hasanalbanna.id
- 2011-11
- 2011-11-14 Pengantar: Mencari Pahlawan Indonesia
- 2011-11-14 Pesan untuk Orang-orang Biasa
- 2011-11-15 Pentingnya Sirah Nabawiyah untuk Memahami Islam
- 2011-11-15 O, Pahlawan Negeriku
- 2011-11-16 Naluri Kepahlawanan
- 2011-11-17 Penggodok Batu
- 2011-11-19 Baitud Da’wah
- 2011-11-20 Keberanian
- 2011-11-21 Bersama Amal Thulabi Membangun Peradaban
- 2011-11-21 Memoar Hasan Al Banna untuk Da’wah dan Para Da’i
- 2011-11-22 Shallu ‘Alan Nabi
- 2011-11-23 Kesabaran
- 2011-11-24 Tujuan Penulisan Risalah Pergerakan Pemuda Islam
- 2011-11-24 Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul
- 2011-11-24 Madrasah Diniyah ‘Ar Rasyad’
- 2011-11-28 Pindah ke Madrasah I’dadiyah
- 2011-11-29 Guru Kehidupan
- 2011-12
- 2011-12-02 Perhimpunan Akhlak Mulia
- 2011-12-02 Di Tepi Sungai Nil
- 2011-12-02 Madrasah Al Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur
- 2011-12-02 Pengorbanan
- 2011-12-02 Kompetisi
- 2011-12-02 Asosiasi Anti Haram
- 2011-12-03 Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah
- 2011-12-05 Filosofi
- 2011-12-07 Problematika Umat
- 2011-12-08 Optimisme
- 2011-12-12 Pekerjaan Besar dan Pekerjaan
- 2011-12-15 Vitalitas
- 2011-12-16 Pengantar Fikih Sunnah
- 2011-12-17 Pengantar Risalah Pergerakan
- 2011-12-19 Menilai Diri Sendiri
- 2011-12-21 Ad Da’watu Waludatun
- 2011-12-22 Momentum Kepahlawanan
- 2011-12-25 Dakwah Kami: Empat Golongan Obyek Dakwah
- 2011-12-26 Keunikan
- 2011-12-27 Surat dari Penjara
- 2011-12-27 Pendahuluan Halal dan Haram
- 2011-12-28 Ri’ayah Dakwah
- 2011-12-29 Kesempurnaan
- 2012-01
- 2012-01-02 Sahabat Sang Pahlawan
- 2012-01-04 Menjaga Karamah Basyariyah
- 2012-01-05 Determinasi Sosial
- 2012-01-06 Telunjuk yang Bersyahadat
- 2012-01-06 Islam: Sebuah Sistem Pemikiran
- 2012-01-07 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (1)
- 2012-01-08 Mencintai Sejantan Ali
- 2012-01-08 Pokok-pokok Ajaran Islam tentang Halal dan Haram
- 2012-01-09 Kegagalan
- 2012-01-10 Mencintai Penanda Dosa
- 2012-01-10 Pengantar Kebebasan Wanita (1)
- 2012-01-10 Asal Tiap-tiap Sesuatu Adalah Mubah
- 2012-01-10 Prakata 114 Tips Murabbi Sukses
- 2012-01-11 Imtidad Ad Da`wah
- 2012-01-11 Pengantar Kebebasan Wanita (2)
- 2012-01-11 Pendahuluan Menjadi Murabbi Sukses
- 2012-01-12 Kesalahan
- 2012-01-12 Pengantar Kebebasan Wanita (3)
- 2012-01-13 Misi Peradaban dalam Terminologi
- 2012-01-14 Rambu-rambu Petunjuk Jalan Ilahi
- 2012-01-14 Dakwah Kami: Kejelasan Seruan
- 2012-01-15 Fitrah dan Kejujuran Cinta
- 2012-01-16 Kekalahan
- 2012-01-16 Pengantar Kebebasan Wanita (4)
- 2012-01-16 Pengantar Shahih Fikih Sunnah
- 2012-01-16 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (2)
- 2012-01-16 Latar Belakang Penulisan Buku Kebebasan Wanita
- 2012-01-17 Pengantar Studi Ilmu Hadits
- 2012-01-17 Menentukan Halal-Haram Semata-mata Hak Allah
- 2012-01-18 Ahdaful Musyarakah
- 2012-01-19 Imajinasi
- 2012-01-19 Merumuskan Kandungan Terminologi
- 2012-01-19 Merindukan Keteladanan Para Pemimpin
- 2012-01-19 Pengantar Penghimpun Capita Selecta
- 2012-01-19 Pengertian Hadits Nabawi
- 2012-01-20 Generasi Qurani: Generasi Yang Unik
- 2012-01-20 Pengantar Ilmu Ushul Fiqih
- 2012-01-20 Pengantar Studi Ilmu-ilmu Al Quran
- 2012-01-20 Sepatah Kata Capita Selecta
- 2012-01-20 Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya
- 2012-01-21 Kata Sambutan Capita Selecta
- 2012-01-21 Pengantar: Mungkinkah Syiah-Sunni Bersatu
- 2012-01-12 Mereka Yang Telah Pergi (1)
- 2012-01-22 Mereka Yang Telah Pergi (2)
- 2012-01-22 Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
- 2012-01-23 Syubhat Mimpi
- 2012-01-23 Syaikh Umar At Tilmisani
- 2012-01-24 Definisi Ilmu Ushul Fiqh
- 2012-01-24 Pengantar Fikih Sunnah oleh Hasan Al Banna
- 2012-01-24 Tema Penulisan Kebebasan Wanita
- 2012-01-24 Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
- 2012-01-25 Dari Imsak Menuju Salamatush Shadr
- 2012-01-25 Abdullah Qasim Ismail Al Wasyli
- 2012-01-26 Firasat
- 2012-01-26 Pengantar Syarah Ushul ‘Isyrin
- 2012-01-27 Mukadimah Syarah Ushul ‘Isyrin
- 2012-01-28 Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?
- 2012-01-28 Urgensi Risalah Ta’alim
- 2012-01-29 Posisi Ushul ‘Isyrin dalam Risalah Ta’alim
- 2012-01-29 Taqiyah dalam Agama Syi’ah
- 2012-01-29 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
- 2012-01-29 20 Tips Mengatur Diri Sendiri
- 2012-01-30 Saya Harus Mengislamkan Akidah Saya
- 2012-01-30 Pengantar Fikih Sunnah Edisi Terjemah
- 2012-01-30 Celaan Terhadap Al Quran
- 2012-02
- 2012-02-01 Menumbuhkan Kemampuan Menguasai Masyarakat
- 2012-02-01 Ath Thariqah Al Hashafiyah
- 2012-02-01 Mengapa Aku Dihukum Mati?
- 2012-02-02 Pendahuluan Adab Guru dan Murid
- 2012-02-02 Islam Kami
- 2012-02-02 Tips Persiapan Menjadi Murabbi Sukses
- 2012-02-02 Sumber-sumber Sirah Nabawiyah
- 2012-02-03 Metode Penulisan Buku Kebebasan Wanita
- 2012-02-03 Islam dan Kebudayaan
- 2012-02-03 Pengantar Penerjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
- 2012-02-04 Khazanah Peradaban Islam
- 2012-02-04 Sekilas Tentang Hasan Al Banna
- 2012-02-04 Pengantar Membina Angkatan Mujahid
- 2012-02-05 Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
- 2012-02-05 Sekularisme
- 2012-02-05 Pengantar Tafsir Hasan Al Banna
- 2012-02-06 Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan As Sunnah
- 2012-02-06 Al Qur’an
- 2012-02-06 Perspektif Buruk dalam Penulisan Sejarah Khilafah Turki Utsmani
- 2012-02-07 Definisi Hadits
- 2012-02-07 Hasil-hasil Kajian ‘Kebebasan Wanita’
2011-11
2011-11-14 Pengantar: Mencari Pahlawan Indonesia
“Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak pengecut jadi pemberani.”
(Nasihat Umar bin Khattab)
Kerisauan pengarang buku ini ialah bahwa ketika akhir-akhir ini krisis besar melanda negeri, “Kita justru mengalami kelangkaan pahlawan”. Memang itu sama kita rasakan. Lebih risau lagi Anis Matta selanjutnya memperkirakan bahwa dengan demikian telah tampak “isyarat kematian sebuah bangsa”. Tapi jangan, janganlah kiranya malapetaka sakratul maut itu terjadi.
Pahlawan yang didambakan Anis bukan saja pahlawan yang membebaskan bangsa dari krisis besar atau pahlawan di medan peperangan gawat, tapi jauh lebih luas lagi bentangannya, pahlawan dunia pemikiran, pendidikan, keilmuan, pebisnis, kesenian dan kebudayaan. Demikianlah esensi renungannya yang dapat kita tangkap dari himpunan 76 kolom Serial Kepahlawanan majalah Tarbawi ini.
Bacaannya yang luas dalam sejarah kepahlawanan dunia Islam memungkinkan pengarang membentangkan panorama tarikh (sejarah) sejak zaman Rasulullah sampai masa kini secara informatif dalam kemasan kolom ringkas dan padat, sependek 400-500 kata. Tidak mudah menulis ringkas bernas, seperti juga tidak gampang bicara pendek padat makna. Menulis panjang bertele-tele dan berbual berlama-lama, mudah. Kolom-kolom alit Anis ini sedap dibaca, bahasanya terpelihara, puitis di sini-sana, pilihan judul mengena, metaforanya cerdas, pesannya jelas, dan disampaikan dengan rendah hati.
