dan manusia secara umum
- Pelaksanaan public service (Khidmah ‘aammah) dengan penuh semangat dan perhatian
Gerakan yang menghimpun nilai-nilai ini pada para pemulanya adalah gerakan yang mampu hidup dan tambah. Oleh karena itu, para ulama aktivis harus menekankan nilai-nilai ini agar bisa diserap dan dihayati oleh para pemula sejak awal.
Nuh as. menyeru kaumnya seraya berkata:
“Sembahlah Allah, bertaqwalah kepadaNya dan ta’atlah kepadaku.” (Nuh: 3)
Setiap Rasul menyeru kaumnya kepada hal yang sama.
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al Anbiya: 25)
Nabi Hud, Shalih, Syu’aib dan lainnya juga berseru “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepadaku”
Selama seorang murabbi tidak berhasil menumbuhkan keta’atan yang penuh kesadaran dari seorang murid, membiasakannya melakukan ibadah, dan merealisasikan ketaqwaannya maka sesungguhnya ia belum berbuat sesuatu. Titik awal hal ini terletak pada ihtiram (penghormatan) dan tsiqoh (kepercayaan) seorang murid kepada gurunya, dan kelayakan guru mendapatkan hal tersebut. Semua ini membuat kami harus memulai kajian di dengan Adab Guru dan Murid dari kitab Ilya’. Marilah kita ikuti keterangan Al Ghazali secara langsung.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Islam Kami
Dengarlah wahai saudaraku!
Dakwah kami adalah dakwah yang hanya dapat dilukiskan secara integral oleh kata ‘lslamiyah’. Kata (islamiyah) ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh sebagian orang. Kami meyakini bahwa Islam adalah sebuah sistem nilai yang komprehensif, mencakup seluruh dimensi kehidupan. Dia memberi petunjuk bagi kehidupan manusia dalam semua aspeknya, dan menggariskan formulasi sistemik yang akurat tentang hal itu. la sanggup memberi solusi atas berbagai masalah vital dan kebutuhan akan berbagai tatanan untuk mengangkat harkat kehidupan manusia.
Sebagian orang memahami secara salah bahwa Islam itu terbatas pada berbagai ritual ibadah yang bersifat rohaniyah saja. Karenanya mereka hanya mengungkung diri dalam pemahaman yang sempit itu. Dan kami tidak ingin memahami Islam dengan cara yang sempit seperti itu. Kami memahami Islam secara integral, mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Ini bukanlah klaim yang kami buat-buat. Tetapi memang itulah yang kami pahami dari Kitab Allah dan hasil napak tilas kami kepada generasi terdahulu Islam. Jika di antara pembaca ada yang ingin memahami dakwah Ikhwanul Muslimin lebih luas dari apa yang tercakup dalam kata ‘lslamiyah’, hendaklah mereka memegang Kitab Suci Al-Qur’an, membersihkan dirinya dari hawa nafsu dan berbagai ambisi, kemudian memahami ayat-ayat Qur’an sebagaimana ia adanya. Di sanalah ia akan menemukan muatan dan hakekat dakwah Ikhwanul Muslimin.
Dakwah kami memang islamiyah, dengan segala makna yang tercakup dalam kata itu. Pahamilah apa saja yang ingin anda pahami dari kata itu dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah, Sunah Rasulllah saw. dan sirah salafus shalih (jalan hidup pendahulu yang shalih) dari kaum muslimin. Kitab Allah adalah sumber dasar Islam, Sunah Rasulullah saw. adalah penjelas dari kitab tersebut, sedang sirah kaum Salaf adalah contoh aplikatif dari perintah Allah dan ajaran Islam.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Tips Persiapan Menjadi Murabbi Sukses
1. Luruskan niat Anda
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar (QS. 4 : 146).
Hal yang pertama harus dilakukan sebelum Anda melakukan berbagai tips murabbi sukses adalah meluruskan niat. Niat merupakan pangkal diterimanya amal. Percuma Anda beramal kalau niat tidak ikhlas. Luruskan niat Anda dalam membina sematamata karena Allah SWT (ikhlas). Semata-mata karena perintah Allah SWT. Allah memerintahkan Anda untuk menjadi da’i dan murabbi. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah (berdakwah), mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. 41:33).
Lakukan pembinaan (memegang halaqah) karena mengharap ridho Allah SWT. Tepis jauh-jauh niat selain ikhlas, seperti niat ingin populer, ingin mendapatkan pengikut, ingin mengisi waktu luang, ingin mendapatkan ilmu, ingin dipuji oleh orang lain, apalagi ingin mendapatkan uang! Istighfarlah kepada Allah jika timbul percikan niat ke arah itu.
Bagaimana jika niat kita belum ikhlas, misalnya membina karena disuruh murabbi atau jama’ah? Apakah kita harus menghentikan amal? Jika niat belum ikhlas, lakukan terus pembinaan sambil Anda berusaha meluruskan niat. Jangan berhenti beramal gara-gara merasa niat tidak ikhlas. Hal itu merupakan godaan syetan. Berbuatlah terus sambil terus istghfar, dan berdoalah kepada Allah agar ia membantu Anda mengikhlaskan niat.
2. Jangan lupa mempersiapkan materi
“Da’i harus memiliki argumen yang kuat untuk mendukung makna yang diutarakan dan harus memperhatikan kesesuaian argumen dengan makna tersebut. Ia memiliki keluasan dalam memilih argumen, sebab ayar-ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul, sirah Nabawiyah yang harum, dan sejarah Islam adalah argumen yang kuat yang dapat digunakan untuk memperkuat pembicaraan.” (Musthafa Masyhur).
Salah satu kebiasaan buruk murabbi yang sering dijumpai adalah tidak mempersiapkan materi. Mereka tampil spontan. Mungkin merasa mad’u sudah tsiqoh (percaya) dengan mereka, sehingga tidak bakalan hengkang. Padahal Shakespeare pernah mengingatkan, “Barangsiapa naik panggung tanpa persiapan, ia akan turun panggung dengan kehinaan”. Hasilnya, mad’u mungkin tidak hengkang. Tapi penyajian materi terasa hambar, monoton dan tidak aktual, karena tidak dipersiapkan sebelumnya. Akhirnya, mad’u lama kelamaan merasa bosan dan merasa tidak bertambah wawasannya. Mad’u jadi suka absen, atau paling tidak hadir tanpa antusias yang tinggi.
Karena itu, persiapkanlah materi yang akan Anda sampaikan di halaqah. Persiapkan walau hanya sebentar (10-15 menit). Idealnya, persiapan yang perlu Anda lakukan minimal 60 menit, agar Anda dapat mempersiapkan materi lebih komprehensif. Siapkan dalil naqli (dalil dari Al Qur’an dan Hadits) dan aqli (dalil secara rasional), data dan fakta terbaru, ilustrasi dan perumpamaan, contoh-contoh kasus, bahan humor, pertanyaan yang mungkin diajukan, bahasa non verbal yang perlu dilakukan, metode belajar yang cocok dan media belajar yang diperlukan. Dengan persiapan prima, niscaya Anda akan tampil di halaqah bagaikan aktor kawakan yang mampu menyedot perhatian penonton (mad’u).
3. Catat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u
“Dan hendaklah ia rapi dalam segala urusannya” (Musthafa Masyhur).
Selain mempersiapkan materi, hal yang perlu Anda persiapkan sebelum mengisi halaqah adalah mencatat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Misalnya, mencatat apa saja yang akan dievaluasi, apa saja informasi dan instruksi yang akan disampaikan, atau siapa yang akan Anda ajak bicara tentang sesuatu hal. Dengan mencacat, Anda akan ingat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u.
Tapi jika mengandalkan ingatan, Anda akan lupa karena saking banyaknya hal yang perlu Anda sampaikan kepada mad’u. Kelupaan tersebut dapat berakibat fatal, jika yang akan Anda bicarakan adalah hal yang penting dan mendesak. Anda mungkin terpaksa membicarakannya di luar halaqah via telpon. Hasilnya, tentu tidak seefektif jika Anda sampaikan secara tatap muda di depan halaqah. Nah.. agar tidak lupa, catat apa yang akan Anda sampaikan kepada mad’u di buku atau di kertas Anda sebelum Anda mengisi halaqah.
4. Persiapkan Fisik Anda
Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu (HR. Bukhari dan Muslim).
Lho, apa hubungannya fisik dengan murabbi? Persiapan fisik bukan berarti Anda sebagai murabbi harus gagah dan kekar seperti Ade Rai (seorang binaragawan) atau lemah gemulai seperti Cleopatra (ratu cantik dari Mesir Kuno). Tapi yang dimaksud persiapan fisik disini adalah seorang murabbi harus sehat dan segar, terutama menjelang mengisi halaqah. Jika tampang Anda lesu dan lelah saat mengisi halaqah, hal itu dapat berdampak pada suasana halaqah yang lesu seperti tampang Anda.
Kelelahan sebelum mengisi halaqah juga dapat berdampak pada munculnya rasa malas dan jenuh. Misalnya, sebelum mengisi halaqah Anda sudah terlalu letih dengan berbagai aktivitas, sehingga ketika mau halaqah tinggal capenya doang. Akhirnya, Anda jadi malas mengisi halaqah. Kemudian membuat seribu satu alasan untuk membenarkan ketidakhadiran Anda dalam halaqah. Hal ini, jika dibiasakan, tidak akan sehat bagi perkembangan halaqah Anda.
Karena itu, hindari kondisi fisik yang terlalu lelah dan letih sebelum mengisi halaqah. Caranya, dengan istirahat yang cukup (jika perlu tidur dulu). Hindari aktivitas yang terlalu padat dan melelahkan sebelum mengisi halaqah. Kalau perlu, pindahkan sebagian aktivitas Anda ke hari lain agar waktu Anda lebih luang sebelum mengisi halaqah.
Selain itu, agar jangan sering absen karena sakit, Anda perlu berolahraga secara teratur, juga istirahat yang cukup dan makan makanan bergizi.
5. Tingkatkan kepercayaan diri Anda
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. 3 : 139).
Persiapan materi dan persiapan fisik tak akan banyak berarti jika Anda minder ketika mengisi halaqah. Semua yang akan Anda sampaikan jadi buyar. Rencana Anda jadi berantakan. Memang, kepercayaan diri yang tinggi amat penting ketika kita ingin berbicara di depan banyak orang. Bahkan kepercayaan diri yang tinggi dapat menutupi kekurangan kita (seperti tidak siap materi atau kelelahan fisik).
Oleh karena itu, tingkatkan kepercayaan diri Anda, terutama sebelum mengisi halaqah. Caranya dengan banyak mengingat-ingat kelebihan dan prestasi Anda, membayangkan kesuksesan yang akan Anda dapatkan, meyakini bahwa Anda lebih baik dari yang Anda kira, dan meyakini bantuan Allah kepada orang-orang yang berdakwah.
Jika di tengah-tengah penampilan Anda mengisi halaqah muncul perasaan gugup dan minder, buang jauh-jauh pikiran itu. Yakini bahwa hal itu merupakan godaan syetan. Yakini juga bahwa orang yang ada di hadapan Anda pasti memiliki kekurangan. Bahkan kekurangannya mungkin lebih banyak dari yang Anda kira. Kalau perlu, Anda bayangkan mereka dengan hal-hal yang lucu. Misalnya, dengan memvisualisikan mereka seperti bayi-bayi yang lucu, anak-anak yang manja, remaja idiot, orang tua cerewet, kakek nenek ompong, dan lain-lain. Dengan membayangkan yang lucu, kegugupan Anda akan sirna. Kepercayaan diri Anda akan meningkat.
6. Belajarlah jadi murabbi dengan mad’u yang derajatnya lebih “rendah”
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. 26 : 215).
Ada satu tips yang dapat dilakukan jika Anda merasa tidak PD (Percaya Diri) membina. Latihlah kepercayaan diri Anda dengan membina halaqah yang derajatnya lebih “rendah”. Misalnya, jika Anda mahasiswa dan belum PD membina mahasiswa, tangani lebih dulu anak-anak SMU. Kalau itu pun belum PD juga, cari mad’u yang lebih rendah lagi, yakni anak-anak SMP. Jika itu pun belum PD, cari mad’u anakanak SD atau TK. Tentu pada saat menangani anak SD atau TK namanya bukan lagi halaqah, tapi TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Nah….jika nanti sudah PD menangani mad’u yang derajatnya lebih “rendah”, baru mencoba menangani mad’u yang derajatnya “sama” (misalnya sesama mahasaiswa). Bahkan jika PD sudah prima, Anda bisa menangani mad’u yang derajatnya lebih “tinggi” daripada Anda.
Misalnya, jika Anda mahasiswa, Anda berani membina lulusan sarjana atau menangani para eksekutif. Jadi, latihlah PD Anda secara berangsur-angsur, Insya Allah Anda akan menjadi murabbi yang PD membina. Ingat! Muhammad Ali menjadi petinju besar bukan karena langsung bertanding dengan petinju kaliber dunia, tapi mulai dari menghadapi petinju kelas “kampung”. Karena itu, jika Anda kurang PD membina, carilah lebih dahulu sparring partner yang derajatnya lebih “rendah” dari Anda.
7. Siapkan materi cadangan
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. 8 : 60).
Ibarat tentara yang akan berperang membawa senjata cadangan, murabbi juga perlu demikian. Anda sebagi murabbi perlu menyiapkan materi cadangan. Mengapa? Kadangkala kondisi halaqah tidak sesuai dengan yang kita bayangkan. Misalnya, Anda berharap semua mad’u hadir tapi ternyata yang hadir hanya segelintir, sehingga Anda merasa sayang jika memberikan materi tanpa didengar oleh semua mad’u. Atau ketika Anda mengobrol dengan mad’u sebelum acara halaqah dimulai, ternyata ada masalah mendesak yang perlu segera diberikan solusi melalui taujih (pemberian materi). Atau karena sesuatu hal, waktu Anda menyampaikan materi menjadi sangat sempit.
Nah! Pada saat-saat seperti itu materi yang Anda persiapkan mungkin kurang relevan lagi untuk disampaikan, sehingga Anda perlu menyampaikan materi lain yang lebih cocok dengan perubahan situasi halaqah yang mendadak. Disinilah pentingnya Anda menyiapkan materi cadangan. Kalau bisa, materi cadangan yang dipersiapkan lebih dari satu materi. Sebaiknya juga, materi cadangan adalah materi yang singkat, praktis, dan tidak terlalu banyak menggunakan dalil atau data.
8. Simpan stock materi seperti dokumen berharga
“Begitulah hendaknya seorang akh, ia selalu rapi dalam semua urusannya, di rumah, di tempat kerja dan kantornya serta semua urusannya” (Musthafa Masyhur)
Bagaimana agar Anda menjadi murabbi yang kompeten di mata mad’u? Salah satu caranya adalah mempunyai stock (persediaan) materi yang banyak, sehingga tidak terkesan Anda “kehabisan” materi. Dengan stock materi yang banyak, Anda dapat membina mad’u selama bertahun-tahun, mungkin malah puluhan tahun (jika perlu).
Biasanya, murabbi mendapatkan materi secara estafeta dari struktur dakwah di atasnya. Nah…jika Anda mendapatkannya, simpan materi dengan baik layaknya dokumen berharga. Kalau perlu simpan di tempat khusus. Sebaiknya, stock materi disimpan dalam file-file sesuai dengan urutan pokok bahasan atau jenjang halaqah, sehingga ketika Anda membutuhkannya mudah mencarinya. Jaga agar catatan atau file materi Anda tidak rusak dan hilang. Jika ada yang meminjamnya, segera minta kembali.
Selain sebagai persiapan untuk memberikan materi kepada mad’u, stock materi juga berguna sebagai bahan referensi untuk “meramu” materi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mad’u.
9. Sabarlah terhadap proses perkembangan mad’u
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS. 32 : 24).
Sebagai murabbi, Anda harus mempunyai stock (persedian) sabar yang banyak. Terutama sabar terhadap proses perkembangan mad’u. Sebab jika tidak sabar, Anda akan cepat kecewa, stres, dan uring-uringan sendiri melihat berbagai polah mad’u yang seringkali tidak sesuai dengan harapan Anda.
Ketika membina, Anda menghadapi manusia yang heterogen pemahamannya terhadap Islam. Ada yang cepat berubah (dan ini yang menggembirakan), tapi ada juga yang lambat. Kepada mad’u yang lambat ini, murabbi harus sabar menghadapinya. Jangan cepat pesimis dan putus asa. Apalagi “memecatnya” dari halaqah, karena Anda tak tahan dengan polahnya.
Dalam realitanya, Anda akan sering menjumpai mad’u yang terlihat lambat berubah. Terhadap mad’u semacam ini, Anda jangan cepat menyimpulkan bahwa ia tidak prospektif. Justru mad’u semacam ini yang seringkali lebih bertahan lama dalam halaqah dan lebih prospektif untuk dakwah di kemudian hari. Sebaliknya, mad’u yang di awal halaqah terlihat antusias dan cepat berubah, malah seringkali justru cepat juga minggat dari halaqah. Jika pun bertahan, ia lebih banyak “menyumbang” masalah daripada “menyumbang” solusi. Karena itu, sabarlah terhadap proses perkembangan mad’u. Jangan cepat menyimpulkan dan jangan cepat putus asa terhadap mad’u yang terlihat lambat berubah.
10. Beri angka 10 di dahi mad’u
“Kamu adalah umat terbaik yag dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. 3 : 110) Apa maksudnya? Apakah maksudnya Anda mencoretkan angka 10 di dahi mad’u dengan spidol? Tentu saja bukan. Maksudnya, Anda selalu membayangkan mad’u dengan pandangan optimis bahwa mereka akan menjadi orang-orang besar kelak.
Anda optimis mereka akan menjadi orang-orang sukses di kemudian hari. Anda yakin mereka akan berubah lebih baik lagi. Angka 10 melambangkan optimisme Anda yang besar terhadap mereka.
Sebagai murabbi Anda harus yakin mad’u lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Anda harus optimis mereka akan berhasil dibina. Anda harus yakin mereka bukanlah sembarang orang, tapi calon pemimpin bangsa dan umat. Sikap optimisme ini akan mempengaruhi perilaku Anda ketika membina mereka. Sebab menurut pakar kepemimpinan, jika pemimpin ingin merubah orang mulailah dari perubahan paradigma terhadap orang tersebut. Jika pemimpin memiliki paradigma bahwa orang yang ia bina dapat berubah, maka orang tersebut akan berubah sesuai dengan apa yang ia persepsikan.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin pesimis anak buahnya akan berubah menjadi lebih baik, maka seperti itulah yang akan terjadi. Karena itu, beri angka 10 pada dahi mad’u Anda, bukan angka 6. Yakin dan optimislah terhadap perubahan mad’u Anda ke arah yang lebih baik lagi, jangan pesimis dan putus asa. Pandanglah mad’u Anda bukan seperti apa adanya, tapi seperti apa seharusnya.
11. Yakin akan sukses membina
“Kami percaya bahwa tabir yang memisahkan antara kami dan keberhasilan hanyalah keputusasaan” (Hasan Al Banna).