• Menurut Anis, sejarah sesungguhnya “merupakan industri para pahlawan.” Dalam “skala peradaban” setiap bangsa bergiliran “merebut piala kepahlawanan.” Mereka selalu muncul di saat-saat sulit, atau sengaja (Allah) lahir (kan mereka) di tengah situasi yang sulit. Pahlawan sejati senantiasa pemberani sejati. Keberanian itu fitrah tertanam pada diri seseorang, atau diperoleh melalui latihan. Keduanya ini berpijak kuat pada keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Dengarlah nasihat Umar bin Khattab: “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”
• Pahlawan dari generasi sahabat punya daya cipta sarana materi di tiga wilayah: di medan perang, dalam percaturan politik dan di dunia bisnis. Abu Bakar dan Utsman bin Affan biasa menginfakkan total hartanya, bukan sekedar marginnya, untuk memulai usaha dari nol kembali, karena mereka yakin pada kemampuan daya cipta sarana materi mereka. Umar bin Khattab dan Abdurrahman bin Auf selalu menyedekahkan 50% hartanya untuk ummat. Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid; keduanya adalah petarung sejali, pemimpin sejati dan juga pebisnis sejati. Berkata Umar: “Tak ada pekerjaan yang paling aku senangi setelah perang di jalan Allah, selain dari bisnis.” Ini menjelaskan mengapa generasi sahabat bukan hanya mampu memenangkan seluruh pertempuran, tapi juga mampu menciptakan kemakmuran setelah mereka berkuasa.
• Pahlawan mukmin sejati tidak membuang energi mereka untuk memikirkan apakah ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia, apakah ia akan ditempatkan dalam liang lahat Taman Pahlawan. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Kata kunci mencapai ini adalah keikhlasan. Inilah yang membedakan mereka dengan pahlawan sekuler. Sama menderita masuk penjara, sama terbuai di tiang gantungan, tapi yang satu karena dunia fana, dan yang satu lagi karena Allah semata.
Tiga butir pikiran Anis Matta di tiga paragraf di atas, saya kutipkan untuk cicipan awal para pembaca sebelum menikmati sendiri hidangan kumpulan kolom yang laziz jiddan ini. Tapi Anis tidak selalu serius, dia sesekali bisa juga melucu. Di kolom “Sahabat Sang Pahlawan” dikisahkannya pahlawan ilmu dan sastra kita, Buya Hamka, yang datang bersama istri beliau ke sebuah majelis, memenuhi undangan ceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, protokol juga mempersilakan istri beliau untuk berceramah. Ini dilakukan dengan sangkaan baik saja: istri sang ulama mungkin juga memiliki ilmu yang sama. Dan, istri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Tapi itu cuma satu menit. Setelah memberi salam, istri beliau berkata: “Saya bukan penceramah. Saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”
Selamat menikmati buku Mencari Pahlawan Indonesia ini. Semoga, seperti yang disebutkannya dalam kolom paling akhir, yang dicari itu “bahkan sudah ada di sini. Mereka hanya belum memulai. Mereka hanya perlu berjanji untuk merebut takdir kepahlawanan mereka.” Mudah-mudahanlah begitu.
Jakarta, 3 Ramadhan 1424 H / 29 Oktober 2003.
Taufiq Ismail
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-14 Pesan untuk Orang-orang Biasa
Kumpulan tulisan ini adalah anak-anak zamannya. Lahir saat badai menerpa seluruh sisi kehidupan bangsa kita. Kumpulan tulisan ini adalah kerja kecil untuk tetap mempertahankan harapan dan optimisme kita di tengah badai itu. Krisis adalah takdir semua bangsa. la tidak perlu disesali. Apalagi dikutuk. Kita hanya perlu meyakini sebuah kaidah, bahwa masalah kita bukan pada krisis itu. Tapi pada kelangkaan pahlawan saat krisis itu terjadi. Itu tanda kelangsungan hidup atau kehancuran sebuah bangsa.
Pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam masa yang panjang, sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukanlah malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil jadi sebuah gunung: karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.
Orang-orang biasa yang melakukan kerja-kerja besar itulah yang kita butuhkan di saat krisis. Bukan orang-orang yang tampak besar tapi hanya melakukan kerja-kerja kecil lalu menulisnya dalam autobiografinya. Semangat untuk melakukan kerja-kerja besar dalam sunyi yang panjang itulah yang dihidupkan kumpulan tulisan ini. Maka tulisan-tulisan ini mencoba menghadirkan makna-makna yang melatari sebuah tindakan kepahlawanan. Bukan sekadar cerita heroisme yang melahirkan kekaguman tapi tidak mendorong kita meneladaninya.
Para pahlawan bukan untuk dikagumi. Tapi untuk diteladani. Maka makna-makna yang melatari tindakan mereka yang perlu dihadirkan ke dalam kesadaran kita. Jadi tulisan-tulisan ini adalah pesan untuk orang-orang biasa, seperti saya sendiri, atau juga Anda para pembaca, yang mencoba dengan tulus memahami makna-makna itu, lalu secara diam-diam merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung karya.
Sukses buku ini tidak perlu diukur dengan tirai besar. Tapi jika ada satu-dua hati yang mulai tergerak, dan mulai bekerja, saya akan cukup yakin berdo’a kepada Allah: “Ya Allah, jadikanlah kerja kecil ini sebagai kendaraan yang akan mengantarku menuju ridha dan surga-Mu.”
Utan Kayu, 27 Januari 2004
Anis Matta
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-15 Pentingnya Sirah Nabawiyah untuk Memahami Islam
Tujuan mengkaji Sirah Nabawiyah bukan sekadar untuk mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah yang mengungkapkan kisah-kisah dan kasus yang menarik. Karena itu, tidak sepatutnya kita menganggap kajian Fikih Sirah Nabawiyah termasuk kajian sejarah, sebagaimana kajian sejarah hidup salah seorang khalifah atau suatu periode sejarah yang telah silam.
Tujuan mengkaji Sirah Nabawiyah ialah agar setiap Muslim memperoleh gambaran tentang hakikat Islam secara paripurna, yang tercermin dalam kehidupan Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sesudah ia dipahami secara konsepsional sebagai prinsip, kaidah, dan hukum. Sirah nabawiyah hanya merupakan upaya aplikatif yang bertujuan untuk memperjelas hakikat Islam secara utuh dalam keteladanannya yang tertinggi, Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam.
Bila kita rinci, maka dapat dibatasi dalam beberapa sasaran berikut ini :
- Memahami pribadi kenabian Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam melalui celah-celah kehidupan dan kondisi-kondisi yang pernah dihadapinya, untuk menegaskan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya seorang yang terkenal di antara kaumnya, tetapi sebelum itu beliau adalah seorang Rasul yang didukung oleh Allah dengan wahyu dan taufik dari-Nya.
- Agar manusia mendapatkan gambaran Al Matsal Al A’la menyangkut seluruh aspek kehidupan yang utama untuk dijadikan undang-undang dan pedoman kehidupannya. Tidak diragukan lagi betapa pun manusia mencari matsal a’la (tipe ideal) mengenai salah satu aspek kehidupan, dia pasti akan mendapatkan didalam kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam secara jelas dan sempurna. Karena itu, Allah menjadikannya suri tauladan bagi seluruh manusia.
Firman Allah: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.” (QS Al Ahzab : 21). - Agar manusia mendapatkan, dalam mengkaji Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ini sesuatu yang dapat membawanya untuk memahami kitab Allah dan semangat tujuannya. Sebab, banyak ayat-ayat Al Quran yang baru bisa ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya melalui peristiwa-peristiwa yang pernah dihadapi Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan disikapinya.
- Melalui kajian Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ini seorang muslim dapat mengumpulkan sekian banyak pengetahuan Islam yang benar, baik menyangkut aqidah, syariah ataupun akhlak. Sebab tak diragukan lagi bahwa kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam merupakan gambaran yang konkrit dari sejumlah prinsip dan hukum Islam.
Di antara hal itu terpenting yang menjadikan Sirah Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam cukup untuk memenuhi semua sasaran ini adalah bahwa seluruh kehidupan beliau mencakup seluruh aspek sosial dan kemanusiaan yang ada pada manusia, baik sebagai pribadi ataupun sebagai anggota masyarakat yang aktif.
Kehidupan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepada kita contoh-contoh mulia, baik sebagai pemuda Islam yang lurus perilakunya dan terpercaya di antara kaum dan juga kerabatnya, ataupun sebagai da’i kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik, yang mengerahkan segala kemampuan untuk menyampaikan risalahnya. Juga sebagai kepala negara yang mengatur segala urusan dengan cerdas dan bijaksana, sebagai suami teladan dan seorang ayah yang penuh kasih sayang, sebagai panglima perang yang mahir, sebagai negarawan yang pandai dan jujur, dan sebagai Muslim secara keseluruhan (kaffah) yang dapat melakukan secara imbang antara kewajiban beribadah kepada Allah dan bergaul dengan keluarga dan sahabatnya dengan baik
Jadi, kajian Sirah Nabawiyah ini tidak lain hanya menampakkan aspek-aspek kemanusiaan ini secara keseluruhan yang tercermin dalam suri tauladan yang paling sempurna dan terbaik.
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-15 O, Pahlawan Negeriku
“Di masa pembangunan ini”, kata Chairil Anwar mengenang Diponegoro, “Tuan hidup kembali. Dan bara kagum menjadi api”.
Kita selalu berkata jujur kepada nurani kita ketika kita melewati persimpangan jalan sejarah yang curam. Saat itu kita merindukan pahlawan. Seperti Chairil Anwar tahun itu, 1943, yang merindukan Diponegoro. Seperti juga kita saat ini. Saat ini benar kita merindukan pahlawan itu. Karena krisis demi krisis telah merobohkan satu per satu sendi bangunan negeri kita. Negeri ini hampir seperti kapal pecah yang tak jemu-jemu dihantam gulungan ombak.
Di tengah badai ini kita merindukan pahlawan itu. Pahlawan yang, kata Sapardi, “telah berjanji kepada sejarah untuk pantang menyerah”. Pahlawan yang, kata Chairil Anwar, “berselempang semangat yang tak bisa mati.” Pahlawan yang akan membacakan “Pernyataan” Mansur Samin:
Demi amanat dan beban rakyat
Kami nyatakan ke seluruh dunia
Telah bangkit di tanah air
Sebuah aksi perlawanan
Terhadap kepalsuan dan kebohongan
Yang bersarang dalam kekuasaan
Orang-orang pemimpin gadungan
Maka datang jugalah aku ke sana, akhirnya. Untuk kali pertama. Ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Seperti dulu aku pernah datang ke makam para sahabat Rasulullah saw di Baqi’ dan Uhud di Madinah. Karena kerinduan itu. Dan kudengar Chairil Anwar seperti mewakili mereka:
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Tulang-tulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka? Ataukah tak lagi ada wanita di negeri ini yang mampu melahirkan pahlawan? Seperti wanita-wanita Arab yang tak lagi mampu melahirkan lelaki seperti Khalid bin Walid?
Ataukah tak lagi ada ibu yang mau, seperti kata Taufiq Ismail di tahun 1966, “Merelakan kalian pergi berdemonstrasi.. Karena kalian pergi menyempurnakan.. Kemerdekaan negeri ini.”
Tulang belulang berserakan itu. Apakah makna yang kita berikan kepada mereka?
Ataukah, seperti kata Sayyid Quthub, “Kau mulai jemu berjuang, lalu kau tanggalkan senjata dari bahumu?”
Tidak! Kaulah pahlawan yang kurindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu.
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-16 Naluri Kepahlawanan
Pekerjaan-pekerjaan besar dalam sejarah hanya dapat diselesaikan oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Tantangan-tantangan besar dalam sejarah hanya dapat dijawab oleh mereka yang mempunyai naluri kepahlawanan. Itulah sebabnya kita menyebut para pahlawan itu orang-orang besar.
Itu pula sebabnya mengapa kita dengan sukarela menyimpan dan memelihara rasa kagum kepada para pahlawan. Manusia berhutang budi kepada para pahlawan mereka. Dan kekaguman adalah sebagian dari cara mereka membalas utang budi. Mungkin, karena itu pula para pahlawan selalu muncul di saat-saat yang sulit, atau sengaja dilahirkan di tengah situasi yang sulit. Mereka datang untuk membawa beban yang tak dipikul oleh manusia-manusia di zamannya. Mereka bukanlah kiriman gratis dari langit. Akan tetapi, sejarah kepahlawanan mulai dicatat ketika naluri kepahlawanan mereka merespon tantangan-tantangan kehidupan yang berat. Ada tantangan dan ada jawaban. Dan hasil dari respon itu adalah lahirnya pekerjaan-pekerjaan besar.
Tantangan adalah stimulan kehidupan yang disediakan Allah untuk merangsang munculnya naluri kepahlawanan dalam diri manusia. Orang-orang yang tidak mempunyai naluri ini akan melihat tantangan sebagai beban berat maka mereka menghindarinya dan dengan sukarela menerima posisi kehidupan yang tidak terhormat. Namun, orang-orang yang mempunyai naluri kepahlawanan akan mengatakan tantangan-tantangan kehidupan itu: Ini untukku. Atau seperti ungkapan orang-orang shadiq dalam perang Khandaq yang diceritakan Al-Qur’an, Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan. (Al Ahzab: 22)
Naluri kepahlawanan lahir dari rasa kagum yang dalam kepada kepahlawanan itu sendiri. Hal itu akan menggoda sang pengagum untuk melihat dirinya sembari bertanya, “Apa engkau dapat melakukan hal yang sama?” Dan jika ia merasa memiliki kesiapan-kesiapan dasar, ia akan menemukan dorongan yang kuat untuk mengeksplorasi segenap potensinya untuk tumbuh dan berkembang. Jadi, naluri kepahlawanan adalah kekuatan yang mendorong munculnya potensi-potensi tersembunyi dalam diri seseorang, kekuatan yang berada dibalik pertumbuhan ajaib kepribadian seseorang.
Dalam serial Jenius-Jenius Islam, Abbas Mahmud Al Aqqad menemukan kunci kepribadian Abu Bakar Ash Shiddiq dalam kata kekaguman kepada kepahlawanan. Kunci kepribadian, kata Al-Aqqad, adalah perangkat lunak yang dapat menyingkap semua tabir kepribadian seseorang. Ia berfungsi seperti kunci yang dapat membuka pintu dan mengantar kita memasuki semua ruang dalam rumah itu. Dan kita hanya dapat memahami pekerjaan-pekerjaan besar yang telah diselesaikan Abu Bakar dalam kunci rahasia ini. Apakah Anda juga memiliki kunci rahasia itu? Saya tidak tahu.
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-17 Penggodok Batu
Sampai hari ini saya belum dengar ada yang menyalahkan sang ibu yang menggodok batu, agar anak-anaknya tertidur lantaran tak ada lagi bahan makanan yang dapat dimasaknya. Mungkin sejarah akan sangat kecewa bila Khalifah Umar bin Khattab tidak segera datang dan serta merta pergi ke gudang logistik negara, lalu bergegas memanggul sendiri tepung yang akan mengubah batu menjadi roti.
Hari ini sejarah melihat banyak ibu merebus apa saja, termasuk kucing (kebablasan), agar anak-anaknya tidak tidur, alias mati kelaparan. Sementara ada banyak orang yang terus menerus menjanjikan batu (dan terigu), namun tak pernah membuktikannya, padahal secara pribadi mereka lebih kaya dari Umar.
Sebagian pembaca mungkin terperanjat dan segera menyergah : “Nah, betul kan, agama itu candu untuk rakyat?”
Tunggu dulu, Tuan. Agama bukan candu rakyat. Tuan boleh katakan : “Agama itu batu dan terigu buat rakyat.”
Di banyak tempat rakyat melempar batu karena tak dapatkan terigu. Di Palestina rakyat melempar batu ke arah Zionis yang kepala serta hati mereka terbuat dari batu. Hati serdadunya boleh jadi terigu yang meleleh melihat prajurit kecil yang tak kunjung selesai melempar batu. Para politisi dan rabinya berhati batu, bahkan lebih keras daripada batu, karena batupun masih “…dapat mengeluarkan air.” (QS 2:74)
Palestina tidak punya senjata lain kecuali batu. Itulah “agama” yang paling primitif, agama batu, yang sangat ditakuti Yahudi dan sangat efektif di zaman ultra modern ini, minimal untuk sekedar mengingatkan bahwa Palestina masih ada dan tetap siap berlaga.
Pada saat batu-batu beterbangan dari arah demonstran ke aparat keamanan, mereka menjadi “sabda kebenaran” yang tak dapat diganggu gugat. Jangan tanya manusiawi atau tidak. “Hari ini makan rezeki batu,” kata serdadu yang kelelahan menahan hujan batu dan tak boleh membalas.
Buat kredibilitas kita, ini batu sandungan,” kata pengambil keputusan, seraya berfikir bagaimana menyusun press release. Dengan tujuan yang sangat berbeda, para Bonek menggunakan batu untuk menghancurkan genteng dan kaca ruamh penduduk serta kereta api. “Jununul kurah” (gila bola) telah ikut memanfaatkan senjata intifadhah untuk menggugat entah siapa.
Dari apa terbuat hati para provokator perusuhan Ambon, teror Banyuwangi, teror Dili, Larantuka, Abepura, Poso, Kupang, Sambas, bahkan 14 Mei 1998? Juga hati petawur antarsekolah dan antargang? Semoga tak ada yang menjawab: “Dari batu, atau tak terbuat dari apa-apa alias tak punya hati.”
Di banyak kawasan, rakyat yang punya semangat kerja sepakat membangun, entah masjid atau madrasah. Kelak, dari kasus-kasus pembangunan yang tak selesai muncul pemeo “pakar batu pertama”, karena tak pernah selesai dengan batu terakhir.
Dalam jajaran para Rasul, Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang datang paling akhir menjadi penutup dan penyempurna. Dengannya bangunan agama ini menjadi jelas wujud dan karakteristiknya. “Perumpamaan aku dan para Nabi sebelumku, seperti seseorang yang membangun rumah. Setiap Nabi telah meletakkan batu pada tempatnya. Tinggallah satu batu penjuru yang belum. Akulah yang menggenapinya.” (HR Bukhari & Muslim)
Kursi dan Batu
Berbahagialah mereka yang tak tahu politik. Berbahagialah mereka yang tak tahu arti kebahagiaan. Lebih berbahagia lagi mereka yang tahu politik dan mau berpolitik untuk menjinakkan politik. Karirnya sebagi penjinak politik.
Mengapa orang begitu sinis dengan politik? Barangkali karena kecewa dengan ulah para politisi.
Mereka kumpulkan batu-batu untuk menyusun tangga yang akan menyampaikan mereka ke puncak kekuasaan dan memborong seribu kursi perwakilan. Mereka boleh bersiap jika rakyat yang mereka wakili marah dan mulai lempar batu. Siapa peduli penyelesaian masalah demi masalah yang diwariskan generasi lampau. Rakyat memang hanya punya satu senjata: protes dan satu kesempatan: sekarang! Selebihnya urusan para pengambil keputusan. Si licik tinggal impor terigu dengan jaminan harga diri dan kehormatan bangsa. Yang lebih berbahaya bila kursi yang diperebutkan dengan kelelahan mendaki tangga-tangga batu telah merobah hati manusianya menjadi batu. Bahkan ada kader partai yang sebelum mendapat kursi, hatinya telah bertukar batu. Dusta, nifaq, intrik, khianat dan egoismenya adalah lelehan najis yang keluar dari hati yang batu. Ditingkah cairan sifat suka menjilat dan rekayasa ayat, lengkap sudah pentas perpolitikan dipenuhi biang laknat.