Keberhasilan itu berawal dari pikiran. Jika kita berpikir akan gagal maka kegagalan akan datang di pelupuk mata. Sebaliknya, jika kita berpikir akan sukses maka kesuksesan akan menjelang. Rasulullah saw adalah murabbi yang yakin akan sukses membina. Ia tidak pernah merasa pesimis membina mad’unya. Sejarah mencatat Rasulullah saw berhasil mencetak orang-orang terbaik sepanjang masa. Anda bisa bayangkan, bagaimana orang buta seperti Abdullah Ummu Maktum ra, orang yang cacat seperti Abdulah bin Mas’ud ra, dan orang yang dianggap hina, seperti Bilal bin Robbah ra, dapat tumbuh berkembang menjadi orang-orang terbaik di masyarakatnya.
Semua itu tak bisa lepas dari keyakinan Nabi, sebagai murabbi, bahwa ia akan sukses membina mad’unya. Karena itu, jangan sepelekan keyakinan akan sukses sebelum Anda sukses membina. Anda perlu menanamkan keyakinan tersebut dengan kuat di hati sanubari Anda. Hilangkan keraguan-keraguan akan sukses. Semakin Anda yakin, semakin besar peluang kesuksesan Anda. Mengapa? Karena keyakinan, disadari atau tidak, mengubah sikap dan perilaku Anda. Jika Anda yakin akan sukses, maka sikap dan perilaku Anda akan mengarah kepada kesuksesan. Begitu pun sebaliknya. Jika pikiran kegagalan masuk ke dalam kepala Anda, segera buang jauh-jauh pikiran itu. Anggap itu sebagai godaan syetan yang ingin menggagalkan tekad Anda menjadi murabbi sukses. Syetan menginginkan agar umat ini tidak terbina dengan langkanya para dai dan murabbi yang sukses berdakwah.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Sumber-sumber Sirah Nabawiyah
Secara umum dapat disebutkan di sini bahwa sumber dan rujukan sirah nabawiyah ada tiga: Kitab Allah, Sunnah Nabawiyah yang sahih, dan kitab-kitab sirah.
Pertama: Kitabullah (Al Quran)
Kitab Allah merupakan rujukan pertama untuk memahami sifat-sifat umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengenal tahapan-tahapan umum sirahnya yang mulia ini. Ia mengemukakan Sirah Nabawiyah dengan menggunakan salah satu dari dua uslub berikut.
Pertama, mengemukakan sebagian kejadian dari kehidupan dan sirahnya, sepert ayat-ayat yang menjelaskan tentang Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Hunain, serta ayat-ayat yang mengisahkan perkawinan dengan Zainab binti Jahsyi.
Kedua, mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul, mengungkapkan masalah yang belum jelas, atau untuk menarik perhatian kaum muslimin kepada pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Semua itu berkaitan dengan salah satu aspek dari sirahnya atau permasalahannya. Dengan demikian, hal itu telah menjelaskan banyak hal dari berbagai periode kehidupannya dan beragam urusan serta aktivitasnya.
Akan tetapi, pembicaraan Al Quran tentang semua itu hanya disampaikan secara terputus-putus. Betapapun beragamnya uslub Al Quran dalam menjelaskan segi sirahnya, hal itu tidak lebih dari sekadar penjelasan secara umum dan penyajian secara global dan sekilas tentang beberapa peristiwa dan berita. Demikianlah cara Al Quran dalam menyajikan setiap kisah tentang para nabi dan umat-umat terdahulu.
Kedua: Sunnah Nabawiyah yang Shahih
Yakni apa yang terkandung di dalam kitab-kitab para imam hadits yang terkenal jujur dan amanah, seperti kitab-kitab yang enam, Muwatha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Sumber kedua ini lebih luas dan lebih rinci, hanya saja belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahir hingga wafat. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, sebagian besar kitab-kitab ini disusun hadits-haditsnya berdasarkan bab-bab fiqih atau sesuai dengan satuan pembahasan yang beraitan dengan syariat Islam. Karena itu, hadits-hadits yang berkaitan dengan sirahnya yang menjelaskan bagian dari kehidupannya terdapat pada berbagai tempat di antara semua bab yang ada.
Kedua, para imam hadits, khususnya penghimpun Al Kutub As Sittah, ketika menghimpun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencatat riwayat sirahnya secara terpisah, tetapi hanya mencatat dalil-dalil syariah secara umum yang diperlukan.
Di antara keistimewaan sumber kedua ini ialah bahwa sebagian besar isinya diriwayatkan dengan sanad sahih yang bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada para sahabat yang merupakan sumber khabar manqul, kendatipun Anda temukan beberapa riwayat dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Ketiga: Kitab-kitab Sirah
Kajian-kajian sirah di masa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun-temurun tanpa ada yang memperhatikan untuk menyusun atau menghimpunnya dalam suatu kitab, kendatipun sudah ada beberapa orang yang memperhatikan secara khusus sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rincian-rinciannya.
Barulah pada generasi tabi’in, sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diterima dengan penuh perhatian. Banyak di antara mereka yang mulai menyusun data tentang sirah Nabawiyah yang didapatkan dari lembaran-lembaran kertas. Di antara mereka ialah Urwah bin Zubair yang meninggal pada tahun 92 Hijriah, Aban bin Utsman (105 H), Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Wahab bin Munabbih (110 H), dan Ibnu Syihab Az Zuhri (124 H).
Akan tetapi, semua yang pernah mereka tulis ini sudah lenyap, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman.
Setelah itu, muncul generasi penyusun sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Muhammad bins Ishaq (152 H). Selanjutnya disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokoh Al Waqidi (203 H) dan Muhammad bis Sa’ad, penyusun kitab Ath Thabawat Al Kubra (130 H).
Para ulama sepakat bahwa apa yang ditulis Muhammad bin Ishaq merupakan data paling terpercaya tentang sirah Nabawiyah (pada masa itu).1 Akan tetapi, sangat disayangkan, kitabnya, Al Maghazi, termasuk kitab yang musnah pada masa itu.
Akan tetapi, alhamdulillah, sesudah Muhammad bin Ishaq muncul Abu Muhammad Abdul Malik yang terkenal dengan Ibnu Hisyam. Ia meriwayatkan sirah tersebut dengan berbagai penyempurnaan, setengah abad sesudah penyusunan kitab Ibnu Ishaq tersebut.
Kitab Sirah Nabawiyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Hisyam yang ada sekarang ini hanya merupakan duplikat dari Maghazi-nya Ibnu Ishaq.
Ibnu Khalikan berkata, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al Maghazi dan As Siar karangan Ibnu Ishaq. Ia telah menyempurnakan dan meringkasnya. Kitab inilah yang ada sekarang dan yang terkenal dengan Sirah Ibnu Hisyam.2
Selanjutnya, lahirlah kitab-kitab sirah Nabawiyah. Sebagiannya menyajikan secara menyeluruh, tetapi ada pula yang memperhatikan segi-segi tertentu, seperti Al Asfahani di dalam kitabnya Dala’il An Nubuwwah, Tirmidzi di dalam kitabnya Asy Syama’il, dan Ibnu Qayyim Al Jauziah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.
Catatan kaki:
1) Lihat tulisan Ibnu Sayyid An Nas di dalam muqaddimah kitabnya ‘Uyun Al Atsar fi Tatsiq Ibnu Ishaq wad Difa ‘Anhu.
2) Wafayat Al A’yan, 1/29, terbitan Maimanah.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Metode Penulisan Buku Kebebasan Wanita
Metode yang dipakai dalam penulisan buku ini diawali dengan membaca secara cermat nash-nash Al Quran dan nash-nash hadits yang sahih. Mulai terbetik dalam pikiran untuk mengikuti pola seperti itu sejak saya menggali hadits-hadits sahih Muslim ketika melaksanakan proyek pengkajian Sirah Nabawiyah melalui buku-buku Sunnah seperti yang telah saya sebutkan sebelum ini. Saya memulainya dari Shahih Bukhari dengan mempelajari nash-nash yang berkaitan dengan wanita mengenai setiap aspek dari berbagai aspek kehidupannya, kemudian Shahih Muslim, dan diteruskan dengan mempelajari kitab-kitab sunnah yang banyak beredar, sehingga saya menamatkan sebanyak empat belas kitab, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, Zawa’id Shahih Ibnu Hibban, Musnad Ahmad, Mu’jam Ath Thabrani yang tebal, sedang, dan tipis, Musnad Al Bazzar, serta Musnad Abu Ya’la. Enam buku yang disebutkan terakhir penulis telaah dalam kitab Majma’uz Zawa’id Wa Manba’ul Fawa’id, yaitu satu kitab yang di dalamnya Al Hafizh Al Haitsami mengumpulkan nash-nash tambahan yang tidak terdapat dalam enam buku pertama, (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Pembacaan nash Sunnah secara cermat tidak berarti merupakan batasan cukup untuk tidak membaca nash-nash Kitabullah sebab Kalamullah Ta’ala merupakan sumber pertama yang mempunyai keagungan dan kebesaran, serta memiliki kepadatan kandungan yang membuat setiap orang tertegun untuk memikirkan makna setiap ayatnya. Setelah keseluruhan ayat tersebut saya telaah, rasanya tidak hanya cukup satu kali untuk membacanya. Karena itu, saya ulang dan ulang lagi sehingga hasilnya, alhamdulillah, cukup baik.
Tekad saya pertama kali adalah agar buku ini mencakup nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan buku-buku Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam. sebagaimana yang telah saya isyaratkan sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, saya membuat beberapa pasal. Namun, kemudian saya memutuskan untuk tahap pertama ini cukup dengan nash-nash dari Kitabullah, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim saja, karena beberapa pertimbangan berikut:
- Faktor waktu; alangkah baiknya jika bisa segera mempersembahkan topik penting seperti ini kepada umat. Walaupun menyegera, saya ingat bahwa untuk menghasilkan karya yang memuaskan tentu dibutuhkan tenaga dan waktu yang berlipat ganda, karena sanad hadits-hadits itu pun harus diteliti.
- Faktor memberi kemudahan bagi pembaca dengan pertimbangan bahwa satu jilid untuk setiap pembahasan dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam satu buku tentu lebih ringan daripada beberapa jilid.
- Faktor penghargaan dan kepercayaan terhadap apa yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kedua kitab tersebut mendapat tempat khusus dalam hati setiap insan muslim, karena keduanya mengandung hadits-hadits sahih dan tidak memuat hadits-hadits dha’if. Kedua kitab tersebut merupakan kitab paling dipercaya setelah Kitabullah. Dengan demikian, pembaca dapat meyakini sepenuhnya kesahihan nash-nash yang dimuat dalam buku ini.
Singkatnya, saya mengambil keputusan untuk menerbitkan buku ini dalam dua tahap. Tahap pertama –hasilnya seperti yang ada di tangan para pembaca sekarang– terbatas pada nash-nash tertentu yang bersumber dari Kitabullah serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kadang-kadang pembahasan ini keluar juga dari kedua kitab sahih tersebut, tetapi dalam masalah-masalah yang sangat terbatas, misalnya jika dalil-dalil penjelasan untuk masalah tertentu tidak ditemukan di dalam kedua kitab sahih tersebut. Dan kadang-kadang saya juga menyebutkan beberapa alasan yang bersumber dari luar kedua kitab sahih tersebut dengan tujuan untuk lebih memperjelas keterangan. Bersamaan dengan itu saya upayakan sedapat mungkin untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang pakar dalam bidangnya untuk mengetahui sejauh mana keabsahan sanad nash-nash yang dikutip. Saya lebih mendahulukan nash riwayat Bukhari dalam kondisi riwayat kedua imam hadits ini. Dan dalam kondisi yang terbilang jarang, penulis memilih nash riwayat Muslim karena saya lihat maksudnya yang lebih jelas. Dalam kondisi seperti ini saya tegaskan bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Muslim.
Pada tahap kedua –insya Allah– nash-nash dari Kitabullah akan mengambil porsi lebih besar dibandingkan nash-nash dari kitab-kitab Sunnah yang asli. Saya memohon kepada Allah semoga karya ini benar-benar ikhlas karena-Nya, diterima di sisi-Nya, dan bermanfaat bagi pembaca. Allah adalah sebaik-baik tempat memohon dan menyampaikan keinginan.
Konsep umum dari buku ini adalah mengetengahkan nash-nash yang dapat dijadikan dalil bagi topik-topik pembahasan sebagai mana telah saya sebutkan sebelumnya. Maksud dan tujuan nash-nash tersebut jelas sekali karena secara umum merupakan nash-nash yang bersifat praktis dan operasional sehingga kita tidak perlu bersusah payah membuang energi untuk menyimpulkan maksudnya. Setiap orang yang mempunyai sedikit latar belakang ilmu syariat pasti mampu memahami maksudnya. Meskipun demikian, kadang-kadang saya tetap berusaha menyebutkan pendapat beberapa ahli fiqih yang secara umum saya saring dari keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap Shahih Bukhari (Fathul Bari) yang benar-benar merupakan enskilopedia hadits dan fiqih. Pengutipan pendapat dan ucapan para ulama itu bertujuan untuk menetapkan bahwa dalil nash yang saya pahami dan yang merupakan dasar pengelompokan tematis bukanlah sesuatu yang aneh. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh ulama-ulama besar sebelumnya.
Sehubungan dengan pengutipan pendapat-pendapat ulama tersebut, perlu pula dijelaskan bahwa saya hanya mengutip pendapat satu dari sekian banyak ulama untuk lebih menegaskan pendapat saya mengenai dalil suatu nash. Saya tidak mengutip pendapat semua ulama, baik yang bersifat pro ataupun kontra karena hal itu hanya akan menambah panjangnya permasalahan serta berlawanan dengan konsep penulisan yang saya pilih untuk buku ini. Bahkan tidak mustahii juga hal seperti itu menggiring saya pada konsep lain yang mengarah pada studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat ulama, kemudian memilih mana yang lebih kuat dari pendapat-pendapat tersebut. Hal seperti itu menuntut dilakukannya kajian fiqih yang mendalam, bukan kajian sosial yang menghimpun nash-nash yang bersumber dari Kitabullah serta Shahih Bukhari dan Muslim. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih luas perbedaan pendapat ahli fiqih, silakan melihat kitab-kitab syarah dan buku-buku fiqih yang tebal. Kemudian perlu pula diketahui bahwa hampir tidak ditemukan suatu masalah dalam fiqih yang tidak diwarnai oleh perbedaan pendapat ulama. Soal perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah furu’ sudah merupakan perkara yang lazim dan sudah diakui. Tapi yang penting menurut konsep buku ini adalah menciptakan rasa tenteram bagi pikiran dan hati seorang muslim, yaitu dengan membaca dalil-dalil syariat dalam nashnya yang asli serta menguatkan. Pendapat yang didukung oleh nash-nash syariat adalah pendapat yang bisa dijadikan pegangan dalam kondisi terjadinya perbedaan pendapat.
Alhamdulillah, dengan mengikuti konsep ini telah berhasil diwujudkan semacam pengelompokan tematis terhadap nash-nash yang berkaitan dengan wanita dalam Al Quran serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Saya menganggap buku ini sebagai langkah konkret dalam dakwah ke arah pengelompokan baru terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah Nabi suhalallahu ‘alaihi wasallam. sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan umat Islam yang terus berkembang. Di antara kebutuhan tersebut adalah bidang humaniora, seperti ilmu jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik. Begitu pula halnya dengan kasus-kasus dan aneka problematika modern seperti kasus-kasus wanita, kesetiakawanan sosial, konsep pembaruan, dan perubahan. Yang lebih penting daripada semua itu adalah pola berpikir muslim. Masalah ini pantas sekali didukung dan mendapat perhatian khusus, sebab hal ini menuju karya sistematis baru yang membantu terwujudnya apa yang dinamakan ijtihad yang dibutuhkan dalam bidang fiqih dan pembaruan yang didambakan untuk kepentingan agama yang dibawa oleh Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.
Berkat karunia Allah, akhir-akhir ini, usaha pengelompokan tematis terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah banyak mendapat perhatian kalangan ulama. Juga merupakan karunia Allah bagi umat Islam bahwa Dia telah memberikan jaminan akan memelihara Kitab-Nya sebagaimana memelihara Sunnah Nabi-Nya yang merupakan penjelasan bagi Kitabullah yang telah dan akan terus dipelihara pada derajat yang paling tinggi sesuai dengan perlindungan yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya ini:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)
maka Sunnah dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dijaga oleh kaum muslimin dengan penuh perhatian dan mereka korbankan segala tenaga untuk menjaga kemurniannya. Allah mengaruniai mereka ilmu yang sistematis sehingga menjamin terpeliharanya keabsahan sanadnya sepanjang masa. Karunia yang diperuntukkan bagi umat Islam ini sungguh merupakan hikmah yang luar biasa dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Jika dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya, kitab-kitab mereka telah mengalami perubahan dan penggantian. Kemudian Sunnatullah menghendaki untuk memilih nabi baru atau menurunkan kitab baru guna meluruskan kembali ajaran-ajaran petunjuk Ilahi. Setelah umat Islam memikul misi agama penutup dan tidak ada lagi nabi setelah Muhammad suhalallahu ‘alaihi wasallam., lantas Allah memelihara pokok-pokok agama ini sehingga manusia kembali kepadanya setiap saat sampai hari kiamat. Hal itu dilakukan jika mereka berminat mengikuti petunjuk Allah yang nyata dan tidak menganggap masalah agama sebagai benda pusaka yang diwarisi secara turun- temurun oleh anak cucu dari orang tua dan nenek moyang mereka sebagaimana adanya serta iidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh umat-umat terdahulu:
“… Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Saya kira, umat Islam yang menghargai sepenuhnya karunia Allah berupa pemberian jaminan pemeliharaan pokok-pokok agama mereka, pantas sekali untuk kembali setiap saat pada pokok-pokok agamanya, serta menjadikannya sebagai pedoman dan acuan hukum karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Saya berharap kiranya segala tenaga yang dikorbankan melalui buku ini dengan izin Allah dapat membantu umat Islam dalam mengembalikan masalah-masalah wanita pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.
Jika mengikuti petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan sesuatu yang dituntut dan keharusan dalam upaya meluruskan jalan hidup kita dalam semua aspeknya, dalam aspek keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial lebih dituntut dan diharuskan lagi mengingat petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam bidang ini seolah-olah mengalami sedikit perubahan yang cukup mendasar, atau bahkan cukup parah. Penerapan konkret terhadap keterlibatan wanita pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan sunnah yang pantas diikuti dan teladan indah yang patut ditiru. Ironisnya sunnah-sunnah yang sebetulnya patut ditiru dan contoh-contoh yang pantas diteladani dalam bentuk penerapan-penerapan baru, mengingat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat serta karena dorongan dan arahan ajaran agama yang mulia, justru dalam penerapan konkretnya sekarang ini semakin lemah dan memudar, bahkan dapat dikatakan hampir sirna sama sekali. Sementara nash-nash yang bercerita tentang sunnah tersebut tinggal di dalam buku-buku agama sebagai goresan tinta belaka. Sinarnya –sebagaimana yang diinginkan oleh Pembuat syariat– sudah tidak ada. Tanda-tandanya sudah terkikis atau tertutup di hadapan akal dan hati manusia karena kabut tebal dari penafsiran dan pendapat para tokoh serta ulama. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
a. Sisa adat dan tradisi jahiliah, baik jahiliah bangsa Arab maupun jahiliah bangsa-bangsa lain yang masuk ke dalam Islam. Kemudian adat dan tradisi jahiliah yang sudah melekat di dalam otak, hati, dan perilaku mereka tetap terbawa sepanjang masa.
b. Munculnya aliran-aliran ekstremis dan sikap berlebihan di kalangan sebagian umat Islam, seperti sikap ekstrem mereka mengenai masalah mencegah keburukan terhadap godaan wanita. Saya telah menyediakan pasal khusus untuk menjelaskan sikap mereka yang berlebihan dalam menerapkan kaidah pencegahan atas keburukan (saddu dzari’ah) tersebut.[1]
c. Ijtihad-ijtihad yang salah atau marjuhah (kurang kuat) yang disampaikan oleh sebagian ulama salaf –dan sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Pengaruh ijtihad tersebut semakin besar dan dampaknya semakin jauh karena telah diwarisi secara turun-temurun selama berabad-abad akibat kejumudan dalam berpikir dan taklid buta.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmatNya kepada Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorang pun dari para ulama, baik dari generasi pertama maupun yang berikutnya, kecuali mempunyai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak berlandaskan pada sunnah …. Ini adalah suatu masalah yang luas dan tidak ada tepinya. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi martabatnya. Selain itu, kita tidak perlu mengikuti perkataan dan perbuatan mereka yang keliru tersebut. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala sudah berfirman: ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).'”Mujahid, Al Hukum bin Utaibah, Malik, dan lainnya berkata: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah ini kecuali ucapannya dapat dipegang dan dapat pula ditinggalkan kecuali Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam”[2]
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Asy Syaukani yang mengatakan: “Fanatik (kepada seorang imam) dengan menjadikan setiap pendapat yang dia keluarkan dan ijtihad yang dia riwayatkan sebagai pegangan bagimu dan bagi semua hamba, maka jika kamu lakukan seperti itu, berarti kamu telah menjadikan imam itu sebagai pembuat syariat, bukan pelaksana. Atau sebagai pemberi tugas (mukallif), bukan sebagai orang yang diberi tugas (mukallaf).”[3]
Apapun kesalahan dan penyimpangannya, sungguh merupakan karunia dan rahmat Allah bagi kaum muslimin bahwa di tengah-tengah mereka masih terdapat orang-orang yang adil dan melaksanakan perintah Allah. Mengenai hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Senantiasa dari umatku terdapat suatu umat yang menegakkan agama Allah, tidak akan memberi mudharat kepada mereka orang yang mengecewakan mereka atau yang menentang mereka, sehingga perkara Allah (kiamat) datang, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR Bukhari)[4]
“Ilmu (agama) ini diemban dalam setiap generasi khalaf (belakangan) oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat batil, dan pentakwilan orang-orang jahil.” (HR Al Baihaqqi)[5]
“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini di permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR Abu Daud)[6]
d. Penelitian sanad-sanad hadits oleh Bukhari dan orang-orang yang setelahnya terjadi setelah imam yang empat membangun mahzab fiqih mereka. Oleh karena itu, para ulama mengatakan tentang keharusan mengoreksi pendapat para imam dengan hadits yang sahih. Akan tetapi, sebagian besar pengikut mereka tidak mengoreksinya dengan timbangan tersebut. Mereka telah melanggar wasiat para imam dan menyalahi ketentuan hadits.
Imam Asy Syafi’i telah berkata dengan jelas: “Diriwayatkan sebuah hadits yang isinya bahwa kaum wanita dibiarkan menghadiri dua hari raya. Kalau hal ini benar, aku pasti mengatakannya.” Mengomentari ucapan Asy Syafi’i ini, Al Baihaqqi berkata: “Hal itu benar. Hadits itu diriwayatkan oleh kedua orang Syaikh hadits –yaitu hadits Ummu Athiyyah– lalu Asy Syafi’i mengatakannya.”[7] Hadits Ummu Athiyyah tersebut berbunyi sebagai berikut: “Kami diperintahkan supaya keluar (pada hari raya), hingga kami mengeluarkan wanita haid, gadis belia, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita haid, hadir bersama jamaah muslimin dan mengikuti khotbah mereka, tetapi mereka agak menjauh dari mushalla (tempat shalat).” (HR Bukhari dan Muslim)[8]
Hal-hal yang membuat saya semakin bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan ini adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
“Semoga Allah memberikan cahaya bagi orang yang mendengarkan ucapanku, lalu menyampaikannya. Boleh jadi pengemban fiqih bukan ahli fiqih dan boleh jadi seorang membawa fiqih kepada orang yang lebih ahli daripadanya.” (HR Ibnu Majah)[9]
Dari penulisan buku ini saya berharap telah menyampaikan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para ahli fiqih dan orang-orang yang lebih ahli dalam bidang ini. Selain itu, saya berharap semoga Allah memasukkan saya ke dalam kelompok orang-orang yang diberi kabar gembira sebagaimana dalam hadits tersebut.
Jika kita lihat orang-orang saleh dahulu kala, mereka mengembara berhari-hari dan bermalam-malam untuk memperoleh sebuah hadits. Contohnya dapat kita lihat dalam kisah Jabir bin Abdullah –salah seorang sahabat– yang melakukan perjalanan selama satu bulan ke tempat Abdullah bin Anis untuk mendapatkan sebuah hadits.[10] Juga dalam kisah Amir Asy Sya’bi –salah seorang tabi’in– yang berkata kepada seseorang dari Kabilah Khurasan setelah mengajarkan kepadanya satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Kami memberikannya padamu tanpa apa-apa, padahal dia sudah berkendaraan ke Madinah untuk mendapatkannya.”[11] Contoh lain adalah perkataan Bisir bin Ubaidillah: “Aku berkendaraan dari kota ke kota untuk mendapatkan sebuah hadits.”[12]
Saya mengharapkan cucuran rahmat Allah, semoga Dia memberikan kemudahan bagi kaum muslimin dalam membaca dan memahami hadits-hadits yang terdapat dalam buku ini karena hadits-hadits tersebut besar sekali manfaatnya dalam kehidupan mereka.
[1] Pasal selanjutnya
[2] I’lam Al Mawaqqi’in, jilid 3, hlm. 284.
[3] Adab Ath Thalab, oleh Asy Syaukani.
[4] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Tanda-tanda kenabian, jilid 7, hlm. 445.
[5] Hadits ini terdapat dalam buku Misykat Al Mashabih, jilid 1, hlm 82, no. 248. Muhaqqiq, Syekh Nashiruddin Al Albani menyebutkan bahwa Hafizh Al Aila’iy mensahihkan beberapa jalur hadits ini.
[6] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 1870.
[7] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 123.
[8] Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Wanita haid menjauhi mushalla, jilid 3, hlm. 22. Muslim, Kitab: Shalat dua hari raya, Bab: Diperbolehkannya wanita pergi ke mushalla pada dua hari raya, jilid 3, hlm 20.
[9] Shahih Sunan Ibnu Majah, Mukaddimah bab: “Orang-orang yang telah mencapai ilmu”, hadits no. 187
[10] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq, Kitab: Ilmu Bab: Keluar menuntut ilmu, jilid 1, hlm. 183. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh Bukhari dalam buku Al ‘Adab Al Mufrad, sedangkan Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab musnad mereka.”
[11] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Seorang lelaki mengajar budak perempuan dan keluarganya, jilid 1, hlm. 200.
[12] Atsar ini terdapat dalam Fathul Bari. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh ad-Danmi dengan sanad yang sahih”, jilid 1, hlm. 202.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Islam dan Kebudayaan
Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilisation. Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah satu kebudayaan yang lengkap. (H.A.R. Gibb, Whither Islam, pg. 12).
Demikianlah bunyi pengakuan seorang pujangga ahli tarikh, Prof. H.A.R. Gibb dalam kitabnya yang terkenal “Whither Islam.”
Satu pengakuan dari seorang yang bukan dipengaruhi oleh perasaan fanatik-agama, merdeka dari perasaan-perasaan ta’ashub dan membentangkan dengan terus terang keyakinannya, yang berdasarkan kepada penyelidikan teliti dan saksama.
Dan bersama dengan beliau itu ada berpuluh, kalau tidak akan beratus, ahli ilmu pengetahuan yang ternama dari berbagai agama, yang mengakui dan menghargai dengan cara satria, akan jasa-jasa Islam terhadap kebudayaan umumnya. Ada yang memandang dari pihak ilmu pengetahuan, ada yang menilik dari pihak falsafah, dari pihak pemerintahan, perekonomian, akhlak, dan lain-lain.
Hukum alam ini telah berlaku, baik di Barat maupun di Timur, dari bangsa Tionghoa, India, Egypte sampai kepada bangsa Chaldeers, Yunani, Rumawi, Arab, dan sampai kepada bangsa Eropah sekarang ini.
Begitulah sinar kebudayaan itu berputar dan bergilir dari satu tempat ketempat yang lain dimuka bumi kita ini, dengan tidak mempedulikan bangsa dan warna kulit, hanya menurutkan qudrat dan iradat Tuhan yang Mahakuasa dan Mahaadil.
Marilah kita tujukan pandangan dan minat kita kepada suatu kebudayaan, yang telah diizinkan oleh yang Mahakuasa mencapainya kepada suatu bangsa yang tadinya bodoh, tidak terkenal dan tiada dianggap oleh kaum dan bangsa-bangsa yang lain disekelilingnya, ialah satu kaum dari Jazirah Arab, tanah tempat pertemuan benua Eropah, Asia dan Afrika. Kaum tersebut pada satu saat bergerak menggemparkan dunia, membina satu kebudayaan yang sangat penting artinya dalam sejarah, sejak purbakala sampai sekarang.
Maka yang menjadi pokok kekuatan, sebab timbulnya kebudayan itu, ialah Agama Islam; sebab itu tepatlah kalau dinamakan dengan sebutan Kebudayaan Islam.
Sesudah kaum Muslimin memperteguh kedudukan mereka sebagai satu kaum yang diikat oleh keyakinan yang satu dan pandangan hidup yang satu pula, dan setelah mereka dapat menduduki satu tempat yang tertentu pula dalam medan percaturan dunia ketika itu, yakni setelah mereka dari tingkat kaum yang tadinya tak hentinya mendapat serangan dan tamparan dari kanan-kiri, siang dan malam mempertahankan jiwa, kemudian naik kepada derajat kaum yang dibenarkan hak berdirinya, didengar bunyi suaranya, diakui kekuasaan “dan kemegahannya oleh bangsa-bangsa yang berkuasa dibenua Afrika, Asia dan Eropah itu, maka pada saat itulah mereka mendirikan kebudayaan yang buahnya diwarisi oleh bangsa Eropah pada zaman kita ini.
Marilah kita perhatikan patokan-patokan yang dibawah ini:
- Agama Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal itu pada tempat yang terhormat serta menyuruh agar manusia mempergunakan akal itu untuk menyelidiki keadaan alam.
- Agama Islam mewajibkan pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. „Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahad”, kata Nabi Muhammand shalallahu ‘alaihi wasallam.
- Agama Islam melarang bertaklid-buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu-bapa dan nenek-moyang sekalipun. Dan janganlah engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu. (QS Bani Israil: 36.)
- Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran, walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
- Agama Islam menggemarkan dan mengerahkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan kenegeri lain, memperhubungkn silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar rasa dan pemandangan. Wajib atas tiap-tiap Muslimin yang kuasa, pergi sekurangnya sekali seumur hidupnya mengerjakan haji. Pada saat itu terdapatlah pertemuan yang karib antara segenap bangsa dan golongan diatas dunia ini. Keadaan itu menimbulkan perhubungan persaudaraan dan perhubungan kebudayaan (akulturasi) yang sangat penting artinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa.
Sekian sebagai kutipan ringkas dari ajaran Agama Islam, yang menjadi sumber kekuatan, yang mendorong terbitnya satu kebudayaan, yang akan kita perbincangkan dengan ringkas dibawah ini.
Selain dari pada itu ada lagi faktor lain, yang tidak kurang menambah subur dan lekas berkembangnya kebudayaan tersebut, yakni perlindungan yang diberikan oleh Khalifah Islam kepada ahli-ahli ilmu dan ahli-ahli seni dengan tiada memandang bangsa dan agama. Dengan jalan ini dapatlah ahli ilmu dan ahli seni mewujudkan perhatian dan minat mereka, kepada ilmu dan kesenian yang mereka perdalami.
Seorang dari Khalifah yang sangat berbakti dalam mewujudkan Kebudayaan Islam itu, ialah Khalifah Al Mansur, Khalifah yang kedua dari dinasti Abbassiah. Khalifah Al Mansur adalah seorang yang saleh, kuat beragama, ahli dalam ilmu fiqh, gemar kepada ilmu pengetahuan, terutama ilmu bintang dan ilmu tabib. Ahli-ahli pengetahuan dengan tidak memandang agama, sama-sama bekerja diistananya dengan mendapat nafkah, yang bukan kecil. Antaranya ialah Maubacht, ahli astronomi orang Persia, mulanya beragama Majusi, kemudian masuk Islam dengan penyaksian baginda sendiri. Ahli ini terus-menerus tinggal diistana Khalifah dengan anak cucunya, bekerja memperdalam ilmu astronomi itu.
Melihat bagaimana besarnya minat Khalifah Al Mansur memajukan ilmu falak itu, datang ahli ilmu dari India, Persia, Rumawi berkumpul di Bagdad, bekerja dengan sungguh menuntut ilmu tersebut, dibawah perlindungan pemerintahan Islam.
Kitab-kitab lama yang sudah terbenam kedalam jurang kelupaan di negeri Rumawi, diminta oleh Khalifah Al Mansur supaya ditimbulkan kembali isinya yang berharga itu. Raja Rumawi pernah mengirimkan satu buku dari pujangga hitung Euclydes yang masyhur dan beberapa kitab-kitab physica ke Bagdad, terus diterjemahkan, dipelajari, diperluas dan diperkembangkan disana.
Dinegeri Jandisapura ada seorang tabib bangsa Siria beragama Kristen yang masyhur pada zaman itu. Khalifah Al Mansur meminta agar Georgy Bachtisyu, demikian nama ahli itu, datang ke Bagdad mengajarkan ilmu tabib. Walaupun Georgy seorang Kristen, tapi ia mendapat kehormatan dan perlakuan yang baik dari ahli Bagdad, dan selain dari gaji tetap yang diterimanya tiap bulan, ia menerima lagi hadiah 300 dinar dari Khalifah sebagai tanda kehormatan. Al Mansur telah meninggalkan buah usahanya dalam ilmu-ilmu astronomi, ilmu hitung dan ilmu tabib. Pun Khalifah yang lain seperti Khalifah Harun Al Rasyid, Al Ma’mun, mementingkan ilmu, Agama dan filsafat.
Dengan jalan begini banyaklah ilmu-ilmu yang berharga, yang hampir lenyap dari muka bumi, kembali terpelihara. Diantara kitab-kitab yang telah dipelajari, diterjemahkan dan dikomentari oleh pujangga Islam dizaman itu, dibawah lindungan Khalifah, antara lain adalah kitab ketatanegaraan dari Plato, kitab-kitab hitung dari Euclydes dan beberapa kitab-kitab astronomi dari Ptolemeus.
Malah diantara kitab-kitab itu yang sampai sekarang tidak bertemu lagi orisinilnya, hanya dapat diketahui dari terjemahan kedalam bahasa Arab, buah tangan pujangga Islam dimasa „zaman terjemah” itu.
Semasa orang di Barat mengharamkan mempergunakan penyelidikan akal, memburu dan membunuh seorang Galileo Galilei, karena ia ini pernah mengatakan bahwa bumi ini berputar, maka pada kerajaan-kerajaan Islam diwaktu itu, orang berkeyakinan bahwa memajukan ilmu dan kebudayaan umumnya, masuk dalam kewajiban pemerintahan. Pemerintah mencari, memanggil dan memperlindungi ahli ilmu dan seni dari segenap pihak dan dari bermacam-macam agama.
Sedang sebagian dari tindakan-tindakan orang agama lain, menjaga agar agama jangan rusak, ialah dengan melarang pemeluknya membaca kitab yang berisi keyakinan lain dan dengan lantas memasukkan kitab-kitab yang berbahaya itu kedalam daftar kitab-kitab yang tak boleh dibaca oleh pemeluknya, sebaliknya Khalifah Islam dizaman keemasan itu memerintahkan untuk menterjemahkan kitab-kitab dari ber-macam- macam agama dan mazhab yang ada pada masa itu, supaya dapat diketahui, dibatia, diperiksa dan diperbincangkan oleh semua ahli akal dari kaum Muslimin.
Berani menempuh ujian, tak enggan menerima kebenaran walaupun datangnya dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan sesudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berada pada pihak sendiri.
Demikianlah pada permulaan abad ke 8 Masehi, pada waktu bangunnya Kebudayaan Islam itu, orang Islam telah memperlihatkan kemuka bumi, bagaimana mereka telah mempunyai persediaan untuk menerima kebudayaan dari bangsa-bangsa yang terdahulu : Yunani, Persia, Rumawi, India, dan lain-lain; dan bahwa mereka mempunyai kecakapan dalam memperlindungi buah kesusastreraan lama, agar jangan hilang lenyap kedalam lembah kelupaan, hasil-hasil mana tadinya bertebaran kesana-kemari tidak dipedulikan oleh bangsa-bangsa yang telah jatuh dan ahli-ahli warisnya yang telah jatuh kedalam kemunduran dan kerusakan. Semua disimpan dengan maksud akan diberikan dan ditebarkan kembali di dunia Eropah, Afrika Utara dan Asia Barat pada masanya itu. Di tangan Islam, lahirlah kembali kebudayaan-kebudayaan yang hampir hilang dan timbullah satu ruh kebangkitan “renaissance”, yakni 600 tahun lebih dulu dari renaissance di Eropah Barat yang lahir pada abad ke 15 itu.
Apakah usaha kaum Muslimin itu hanya satu-satunya mengumpulkan yang sudah ada, dan menimbulkan apa-apa yang hampir tenggelam saja, atau adakah juga mereka itu mengadakan barang yang belum ada, meminta jalan sendiri dan menjejak yang belum ditempuh?
Jawabnya: Ada! Dan memang ada!
Setelah ulama-ulama Islam membaca dan menelaah kitab-kitab Plato, Socrates, Aristoteles, Ptolemeus dll. mereka sendiri terus membuat syarah (komentar) dan mukhtasarnya atau ringkasannya. Sesudah itu mereka mulai mengarang sendiri dan memperbincangkan masalah itu satu persatu dengan fikiran sendiri, dengan lebih mukhtara’ atau orisinil.
Maka datanglah zaman baru, yakni bukan zaman terjemah lagi, tapi zaman meneruskan penyelidikan yang ada, yang meminta jalan sendiri. Pada zaman yang kedua inilah pujangga Islam memutar otak membanting tulang, berjihad dengan segenap tenaga untuk mendirikan satu gedung kebudayaan yang kokoh, yang akan memberi manfaat yang tidak ternilai kepada dunia.