Batu Ujian
Partai Anda partai orang-orang bersih? Tidak ada jaminan pribadi otomatis baik. Klaim dan imitasi adalah sikap khas ahli kitab sepanjang masa yang di otaknya hanya terpola satu pemikiran: “Takkan masuk surga kecuali Yahudi atau Nasrani.”(QS.2:111)
Silakan masuk lewat pintu Yahudi atau Nasrani. Pintu Islam hanya terbuka bagi mereka yang : “…..Menyerahkan dirinya kepada Allah seraya terus ihsan, maka ia berhak mendapatkan ganjaran disisi rabbnya, tiada mereka rasakan ketakutan dan tiada mereka dapat kesedihan.” (QS 2:112)
Kalau ada kanker yang menggerogoti agama-agama, maka diantaranya bisa berbentuk umat yang hanya berbangga dengan status, tak peduli dengan nilai dan kualitas, lalu menjadikan simbol status itu sebagai gincu saja atau alat justifikasi kezaliman.
Dalam Pesan untuk Bangsa-bangsa Timur, Iqbal menyindir :
cuma gereja, kuil, masjid, dan rumah berhala
kau bangun lambang-lambang penghambaanmu
tak pernah dalam hati kau bangun dirimu
hingga kau tak bisa jadi utusan merdeka
Era da’wah kelembagaan yang mengambil bentuk partpol adalah era setiap orang berpacu dan bergiat dalam kendaraan kolektifnya, dengan segala kreasi besar yang ditumbuhkan oleh niat dan cita-cita besar, walau sekecil apapun langkah yang bisa diayunkannya dan huruf-huruf sejarah yang bisa dipahatkannya. Bila popularitas yang dipanen hari ini dianggap sebagai buah dari benih yang ditanam hari ini juga, maka genap sudah kedunguan Yahudi dalam diri sang aktivis, tepatnya sang parasit.
Yang malas kembali ke surau-surau dan gubug-gubug untuk mengeja kata demi kata pesan suci yang telah membesarkan komunitas ini. Yang lebih bernafsu mendeklamasikan do’a dengan suara menggeram, memaksa orang menangis di siang terang, lalu ia sendiri tertidur mendengkur sampai pagi melewati malam-malam, tanpa sujud, tanpa doa, tanpa rintihan. Perutnya terlalu kenyang dengan jamuan pertemuan, sementara gelap malam telah melindunginya dari intaian penilai dungu yang mengira betapa panjang tahajjudnya, betapa lirih doanya, betapa bening hatinya!
Ia yang resah mempertahankan identitas da’wahnya, gelisah dan ingin cepat-cepat kembali ke gita cinta zaman SMA, lalu menginginkan rapat-rapatnya benar-benar rapat laki-laki dan perempuan, bergurau bebas, berbaur lepas. Lepas dari norma-norma santrinya.
Yang meluncur dengan janji-janji politik yang tak bisa dipenuhinya, si pandir yang menggunakan forum walimah dan bakti sosial untuk mendikte orang lain menerima partainya yang ‘paling hebat’ tanpa melihat bibir mereka yang mencibir mengejek jamaahnya.
Yang mulai grogi seraya mencari celah berlari ketika satu bunga Al-Qur’an gugur sebagai syahid da’wah, ingatlah Musa pun pernah ngeri melihat tantangan besar di hadapannya, namun ia tak larut dalam perasaan takut yang manusiawi namun tidak imani itu.
Batu Sendi
Kader, sesungguhnya nama harum harimu dibangun diatas fakta-fakta yang berakar dalam ke masa lalu, ketika da’wah ini bermula. Di gubug-gubug gang sempit lahirnya. Berpeluh di kendaraan umum dalam rute-rute panjang aktifisnya. Menapak jalan-jalan kota dan desa, nyaris tanpa sepatu kadernya. Mengorbankan nikmat tidur dengan pulang larut pagi. Jauh dari hingar-bingar massa yang menyambut dengan gegap gempita. Lapar dan haus jadi kata yang asing untuk dieja pada entri kamusnya, karena telah berganti dengan kesenangan menghirup sepuas hati telaga Al-Qur’an.
Adapun Sa’ad dan Mush’abnya, telah meninggalkan gedung bapaknya yang megah, tanpa suara duduk bersimpuh di rumah-rumah Arqam bin Abi Arqam yang tanpa papan nama, tanpa grup musik, mitos atau tokoh kharismatik. Yatimlah anak-anaknya, karena tak satu bapak mau mengakuinya.
Adapun Khadijah, Fathimah dan Sumayyahnya terusir dari kelas-kelas sekolah yang dibangun dengan pajak ummatnya karena tak mau melepas pakaian taqwa penutup aurat mereka. Tanpa pemasaran lewat catwalk rumah-rumah butik yang hari ini menjamur, tanpa bayar royalti kepada para korban yang diusir dari sekolah mereka. Mendunia kebangsaannya tanpa kehilangan kecintaan yang tulus ke puak sendiri. Bila ada yang berbangga dengan kelompok, suku atau bangsa, segera rajaz melantun dari mulut Salmannya: “Ayahku Islam dan tak ada lagi bapak selainnya bila mereka berbangga dengan Qais dan Tamim.”
Dan dalam kerja, semboyan ini meningkat gelora jiwanya menepiskan semua pengandalan status dan nama besar : “Siapa yang lamban amalnya, tak dapat dipercepat oleh nasabnya.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-19 Baitud Da’wah
Suatu malam menjelang fajar, dalam inspeksi rutinnya, Khalifah II Umar bin Khathab mendengar dialog menarik antara seorang ibu dengan gadis kencurnya.
“Cepatlah bangun, perah susu kambing kita dan campurkan dengan air sebelum orang bangun dan melihat kerja kita.”
“Bu, saya tidak berani, ada yang selalu melihat gerak-gerik kita.”
“Siapa sih sepagi ini mengintai kita?” sang ibu bertanya.
“Bu, Allah tak pernah lepas memperhatikan kita.”
Khalifah segera kembali dengan satu tekad yang esok akan dilaksanakannya, melamar sang gadis untuk puteranya, ‘Ashim bin Umar. Kelak dari pernikahan ini lahir seorang cucu: Umar bin Abdul Azis, khalifah kelima.
***
Tuan dan Nyonya da’wah yang saya hormati.
Tentu saja istilah baitu da’wah ini tidak dimaksudkan sebagai rumah tempat warganya setiap hari berpidato. Juga bukan keluarga dengan aktivitas belajar mengajar seperti layaknya sebuah sekolah formal. Ia adalah sebuah wahana tempat pendidikan berlangsung secara mandiri dan alami namun bertarget jelas.
Ada kegawatan yang sangat ketika roda keluarga meluncur tanpa kendali. Saat salah seorang anggotanya sadar apa yang sedang terjadi, segalanya mungkin telah terlambat. “Keterlambatan” itu dapat mengambil bentuknya pada ABG yang asing dari nilai-nilai ayah ibunya, atau ayah yang lupa basis keluarganya oleh kesibukan kerja di luar, atau ibu yang terpuruk dalam rutinitas yang membunuh kreativitasnya, atau karir yang menggilas peran dan fitrah keibuannya.
Banyak orang merasa telah menjadi suami, isteri, atau ayah dan ibu sungguhan, padahal mereka baru menjadi ayah, ibu, suami atau istri biologis. Sangat kasar kalau diistilahkan menjadi jantan, betina, atau induk dan biang, walaupun dalam banyak hal ternyata ada kesamaan. Kalau hanya memberi makan dan minum kepada anak-anak: kambing, ayam, dan kerbau telah memerankan fungsi tersebut dengan sangat baik. Dan isu sentral “pewarisan nilai-nilai kehidupan” dalam kehidupan mereka tak ada soal. Buktinya tak satupun anak ayam yang berkelakuan kerbau, atau anak kerbau berkelakuan belut, atau anak kambing berkelakuan serigala. Adalah suatu penyimpangan bahwa anak manusia bertingkah laku babi, serigala, harimau, atau musang.
Tentu saja ini tidak dimaksud mendukung program robotisasi anak yang dipaksa menghapal seluruh program yang dijejalkan bapak ibunya tanpa punya peluang menjadi dirinya sebagai hamba Allah, karena mereka harus menjadi hamba ayah, hamba ibu, dan hamba guru. Ini tidak ada hubungannya dengan program tahfidz atau apresiasi seni Islam yang menjadi bagian dari sungai fitrah tempat air kehidupan mengalir sampai jauh.
Misteri Berkah
Saat ini ada beberapa keluarga sederhana, dibimbing oleh “intuisi” kebapakan dan keibuan, mendapat berkah dalam mendidik anak-anak mereka. Anak SMU-nya lulus dengan baik, plus hapal 1000 Alfiah Ibnu Malik, rujukan utama gramatika Arab (nahwu). Lumayan mengagumkan, jebolan SMU menjadi rujukan sesama mahasiswa di sebuah universitas terkemuka di negara Arab. Tahun-tahun berikutnya sang adik menyusul dengan hak bea siswa ke sebuah universitas unggulan di Eropa. Lainnya bisa melakoni dua kuliah yang “pelik” : bahasa Arab di sebuah kolese paling representatif sementara siangnya mengambil jurusan ekonomi.
Kemenakannya hafal Al Qur’an 30 juz menjelang akhir semester delapan di Institut Teknologi paling bergengsi di negeri ini. Kemenakan lainnya lulus akademi militer angkatan darat tanpa kehilangan kesantriannya yang pekat.
Sang bapak jauh dari penguasaan teori ilmu-ilmu pendidikan. Ketika digali hal yang spesial dari kelakuannya, muncul jawaban yang signifikan: kecintaan keluarga tersebut kepada ulama (dalam arti yang sesungguhnya) dan keberaniannya amar ma’ruf nahi mungkar tanpa harus selalu mengandalkan mimbar tabligh.