Zaman ini adalah zaman filosof Islam yang ternama, seperti filosof Ya’kub bin Ishaq bin Sabrah Al Kindi, yang terkenal dengan nama Al Kindi saja. Beliau ahli dalam ilmu tabib, falsafah, astronomi, hitung dan musik. Abu Nasr Al Farabi, ahli mantik, falsafah dan ahli musik dan orang yang pertama kali membahas masalah politik ekonomi, yang orang Barat sekarang menganggap sebagai suatu ilmu yang baru diperhatikan pada abad-abad yang akhir ini.
Zaman Abu ‘Ali Husein bin ‘ Abdullah bin Sina, yang masyhur di Eropah dengan nama Avicienna. Antara lain dari buah tangannya ialah suatu buku-standard yang bernama Asy Syifa, yakni satu Ensiklopedi dalam 19 jilid besar yang sampai sekarang disimpan dalam bibliotek Oxford University.
Zaman inilah zaman Ibn Rusyd, pujangga Islam di Andalusia, zaman Ibn Bajah yang masyhur dengan nama Avenpace, zaman Ibn Maskawaih seorang paedagog yang berjasa, zaman Al Fakhari ahli astronomi yang diakui oleh dunia astronomi sampai sekarang. Abu Al Nafas dan Ibnu Khayam, ahli hitung ternama dalam ald yabar dan trigonometri.
Dalam pekerjaan kita sehari-hari banyak perkataan yang keluar dari mulut dan kedengaran di telinga yang menjadi saksi sampai sekarang akan ketinggian Kebudayaan Islam pada zaman keemasannya itu. Umpamanya perkataan tarif berasal dari tarif, yakni bahasa Arab, wesel berasal dari wasl, perkataan magazine berasal dari makhazin, perkataan duane berasal dari diwan (kantor), cheque berasal dari sakh, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan, bahwa dalam abad-keemasan itu Islam memegang peranan dalam dunia dagang yang memperhubungkan semua negeri sekeliling Laut Tengah dan Laut Merah, yakni dari Eropah sampai ke India terus ke Tiongkok dan Rusia (Legacy o f Islam).
Dengan perdagangan yang teratur itu mereka memajukan industri seperti industri gula di India, industri kertas di Damaskus. Dalam industri itu kaum Muslimin bekerja menyempurnakan yang ada dan merintis jalan baru, umpama membuat bermacam-macam gula (Encylopaedia Britannica art. Sugar) membuat gelas, jam, dan lain-lain
Dalam industri obat-obaan, ahli-ahli kimia Islamlah yang mula-mula membuat bermacam-macam nietrietdan chlorie, umpamanya nietrophydrochloriet. Dokter-dokter Islamlah yang mula-mula memakai chloroform dalam mengobat dan memeriksa orang sakit, yang mula-mula memakai opium pengobat orang gila dan bermacam-macam cara mengobat yang orisinil, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh dokter-dokter. Pun kalangan kaum ibu tidaklah ketinggalan menuntut ilmu kedokteran itu dan mengamalkan ilmu itu untuk keselamatan kaum ibu umumnya, umpamanya : Ukhtulhufaid bin Zuhr dan anaknya, yang keduanya menjadi dokter di istana Khalifah di Andalusia, Zainab Thabibah bani Ased, spesialis ilmu mengobat mata. Syahdah Dinuriah dan Binti Dukhain Al Lauzi Damsyiqiyah di Siria.
Sungguh suatu hal yang tidak mungkin kalau kita hendak memberi gambar dari satu kebudayaan yang begitu luas dan dalam, yang telah hidup begitu subur memberi buah yang kekal untuk manusia dari zaman kezaman dengan mengambil tempat dalam 3 atau 4 muka ini saja.
Akan tetapi disini sekedar introduksi, sebagai memanggil perhatian kaum kita, terutama pemuda-pemuda Muslimin yang masih mudabelia dan yang mempunyai ruh dan tenaga-muda, agar ingat bahwa satu tingkat tinggi telah tercapai oleh nenek-nenek mereka yang teguh memegang semua peraturan dan perintah Agama kita, Islam.
Mudah-mudahan kita semua insaf bahwa sesungguhnyalah Agama Islam itu “much more than a system of theology, it is a complete civilisation,” seperti kata Prof. Gibb di atas itu.
Telah ada satu masa, yang negeri-negeri Islam menjadi pusat kebudayaan, menjadi sentral perhatian dunia. Kalau Mekah menjadi pusatnya ibadah, tempat kaum Muslimin naik haji menunaikan rukun Islam mereka, maka Bagdad pernah jadi pusat ilmu pengetahuan, tempat ulama-ulama berkumpul dari segenap penjuru untuk menambah ilmu pengetahuan mereka, yang akan mereka tebarkan di negeri mereka masing-masing. Ibadat dan pengetahuan, kedua-duanya dipentingkan oleh Agama Islam, kedua-duanya dijunjung tinggi dan diamalkan oleh kaum Muslimin dengan ikhlas, terjauh dari pada ria dan tekebur. Sesungguhnya mereka inilah mereka yang menang.
Bilakah kembalinya masa yang demikian wahai Pemuda Islam?
Pedoman Masjarakat, Djuni 1936.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Pengantar Penerjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Segala Puji bagi Allah yang telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallohu alaihi wasallam beserta keluarga, para sahabat ,dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amin
Alhamdulillah. Itulah kalimat yang harus saya sampaikan setelah merampungkan terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini.
Dari sekian banyak buku yang saya terjemahkan, buku tafsir ini paling banyak memberikan kepuasan spiritual dan intelektual. Karena Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini merupkan tafsir kontemporer paling aktual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan mejawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk Al Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradaban, politik, psikologi, spiritualisme, dakwah, dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbegai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memadai di dalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat aktual, apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinal berdasarkan nash-nash Al Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing. Karena Sayyid Quthb termasuk pemikir, pejuang, dan ideolog muslim yang sangat kuat meyakini keunggulan dan kemampuan Al Qur’an dalam mengatasi berbagai problematika yang dihadapi oleh ummat manusia sepanjang zaman, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah. Karena itu, para pembaca tafsir ini, di samping akan terhindar dari inferioritas yang umumnya dialami oleh orang-orang muslimyang berfikir sekularistik dalam menghadapi pertarungan ideologi dan fisik antara pembela Islam dan pembela kekafiran.
Sebenarnya Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini mendapat sambutan luas di dunia Islam. Hanya saja terjemahannya ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab), termasuk di antaranya ke dalam bahasa Indonesia, agak terlambat. Ini mungkin karena faktor bahasanya yang memang sangat berat, karena Sayyid Quthb di samping dikenal sebagai pemikir juga dikenal sebagai seorang sastrawan, sehingga untuk menerjemahkannya memerlukan kerja keras yang melelahkan. Dan memang itulah yang saya rasakan ketika menerjemahkan tafsir ini. Sekalipun saya berusaha untuk tidak menghilangkan satu kata pun dara bahasa aslinya, tetapi saya menyadari bahwa terjemahan ini masih sangat jauh dari cita rasa bahasa aslinya. Sekalipun demikian, semoga terjemahan ini, dengan segala kekurangannya bisa membantu para pembaca untuk meningkatkan pemahaman, kecintaan, keimanan, dan komitmennya kepada Al Qur’an.
Untuk melengkapi tafsir ini, saya tambahkan dua hal:
(1) Takhrij hadits dan atsar yang termuat di dalam buku tafsir ini. Takhrij ini saya nukilkan dari buku Takhrij Ahadits wa Asar Kitab fi Zhilalil Qur’an li Sayyid Quthb yang ditulis oleh Alawi As Saqqaf terbitan Daarul Hijrah li Nasyri wa Tauzi’, Saudi Arabia cet. 1 tahun 1991. Takhrij hadits ini, dicantumkan pada catatan kaki. Untuk membedakan catatan kaki yang dibuat oleh Sayyid Quthb dan catatan kaki tambahan ini, maka diakhir setiap catatan kaki tambahan tersebut dicantumkan inisial (as) yakni Alawi As Saqqaf. Sedangkan catatan kaki yang asli dari Sayyid Quthb tidak dibubuhi tanda apa-apa.
(2) Indeks tematik –untuk memudahkan pembaca- kami cantumkan langsung pada awal buku ini. Indeks ini saya nukilkan dari buku faharis Fi Zhilalil Qur’an, Miftah Kunuz Fi Zhilalil Qur’an yang disusun oleh Muhammad Yusuf Abbas, terbitan Daarut Thaibah, Riyadh, cetakan pertama 1407H/1987M. Sedangkan indeks kata, saya buat sendiri.
Semoga tambahan ini akan membantu dan memudahkan para pembaca dalam memanfaatkan buku tafsir ini.
Semoga penerbitan tafsir ini menjadi tambahan timbangan amal kebaikan di sisi Allah, bagi penerjemah, penerbit, pembaca, dan semua pihak yang terlibat dalam penerbitan ini. Amin.
Wassalam,
Jakarta, 4 Januari 2000
Aunur Rafiq Shalih Taahmid, Lc.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Khazanah Peradaban Islam
Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister).
Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”-nya, Barat bukanlah apa-apa (Montgomery Watt).
Peradaban berhutang besar pada Islam (Presiden AS, Barack Obama).
Pernyataan dari dua cendekiawan Barat dan satu dari orang nomor satu Amerika Serikat ini sengaja dikutip sekadar ingin menunjukkan, bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.
Buku yang ditulis Dr. Musthafa As Siba’i ini adalah buah pengalaman beliau selama berkeliling dunia, khususnya di daratan Eropa. “Buku ini tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah Islam masa lalu yang gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas sejarah. Kalaupun secuil gambaran masa lalu peradaban Islam yang cemerlang sengaja ditampilkan di buku ini, itu tidak lain sebagai bentuk restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu amat diperlukan oleh kaum Muslim saat ini.” Begitulah penuturan penulis dalam mengawali (baca:pengantar buku) tulisannya.
Dengan itu, kaum Muslim secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran peradaban Islam masa lalu sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu, selain merestrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, buku ini juga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk memproyeksi sekaligus merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekular saat ini, yang sesungguhnya mulai tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.
Sungguh benar apa yang telah disampaikan Rasulullah empat belas abad yang silam, “Rasulullah Saw ditanya, kota manakah yang dibebaskan terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma? Rasulullah menjawab, kotanya Heraklius dibebaskan lebih dahulu, yaitu Konstantinopel.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, dan Al Hakim)
September 2011
Gozali J Sudirjo
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Sekilas Tentang Hasan Al Banna
Saya mendengar tentang lelaki ini sejak sebelum beliau memindahkan dakwahnya dari Ismailia ke Kairo. Beliau seorang da’i yang sulit dicari bandingannya. Kaki beliau kokoh dalam menebarkan dakwah Islam. Saya sangat merasakan pengaruh yang positif dari beliau dalam perbaikan masyarakat. Itulah Imam Syahid Syaikh Hasan Al Banna – semoga Allah melimpahkan rahmat kepada beliau dan memasukkan beliau ke dalam syurgaNya yang luas, bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih –. Saya berkenalan dengan beliau di Kairo. Saya sering menghadiri ceramah yang beliau sampaikan di kantor Ikhwanul Muslimin pertama maupun kantor kedua, setiap hari Selasa, yang akhirnya dikenal sebagai “Haditsuts Tsulatsa” atau yang beliau lebih suka menyebutnya “Atifatuts Tsulatsa”.
Hari Selasa ini, adalah hari-hari yang tersaksikan. Ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru Kairo, Iskandaria, sampai Aswan, bahkan dari luar Mesir. Mereka semua ingin mendengar Hasan Al Banna. Maka ia naik ke atas mimbar dengan jubah dan sorban putihnya, lalu sejenak mengitarkan pendangan kepada segenap hadirin, sebelum kemudian suara itu menggaung dengan kekuatan jiwa yang penuh dan kalimat-kalimat yang menyihir, yang segera merasuk dalam hati para pendengar. Suara itu tidak bertumpu pada retorika, juga tidak membakar emosi dengan teriakan. Suara itu sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, membangun semangat dengan meyakinkan akal, menggelorakan jiwa dengan makna bukan dengan kata-kata, dengan ketenangan bukan dengan provokasi, dan dengan hujjah bukan dengan hasutan. Sehingga setiap orang yang pernah mendengarnya sekali, pasti akan terus mengikuti ceramah-ceramah itu secara rutin, betapapun kesibukan dan hambatannya.
Saya adalah salah seorang dari mereka yang terpesona dan antusias mendengarkan ceramah beliau, sehingga muncul keinginan pada diri saya untuk menyadurnya ke majalah “I’tisham”, meskipun pada masa itu orang-orang belum mengenal alat perekam (1940). Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk menyadurnya dengan metode yang jauh dari seni jurnalistik. Saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajari Stenografi dari seorangpun. Keinginan saya itu terwujud semata-mata karena ilham dan taufiq dari Allah swt agar saya berbahagia dengan terpeliharanya warisan agung ini. Semoga ia menjadi catatan amal baik saya. Maka, saya mulai mencatat ceramah hari Selasa itu sepanjang hidup Imam Syahid hingga menjelang wafatnya, rahimahullah.
Saya mempunyai suatu kebiasaan, datang ke kantor Ikhwanul Muslimin menjelang Maghrib untuk melaksanakan sholat jamaah. Suatu ketika, setelah adzan dan iqomat, Imam Syahid pernah meminta saya mengimami shalat. Saya menolak karena malu dan segan kepada beliau. Beliau akhirnya berkata, “Shalatlah dengan perintah!” Maka tidak ada pilihan lagi bagi saya kecuali melaksanakan perintah dan mengikuti keinginan beliau tersebut. Seusai shalat, saya kembali bersama para hadirin mendengarkan ceramah beliau. Di antara mereka, saya adalah satu-satunya yang mencatat ceramah itu. Meski demikian, saya tidak meminta tempat khusus untuk menulis. Saya duduk di bagian paling belakang majelis tersebut.
Ada satu paradoks yang menakjubkan, yaitu saya selalu dikejutkan oleh berakhirnya ceramah beliau. Saya dapat mengira bahwa hal yang sama dirasakan pula oleh hadirin yang lain. Itu terjadi lantaran beliau menarik perhatian para pendengar di akhir ceramah dengan gaya yang lebih memikat daripada yang digunakan beliau untuk menarik perhatian mereka di awal ceramah. Saya tidak mengetahui, apa rahasianya. Tetapi, itu merupakan salah satu kelebihan beliau yang paling menonjol. Karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja di antara hamba-hamba yang dikehendakiNya.
Pada tahun 1945, Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk melaksanakan kewajiban haji. Jum’iyah Syar’iyah memberikan kehormatan kepada saya untuk memimpin delegasinya. Di sana saya berjumpa dengan Imam Syahid, di Negeri Haram dan Tanah Suci. Saya mendengarkan beberapa ceramah yang disampaikan beliau di penginapan “Mesir” di Makkah bersama para pimpinan delegasi Islam, atas undangan beliau. Saya juga mendengarkan ceramah beliau di Mina, Madinah Munawarah, dan di Darul Hadits. Semuanya saya catat. Perlu saya sebutkan di sini bahwa delegasi-delegasi itu berdatangan dari berbagai penjuru: dari Indonesia, Jawa, Srilanka, India, Madagaskar, Nigeria, Kamerun, Iran, dan Afghanistan. Mereka berkenalan dan berkumpul dengan beliau. Beliau berbincang-bincang dengan setiap delegasi mengenai masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian mereka, tentang masalah dan problema yang mereka hadapi. Beliau menarik perhatian mereka, seakan-akan beliau datang dari negeri mereka, bukan mereka yang datang kepada beliau.
Karena itu wajar jika orang-orang berpandangan bahwa Hasan Al Banna merupakan figur yang unik di tengah-tengah manusia, bahkan di kalangan para pemimpin. Dengan watak dan karakternya, beliau telah mengukir sejarah dan mengubah arah perjalanannya. Beliau juga tergolong unik ketika wafat. Tidak ada yang menyalatkan beliau di masjid kecuali ayahnya. Tidak seorang pun di antara para pengikut beliau yang memenuhi dunia itu, yang berjalan di belakang keranda beliau, lantaran sebuah alasan yang sederhana, yaitu karena mereka pada masa itu sedang memenuhi penjara.
Walaupun Imam Syahid Hasan Al Banna telah meninggal dunia, tetapi pemikiran beliau tidak akan mati. Pengaruh beliau masih ada dan terus berkembang, yang berwujud generasi-generasi yang dicetak beliau “di atas “meja hidangan” Islam dengan metode modern dan terlihat dalam perkembangan gerakan Islam yang mendunia, dimana beliau merupakan figur yang pertama kali menabur benihnya. Sungguh Hasan Al Banna adalah mujadid (pembaharu) Islam di abad ke dua puluh.
Ahmad Isa ‘Asyur
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Pengantar Membina Angkatan Mujahid
Al Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya). Pertanyaannya, lantas mengapa di masa sekarang kondisi umat Islam tertinggal oleh umat-umat Islam yang lain? Apakah slogan di atas sudah tidak berlaku lagi? Ataukah ajaran Islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman?
Jawabannya, slogan di atas masih tetap berlaku dan benar adanya. Demikian juga ajaran Islam masih tetap relevan denan perkembangan zaman dan kemodernan. Kalaupun kondisi umat Islam saat ini kurang menggembirakan, letak permasalahannya ada pada diri umat Islam itu sendiri, bukan pada Islamnya. Di satu sisi kemaksiatan dan penyimpangan telah menggerogoti kewibawaan umat, di sisi lain sebagian umat yang ingin bangkit seringkali gagal dalam memahami ruh ajaran Islam.
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al Banna di Mesir pada tahun 1928 mencoba memberikan jawaban bagi dua permasalahan tersebut. Melalu karya tulis maupun sepak terjangnya di lapangan dakwah, Hasan Al Banna berusaha memompa semangat kebangkitan umat sekaligus menampilkan contoh sebuah gerakan dakwah yang –di samping benar dan lurus—juga produktif dan efisien. Melalui metode tarbiyah yang digulirkannya, Islam menjadi demikian mudah dipahami, ayat-ayat Al Qur’an terasa demikian hidup di hadapan pembacanya. Semua ini tidak lain karena HasanAl Banna mencoba mengembalikan pola pemahaman ajaran Islam kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Disesuaikan dengan taraf pemahaman umat Islam di masa ini serta berbagai permasalahan yang meliputi mereka.
Ada banyak ulama, pakar manajemen, analis politik yang bertebaran dimana-mana juga para ahli di bidang pendidikan, tetapi umat di abad ini membutuhkan hadirnya sosok yang berpadu padanya kesemua itu. Dan Hasan Al Banna adalah salah satu representasi dari kebutuhan umat tersebut. Dia ‘alim terhadap ilmu-ilmu keislaman, wawasannya luas, ahli ibadah, orator, pekerja sosial, juga seorang pemimpin jamaah yang menampilkan perpaduan berbagai teori kepemimpinan mutakhir.