Mengesankan sekali ucapan Ali Zainal Abidin, cucu Ali bin Abi Thalib, “Barang siapa meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, maka anak, istri, dan pembantunya pun akan membangkang kepadanya.”
Ternyata memang, keikhlasan seorang atau keluarga kerap menembus sampai generasi sesudahnya. Boleh jadi seseorang telah menjadi bagian dari da’wah yang besar dan berkah, tetapi bukan sikap da’i yang dirawatnya. Alih-alih dari membimbing masyarakat dengan fiqh dan akhlak da’iyah, justru sebaliknya, hanya ghibah dan pelecehan yang digencarkannya terhadap masyarakat. Padahal besar kemungkinan mereka tidak tersentuh da’wah atau tidak mendapatkan komunikasi yang memadai.
Ikhlas, Nilai Plus yang Menembus Lintas Generasi
Keikhlasan yang “naif” nabi Ibrahim yang rela -demi melaksanakan perintah Allah- meninggalkan istri dan bayinya di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah Allah yang dihormati (QS Ibrahim : 37) menghasilkan bukan hanya turunan nasab yang konsisten, tetapi juga turunan fikrah yang militan.
Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik yang begitu stabil emosinya dan begitu mendalam keikhlasannya menerima kematian bayinya, mendapat 100 anak dan cucu, semuanya telah hafal Al Qur’an dalam usia sangat dini. Itu hasil hubungan yang penuh berkah -ditingkahi doa berkah Rasulullah SAW di malam yang sangat beralasan baginya untuk “meratapi” bayinya yang tiada. Demikian pula pengkhianatan istri nabi Luth dan nabi Nuh -yang karenanya Allah menyebutnya dengan imra’ah (perempuan) bukan zaujah (istrinya)- melahirkan generasi yang sangat berbeda.
Yang satu generasi sangat rabbani sepertiNabi Ismail as, yang cermin kepribadiannya membersit dalam ungkapan pekat nilai-nilai tauhid: “Ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, akan kau temukan daku insya Allah termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash Shaffat : 102)
Di seberang lain dengan pongahnya Yam bin Nuh berkata saat ayahnya mengajak naik bahtera penyelamat, “Aku akan berlindung ke gunung yang akan menyelamatkanku dari air bah.” (QS Hud : 43)
Di zaman ketika setiap serigala dengan mudah menyerbu masuk ke rumah-rumah yang tak lagi berpagar dan berpintu, siapa yang merasa aman dan mampu melindungii anak-anak fitrah dari terkamannya? Siapa yang tabah melindungi gelas bening dan kertas putih suci itu dari ancaman yang setiap waktu dapat memecah-hancurkan dan mencemari mereka? Siapa yang tak bergetar hatinya melihat cermin bening yang semestinya ia perhatikan betul raut wajahnya di sana, seraya merintihkan desakan suara hatinya dalam sujud panjang di keheningan malam:
“Dan Kami telah berpesan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orangtuanya. Ibunya mengandungnya dengan susah dan melahirkannya dengan susah. (Masa) hamil dan menyapihnya tiga puluh bulan. Sehingga ketika ia mencapai masa kautnya dan mencapai usia empat puluh tahun ia berkata : “Ya Rabbi, ajarkan daku agar dapat mensyukuri nikmat yang engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan beramal shalih yang Engkau ridhai serta perbaikilah untukku dalam keturunanku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu, dan aku termasuk kaum yang menyerahkan diri.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-20 Keberanian
Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu selalu menyimpan risiko. Dan, tak ada keberanian tanpa risiko.
Naluri kepahlawan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan risiko yang akan diterimanya.
Cobalah perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Cobalah perhatikan betapa Al-Qur’an memuji ketegaran dalam perang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada risiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat Muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah naungan pedangl” Adakah makna lain, selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke surga? Maka, dengarlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.“
Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kual terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas’ud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali, dan Khalid. Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka, beruntunlah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda, dan memanah. Dengarlah sab-da Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis. Karena ia bisa diganti orang lain jika ia tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.“
Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah.” Itu semua sekelompok keterampilan fisik yang mcndukung muneulnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keheranian iman. Maka, dengarlah nasehat Umar, “Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.“
Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian.Andaikata kalian berada diperut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian.” Roh keberanian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini?
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-21 Bersama Amal Thulabi Membangun Peradaban
Guru! Apa yang masih menarik dari sebutan ini di saat ummat mengalami keterpurukan moral? Ketahuilah, Hasan Al Bana, sang pendiri Ikhwanul Muslimun, menjadikan kata “guru” sebagai predikat akhir dari perjuanga nya. Beliau menggariskan bahwa tujuan akhir dari murotibul amal yang disusunnya adalah ustadziyatul alam; menjadi guru peradaban. Tujuan akhir ini memang tidak lebih sering diucapkan dibanding tujuan-tujuan antaranya. Namun di masa depan, kata “guru” secara proporsional harus dikembalikan kewibawaannya. Hingga segenap aktivis harakah memahami benar tujuan hakiki dari tertib amal yang sedang ditekuninya.
Perbincangan seputar wacana guru juga akan segera mengingatkan para aktivis harakah tentang inti sebuah peradaban; manusia. Lebih khusus lagi wacana ini akan membentangkan betapa luasnya lahan pembinaan generasi muda, dan betapa masih jauhnya perjalanan dakwah untuk itu. Bagaimanapun istimroriyatudda’wah (kesinambungan dakwah) amat sangat tergantung pada keberhasilan guru-guru yang mampu mewariskan sifat-sifat kenabian dari generasi ke generasi.
Kemanakah guru-guru di jajaran harakah Islamiyah seharusnya membidik barisan inti perjuangannya? Jawabnya adalah ke kaum terpelajar. Merekalah SDM (Sumber Daya Manusia) strategis peradaban di zaman ini. Mereka pulalah yang potensial mengemban misi kenabian di masa-masa yang akan datang. Mereka katakanlah, semacam “nabi kolektif” yang memberi pengharapan terhadap ummat tentang masa depan yang cerah.
Buku setebal 249 halaman ini kebetulan mengisahkan tentang bagaimana sebuah perubahan diusung oleh elit terpelajar yang disebutnya sebagai “thullaby.” Kisah tentang bagaimana sifat-sifat kenabian itu diwariskan melalui sebuah manajemen dakwah di kalangan generasi muda terpelajar. Buku ini mengukuhkan amal thullaby (dakwah kampus) sebagai lingkaran dakwah pertama yang menjadi inti harakah islamiyah — kemudian amal mihany (dakwah profesi) dan akhirnya amal siyasi (dakwah partai politik). Urut-urutan amal ini seolah telah menjadi khittah perjuangan dunia Islam yang tengah mengalami keterpurukan semenjak runtuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani di awal abad 20.
Tesis tentang elit terpelajar sebagai anashirut taghyir (agent of change) memang bukan hanya milik dunia Islam. Perubahan di berbagai negeri di seganjang abad 20 telah menjadikan kaum terpelajar secara historis sebagai dalil perubahan. Meski bukan satu-satunya kekuatan perubah namun elit dari sebuah pergerakan mestilah kaum terpelajar. Di Indonesia, fenomena lahirnya kaum terpelajar di berbagai perguruan tinggi telah mendorong lahirnya organ-organ pergerakan kemerdekaan di awal abad 20. Tokoh-tokoh penting pergerakan itu kemudian menjadifoundingfathers Republik Indonesia.
Seorang Indonesianis menyebut lahirnya kaum terpelajar di perguruan tinggi-perguruan tinggi itu sebagai elit modern. Istilah elit modern sesungguhnya menandai pengaruh gelombang modernisasi di dunia Islam. Kepemimpinan tradisional yang semula dipegang oleh kaum bangsawan dan kaum ulama bergeser ke model kepemimpinan baru yang berasal dari perguruan tinggi-perguruan tinggi modern. Seiring dengan itu wacana kenegaraan pun berubah di dunia Islam. Ketika satu per satu dunia Islam membebaskan diri dari penjajahan Barat dan kemudian memerdekakan diri, bermunculanlah negara-negara modern dengan warna Barat yang sekuler.
Sepintas penjajah Barat telah berhasil menyapih negeri-negeri jajahannya untuk merdeka dengan model kepemimpinan dan negara modern ala Barat yang sekuler. Namun wacana kemoderenan di sisi lain ternyata mengandung sunnah-sunnah kehidupan yang objektif, yang apabila ditafsirkan sebagai hukum-hukum kekuatan dan kemajuan sebuah peradaban menjadi sesuatu yang bisa diadopsi dan diadaptasi ke dalam dunia Islam. Perdebatan tentang wacana ini misalnya telah melahirkan berbagai pendapat di seputar islamisasi science. Di Indonesia perdebatan ini dijembatani dengan memadukan iptek (ilmu pengetahuan teknologi) dan imtaq (iman dan taqwa). Diam-diam dunia Islam seperti menyepakati adanya nilai-nilai objektif dari kemoderenan. Bak mutiara yang hilang, nilai-nilai itu harus direbut kembali sebagai syarat-syarat yang tak terelakan dari sebuah supremasi peradaban.
Dalam konteks inilah strategi harakah islamiyah dapat mengambil manfaat dari tumbuh berkembangnya perguruan tinggi-perguruan tinggi dan bahkan negara modern yang dirancang Barat. Meski warna perguruan tinggi-perguruan tinggi dan negara di dunia Islam terimbas oleh sekularisme Barat, namun ada yang tetap tak mampu dijarah oleh Barat; aqidah. Dengan kekuatan aqidah kaum muslimin bahkan dapat “menikmati” perguruan tinggi dan negara rancangan Barat itu sebagai semata-mata sarana dakwah. Dengan kekuatan aqidah itu pula kaum muslimin dapat membangun kembali peradabannya tanpa harus menjadi sekuler atau menjadi Barat.
Bagi harakah islamiyah tidak semua yang datangnya dari Barat serta merta haram dan tidak pula serta merta halal. Mungkin saja permasalahannya bukan soal halal dan haram, tapi lebih merupakan hal-hal yang bersifat taktis. Dengan moderasi semacam itu harakah islamiyah dapat menuai hasil dakwahnya dari waktu ke waktu. Perlahan tapi pasti satu jenjang marhalah ke jenjang marhalah berikutnya ditapaki. Dari satu mihwar ke mihwar yang lebih luas cakupannya pun diraih.
Kembali pada buku ini, sungguh di dalamnya sarat berbagai pengalaman dakwah di negeri-negeri Islam dalam mengelola ruang-ruang yang semula seperti sempit menghimpit gerak dakwah menjadi peluang yang mendatangkan gelombang dakwah. Kiat-kiat praktis amal thullaby dipaparkan dengan sangat detail satu per satu. Buku ini seolah-olah ingin merangkum seluruh pertanyaan seputar amal thullaby dan seperti tidak merasa perlu banyak uraian lagi karena pembacanya sudah sangat ingin berkerja. Kumpulan gagasan yang terhimpun di buku ini bagai sebuah juklak yang tersusun secara sistematis mulai dari problem filosofis hingga teknis. Para aktivis dakwah terutama di kampus-kampus dan sekolah dapat menjadikannya sebagai buku pegangan dalam mengelola amal thullaby.
Sukses dakwah kampus yang ditandai oleh gelombang-gelombang perubahan ke arah cita-cita Islam pada gilirannya akan membangun kekuatan di masa depan. Semakin massif dan intensifnya dakwah Islam di kalangan terpelajar akan menciptakan kelas menengah yang siap mengusung perubahan secara mendasar dan menyeluruh. Dunia Islam sepertinya harus bersiap-siap menuai sebuah revolusi global yang akan menggusur rezim otoriter pewaris feodalisme pra Islam yang masih bercokol di negeri-negeri Islam; mungkin lebih dramatis dari Revolusi Prancis. Dunia Islam sepertinya juga harus bersiap-siap untuk menuai sebuah revolusi peradaban yang akan mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; mungkin lebih spektakuler dibanding Revolusi Industri. Bila semua itu benar-benar terjadi, atas izin Allah segenap dunia Islam satu per satu akan menapak ketinggian peradabannya di era pasca modern; di mana dunia benar-benar menjadi tanpa tapal batas, ummat menjadi guru peradaban, dan Islam menjadi rahmatan lil alamin.
Jakarta, 14 Agustus 2002
Mustafa Kamal
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-21 Memoar Hasan Al Banna untuk Da’wah dan Para Da’i
Saya tidak mengerti mengapa tiba-tiba saya berkeinginan kuat untuk menulis memoar ini, padahal dahulu saya sudah tidak ingin menulis memoar lagi seusai menulis memoar saya pada tahun 1943. Saya merasakan hal itu cukup melelahkan dan tidak menghasilkan kemanfaatan, kecuali sekedar memaknai kata-kata atau kesimpulan yang tidak sesuai dengan isinya hanya dengan alasan bahwa hal itu merupakan kemauan publik sebagai pihak yang punya “kekuasaan” untuk menuntut.
Boleh jadi hilangnya sebagian besar dari memoar saya itu merupakan sebab yang memotivasi saya untuk menulis memoar itu kembali. Sebab, tampaknya sayang sekali jika sebuah kenangan hidup hilang begitu saja, atau takut apabila hal itu akan terlupakan dan hilang ditelan masa, sedangkan itu merupakan lembaran-lembaran kehidupan yang akan dapat membahagiakan si penulisnya apabila ia membacanya kembali, selain dapat mewariskan kenangan itu kepada orang-orang sepeninggalnya. Sekalipun memoar saya yang pertama itu hilang, namun saya masih ingat kejadian-kejadiannya.
Barangkali inilah sebab lain yang membuat saya mempunyai keinginan untuk kembali menulis, sehingga perputaran zaman tidak lagi mendatangi memori ini. Perputaran siang dan malam pun terlupakan.
Apa pun alasan yang ada, saya memang senang menulis dan saya akan memenuhi keinginan saya untuk tetap menulis. Jika apa yang saya tulis itu adalah sesuatu yang benar, maka alhamdulillah; namun jika tidak, maka astaghfirullah. Saya yakin bahwa kalaupun tulisan ini tidak bermanfaat, insya Allah tetap tidak akan membawa mudharat. Namun kebaikanlah yang saya inginkan, dan Allah sajalah yang dapat memberi taufiq.
Kalaulah saya berpesan, (kepada orang-orang yang mendermakan dirinya untuk beramal dan mereka menyadari bahwa dirinya adalah orang yang rentan bersinggungan dengan pemerintah) agar mereka tidak usah getol menulis, hal itu karena lebih baik bagi dirinya dan bagi masyarakat banyak. Selain karena hal itu akan semakin menjauhkan kekeliruan penafsiran dan interpretasi.
“Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukan jalan yang lurus.” (Al Ahzab:4)
- Imam Hasan Al Banna
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-22 Shallu ‘Alan Nabi
Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan dicelah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak seorangpun mampu menguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta’dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan suara adzan.
Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia akan makan dilantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda rumah.
Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fatimah Azzahra dan Ali bin Abi Thalib. Fathimah merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya jadi manja dan hilang kemandirian. Saat Bani Makhzum memintanya membatalkan eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan; “Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan dia dan apabila yang mencuri itu seorang jelata mereka tegakkan hokum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya.”
Hari-harinya penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya untuk lebih dari satu dua kali berlomba jalan dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah binti Abu Bakar Assidiq. Lambang kecintaan, paduan kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih kepada Asshiddiq, sesuai dengan namanya “si Benar”. Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali para sahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab: “Labbaik”. Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya sebagai orang rumah”.
Di bawah pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat mulia.”Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap keluarganya dan akulah orang terbaik diantara kamu terhadap keluargaku. Tak akan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan tak akan menghina perempuan kecuali seorang hina.” Demikian pesannya.
Disela 27 kali pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau dipanglimai sahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia masih sempat mengajar Al-Qur’an, sunnah, hukum, peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal, masa antara dua petempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid yang berbahan pasir. Para sahabat sangat murka dan hampir saja memukulnya. Sabdanya kepada mereka : “Jangan, biarkan ia menyelesaikan hajatnya.” Sang Badui terkagum, ia mengangkat tangannya, “Ya Allah, kasihilah aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun bersama kami.” Dengan tersenyum ditegurnya Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap bercengkerama dengan para sahabatnya, bergaul dekat, bermain dengan anak-anak, Bahkan memangku balita mereka di pangkuannya. Ia terima undangan mereka: yang merdeka, budak laki-laki atau budak perempuan, serta kaum miskin. Ia jenguk rakyat yang sakit jauh di ujung Madinah. Ia terima permohonan maaf orang.
Ia selalu lebih dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan tak pernah menarik tangan itu sebelum sahabat tersebut yang menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di tengah sahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh ia panggil mereka dengan nama yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang, kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia shalat, ia cepat selesaikan shalatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang itu.
Pada suatu hari dalam perkemahan tempur ia berkata: “Seandainya ada seorang saleh mau mengawalku malam ini”. Dengan kesadaran dan cinta, beberapa sahabat mengawal kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang mencurigakan. Para sahabat bergegas ke sumber suara. Ternyata ia telah ada disana mendahului mereka, tegak diatas kuda tanpa pelana, “Tenang, hanya angin gurun,” hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan disiplin dan loyalitas.
Ummul Mukminin Aisyah ra. berkata: “Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan makanan apapun yang bisa dimakan makhluk hidup, selain setengan ikat gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput, baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30 gantang gandum.”
Sungguh ia berangkat haji dengan kendaraan yang sangat sederhana dan pakaian tak lebih harganya dari 4 dirham, seraya berkata, “Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung riya dan sum’ah.” Pada kemenangan besar saat Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.
Betapapun sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya atau tak menggerakkan bibir mengucap shalawat atasnya: “Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat doa yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk umatku kelak di padang mahsyar nanti.”
Ketika masyarakat Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan bukit. Ia menolak, “Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan di sulbi mereka kelak akan menerima dakwah ini, mengabdi kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Mungkin dua kata kunci ini menjadi gambaran kebesaran jiwanya. Pertama, Allah, sumber kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, sahabat yang membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua, Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan dan diukirnya.
Ya, Ummati, tak cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta, menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa Ia dan para malaikan bershalawat atasnya (QS.Al Ahzab: 56), justru Ia nyatakan dengan begitu “vulgar” perintah tersebut, “Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam.”
Allahumma shalli ‘alaihi wa’ala aalih!
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-23 Kesabaran
Tidak ada keberanian yang sempurna tanpa kesabaran. Sebab kesabaran adalah nafas yang menentukan lama tidaknya sebuah keberanian bertahan dalam diri seorang pablawan. Maka, ulama kita dulu mengatakan, “Keberanian itu sesungguhnya hanyalah kesabaran sesaat.“
Risiko adalah pajak keberanian. Dan hanya kesabaran yang dapat menyuplai seorang pemberani dengan kemampuan untuk membayar pajak itu terus-menerus. Itulah yang dimaksud Allah SWT dalam firman-Nya, “…Jika ada di antara kamu dua puluh orang penyabar niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada di antara kamu seratus orang (penyabar), niscaya mereka akan mengalahkan seribu orang kafir.” (Al-Anfal: 65).
Ada banyak pemberani yang tidak dapat mengakhiri hidupnya sebagai pemberani. Karena mereka gagal menahan beban risiko. Jadi, keberanian adalah aspek ekspansif dari kepahlawanan. Akan tetapi, kesabaran adalah aspek defensifnya. Kesabaran adalah daya tahan psikologis yang menentukan sejauh apa kita mampu membawa beban idealisme kepahlawanan, dan sekuat apa kita mampu survive dalam menghadapi tekanan hidup. Mereka yang memiliki sifat ini pastilah berbakat menjadi pemimpin besar. Coba simak firman Allah SWT ini, “Dan Kami jadikan di antara mereka sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan adalah mereka selalu yakin dengan ayat-ayai Kami.” (As-Sajdah: 24).