Di sisi lain, kita merasakan bahwa umat Islam kini membutuhkan sekali hadirnya sosok-sosok muslim ideal, untuk mempelopori penegakan nilai-nilai Islam di tengah-tengah mereka. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa suara dakwah menggema dimana-mana. Namun sangat disayangkan bahwa di antara suara itu banyak pula yang sumbang. Antara satu dengan yang lain tidak saling membangun dan menyempurnakan. Bahkan ada kalanya, satu suara kebenaran bergaung disusul dengan puluhan suara kedengkian. Seorang penyair Arab dengan sangat indah melukiskan:
Bila ada seribu pembangun
Satu yang meruntuhkan
Cukuplah sudah
Bagaimana dengan satu pembangun
Seribu yang meruntuhkan?
Dengan kata lain, belum banyak dijumpai lahirnya aktivis dakwah yang terprogram dan terpadu, dari suatu konsep dakwah yang integral. Akibatnya, dinamika dakwah menjadi kurang memiliki greget pengaruh dan hilang kemampuannya untuk menjadi pribadi-pribadi yang ideal tadi.
Apa keterkaitan buku ini dengan semua uraian di atas?
Membina Angkatan Mujahid, yang diterjemahkan dari judul asli: Fi Afaqit Ta’alim adalah buku karya Sa’id Hawwa yang merupakan studi atas Risalah Ta’alim yang ditulis oleh Hasan Al Banna.
Risalah Ta’alim sendiri adalah risalah yang berisi beberapa pengarahan yang ringkas dan praktis, yang ditujukan kepada para aktivis gerakan dakwah. Suatu risalah yang –meskipun ringkas—memiliki muatan pesan yang filosofis, integral, dan mendalam. Yang jika pesan-pesan itu ditanamkan di dada ku muslimin ini, niscaya akan membuahkan suatu produk kepribadian yang Islami dalam pengertian yang sesungguhnya. Sosok kepribadian yang khusyuk dalam beribadah, dinamis dan tulus dalam beraktivitas dakwah, dan senantiasa gelisah menyaksikan kemungkaran di sekitarnya. Suatu sisi kepribadian yang –sekali lagi—benar-benar dibutuhkan umat di masa kini.
Dari sinilah Sa’id Hawwa merasa perlu untuk menyusun penjelasannya. Dengan penjelasan ini generasi penerus dakwah diharapkan tertuntun dan terbimbing untuk memahami pesan-pesan Imam Syahid agar lebih mudah pula menyebarkannya kepada orang lain dan mengaktualisasikannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Apalagi dengan hadirnya Era Reformasi ini, yang mudah-mudahan dapat mengantarkan kita kepada lahirnya masyarakat madani, setiap kita diharuskan mengokohkan eksistensi dirinya secara lebih nyata, agar suara kebenaran dan keadilan lebih nyaring terdengar.
Dalam buku ini, penulis memulai penjelasannya dengan membedah jati diri dari gerakan Jamaah Ikhwanul Muslimin itu sendiri, dengan harapan pembaca mempunyai persepsi yang sama untuk memasuki kajian Risalah Ta’lim berikutnya.
Demikianlah kurang lebih anatomi buku Membina Angkatan Mujahid yang ada di hadapan pembaca. Semoga kajian ini bisa memperkaya pemahaman kita terhadap Islam pada umumnya dan gerakan dakwah khususnya. Akhirnya, selamat membaca.
Jakarta, Mei 1999
Abu Ridho
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Al Jibtu & At Thaghut: Abu Bakar & Umar
Oleh karena itulah kaum Syi’ah senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah berdusta atas nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa beliau telah membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Al Jibtu & At Thaghut.” (Al Jibtu dan At Thaghut ialah segala sesuatu yang disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama Allah. -pent).
Disebutkan dalam kitab Al Jarhu wa At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah satu disiplin ilmu hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para perawi hadits dan tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki, yaitu buku “Tanqih Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte Ja’fariyah Ayatullah Al Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al Murtadhawiyah, Najef tahun 1352 H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh besar Muhammad Idris Al Hilli pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il Ar Rijal Wa Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali bin ‘Isa, ia berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang yang memusuhi keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal lain selain sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thaghut? Maksudnya ia mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dua pembantu kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma. Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.”
Maksudnya: cukup bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding sahabat Ali bin Abi Thalib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al Jibtu” dan “At Thaghut” senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa mereka yang disebut dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka maksudkan dari dua berhala dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thaghut” ialah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam kitab mereka yang berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab ini bagaikan kitab “Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di tengah-tengah berbagai negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy dan kedua anak wanita mereka berdua……”![1]
Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari ‘Id Terbesar
Kebencian mereka kepada tokoh yang berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil mengislamkan nenek moyang penduduknya, yaitu Sayidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu Lulu’ah Al Majusi – semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhahir -salah seorang tokoh merekameriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar, hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari sahabat Abu Bakar, Umar -semoga Allah meridhai keduanya- Shalahuddin Al Ayubi rahimahullah dan seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas tuntutan penerapan ideologi At Taqiyah dan sebatas upaya menarik simpati mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.
[1] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayid Muhsin Al Hakim At Thabathaba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayid Muhsin Al Hakim.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Sekularisme
Terminologi sekularisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ilmaniyah, dan tersebar luas di Mesir dan Afrika Utara. Terminologi sekularisme berasal dari bahasa Inggris: secularism yang berarti bersifat keduniaan (worldly), non-agama (irreligious), non-spiritual (un-spiritual; earthly; mundane), dari kata dasar, dunia (world), di luar agama (non-religion), non-spiritual (mundane). Lawan katanya adalah: suci (holy), yaitu bersifat keagamaan (religious), wakil dari langit (vicegerent of God), di luar alam dan hukum-hukumnya (unearthly, transcendental). Jadi sekularisme menempatkan hal-hal ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama. Pengertian demikian dari terminologi ini tumbuh di masyarakat Eropa yang mempunyai kecenderungan arah pada keduniaan dan aliran realisme dalam mengatur urusan dunia bukan dengan syari’ah Allah yang datang dari luar alam ini. Mengatur urusan hidup di dunia ini dengan aturan yang bersifat keduniaan (al ‘alamiyah atau ‘ilmaniyah).
Sekularisme sebagai pandangan manusia dalam mengatur dunia, sebagai aliran dalam referensi keduniaan untuk menangani urusan-urusan manusia, tidak mungkin dapat dipahami tanpa menelusuri perjalanan sejarah peradaban Eropa pada perkembangannya dalam kerangka peradaban Barat Kristen dengan akar-akar Helenisme Yunani di bidang filsafat, tradisi Romawi dalam bidang hukum, serta tradisi Kristen yang masuk ke dalamnya.
Agama Kristen sejak awal perkembangannya selama berabad-abad di tengah masyarakat Eropa sebagai agama bukan negara atau politik, dan sebagai satu ajaran cinta kasih yang tidak memberi manusia acuan hukum dan sistem pemerintahan. Sementara misi gerejanya khususnya di kerajaan langit tidak mempunyai urusan dengan kekuasaan di bumi dan tata aturan masyarakat manusia dalam masalah politik, ekonomi, sosial dan tidak pula dengan ilmu-ilmunya.
Selama rentang waktu berabad-abad ini hubungan yang berjalan antara gereja dan negara mengacu pada Teori Dua Pedang (Theory of the Two Swords) yaitu pedang rohani temporal (zamani) atau kekuasaan sipil milik negara. Akan tetapi ketika gereja keluar dari batas-batas misi rohani dan kerajaan langit lalu merebut kekuasaan temporal maka urusan duniapun diintervensi oleh kekuatan agama. Kemudian, sebagai akibatnya, masyarakat Eropa mengalami stagnasi dan kemunduran serta masa-masa kegelapan, dan yang berkembang kemudian pada masa itu adalah Teori Satu Pedang (Theory of One Sword), yaitu kekuasaan yang digabungkan antara otoritas agama dan kekuasaan sipil, baik berada di tangan tokoh-tokoh gereja maupun di tangan para raja atau kaisar: Atas nama agama mereka menduduki tahta kerajaan dan gereja memberkati. Sistem ini dikenal dalam sejarah Eropa dengan terminologi Hak Ketuhanan bagi Raja-Raja (Divine Right of The Kings).
Dalam menghadapi sistem ini dan kenyataan keterbelakangan peradaban yang dakibatkan oleh kondisi suram serta kesewenang-wenangan atas nama agama, muncullah pemerintahan sekular yang diletuskan oleh Renaissance Eropa yang secara terbuka menentang kekuasaan dan dominasi agama serta membangun kecenderungan sekularisme baru di atas tradisi Eropa modern yang kemudian menggeser agama dan ketuhanan untuk diganti dengan otoritas akal dan empirisme.
Paham sekularisme yang begitu garang melanda Eropa telah mengembalikan peran gereja ke batas-batas wilayahnya yang semula: Penyelamatan rohani dan kerajaan langit serta mengangkat moto: “Render unto the Caesar what the Caesar’s and to the God what the God’s.” (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada Kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan), di samping menempatkan akal dan empirisme terpisah dari agama dan ketuhanan. Sebab hanya akal dan realitas empirik yang dijadikan pedoman dalam urusan peradaban manusia, yaitu membuat tirai antara langit dan bumi, dengan bertolak dari satu filosofi bahwa alam ini berdiri sendiri yang diatur oleh hukum sebab dan musabab tanpa menghajatkan adanya aturan Tuhan (Divine laws) yang turun dari balik alam indrawi ini. Jadi sekularisme dapat dipahami menjadikan acuan dalam mengurus planet ini pada manusia sendiri dan dari dalam planet ini tanpa campur tangan dari aturan samawi (Divine laws) atau wahyu yang datang dari luar planet ini.
Sekularisme Eropa pernah mengenal adanya aliran yang mempercayai Tuhan dan para filosufnya mampu mengkombinasikan antara kepercayaan pada Tuhan Pencipta alam dan sekularisme yang memandang bahwa alam ini berdiri sendiri yang mana urusan kehidupan manusia dipandang ada pada otoritas manusia yang bebas dari aturan syari’ah Tuhan. Sintesa ini mengacu pada konsep Aristoteles tentang wilayah perbuatan Ilahi. Tuhan, menurut pandangan Aristoteles, Maha Esa, Terpisah dari alam, tetapi Dia adalah Penciptanya. Dia telah menitipkan pada alam dan dunia ini hukum sebab musabab yang mengatur dengan sendirinya dan untuk dirinya bukan karena adanya sesuatu dari luar yang menimbulkan gerak padanya. Perhatian Tuhan itu bergantung pada diri-Nya dan tidak memiliki campur tangan dalam peristiwa parsial di dunia dan alam semesta.[1] Filosuf-filosuf Barat yang membuat sintesa ini di antaranya Hobbes (1588-1679), Locke (1633-1716), Leibniz (1647-1716), Rousseau (1712-1778), Lessing (1729-1817).
Alam dipandang berdiri sendiri dan diatur oleh hukum sebab musabab (causal law) yang dititipkan oleh Tuhan padanya. Hukum alam inilah sumber objek pengetahuan yang benar, yang dapat dijelaskan dengan argumen dan reasoning yang dilakukan oleh manusia melalui akal dan pengamatan empirik tanpa campur tangan dari langit. Demikian landasan sekularisme membangun “keduniaannya” pada konsep Aristoteles bagi wilayah perbuatan dzat Ilahiah, Dia hanya sebagai Pencipta, lalu setelah selesai menciptakan, perhatian-Nya tertuju hanya pada dzat diri-Nya tanpa mengurusi atau mencampuri urusan makhluk-makhluk-Nya, tidak berbeda dengan pembuat jam yang memberikan sarana dan alat-alat yang menimbulkan gerakan, tanpa harus berada dan mengurusi bagaimana jam itu berjalan setelah pembuatannya.
Trend sekularisme lebih mudah memantapkan posisinya karena terbantu oleh watak agama Kristen yang mempunyai konsep tentang hubungan antara agama dan negara: “Berikan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar.” Sementara peran agama tidak lebih dari sekedar penyelamat rohani dan kerajaan langit tanpa memberi satu aturan syari’at tentang masyarakat dan negara, yaitu masalah yang menjadikan “penjara” agama dalam gereja dan dalam hati sanubari individu satu “pemberontakan perbaikan agama”. Di samping itu faktor pendukung lain bagi tumbuh kembangnya sekularisme adalah bahwa tradisi Romawi di bidang filsafat hukum dan perundang-undangan telah menjadikan asas “manfaat” tidak dikaitkan dengan agama dan moralitasnya serta aturan-aturan transendentalnya, melainkan asas manfaat itulah yang menjadi ukuran. Oleh sebab itu, jalan menuju ke undang-undang hukum sekular terbuka luas.
Demikian sekularisme tumbuh dalam lingkungan era pencerahan Barat yang ditandai dengan pemisahan antara “langit” dari “bumi” serta pembebasan masyarakat manusia dari ikatan-ikatan dan batasan-batasan syari’at Tuhan, kemudian yang dijadikan rujukan untuk mengurus dunia ini hanyalah manusia sebagai penguasa atas lingkungan dan planetnya sendiri. Maka manusia lalu hanya tunduk pada akalnya dalam ideologi Renaissance yang mendirikan epistemologi yang memisahkan antara dua era ruh manusia: era keselamatan Tuhan (God’s salvation) bagi Thomas Aquinas dan era ensiklopedi para filosuf pencerahan (Renaissanse). Maka harapan pada kerajaan langit bergeser untuk diganti dengan era rasionalisme; sistem karunia Ilahiyah menghilang di hadapan sistem alam; dan otoritas Tuhan tunduk pada otoritas kesadaran manusia yang disebut dengan terminologi kebebasan.[2]
[1] Dr. Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Falsafah, entri: Aristoteles, hal 104-106, Beirut 1984.
[2] Emille Paula, Kebebasan dan Sekularisme (Freedom and Secularization), Paris 1987. Dikutip majalah al-Wihdah, al-Maghrib edisi Februari – Maret 1993, hal: 20-215)
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Pengantar Tafsir Hasan Al Banna
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, seluruh keluarganya dan kepada para shahabatnya.
Ini merupakan salah satu pusaka, warisan intelektual dari Imam Hasan Al Banna yang sangat meonumental, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala merahmatinya. Di dalamnya beliau mengupas secara tuntas sendi-sendi agama, diantaranya berisi pembahasan tentang akidah, hadits, tafsir, pesan-pesan Al Qur,an, fikih, fatwa-fatwa, akhlak, sejarah nabi, tasawuf, logika, ceramah, dan nasihat-nasihat. Hal ini merupakan harta simpanan yang sangat berharga, khazanah intelektual Islam yang kredibel dan menjadi wacana yang sarat dengan solusi, relevan dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Ia laksana proyektor sejarah yang dapat menerangi jalan menuju kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, di samping itu juga menjadi perbekalan yang baik bagi para Ikhwan dan yang lainnya, termasuk para siswa dan mahasiswa yang sangat haus akan pemahaman yang benar terhadap risalah Islam yang abadi. Dan setiap persoalan di dalam ensiklopedi Islam ini memiliki dasar dan referensi yang terpercaya, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, dan amalan as salafu ash shâlih, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala Meridhai mereka.
Buku yang pertama di dalam ensiklopedi ini, Insya Allah akan diikuti oelh buku-buku tafsir, pesan-pesan Al Qur’an, fikih, fatwa-fatwa, akhlak, logika, dan nasehat-nasehat agama.
Di dalam buku yang pertama ini, pembahasan ilmiahnya berkisar pada âsma Al husna (nama-nama Allah yang baik). Di sini Imam Hasan Al Banna telah menjelaskan sisi-sisi persoalan yang kompleks. Dan beliau juga memaparkan pendapat-pendapat serta mengomentari para ulama salaf secara objektif dan terperinci, yaitu para salaf yang kredibel dalam bidangnya dan mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Selalu mengawasi setiap gerak dan langkah mereka. Beliau juga membahas secara detail tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an beserta ayat-ayat yang mengisaratkan sebagian sifat-sifat yang wajib bagi Allah Swr., dan menunjukkan kesempurnaan uluhiyah-Nya. Kemudian beliau menuliskan dalil-dalil aqli dan naqli serta dalil-dalil mantik atas pengukuhan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala, di samping menolak seluruh syubhat yang ada di permasalahan tersebut.
Bahkan beliau juga menukill pendapat sebagian pakar nonmuslim seputar pembahasan tentang pengukuhan terhadap wujud dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu, beliau membahas tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat yang secara sekilas tampak perserupaan Al Haq dengan makhluk-Nya. Kemudian, beliau juga memberi contoh dari ayat-ayat Al Qur’an dan dari sunnah-sunnah. Beliau juga menyebutkan pendapat ahlus sunnah wal jamâ’ah setelah menyebutkan pendapat-pendapat dari golongan yang lain di dalam permasalahan ini. Kemudian beliau menjelaskan madzab ulama salaf dan khalaf tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Beliau mengatakan bahwa ulama salaf—mudah-mudahan Allah meridhai mereka—memercayai pengukuhan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana diriwayatkan, dan mereka menolak untuk menjelaskan maksudnya bagi Allah Subhanahu wa ta’ala dengan keyakinan untuk menghilangkan perserupaan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya. Kemudian beliau mentarjih (menguatkan) pendapat ulama salaf bahwa ia lebih baik untuk diikuti.
Imam Hasan Al Banna juga membahas tentang ilmu musthalah al hadîts di dalam kajian hari Selasa yang beliau sampaikan di kantor umum (Ikhwanul Muslimin). Beliau mengatakan bahwa As Sunnah pernah mengalami masa keemasan. Beliau juga menjelaskan bahwa As Sunnah adalah dasar agama Allah Subhanahu wa ta’ala yang kedua dan merupakan tafsir bagi kitab-Nya. Menurut beliau, hadits adalah sekumpulan ucapan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga membahas tentang periode modifikasi hadits, tentang riwayat dan sanad sebagai salah satu karakteristik umat Islam. Artinya, bahwa tidak terdapat dalam sejarah umat sebelum Islam yang memerhatikan transfer informasi (riwayat hadits)nya dan koreksi atas sejarahnya seperti umat Islam. Maka, hal ini merupakan karakteristik umat Islam dan risalah penutupnya, sebagaimana telah belaiu jelaskan secara sempurna dan komprehensif di dalam pasal yang berjudul “Dalam Keluasan As Sunnah.” Sekumpulan hadits yang menyajikan beberapa contoh hal tersebut antara lain hadits niat dan penjelasannya, hadits tentang dampak penyimpangan dan kerusakannya, hadits tentang keutamaan saling mencintai di antara umat Islam dan sebab-sebab kerusakan umat, hadits tentang sebab-sebab kelemahan umat, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al Qur’an, hadits tentang manisnya iman, hadits tentang hak seorang Muslim terhadap Muslim yang lainnya, dan hadits tentang amal yang paling mulia.
Ide dan gagasan Imam Hasan Al Banna tentang Al Qur’an dan hadits menggambarkan bahwa beliau sosok yang cerdas dengan pemikiran yang kreatif dan pemahaman yang menyeluruh. Belaiu adalah tokoh yang senantiasa berada dalam kebenaran, sebagaimana termaktub di dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrânî: “Umatku adalah umat yang diberkati, tidak diketahui apakah permulaannya yang baik ataukah akhirnya.” Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan: “Umatku laksana hujan, tidak diketahui permulaannya yang baik ataukah yang akhirnya.”