Demikianlah kemudian ayal-ayat kesabaran turun beruntun dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dengan detil beserta contoh aplikasinya oleh Rasulullah saw, sampai-sampai Allah menempatkan kesabaran dalam posisi yang paling terhormat ketika Ia mengatakan, “Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sunguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” (Al-Baqarah: 45).
Rahasianya adalah karena kesabaran ibarat wanita yang melahirkan banyak sifat lainnya. Dari kesabaraniah lahir sifat santun. Dari kesabaran pula lahir kelembutan. Bukan hanya itu. Kemampuan menjaga rahasia juga lahir dari rahim kesabaran. Demikian pula berturut-turut lahir kesungguhan, kesinambungan dalam bekerja, dan yang mungkin sangat penting adalah ketenangan,
Akan tetapi, kesabaran itu pahit. Semua kita tahu begitulah rasanya kesabaran itu. Dan begitulah suatu saat Rasulullah saw mengatakan kepada seorang wanita yang sedang menangisi kematian anaknya, “Sesungguhnya kesabaran itu hanya pada benturan pertama” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jadi, pahitnya dari kesabaran itu hanya permulaannya. Sebab, kesabaran pada benturan pertama menciptakan kekebalan pada benturan selanjutnya. “Mereka memanahku bertubi-tubi, sampai-sampai panah itu hanya menembus panah,” kata penyair Arab nomor wahid sepanjang sejarah, Al-Mutanabbi. Mereka yang meniiliki naluri kepahlawan dan keberanian harus mengambil saham terbesar dari kesabaran. Mereka harus sabar dalam segala hal; ketaatan, meninggalkan maksiat, atau menghadapi cobaan. Dan dengan kesabaran tertinggi. Sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim, “Sampai akhirnya kesabaran itu sendiri yang gagal mengejar kesabarannya.“
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-24 Tujuan Penulisan Risalah Pergerakan Pemuda Islam
Hari ini dunia melewati fase perubahan yang sangat besar, setelah jatuhnya komunisme, dunia menjadi hanya satu blok. Jika dicermati, penyatuan ini mengabaikan semua manusia kecuali bangsa Barat. Sedangkan belahan dunia lain yang mereka sebut ‘negara-negara selatan’ atau ‘miskin’ atau ‘dunia ketiga’ tidak mereka perhitungkan kecuali perhatian mereka dalam perlombaan memeras kekayaan alamnya, atau membagi-bagi pasar bagi produk mereka.
Dunia ketiga telah menelan semua faktor penyebab kehinaan, penjajahan, pemiskinan, dan cuci otak. Istilah ‘Tatanan Dunia Baru’ telah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan raksasa yang berpusat di Wall Street – New York untuk menguasai dunia. Saat ini Dunia Ketiga paling merasakan kezholiman dan penindasan yang terjadi. Perasaan inilah langkah awal untuk mencapai hak-hak yang terampas.
Di sisi lain, dunia Barat juga menghadapi tantangan internal yang besar: mereka memiliki kekuatan militer yang zholim, sistem ribawi yang zholim, dan penduduk yang terpolusi oleh alkohol, obat-obat terlarang, homoseksual/lesbian, aids, perdagangan budak, pembunuhan, pencurian, fanatisme buta, dan kebencian antar masyarakat. Semua itu mengisyaratkan bahwa mereka berada dalam fase keruntuhan. Komunisme telah jatuh, dan kini telah datang giliran kehancuran kapitalisme.
Pertanyaannya: Jika kejatuhan mereka terjadi, apakah berarti kesempatan membalas dendam? Ataukah tugas ummat Islam lebih besar dari itu?Apakah ummat akan disibukkan oleh dendam dan benci atau oleh pembinaan (binad) dan pemakmuran (ta’miir)? Apakah umat akan mengejar ilmu dan pemahaman untuk meletakkan dasar peradabannya yang tinggi agar semua manusia hidup mulia sesuai dengan kehendak Rabb-nya? Apakah ummat akan memperlakukan musuhnya dengan perlakuan musuh terhadapnya, ataukah dengan akhlak yang diajarkan Rab-nya?
Sesungguhnya jarak antara kekalahan dan kemenangan itu dekat, dekat bagi generasi terdepan ummat ini yang shodiq (jujur), ‘alim (berilmu), dan waa’i (sadar), yang memahami prioritas kerja, beramal produktif dengan penuh kesabaran dan akhlak karimah. Juga dekat bagi qiyadah (pemimpin) yang waa’iyah (sadar) dan rosyidah (lurus), mempunyai sasaran yang jelas dan uslub yang istimewa. Dengan bekal rabbani ini, jarak antara kekalahan dan kemenangan akan sangat dekat dan makin dekat.
Pelajar dan Mahasiswa adalah generasi terdepan ummat, sedangkan Pelajar dan Mahasiswa yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, berpegang teguh dengan nilai-nilai rabbani, dan ikhlas demi kejayaan ummatnya merekalah harapan ummat yang paling memungkinkan untuk mengemban amanah generasi saat ini dan akan datang. Untuk merekalah buku ini dibuat.
Dalam beberapa dekade, seluruh negara di dunia umumnya dan negaranegara di dunia Islam secara khusus telah menyimpan dan memupuk potensi gerakan pelajar/mahasiswa yang aktif. Sebelumnya gerakan ini merupakan pelopor kemerdekaan di negerinya, kemudian menjadi potensi dan sumber daya negara itu untuk membangun dan mencapai kemajuan. Selama berlangsungnya gerakan dalam beberapa dekade itu, telah lahir puluhan bahkan ratusan pengalaman dan eksperimen berharga yang telah diwarisi oleh generasi selanjutnya, terutama kader-kader gerakan dari berbagai negara, sehingga pengalaman-pengalaman ini turut berperan dalam perkembangan dan kemajuan gerakan pelajar/mahasiswa (Amal Thullaby).
Meskipun begitu banyak pengalaman yang dihasilkan, masih sedikit orang yang mengumpulkannya atau mencatatnya dalam sejarah, akibatnya pengalaman-pengalaman itu lenyap sia-sia seiring berlalunya waktu. Hal ini menjadi penyebab melemahnya kemampuan generasi selanjutnya dalam membangun atau meneruskan kerja generasi sebelumnya, bahkan ironisnya justru mereka mengulang kesalahan dan menghadapi problematika yang sama.
Oleh karena itu Ittihaad Al-Munazhomaat Ath-Thullaabiyyah (Persatuan Organisasi Pelajar dan Mahasiswa) telah berinisiatif untuk membuat sebuah buku petunjuk yang menghimpun pengalaman-pengalaman gerakan dari puluhan kader aktivis di banyak negara. Kami ingin menjaganya dan mempersembahkannya dengan tulus kepada generasi mendatang di seluruh dunia, semoga dapat membantu dalam membangun gerakan, menghindari kesalahan, dan mengatasi masalah.
Secara singkat dapat kami kemukakan bahwa tujuan penulisan buku ini adalah:
- Memunculkan referensi pertama bagi gerakan pelajar/mahasiswa Islam (Amal Thullaby) di dunia yang bermanfaat, menyeluruh, kontemporer, dan selalu dikembangkan.
- Menjaga dan memelihara pengalaman-pengalaman Amal Thullaby agar tidak hilang atau kurang diperhatikan.
- Mencatat sejarah Amal Thullabi di seluruh dunia dan mengumpulkan keberhasilan-keberhasilannya.
- Membantu pewarisan pengalaman dan uji coba kepada kader dan generasi Amal Thullabi selanjutnya.
- Membantu kader dan generasi saat ini agar dapat membangun hasil-hasil kerja generasi sebelumnya, meneruskan apa yang belum selesai dilakukan, menjauhi kesalahan mereka, dan mengatasi permasalahan yang pernah mereka hadapi.
- Turut andil dalam menyatukan pemahaman di kalangan aktivis Amal Thullabi.
- Membantu pertukaran pengalaman di kalangan kader/aktivis seluruh dunia, demi mewujudkan koordinasi dan konsolidasi gerakan Amal Thullabi di seantero dunia.
- Memberikan usulan dan saran aplikatif yang telah dikaji dan teruji untuk menjadi solusi terhadap problema yang dihadapi aktivis Amal Thullabi.
- Mengulurkan bantuan kepada Amal Thullabi yang baru tumbuh di manapun di belahan dunia ini, kami berikan untuk mereka ringkasan pengalaman generasi terdahulu dan kini untuk menumbuhkan dan mengembangkan kemajuan gerakan.
Kami telah berupaya agar buku ini cukup lengkap mencakup semua sisi Amal Thullabi baik teoritis maupun praktis. Buku ini terdiri dari empat belas pasal1:
Pasal I : Problematika Ummat, Dulu dan Kini.
Pasal II : Peranan Amal Thullabi dalam kebangkitan ummat dan kepeloporannya dalam kemajuan ummat.
Pasal III : Siyasat (Kebijakan) Amal Thullabi yang mengontrol gerakannya dan mengarahkannya ke arah yang benar.
Pasal IV : Ahdaf (Sasaran) Amal Thullabi di semua tingkatan ditambah dengan sarana-sarananya yang beragam dan dibahas secara rinci yang meletakkan pembaca di awal perjalanan gerakan.
Pasal V : Kelembagaan Amal Thullabi: Lembaga Kemahasiswaan, Ikatan Keluarga Mahasiswa, dan Kelompok Lintas Desa/Kepanduan, mencakup tujuannya, kegiatannya, dan bagaimana mengelolanya.