Dan mudah-mudahan, di dalam generasi terakhir muncul seseorang yang menyelami dan mendalami bidang yang ingin dilihat oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda di dalam hadits diriwayatkan oleh Muslim, Abû Hurairah:
“Aku ingin kita melihat saudara-saudara kita.” Lantas para shahabat bertanya: “Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Beliau berkata: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah umat yang datang setelahku dan mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku” (Hadits).
Siapakah mereka, orang-orang yang diamati oleh Nabi pilihan, Muhammad Saw., sebagai umat yang akan berada bersamanya dan beliau ingin sekali melihatnya? Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah karamah yang mulia yang selalu komitmen terhadap agama Islam dan kepada mukjizat Islam yang terbesar: Al Qur’an Al Karîm. Mereka memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap wahyu ini. Mereka telah menempatkan Al Qur’an di dalam hati mereka yang paling dalam, sehingga mereka dapat mempersembahkan bagi dunia masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masa-masa keemasan pemikiran yang menjadikan Islam tersebar luas di seluruh penjuru dunia dan mengangkat Al Qur’an pada derajat yang tertinggi di hadapan semua umat. Kami menganggap bahwa Imam Hasan Al Banna adalah termasuk generasi semacam ini.
Di dalam ide dan gagasan Imam Hasan Al Banna tentang Al Qur’an dan hadits Nabi yang suci, tampak dengan jelas bahwa beliau mengajarkan kepada kita bagaimana tata cara berinteraksi dengan Al Qur’an—sebagai aturan yang abadi dan mukjizat terbesar—serta bagaimana memahami sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga telah meletakkan kepada kita dasar-dasar manhaj kembali kepada Al Qur’an di dalam kuliah yang beliau sampaikan dan juga yang telah tercatat di dalam majalah-majalah Ikhwan.
Manhaj kembali kepada Al Qur’an Al Karîm menurut beliau merupakan manhaj dan undang-undang bagi kehidupan, demikian juga sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Realitas yang menggambarkan marjinalisasi Al Qur’an dan As Sunnah dari kehidupan yang menjadikan kedua sumber hukum tersebut sebagai landasan utama bagi sains dan agama harus dihilangkan. Interaksi yang harmonis dengan Al Qur’an dan As Sunnah harus mampu dikembalikan kepada dunia nyata. Kondisi perseteruan antara umat Islam dan Al Qur’an mereka telah selesai. Dan Ikhwanul Muslimin telah mengibarkan panji-panji Islam dan menancapkannya supaya Al Qur’an menjadi sumber dan referensi utama bagi setiap Muslim dewasa ini, seperti realitas kehidupan salafu Ash shâlih. Sehingga, setiap Muslim diharapkan selalu kembali kepada sumber rabbani yang kekal ini, agar ia dapat mentransfer ilmu pengetahuan di dalam ide dan gagasan-gagasannya kepada setiap insan, kehidupan dan realitas di samping dapat mengemukakan ide dan gagasan-gagasannya dalam memecahkan persoalan-persoalan individu, keluarga, sosial, hubungan kenegaraan dan hubungan internasional. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an), itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia-karunia yang amat besar.” (QS Fâthir [35]: 31-32)
Kita telah belajar dari Imam Hasan Al Banna bahwa kualitas pembaca Al Qur’an harus secara berangsur-angsur menjadi lebih baik ketika berinteraksi dengan Al Qur’an. Umat Islam terdahulu telah membuktikan bahwa mereka selalu membaca Al Qur’an dan terus berusaha untuk mencapai puncaknya. Sementara kita—kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Swt.—membaca Al Qur’an dan menariknya kepada level kualitas kita. Ini adalah bentuk kezaliman bagi mukjizat alam ini. Di samping itu, kita harus memahami apa yang telah dikatakan oleh Imam Syâfi’î:
Sesungguhnya As Sunnah Nabi adalah pemahaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap Al Qur’an, atau inti pemahamannya terhadap Al Qur’an. Beliau selalu berinteraksi dengan Al Qur’an secara sempurna di dalam kehidupannya lahir dan batin.
Ketika wahyu turun di dalam hati penghulu para rasul dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, berarti bahwa wahyu tersebut telah mengembalikan dan membangun sistem kehidupan umat Islam kea rah yang lebih baik serta mentarbiyah mereka dengan sebaik-baik tarbiyah. Di bawah naungan Al Qur’an, umat Islam berubah menjadi umat yang percaya kepada pentingnya syura (musyawarah). Mereka meyakini bahwa syura adalah ibadah, ketaatan dan akhlak islami yang harus dipegang teguh, di samping sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka juga percaya bahwa amar makruf nahi munkar sangat penting. Dan dengan Al Qur’an, umat Islam selalu membenci tirani dan kesewenang-wenangan dari mana saja datangnya.
Kita menyaksikan sorang Muslim seperti Rabi’ bin ‘Âmir yang berteriak dengan suara lantang kepada panglima Persia, ketika Panglima Persia itu bertanya kepada Rabi’ bin ‘Âmir: “Tujuan apa yang ada pada diri kalian?” Rabi’ menjawab dengan mantap dan percaya diri: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada makhluk untuk menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala semata; dari impitan dunia kepada kelapangan dunia akhirat; dan dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam.” Ini adalah peradaban Al Qur’an yang telah membangkitkan kemanusiaan dan telah mengangkat umat Islam kepada level Al Qur’an yang mulia. Umar bin Khaththab pernah berkata:”Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan Islam, maka apabila kita mencari kemuliaan dari selainnya maka Allah akan merendahkan kita!”
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar menerima jerih payah para Ikhwan dengan pusaka peninggalan Imam Al Banna ini. Dan mudah-mudahan setiap Muslim dan Muslimah dapat merasakan faedah dari khazanah intelektual yang mulia ini. Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Âmîn.
Muhammad Mahdi ‘Akif
Mursyid ‘Amm VII Ikhwanul Muslimin
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan As Sunnah
Segala puji bagi Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Yang menundukkan makhluk dengan kemuliaan dan hukum-Nya. Yang melunakkan hati hamba-hamba-Nya, dan menyinari mata hati mereka dengan nur-nur hidayah yang dikandung oleh kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Shalawat dan salam kepada makhluk-Nya yang paling mulia dan penutup Rasul-Rasul-Nya, Muhammad, yang membimbing manusia kepada Tuhan mereka, dan yang menundukkan hati mereka dengan jalan-jalan hidayah yang dia bawa kepada mereka, dan kepada keluarganya, para sahabatnya beserta orangorang yang mengambil petunjuknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari Kiamat.
Amma ba’du.
Buku ini memaparkan mayoritas kisah-kisah dari hadits Nabi. Keutamaan kisah-kisah dari hadits nabawi berada di bawah kisah-kisah dari Al Qur’an. Jika Al Qur’an adalah kalamullah, maka mayoritas kisah-kisah hadits adalah wahyu dari Allah. Oleh karena itu, keduanya berasal dari satu sumber dan satu sasaran. Target-target dari kisah-kisah dalam hadits adalah target-target di dalam kisah Al Qur’an. Sama-sama menyuguhkan bekal untuk para dai dan orang-orang shalih, bekal rohani yang dikandung oleh kisah dan menyirami ruh, hati dan akal orang-orang yang beriman.
Kisah Al Qur’an dan hadits mengalir dalam diri manusia secara lembut dan murni. Kata-kata dan peristiwa-peristiwanya membawa segudang nasihat dan faedah untuk mengarahkan kepada jalan yang lurus dan melecut seorang mukmin untuk menjauhi dosa-dosa dan kerusakan-kerusakan.
Buku ini – seperti diisyaratkan oleh judulnya – membatasi diri pada hadits-hadits yang bersanad shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku tidak menyimpang dari dasar ini kecuali pada sedikit kisah yang mauquf kepada sahabat di mana sanadnya dari mereka adalah shahih; ada kemungkinan bahwa mereka mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mungkin pula mereka mengetahui dari selainnya.
Batasan buku ini hanya pada hadits-hadits shahih, tidak mengangkat hadits-hadits saqim (sakit), dhaif (lemah), bathil, dan palsu. Karena, menisbatkan hadits yang tidak bersanad shahih kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dusta atas nama Rasulullah. Dan dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya termasuk kejahatan besar.
Tidak boleh menyepelekan dalam menisbatkan hadits-hadits kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, terlebih jika hadits-hadits itu adalah kisah, karena kisah adalah berita-berita dan kejadian-kejadian ghaib. Kita beriman kepada ghaib yang benar. Beriman kepada sesuatu yang ghaib tanpa berdasar kepada Allah dan tidak pula dari Rasul-Nya dalam urusan-urusan yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu, itu merupakan penyimpangan dari jalan lurus dan kesesatan dalam pemikiran. Lebih dari itu, kisah-kisah dusta yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bisa jadi di dalam lipatan-lipatannya tersimpan akidah-akidah, akhlak-akhlak dan nilai-nilai bathil yang menyusup ke dalam diri manusia dengan mudah tanpa kesulitan.
Kisah-kisah seperti ini adalah sampan yang mengasyikkan bagi orang-orang yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Oleh karena itu, para ulama banyak memperingatkan akan bahaya kisah-kisah palsu, sebagaimana mereka juga telah memperingatkan dari tukang-tukang cerita yang tidak mengerti hadits shahih dan hadits lemah. Bahkan mereka menulis beberapa buku untuk memberi peringatan. Hal ini karena betapa berbahayanya, orang-orang yang menyulap agama menjadi dongeng-dongeng fiksi. Termasuk dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian penulis masa kini, ketika mereka merusak sirah nabawiyah (perjalanan kehidupan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam) dengan pemaparan berdasar pada metode dongeng khayalan. Dengan itu mereka telah banyak merusak agama kaum muslimin.
Dalam urusan takhrij hadits, aku berpijak pada takhrij sebagian ahli ilmu yang ilmunya terpercaya dalam bidang ini.
Aku tidak menyebutkan berita-berita tentang orangorang terdahulu yang bukan kisah. Banyak sekali beritaberita di dalam hadits Rabbani yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, penciptaan Malaikat, jin dan manusia, tentang para Rasul, orang-orang baik dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dalam bentuk kisah. Oleh karena itu, aku tidak memaparkannya lantaran tidak termasuk di dalam bingkai yang aku letakkan untuk buku ini.
Pembaca akan melihat bahwa aku menulis buku ini dengan satu metode dalam seluruh haditsnya. Setiap hadits diberi mukaddimah sebagai pengantar untuk masuk ke dalam kisah. Lalu aku memaparkan nash hadits, diikuti dengan sumber-sumber rujukan dari hadits-hadits yang kuambil. Aku pun menerangkan dan menjelaskan kosakata yang sulit. Aku juga menjelaskan hadits secara memadai dan menutup semua hadits dengan pelajaranpelajaran dan faedah-faedah yang terpetik.
Pembaca akan melihat bahwa aku tidak membiarkan pikiran melayang jauh dari nash hadits hingga pembaca mengkhayalkan peristiwa-peristiwa seperti yang diinginkannya dan menambah alur cerita baru melebihi kandung hadits, dengan alasan bahwa kita membuat riwayat atau cerita bersambung dari hadits, di mana pada kisah tersebut terdapat alur kisah yang runtut dan daya tarik lainnya.
Metode yang dianut oleh banyak penulis masa kini adalah salah besar. Mayoritas kisah hadits adalah wahyu Ilahi, tidak ada peluang untuk memberikan tambahan. Di samping itu, ia menceritakan realita seperti kejadian aslinya, bukan ucapan bikinan dan penambahan seperti yang dilakukan oleh para penulis yang membuatnya berubah menjadi ucapan bikinan. Seharusnya yang dilakukan oleh penulis adalah menarik benang merah dari nash dengan sebisa mungkin, berpijak pada metode yang diletakkan oleh para ulama dalam upaya menarik faedah-faedah, pelajaran-pelajaran dan hukum-hukum dari nash.
Mungkin pembaca mengkritik penulis karena dia tidak memasukkan kisah-kisah dari hadits dalam jumlah besar, yang angkanya bisa melebihi kandungan buku ini yaitu kisah-kisah yang terjadi dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Yang benar adalah bahwa kisah model begini tidak termasuk dalam kisah-kisah yang menjadi target buruanku, karena yang aku maksudkan dengan kisah-kisah dari hadits adalah kisah-kisah yang diambil dari hadits-hadits Rasul qauliyah (perkataan Rasulullah). Yaitu, kisah tentang umat-umat terdahulu yang beliau sampaikan. Semoga aku bisa menulis kisah-kisah dari hadits Nabi model lain di buku lain pula.
Di dalam buku ini, pembaca yang budiman akan mendapati kisah-kisah para Nabi dan Rasul dalam jumlah yang tidak sedikit. Walaupun Al Qur’anul Karim telah memaparkan kisah-kisah mereka dengan kaum mereka secara luas dan terperinci, namun aku juga menyebutkannya. Sebagian dari kisah yang ada tidak tercantum di dalam Al Qur’an secara mutlak, seperti kisah Yusya’ dan kisah Nabi yang membakar penghunian semut, dan sebagian lagi tertulis di dalam Al Qur’an.
Hadits-hadits digunakan sebagai penjelas, penerang dan pemerinci tentang apa yang ada di dalam Al Qur’an, seperti kisah tentang Musa dengan Khidir yang tercantum di dalam surat Al Kahfi. Karena sebagian kisah-kisah Nabi yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang aku paparkan juga dipaparkan di dalam Taurat, maka aku pun menyebutkan apa yang disinggung tentangnya di dalam Taurat, tapi bukan bermaksud mengambil ilmu darinya. Al Qur’an dan hadits adalah lebih dari cukup. Ini demi meluruskan penyelewengan dan perubahan yang menimpa kisah-kisah Nabi di dalam Taurat. Dan barangsiapa melihat berita-berita dan ajaran-ajaran Taurat dengan metode yang aku ikuti ini, maka dia akan menemukan bahwa salah satu target kisah-kisah di hadits Nabi adalah meluruskan penyimpangan dan perubahan yang terjadi di dalam Taurat.
Sungguh telah salah orang-orang yang merujuk kepada Taurat untuk mengambil ilmu darinya, lalu mereka mensejajarkannya dengan ilmu yang dituangkan oleh Al Qur’an dan hadits. Kita harus encuci buku-buku kita dari Israliyat yang ditulis oleh beberapa ahli ilmu terdahulu. Kita tidak memerlukan ilmu Bani Israil. Agama kita telah sempurna, tidak memerlukan syariat nenek moyang. Dan yang menjadi kewajiban kita adalah menjadikan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasul kita sebagai hakim, pelurus, dan pengoreksi terhadap apa yang ada di dalam bukubuku Yahudi dan Nashrani. Al Qur’an telah jelas mengungkapkan hal ini dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Al Qur’an ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya.” (QS An Naml: 76)
Aku berharap karya yang aku persembahkan buku ini bisa bermanfaat bagi hamba-hamba Allah. Bisa menutupi kebutuhan kepustakaan Islam, sehingga tidak perlu lagi menoleh pada kisah-kisah palsu dan dusta yang dijadikan pijakan oleh sebagian orang dan dijelaskan oleh sebagian ahli ilmu. Aku memohon kepada Allah agar memberiku niat yang ikhlas di dalamnya, memberiku pahala karenanya dengan kemurahan, kedermawanan dan rahmat-Nya, dan memberi taufik kepada para pembaca agar mereka memberikan doa yang baik untuk penulis.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Dr. Umar Sulaiman Abdullah Al Asyqar
Fakultas Syari’ah Universitas Yordania
Amman
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Al Qur’an
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa ke masa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah, mengajak manusia agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah datangnya para rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Rasul-rasul (yang telah Kami utus itu), semuanya pembawa kabar gembira (kepada orang-orang yang beriman), dan pembawa peringatan (kepada orang-orang yang kafir dan yang berbuat maksiat), supaya tidak ada bagi manusia suatu hujjah (atau alasan untuk berdalih pada Hari Kiamat kelak) terhadap Allah sesudah mengutus rasul-rasul itu. Dan (ingatlah) Allah Mahakuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’ : 165)
Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap kaum para Rasul. Demikianlah sehingga perkembangan itu sampai kepada masa kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam muncul di dunia ini. Maka diutuslah beliau di saat manusia lama mengalami stagnasi para rasul, demi menyempurnakan bangunan para rasul yang datang sebelumnya dengan kitab yang memuat syariat yang bersifat universal dan abadi. Beliau bersabda:
“Perumpamaan diriku dengan para Nabi sebelumku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah dengan baik dan indah, kecuali tersisa satu tempat di salah satu sudutnya yang belum terisi satu batu. Orang-orang pun mengelilinginya dan merasa takjub dibuatnya dengan berkata: ‘Seandainya bukan karena kekurangan satu batu bata ini, niscaya bangunan ini menjadi sempurna. Maka Akulah batu bata itu. Akulah penutup para Nabi.’”1)
Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia. Banyak dalil-dalil yang secara mutawatir diriwayatkan berkaitan dengan masalah ini, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, diantaranya,
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Hai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah pesuruh Allah kepada kamu semua, (diutus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang menghidupkan dan mematikan.’ Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya); ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.” (QS. Al A’raf : 158)
“Maha Berkah Tuhan yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba–Nya (Muhammad), untuk menjadi peringatan bagi seluruh penduduk alam.” (QS Al Furqan : 1)
Nabi bersabda:
“Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan saya diutus kepada seluruh manusia.”2)
Paska turunnya Al-Qur’an tidak akan ada lagi risalah. Allah berfirman:
“Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki dari kalian, tetapi ia adalah Rasul Allah dan penutup semua nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Maka, tidaklah heran kalau Al-Qur’an dapat memenuhi segala tuntutan kemanusiaan yang berdasar pada prinsip utama agama-agama samawi.
“Allah telah menerangkan kepada kamu perkara-perkara agama yang Ia tetapkan hukumnya dan apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh, dan yang telah Kami (Allah) wahyukan kepadamu (wahai Muhammad), juga yang telah Kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah-belah atau berselisihan padanya. Berat bagi orang-orang musyrik (untuk menerima agama tauhid) yang engkau seru mereka kepadanya. Allah memilih siapa pun yang dikehendaki-Nya untuk menerima agama tauhid itu, dan memberi hidayah kepada yang kembali kepada-Nya.’” (QS. Asy-Syura : 13)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, menantang orang-orang Arab dengan Al-Qur’an, padahal ia diturunkan dengan bahasa mereka sendiri. Mereka juga pakar tentang bahasa itu. Tetapi mereka tidak mampu untuk membuat sepertinya, atau dengan sepuluh surat yang sama dengannya, atau bahkan satu surat saja yang serupa dengan Al-Qur’an. Maka nyatalah kelemahan mereka, dan menjadi kuatlah kemukjizatan risalah Al-Qur’an.
Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara penyampaian yang mutawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau perubahan apapun. Diantaranya gambaran tentang Jibril yang membawanya turun:
“Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibril yang amanah.” (QS. Asy-Syu’ara’ : 193)
Gambaran lainnya juga tentang Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah (yang disampaikan oleh Jibril) utusan yang mulia. Yang kuat, gagah lagi berkedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy. Yang ditaati di sana (dalam kalangan malaikat) dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi Muhammad) itu (wahai golongan yang menentang Islam), bukanlah orang gila (seperti yang kamu tuduh). Dan (Nabi Muhammad yakin bahwa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan disangka buruk, tentang penyampaiannya mengenai perkara–perkara yang gaib.” (QS. At-Takwir : 19-24)
“Bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, (yang senantiasa memberi ajaran dan pimpinan), yang tersimpan dalam Kitab yang terpelihara, yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci.” (QS. Al-Waqi’ah : 77-79).
Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya. Sebab kitab-kitab itu datang secara temporer untuk waktu tertentu. Maha Benar Allah ketika berfirman:
”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr : 9)
Disamping kepada manusia, Al-Qur’an juga diturunkan kepada golongan jin.
“Dan (ingatlah peristiwa) ketika satu rombongan jin datang kepadamu (wahai Muhammad) untuk mendengar Al-Qur’an; setelah mereka mendengar bacaannya, berkatalah (sebagiannya kepada yang lain): ‘Diamlah kamu dengan serius untuk mendengarnya!’ Setelah bacaan itu selesai, mereka kembali kepada kaumnya (menyiarkan ajaran Al-Qur’an itu dengan) memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Wahai kaum kami! Sesungguhnya kami telah mendengar Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan (oleh Allah) sesudah Nabi Musa, yang menegaskan kebenaran kitab-kitab suci terdahulu daripadanya, lagi menuntun kepada kebenaran (tauhid) dan ke jalan yang lurus. Wahai kaum kami! Sambutlah (seruan) Rasul (Nabi Muhammad) yang mengajak ke jalan Allah, serta berimanlah kamu kepadanya, supaya Allah mengampunkan sebagian dari dosa-dosa kamu, dan menyelamatkan kamu dari siksa yang tidak terperi sakitnya.’” (QS. Al-Ahqaf : 29-31)
Dengan keistimewaannya itulah, Al-Qur’an memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang lebih bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relevan di segala zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat. Sebab, Islam adalah agama abadi.
Menarik apa yang dikatakan oleh juru dakwah abad 14 H: “Islam adalah suatu sistem yang komprehensif, ia mencakup segala persoalan kehidupan. Seperti masalah negara dan tanah air, pemerintah dan rakyat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan undang-undang, ilmu dan hukum, harta, masalah kerja dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta militer dan pemikiran. Selain itu, ia juga mengandung masalah akidah yang lurus dan ibadah yang shahih.”3)
Manusia kini banyak yang resah dan gelisah, akhlaknya rusak, tidak ada tempat berlindung bagi mereka dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain kembali kepada ajaran Al-Qur’an.
“Keluarlah kamu berdua dari surga itu bersama-sama, dalam keadaan sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain; sehingga datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku itu, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan menderita. Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat–Ku, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha : 123-124)
Kaum muslimin mestinya menjadi pembawa obor di tengah gelapnya berbagai sistem dan prinsip hidup yang ada. Mereka patutnya juga tidak terjebak dalam segala kehidupan yang hedonis dan kegemerlapan palsu. Dengan Al-Qur’an mereka mestinya bisa menjadi pembimbing manusia yang kebingungan, sehingga mereka bisa sampai ke pantai keselamatan. Seperti halnya kaum muslimin terdahulu yang dengan berpegang kepada Al-Qur’an mampu menegakkan sebuah negara, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun kaum muslimin tentunya juga demikian.
catatan kaki :
1) HR. Al-Bukhari dan Muslim.
2) Terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim, berasal dari hadits, “Saya diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku…”
3) Lihat Hasan Al Banna, Risalah At Ta’lim.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Perspektif Buruk dalam Penulisan Sejarah Khilafah Turki Utsmani
Prolog
Para ahli sejarah Eropa, Kristen, dan Yahudi serta orang-orang sekuler yang pendengki telah melakukan serangan dengan sangat subyektif terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah. Mereka telah melakukan berbagai cara untuk menohok, mengaburkan, dan meragukan apa yang telah dilakukan oleh Bani Utsmani ini dalam pengabdiannya terhadap Islam.
Mayoritas sejarawan asal Arab dalam berbagai aliran dan afiliasi, baik dari kalangan nasionalis atau sekuler, juga ikut menapaki metode mereka. Demikian pula para sejarawan asal Turki yang terpengaruh pemikiran sekuler yang dikomandani Kamal At Taturk. Maka tidak heran jika mereka meremehkan masa-masa pemerintahan Khilafah Utsmani dan menjadikan apa saja yang ditulis para sejarawan Kristen dan Yahudi sebagai sumber acuan utama untuk membangun sistem sekularisme di Turki, pasca Perang Dunia II.
Sikap negatif sejarawan Eropa terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah ini, tidak lepas dari rasa dendam sejarah mereka atas penaklukan yang dicapai oleh Khilafah Utsmaniyah; khususnya setelah peristiwa runtuhnya ibukota Negara Byzantium, Konstantinopel, yang kemudian dijadikan sebagai Negara Islam oleh Bani Ustmani dengan nama baru “Islambul” (maknanya, Darul Islam, dan kemudian menjadi Istambul –penj.). Orang-orang Eropa yang dirasuki penyakit dengki dan mewarisi dendam sejarah masa lalu terhadap Islam, mengungkapkan kebencian mereka melalui ucapan, tindak-tanduk, serta tulisan-tulisan mereka.
Bani Utsmani di masa itu terus berusaha melanjutkan penaklukan negeri-negeri, menjadikan Romawi Timur sebagai bagian dari negeri Islam, serta melanjutkan jihad hingga kekuasaan mereka berdiri tegak di tengah-tengah benua Eropa dan sampai ke Andalusia demi menyelamatkan kaum muslimin di sana. Eropa saat itu merasa sangat ketakutan dan diliputi kengerian. Hati mereka tidak tenang sebelum wafatnya Muhammad Al Fatih.
Sedangkan pemimpin-pemimpin Kristen di Eropa, baik pendeta atau raja-rajanya, mereka keluar ke jalan-jalan dengan mendengungkan permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Pemuka-pemuka Kristen berusaha menghimpun dana (donasi) untuk menyerang kaum muslimin (orang-orang kafir menurut pandangan mereka) Barbar. Setiap kali kaum muslimin meraih kemenangan di sebuah negeri, usaha mereka semakin gencar dan kebencian di dada mereka semakin kental. Oleh karena itu, mereka menuduh kaum muslimin sebagai pembegal, bengis, dan biadab. Mereka berusaha menanamkan kebencian ini di dasar otak orang-orang Eropa.
Serangan-serangan gencar dari kalangan pemimpin Kristen melalui berbagai media, merupakan usaha untuk menjaga posisi politik dan sumber ekonomi mereka, serta akibat rasa dendamnya terhadap Islam dan pemeluknya. Sebagian penguasa-penguasa politik di Eropa mampu mengangkangi kekuasaan dalam beberapa waktu lamanya, mereka berhasil menghimpun dana besar, membangun tembok-tembok besar yang kemudian mereka jadikan benteng; kesemuanya itu mereka ambil dari jalan sesat dan menyesatkan.
Walaupun rakyat Eropa melakukan perlawanan terhadap kelompok penguasa ini setelah mereka mengetahui kesesatan dan penyesatan mereka di awal-awal masa Renaisan (Renaissance) dan di awal perjalanan sejarah baru Eropa. Namun demikian perasaan masyarakat Eropa tidak mampu melepaskan diri dari warisan opini jahat yang telah dihembuskan oleh para pemuka Kristen dan penguasa politik terhadap dunia Islam atau secara khusus pemerintahan Bani Utsman.
Akibat dari semua itu, bangsa Eropa menyiapkan kekuatan militer yang dilengkapi teknologi canggih untuk melakukan balas dendam terhadap Islam kaum muslimin. Mereka berusaha menguras kekayaan umat Islam yang didorong oleh motivasi agama, ekonomi, politik, dan budaya. Tindakan ini didukung oleh penulis-penulis dan sejarawan mereka yang terus intensif menebarkan pengaburan dan keraguan tentang Islam, akidah, dan sejarahnya. Serangan gencar seperti ini banyak menimpa Khilafah Utsmaniyah.
Kejahatan yang dilakukan di atas, diikuti oleh orang-orang Yahudi Eropa yang menulis dengan tinta-tinta beracun, menyebarkan pemikiran-pemikiran berbisa dalam rangka terus-menerus melawan Khilafah Utsmaniyah dan dunia Islam sekaligus. Permusuhan orang-orang Yahudi terhadap pemerintahan Utsmani semakin menjadi-jadi tatkala semua strategi mereka gagal untuk merampok sejengkal tanah dari wilayah yang berada di bawah kekuasan Khilafah Utsmaniyah. Mereka gagal membentuk entitas politik dalam waktu seperempat kurun usia pemerintahan Khilafah Utsmaniyah yang beraliran Sunni ini.
Orang-orang Yahudi baru berhasil merealisasikan tujuan-tujuan mereka atau bantuan organisasi-organisasi Salibis Internasional dan negara-negara kolonialis Barat. Dukungan terhadap Yahudi juga diperkuat dengan gerakan Freemasonry yang berurat-akar di Negara-negara Barat dan eksis di dunia Islam dengan mengemas dirinya sebagai gerakan modernitas dan peradaban.
Pada saat yang sama mereka mempropagandakan tuduhan-tuduhan busuk terhadap Khilafah Utsmani-dalam masa yang panjang-bahwa mereka terbelakang, kolot, jumud, dan lainnya. Gerakan Freemasonry dan organisasi-organisasi bawah tanah yang berafiliasi kepada Yahudi dan kekuatan-kekuatan anti Islam dunia, beranggapan bahwa pengaburan sejarah dan peran historis Bani Utsman ini merupakan tujuan utama yang harus mereka capai.
Sedangkan para sejarawan Arab di dunia Islam telah menempuh metode penulisan sejarah yang juga ikut menyerang peran sejarah Khilafah Utsmani. Mereka terpaksa menempuh cara seperti itu karena dilatarbelakangi beberapa alasan; dan alasan yang paling utama adalah karena tindakan orang-orang Turki di bawah pimpinan “Musthafa Kamal At Taturk” dalam meruntuhkan Khilafah Islam pada tahun 1924, lalu digantikan dengan pemerintahan yang mengadopsi sistem sekuler dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik dengan mengorbankan syariat Islam yang sejak lama eksis di Turki.
Pemerintahan Mushtafa Kamal berkolaborasi dengan Eropa dalam memusuhi negara-negara Islam dan Arab. Dia juga aktif turut serta dalam berbagai pakta koalisi militer dengan sekutu-sekutu Eropa, sejak berakhirnya Perang Dunia II, yang banyak ditentang bangsa Arab dan Islam serta sebagian pemerintahan mereka. Turki saat itu menjadi salah satu negara yang terang-terangan mendukung berdirinya Negara Israel di Palestina pada tahun 1948. Satu tindakan yang telah menyebabkan bangsa-bangsa Arab dan Islam ikut berjalan di belakang pemerintahan nasionalis, setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang pada masanya selalu berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah yang menjadi milik kaum muslimin.
Sifat mengekor dalam metode penulisan sejarah kepada metode Barat ini, menjadi sebab utama penyerangan terhadap Khilafah Utsmani, khususnya tatkala ada titik-temu antara pandangan sejarawan Eropa dan Arab dalam mengaburkan peran historis Khilafah Utsmaniyah.
Sebagian besar sejarawan Arab terpengaruh pemikiran materialistik Barat. Oleh sebab itulah mereka seringkali menisbatkan kecemerlangan sejarah negeri mereka setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat yang sangat jauh dari manhaj Rabbani itu. Mereka beranggapan bahwa awal sejarah Arab modern dimulai sejak kedatangan orang-orang Perancis ke Mesir dan Syam yang berhasil menghancurkan isolasi Barat dan Timur; kemudian disusul munculnya sebuah Negara nasionalis di Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali. Saat itu muncul pandangan yang meremehkan jasa-jasa Khilafah Utsmani yang di masa sebelumnya telah melakukan pembelaan yang begitu hebat terhadap akidah dan ajaran Islam, dari serangan keji orang-orang Kristen Eropa.
Kekuatan-kekuatan Eropa telah menyuburkan pandangan-pandangan yang berseberangan dengan Khilafah Islam dan mereka sangat aktif mendukung kerja para sejarawan dan pemikir Mesir atau Syam yang seringkali mendengung-dengungkan ide pencarian orisinalitas nasionalisme mereka. Seperti yang dilakukan oleh Al Bustani, Al Yaziji, George Zaidan, Adib Ishaq, Salim Niqasy, Farah Anton, Syibli Syamil, Salamat Musa, Henry Corel, Halil Spartez, dan lain-lain. Jika kita teliti lebih cermat, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Kristen dan Yahudi; dan mayoritas mereka-kalau bukan semuanya- adalah anggota gerakan Freemasonry, yang masuk ke dalam dunia Islam sejak masa pemerintahan Muhammad Ali, sedangkan bibitnya sendiri sudah mulai disemai sejak kedatangan Napoleon. Musuh-musuh Islam melihat bahwa dengan membantu orang-orang beraliran nasionalis sudah cukup untuk melemahkan potensi umat Islam dan menghancurkan Khilafah Utsmaniyah.
Gerakan Freemasonry juga telah berhasil menekuk-lututkan pikiran orang-orang yang berpaham nasionalis di tengah-tengah umat Islam. Orang-orang itu jauh lebih tunduk kepada kepentingan gerakan Yahudi daripada kepentingan umat Islam. Sikap mereka kepada umat Islam merupakan gambaran hakiki dari peradaban muslim, budaya, dan pengetahuannya.
Metode yang menyimpang ini sama sekali tidak mengalami perubahan di kalangan Arab sejak terjadi kudeta militer di Mesir tahun 1952. Di mana pemerintahan militer di Mesir saat itu juga berdiri di atas pandangan yang sama dalam mendukung nasionalisme sejak berdirinya.
Negara-negara yang dikuasai junta militer, kebanyakan mendukung nasionalisme dan pada saat yang sama pemerintahan-pemerintahan tersebut mendasarkan pondasi negaranya di atas sekularisme dalam semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sisi budaya dan pemikiran. Sehingga mereka memandang Khilafah Utsmani dan pemerintahannya sebagai penjajahan kepada bangsa Arab muslim. Mereka menimpakan semua keterbelakangan, kelemahan, dan kejumudan yang menimpa Negara-negara Arab akibat pemerintahan Utsmani ini.
Mereka beranggapan bahwa gerakan separatisme dan pemberontakan yang muncul di masa pemerintahan Utsmani, yang semuanya tak lebih karena adanya dorongan dan ambisi pribadi, atau didorong oleh kekuatan asing yang memusuhi Khilafah Islam; semua itu diklaim sebagai gerakan kemerdekaan berlandaskan nasionalisme. Seperti yang dilakukan Ali Baek Al Kabir di Mesir, orang-orang Qarmanal di Libya, Zhahir Al Umar di Palestina, pengikut Husein di Tunisia, Maknayin, dan Syihibayin di Lebanon, dan lain-lain. Yang semuanya menyatakan pemberontakan itu dilakukan demi nasionalisme yang sedang mereka perjuangkan.
Mereka juga beranggapan, sosok Muhammad Ali adalah pemimpin nasionalis yang berusaha menyatukan dunia Arab. Realitanya, dia gagal melakukan penyatuan bangsa Arab karena dia bukan berasal dari bangsa Arab. Mereka lupa, bahwa Muhammad Ali menyimpan ambisi pribadi yang membuatnya bisa bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial yang mendukung posisinya dan mampu merealisasikan ambisi jahat mereka untuk menghantam kerajaan Saudi yang beraliran Salafi dan melemahkan Khilafah Utsmani. Muhammad Ali banyak membantu gerakan Freemasonry dalam menghajar kekuatan-kekuatan Islam di wilayah itu, serta telah berhasil melicinkan jalan bagi kolonialisme Barat-Kristen.
Gerakan Freemasonry-Yahudi telah berkolaborasi dengan kolonialis Barat dan kekuatan-kekuatan lokal yang mau menjadi budak-budak mereka. Semua kekuatan itu bertemu dalam satu titik untuk menghancurkan kekuatan Islam dan merenggut kemerdekaan rakyatnya, merampas sumber-sumber kekayaannya, serta untuk membentuk tatanan pemerintahan diktator yang dibantu aneka persenjataan Barat modern. Inilah yang dilakukan Muhammad Ali.
Sebagian ahli sejarah dari kalangan Salafi di wilayah Arab bagian timur, telah ikut partisipasi menyerang Khilafah Utsmani karena adanya faktor permusuhan Khilafah Utsmani terhadap gerakan Salafiyah di Saudi; ternyata hal itu muncul tak lain karena adanya konspirasi negara-negara Barat yang mendorong para sultan pemerintahan Utsmani agar memerangi kekuatan-kekuatan Islam di Nejed, di basis gerakan Salafiyah. Selain itu juga karena sikap Khilafah Utsmani yang mendukung gerakan tasawuf dan fenomena tercerabutnya ajaran tasawuf dari asas-asas syariah Islam. Lebih dari itu semua, pemerintahan Utsmani di akhir-akhir kekuasaanya telah didominasi oleh para pendukung nasionalisme Turki, yang telah menjauhkan pemerintahan Utsmani dari manhaj Islam; padahal sebelumnya menjadi pembela Khilafah Utsmaniyah selama beberapa abad perjalanan sejarahnya, di mana hal itu membuat kaum muslimin terdorong untuk menggabungkan diri dengan Khilafah dan sekaligus mendukungnya.
Sedangkan sejarawan dari kalangan Marxis mereka telah menyatakan perang terbuka terhadap kekuasaan pemerintahan Khilafah Utsmani. Mereka menganggap bahwa masa-masa pemerintahannya adalah bentuk hegemoni sistem feodalisme yang mendominasi sejarah Arab pertengahan. Mereka mengatakan bahwa pemerintahan Utsmani tidak melahirkan sesuatu yang baru dalam hal teknologi dan produksi. Sejarah modern-dalam pandangan mereka-dimulai sejak munculnya golongan borjuis, kemudian kapitalisme yang telah merombak dunia ekonomi-sosial di awal abad ke-19 M. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan para sejarawan Eropa beraliran liberal dan para pengagum nasionalisme.
Beberapa sejarawan dan intelektual Kristen dan Yahudi, dengan gencarnya memasarkan dua pandangan ini-Barat dan Marxime- melalui buku-buku yang mereka tulis dan terjemahkan. Aksi mereka didukung sepenuhnya oleh gerakan Freemasonry yang memang sangat memusuhi semua usaha yang ingin menyatukan pandangan Islam. Mereka selalu mengedepankan nasionalisme dengan lokalnya, atau naionalisme Arab. Seperti proyek berdirinya Al Hilal Al Kashib di Syam, proyek penyatuan Mesir dan Sudan. Selain itu mereka gencar melakukan seruan nasionalisme terbatas seperti ingin menghidupkan Fir’aunisme di Mesir, Asyuriisme di Irak, dan Viniqiya di Syam, dan lain-lain.
Sedangkan sejarawan asal Turki yang muncul pada masa-masa gencarnya seruan nasionalisme Turki, telah melakukan pengaburan tehadap masa-masa Khilafah Utsmani, baik dalam arus pemikiran politik negerinya yang membebankan semua sisi kelemahan dan kehancuran kepada pemerintahan Utsmani, atau karena orang-orang Turki terpengaruh sikap jelek yang ditampakkan oleh pemerintahan Utsmani di mana setelah Sultan Abdul Hamid diturunkan pada tahun 1019, pemerintahan Utsmani hanya berbentuk sebuah formalisme. Pemerintahan Utsmani ini telah sering mengalami kekalahan berturut-turut dalam setiap kali terjun dalam Perang Dunia I. Kekalahan ini telah menimbulkan kerugian yang demikian besar dan harus kehilangan sejumlah wilayah kekuasaannya, serta sikap menyerah Turki saat melakukan Kesepakatan Sifir pada tahun 1918 yang tak lebih sebagai tanda kekalahan mereka atas orang-orang dari Persatuan dan Pembangunan.
Sementara itu gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Musthafa Kamal At Taturk telah mampu menyelamatkan Turki dari kehinaan ini dan mampu mengembalikan tanah-tanah wilayah Turki dan memasukkan wilayah Yunani ke dalamnya. Ini juga terjadi karena para pemikir Turki terpengaruh sikap sebagian orang Arab yang telah mendukung sekutu Barat pada saat terjadi Perang Dunia I dalam melawan pemerintahan Utsmani, serta pernyataan perang terhadapnya pada tahun 1916.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan sebab, namun kebanyakan sejarawan sepakat untuk mengaburkan dan menyelewengkan sejarah Khilafah Islam Utsmani. Para sejarawan pendusta ini dalam melakukan aksinya sengaja memelintir fakta-fakta, melakukan kebohongan-kebohongan, menanamkan keragu-raguan. Buku-buku yang mereka tulis banyak diwarnai dengan kebenaran buta, dan dorongan-dorongan tidak sehat yang sangat jauh dari obyektif.
Apa yang mereka lakukan telah memunculkan reaksi dari kalangan Islam untuk membantah semua tuduhan dan syubhat yang ditodongkan kepada Khilafah Utsmani. Salah satu tulisan yang penting untuk membantah tuduhan itu adalah buku yang ditulis Dr. Abdul Aziz Asy Syanawi, yang dia tulis dalam 3 jilid besar dengan judul Ad Daulah Al Utsmaniyah Dual Islamiyah Muftara ‘Alaiha (Pemerintahan Utsmani, Negara Islam Tertuduh). Walaupun dia telah berusaha sebaik mungkin dengan didorong sifat keislaman dan obyektivitas dalam penulisan ini, namun ternyata dia tidak membahas semua sisi sejarah pemerintahan Utsmani. Ada catatan yang perlu diperhatikan dalam buku ini yang jauh dari obyektivitas ilmiah yang bersih.
Salah satu karya yang patut kita syukuri dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh seorang penulis terkenal dan seorang mahaguru dalam sejarah Khilafah Utsmaniyah, Dr. Muhammad Harb. Dia telah menulis untuk umat Islam sejumlah buku khusus mengenai pemerintahan Utsmani. Antara lain Al Utsmaniyun Fit Tarikh Wal Hadharah (Bani Utsmani dalam Perspektif Sejarah dan Peradaban), As Sulthan Muhammad Al Fatih Fatihu Al Qasthathiyah Wa Qahiru Ar Ruum (Muhammad Al Fatih Pembuka Konstantinopel dan Penakluk Romawi), As Sulthan Abdul Hamid Akhir Salathin Al Utsmaniyin Al Kibar (Sultan Abdul Hamid, Sultan Terakhir Bani Utsman).
Di antara karya yang demikian baik dan berbobot mengenai sejarah pemerintahan Bani Utsmani, adalah yang ditulis oleh Dr. Muwaffaq Al Marjah yang dia beri judul Shahwah Ar Rajul Al Maridhaw As Sulthan Abdul Hamid (Bangkitnya Lelaki yang Sakit, atau Sultan Abdul Hamid). Sebuah tulisan yang dia ajukan untuk meraih gelar Master. Buku ini telah mampu memberikan gambaran banyak hal tentang hakikat dan fakta yang didukung manuskrip-manuskrip dan hujjah yang kuat.
Dan masih banyak penulis modern lain yang juga ikut memberikan kontribusinya. Namun, di sana ada beberapa sisi sejarah Khilafah Utsmani dan tarikh Islam di zaman modern ini, yang membutuhkan uji pandang dengan menggunakan perspektif Islam yang bisa memunculkan hakikat kebenaran, serta dapat menelan kebatilan-kebatilan yang diakibatkan cara penulisan dengan menggunakan kacamata nasionalisme sekuler, yang tak lain merupakan agen utama musuh-musuh Islam.
Sesungguhnya sejarah Islam modern dan klasik merupakan panji yang selalu dibidik oleh kekuatan yang memusuhi Islam. Sebab mereka menganggap bahwa sejarah merupakan wadah akidah, pemikiran dan pendidikan dalam membangun identitas kaum muslimin.[1]
Buku ini tak lebih dari upaya sederhana untuk mengkaji sejarah Khilafah Utsmaniyah secara berurutan, dan secara khusus menekankan pada perannya di Afrika Utara. Buku ini juga membahas akar-akar sejarah Khilafah Utsmaniyah hingga kejatuhan khilafah di tangan antek Inggris, dan seorang mulhid besar yang bernama Musthafa Kamal.
Di sela-sela bahasan ini penulis memaparkan sebab-sebab kekuatan yang ada pada Khilafah Utsmani dan sebab-sebab kelemahan mereka, sifat-sifat penguasa, dan para sultannya yang kokoh serta perhatian mereka yang besar terhadap para ulama dan dalam mengimplementasikan syariah Allah, serta perjuangan dan jihad mereka yang demikian besar untuk menyebarkan Islam dan membela negerinya melawan serangan orang-orang Kristen yang tidak pernah berhenti.
Penulis komitmen dengan manhaj ahli sunnah tatkala memaparkan peristiwa dan selalu berusaha untuk bersifat adil dan obyektif tatkala memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa. Semua itu diharapkan akan mampu memberikan kontribusi dalam meluruskan kesalahan pandangan dan persepsi yang selama ini ditimpakan pada Khilafah Islam Utsmani.
Allah-lah yang Maha Mengetahui segala maksud, dan Dia-lah yang menunjukkan pada jalan yang lurus.
[1] Qimat Jadidah fi Tarikh Al Utsmaniyin, oleh Dr. Zakariya Bayumi, hlm, 7-9 dan 16-17.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-07 Definisi Hadits
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS Al Kahfi:6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al Quran.
Juga firman Allah,
“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah.” (Adh Dhuha:11)
Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai Muhammad[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah, dan Maghazi (peperangan Nabi-Edt), dan Hadits. Buku-buku Hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah kenabian[3]
Contoh perkataan Nabi adalah sabda beliau,
“Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya”[4]
Sabda beliau juga, “(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya.”[5]
Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, sholat, manasik haji, dan lain sebagainya yang beliau kerjakan.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi adalah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Misalnya: Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Ada dua orang yang sedang musafir ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayammum dengan debu yang bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudhu dan shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau bersabda, “Engkau sudah benar sesuai sunnah, dan sudah cukup dengan shalatmu”.
Dan kepada orang yang mengulangi wudhu dan shalatnya, beliau bersabda, “Bagimu pahala dua kali lipat.”[6]
Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman, “Apa yang kamu jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi suatu masalah?”
Ia menjawab, “Dengan Kitabullah.”
Rasulullah bertanya, “Jika tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?”
Dia menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beliau bertanya lagi, “Jika tidak kamu dapatkan dalam sunnah Rasulullah maupun dalam Kitabullah?”
Dia menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “Maha suci Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah”[7]
Diriwayatkan, bahwasanya Khalid bin Al –Walid Radhiyallahu Anhu pernah memakan dhabb (hewan bangsa kadal namun agak besar-Edt) yang dihidangkan kepada Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, sedangkan beliau tidak memakannya. Sebagian sahabat bertanya, “Apakah diharamkan memakannya, wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku merasa tidak berminat”[8]
Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, banyak sekali riwayat menerangkan tentang sifat dan tabiat beiau. Dan At Tirmidzi menyusun sebuah buku tentang tabiat (syama’il) beliau[9]
Di antara contohnya adalah:
Dari Abi Ishaq, dia berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Al Bara’, ‘Apakah wajah Rasulullah seprti pedang?” Dia menjawab, ‘Tidak, tapi seperti rembulan’.”[10]
Dari Al Bara’ dalam riwayat lain, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pendek dan tidak tinggi.”[11]
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata, “Belum pernah aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku. “[12]
[1] Lisanul Arab, Ibnu Manzur
[2] Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, hal 27
[3] Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahh: 18/ 10-11
[4] HR Bukhari dan Muslim
[5] HR Ahmad dan Ibnu Majah
[6] Hr Abu Dawud dan An Nasa’i
[7] HR Abu Dawud
[8] HR Bukhari dan Muslim
[9] At Tasyri’ wa Al Fiqh Al Islam Tarikhan wa Manhajan, Manna Al Qaththan, hal 87-88
[10] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
[11] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
[12] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-07 Hasil-hasil Kajian ‘Kebebasan Wanita’
1. Karakteristik Wanita
- Wanita Muslimah pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memahami karakteristiknya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam yang murni sehingga dia melalui berbagai bidang kehidupannya dengan dasar pemahaman tersebut.
- Karakteristik wanita tersimpul dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang menetapkan dasar-dasar persamaan antara laki-laki dan wanita dengan sedikit kekhususan dalam beberapa bidang. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang dimaksud adalah: “Sebenarnya wanita itu adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Daud)[1]
- Hadits yang mengatakan bahwa wanita itu “kurang akal dan agama” adalah hadits sahih yang dipahami dan diterapkan secara keliru oleh banyak orang, sehingga mereka menghapus karakteristik wanita yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya dan diterangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dalam Sunnahnya.
2. Pakaian dan Perhiasan
- Membuka wajah sudah umum dilakukan pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam Kondisi seperti ini merupakan kondisi awalnya. Adapun memakai cadar, sehingga yang terlihat hanya kedua bola mata, merupakan salah satu tradisi atau mode/cara berdandan yang menjadi trend pada sebagian wanita sebelum dan sesudah kedatangan Islam.
- Berdandan secara wajar pada muka, kedua telapak tangan, dan pakaian diperbolehkan agama dalam batas-batas yang pantas dilakukan oleh seorang wanita mukminat.
- Tidak pernah diwajibkan mengikuti satu mode tertentu dalam berpakaian. Yang diwajibkan adalah menutupi badan. Tidaklah berdosa mengikuti beberapa mode sesuai dengan kondisi cuaca dan lingkungan sosial.
- Kriteria-kriteria di atas membantu wanita untuk lebih bebas bergerak dan memudahkannya dalam mengikuti kegiatan sosial.
3. Keterlibatan Wanita dalam Kehidupan Sosial
- Sudah tetap/jelas bahwa menetap di rumah dan memakai hijab merupakan kekhususan untuk istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagaimana juga sudah tetap/jelas bahwa sahabat-sahabat wanita (shahabiyat) yang mulia tidak mengikuti perbuatan istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.
- Wanita ikut dalam kehidupan sosial dan seringkali bertemu dengan kaum laki-laki dalam semua bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus, guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup yang serius dan untuk memberi kemudahan bagi semua orang mukmin, baik laki-laki maupun wanita.
- Keterlibatan ini tidak ada syaratnya selain beberapa tuntunan dan aturan yang mulia dan sifatnya memelihara, bukan menghambat.
- Wanita terlibat dalam bidang sosial, politik, dan profesi sesuai dengan kondisi serta kebutuhan hidup pada masa kerasulan. Dalam bidang sosial misalnya, wanita muslimah terlibat dalam beberapa bidang seperti kebudayaan, pendidikan, jasa/pelayanan sosial, dan hiburan yang bersih. Dalam bidang politik, wanita muslimah memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan masyarakat dan pihak penguasa. Wanita muslimah menghadapi tekanan dan siksaan, kemudian dia berhijrah untuk membela dan menyelamatkan keyakinannya itu. Di samping itu, wanita muslimah mempunyai perhatian dan rasa peduli terhadap urusan masyarakat umum, mengemukakan pendapat dalam berbagai isu politik, dan kadang-kadang bersikap oposisi dalam bidang politik. Sementara dalam bidang profesi, wanita ikut terlibat dalam bidang pertanian, peternakan, kerajinan tangan, administrasi, perawatan, pengobatan, kebersihan, dan pelayanan rumah tangga. Kegiatan tersebut membantu wanita mewujudkan dua hal. Pertama, mewujudkan kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya dalam keadaan suaminya sudah tiada, lemah, atau miskin. Kedua, mencapai kehidupan yang lebih mulia dan terhormat, sebab dengan hasil usahanya itu dia mampu bersedekah di jalan Allah.
Mengingat semakin seriusnya kondisi sosial pada masa kita sekarang yang menuntut semakin ditingkatkannya partisipasi wanita dalam bidang sosial, politik, dan profesi, maka kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah digariskan syariat haruslah menjadi pengatur kondisi tersebut sampai akhir zaman.
Di antara hasil dari keterlibatan dalam kehidupan sosial tersebut adalah timbulnya kesadaran wanita, semakin matangnya cara berpikir, dan mampunya wanita melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat.
4. Keluarga
- Menegaskan bahwa wanita berhak memilih suami dan berhak meminta cerai jika dia memang tidak menyukai suaminya, walaupun dia tidak dirugikan oleh suaminya dengan syarat dia mengembalikan apa yang dia ambil dari suaminya dengan ketetapan dari suami atau hakim setelah dibuktikan bahwa dia benar-benar sudah tidak menyukai suaminya.
- Berbagai tanggung jawab pasangan suami istri dan melakukan kerjasama yang baik demi sempurnanya pelaksanaan tanggung jawab tersebut.
- Hak suami istri sama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya …” (Al Baqarah: 228)
Derajat atau tingkatan yang dimaksud adalah kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau kelebihan mengalahnya suaminya dari beberapa hak yang harus dia peroleh. Di antara hak-hak tersebut adalah hak dicintai, hak disayangi dan dikasihani, hak berdandan dan menikmati hubungan seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan kesusahan seperti yang dialami oleh setiap pihak.
- Syariat telah menentukan syarat-syarat dan peraturan-peraturan mengenai perceraian dan poligami. Keadaan sebuah keluarga muslim tidak akan berjalan benar kalau salah satu syarat dan peraturan tersebut timpang. Karena itu tidak ada salahnya jika pada masa sekarang ini ditetapkan suatu aturan yang menjamin dipenuhinya semua syarat dan peraturan.
- Peranan wanita/istri dalam keluarga merupakan tugas utama dan pertama. Tapi hal ini tidak menafikan bahwa wanita juga mempunyai kewajiban-kewajiban lain di tengah masyarakat. Tumbuhnya kesadaran bermasyarakat dan adanya kerjasama yang erat antara suami dan istri merupakan dua faktor yang sangat penting untuk mengkoordinasikan tugas pertama wanita dengan tugas-tugasnya lain yang dibutuhkan demi kemaslahatan masyarakat muslim sehingga dalam masyarakat terwujud perkembangan dan kemajuan.
5. Bidang Seksual
- Seks merupakan bagian dari kesenangan di dunia dan di akhirat. Seks itu halal dan baik. Seseorang dapat memperoleh pahala karena melakukan aktivitas seksual yang sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh agama. Kita perlu meluruskan persepsi kita mengenai masalah ini karena telah dikaburkan oleh pemikiran sufi yang menyimpang dan dilatarbelakangi oleh paham kerahiban (rahbaniyyah) kalangan Kristen serta sebagian agama Timur Kuno.
- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersama para sahabatnya berjalan mengikuti jalur yang menuju arah terwujudnya pendidikan seks yang benar dan pengetahuan seks yang bersih. Hal ini menghasilkan mental yang sehat di kalangan laki-laki dan wanita. Perlu kita lenyapkan tembok raksasa yang selama ini menghambat dan menutupi segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks.
- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam adalah contoh manusia yang sempurna, baik dalam kondisi beristri satu atau pun dalam keadaan berpoligami, baik dari segi sifat zuhud dan kesederhanaannya ataupun dari segi kesempurnaannya dalam bergaul dan berhubungan dengan para istri beliau. Kemudian setelah membetulkan persepsi kita mengenai seks secara umum, kita perlu pula membetulkan persepsi kita mengenai sikap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam terhadap seks.
- Mempermudah proses perkawinan semenjak usia dini merupakan salah satu ciri masyarakat Islam. Alangkah banyak bentuk kemudahan yang telah digariskan Sunnah dalam masalah ini. Dengan penuh tekad dan semangat kita harus membuka jalan kemudahan bagi proses perkawinan pada masa sekarang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Dia tentu lebih tahu mengenai ciptaan-Nya. Setiap tindakan yang sifatnya mempersulit, hanya akan membuat orang semakin jauh dari menaati Allah sehingga semakin dekat pada perbuatan yang tidak terpuji, baik yang terlihat maupun yang terselubung, bahkan mungkin terjebak ke dalamnya. Na’udzabillahi min dzalik!
Setelah kita uraikan secara ringkas hasil-hasil kajian ini, penulis ingin menekankan bahwa kita masih dituntut untuk melakukan sejumlah kajian ilmiah jika kita benar-benar ingin mengulang sajarah keikutsertaan dan dinamika wanita serta membina kembali masyarakat kita di atas fondasi yang kokoh. Penulis mengusulkan agar kajian tersebut mencakup lima bidang:
- Nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, tetapi dengan catatan bahwa kajian tersebut harus meliputi seluruh kitab Sunnah.
- Warisan budaya Islam, yaitu dengan mengumpulkan pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad para ulama serta penerapannya secara konkret selama berabad-abad, sehingga kita betul-betul memahami sejauh mana pengaruh sejarah yang panjang ini dalam pemikiran dan realita kehidupan kita.
- Tulisan-tulisan para cendekiawan muslim modern dengan cara menganalisis semua tulisan mereka dengan segala orientasinya agar kita sampai pada suatu kesimpulan yang bermanfaat dari teori-teori dan ijtihad-ijtihad modern.
- Penerapan-penerapan yang sedang berlaku di tengah masyarakat sekarang ini, misalnya dengan melakukan kajian ilmiah lapangan dan statistik terhadap masalah-masalah ini sebaik mungkin sehingga kita dapat melakukan evaluasi yang benar, rinci, dan bukan berdasarkan pada perkiraan-perkiraan semata.
- Penelitian-penelitian Barat modern yang berkaitan dengan wanita dalam bidang ilmu jiwa, pendidikan, pengetahuan mengenai seks, kegiatan profesi, sosial, dan politik dengan memberikan perhatian khusus terhadap studi lapangan dan statistika untuk dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya, sehingga kita betul-betul mampu menentukan mana yang patut diambil dan mana yang harus ditinggalkan dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh suatu bangsa –setelah menimbangnya dengan timbangan agama. Kita tidak boleh berpegang pada dugaan-dugaan semata, baik dari kaum modernis ataupun konservatif.
[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.
sumber: hasanalbanna.id