Pasal VI : Bidang Garapan Amal Thullabi, dibahas mendetil yang mencakup aktivitas amal thullabi di SLTA, kampus, ma’had, pertukaran pelajar, asrama pelajar/mahasiswa, aktivitas bersama mahasiswi, dan da’wah di tengah para dosen.
Pasal VII : Tarbiyah dalam Amal Thullabi: karakteristiknya, peranannya dalam menyatukan pemahaman, metode terpadu bagi tarbiyah siyasiyyah, peran pembahasan serta kajian dalam tarbiyah, dan terakhir adab seorang pelajar/mahasiswa terhadap Rabb-nya, dirinya, dan masyarakatnya.
Pasal VIII : Manajemen Amal Thullabi, membahas prinsip-prinsip umumnya.
Pasal IX Pelatihan dalam Amal Thullabi: urgensinya, bagaimana proses pelatihan, peta pelatihan, dan ulasan singkat tentang puluhan materi pelatihan.
Pasal X : Media Massa dalam Amal Thullabi.
Pasal XI : Amal Thullabi dan Lembaga-lembaga di Masyarakat, di antaranya: masjid, klub-klub, organisasi profesi, partai, dan NGO (Non Government Organization).
Pasal XII : Tantangan Masa Depan: mencakup gambaran umum tentangnya, aktivitas da’wah di situasi sulit, dan bagaimana menjaga kesinambungan generasi.
Pasal XIII : Pengalaman-pengalaman Penting dalam Amal Thullabi, seperti: Lembaga Independen, Cikal Bakal Pemimpin Masa Depan, dan Forum Dialog Intelektual.
Pasal XIV : Amal Thullabi dan Sejarah: memberikan gambaran kepada pembaca tentang sejarah Amal Thullabi di beberapa negara sebagai contoh gerakan, kemudian dibahas beberapa momen-momen sejarah yang penting seperti: Hari Al-Quds, dan Hari Pelajar/ Mahasiswa Sedunia.
Kami berharap buku yang berada di tangan para kader dan mahasiswa ini semoga memberi manfaat yang banyak dan membantu mereka dalam melaksanakan aktivitas da’wah Amal Thullabi yang terdepan dan berkembang maju. Untuk itu, kami berharap agar para kader dan aktivis mempelajari dan mengkaji setiap pasalnya dari berbagai sisi baik teoritis maupun praktek, serta mengujinya dengan realitas di lapangan. Hendaklah para kader mengambil manfaat dari siyasat, tujuan dan berbagai sarana yang disebutkan buku ini sesuai dengan situasi dan daya dukung di tempatnya. Demikian juga dengan pengalaman-pengalaman berharga yang telah diungkapkan demi kemajuan Amal Thullabi.
Terakhir, kami tidak lupa berpesan tentang pentingnya andil para pembaca dalam menyempurnakan buku ini dan memperbesar manfaatnya melalui kritik dan saran terhadap setiap pasal atau pemikiran yang terdapat di dalamnya, atau dengan memperluas dan mempertajam pemikiran tersebut, atau menambah ide baru, pasal yang baru, bahkan kajian baru yang dapat dimasukkan ke dalam buku ini. Dengan demikian, semakin besar manfaat yang dapat diambil darinya.
Kami menanti kritik, saran, pengalaman, dan kajian para aktivis di alamat-alamat berikut:
::: Alamat Surat:::
P.O. Box 8631 Salmiya 22057
Kuwait – Arabian Gulf.
:: Telepon: 00965 2443548.
:: Faks: 00965 2443549.
: E-mail: soutahhan@hotmail.com
Web Site: www.Students-Online.ws
Mei, 2001
Ittihaad Al-Munazhomaat Ath-Thullaabiyyah
Student Organization Union
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-24 Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul
Kun kitaaban mufiidan bila ‘unwaanan, wa laa takun ‘unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.
Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.
Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki “judul”, baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.
Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.
Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.
Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah ‘alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.
- Uustadz Hilmi Aminuddin, Lc
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-24 Madrasah Diniyah ‘Ar Rasyad’
Semoga Allah berkenan mencurahkan rahmat kepada ustadz kami Syaikh Muhammad Zahran, pemilik Madrasah Diniyah Ar Rasyad. Beliau adalah seorang yang brilian, berilmu, bertaqwa, dan berwibawa. Di tengah masyarakat, beliau –dengan cahaya ilmu dan keutamaannya- bagaikan pelita yang menerangi setiap tempat. Meskipun jenjang pendidikan beliau secara formal tidak sampai pada tingkatan ulama yang resmi, tetapi kecerdasan, kemauan, dan kesungguhan beliau telah menjadikan beliau berada jauh di depan dalam bidang ilmu dan amal.
Beliau mengajar masyarakat di masjid, selain juga mengajar kaum wanita di berbagai majelis ta’lim. Disamping itu, beliau juga mendirikan Madrasah Diniyah Ar Rasyad sekitar tahun 1915 M untuk memberikan pengajaran kepada generasi muda dengan model seperti lembaga-lembaga pendidikan swasta yang –ketika itu— telah tersebar luas di desa-desa dan kampung-kampung. Meski demikian, madrasah tersebut menggunakan pola pengajaran dengan mengacu pada lembaga-lembaga pendidikan yang bagus.
Sebagai tempat menempa ilmu maupun penggemblengan pribadi, boleh dikata itu sebagai madrasah yang istimewa dalam bidang materi yang diajarkan maupun metodologi yang diterapkan. Materi-materi pelajaran yang ada, di samping materi-materi yang populer diajarkan di berbagai madrasah semisalnya, juga ditambah dengan hadits-hadits Nabi dengan target menghafal dan memahaminya.
Semua murid diharuskan mengkaji hadits baru yang sebelumnya telah disampaikan syarahnya kepada mereka sampai mereka mampu memahaminya. Hal ini dilakukan setiap pekan sekali pada akhir jam pelajaran, yakni pada hari Kamis. Mereka harus mengulang-ulangnya sampai hafal, disamping masih harus hafal juga hadits-hadits yang telah mereka pelajari sebelumnya. Sehingga ketika mereka telah menempuh pendidikan satu tahun saja, mereka telah memperoleh perbendaharaan hadits yang cukup. Sebagian hadits-hadits yang dihafalkan itu benar-benar melekat dalam otak sejak saat itu.
Madrasah ini juga mengajarkan insya’ (mengarang), qawa’id (tata bahasa), dan tathbiq (praktek)nya. Selain itu juga diajarkan tentang adab (tata karma) yang dituangkan dalam pelajaran muthala’ah (wacana) atau imla (dikte), serta mahfuzhat (hafalan) yang ditulis dalam bentuk puisi atau prosa yang indah. Materi-materi semacam ini tidak populer di madrasah-madrasah lain yang semisal dengannya.
Ustadz Muhammad Zahran menguasai teknik mengajar dan mendidik yang efektif dan membawa hasil, meskipun ia tidak pernah belajar ilmu-ilmu pendidikan dan tidak pernah mendapatkan kaidah-kaidah ilmu psikologi. Beliau lebih banyak bersandar pada kebersamaan hati nurani antara dirinya dengan murid-muridnya. Beliau sangat berhati-hati dalam menghadapi mereka dengan selalu menaruh kepercayaan kepada mereka dan memberikan penghargaan atas tindakan baik mereka atau memberikan hukuman yang mendidik atas tindakan buruk mereka, yang hal itu akan menimbulkan keridhaan dan kegembiraaan di dalam jiwa. Seringnya, hal itu dilakukan dengan melontarkan anekdot yang hangat, bait-bait syair, atau ajakan yang baik. Saya masih teringat akan sebait syair yang dihadiahkan beliau kepada salah seorang murid karena berhasil menjawab soal dengan baik. Beliau menyuruh murid tersebut agar menulis syair berikut ke dalam buku catatannya:
Hasan telah memberi jawaban
Jawaban yang demikian bernas
Kepadanya semoga Allah memberikan
Keridhaan dan bimbingan
Saya juga masih ingat akan sebait syair lainnya yang dihadiahkan kepada seorang murid atas jawaban yang belum memuaskannya. Beliau pun menyuruhnya agar menulis bait syair berikut di dalam buku catatannya:
Wahai kuda Allah
Percepatlah lagi langkahmu
Untuk mengambil pemuda ini
Wahai kuda Allah
Akhirnya saya jadikan hal itu sebagai contoh dan saya panggil teman tersebut dengan nama itu. Jika kami memarahinya, maka kami memanggilnya, “Wahai kuda Allah!”. Ustadz sebenarnya hanya ingin berpesan kepada pemilik buku tulis itu agar ia menulis sendiri apa yang didiktekan oleh ustadz kepadanya, karena beliau adalah seorang tuna netra. Namun demikian dalam dadanya terdapat cahaya yang lebih terang daripada yang teradapat pada orang-orang yang tidak buta. Memang, -sebagaimana sebuah ayat menuturkan-
“Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, namun hati yang di dalam dada itulah yang buta” (Al Hajj:46)
Sejak saat itulah saya sadar dan tahu -sekalipun saya belum merasakannya- tentang pengaruh keharmonisan hubungan ruhiyah dan ketertautan perasaan antara seorang murid dengan gurunya. Kami sangat mencintai ustadz, sekalipun ustadz membebani kami dengan banyak pekerjaan yang cukup menyulitkan. Barangkali dari situlah saya dapat memetik faedah akan kecintaan beliau untuk menelaah dan banyak membaca, sebab hal itu sering memaksa saya untuk hadir ke perpustakaannya. Di perpustakaan itulah saya dapat membaca sekian banyak karya tulis yang bermanfaat. Saya juga membacakan kepada beliau berbagai masalah yang beliau butuhkan dari kitab-kitab itu. Seringkali beliau juga didampingi oleh orang-orang pandai lainnya yang sama-sama mengkaji, menelaah, dan berdiskusi, sementara saya mendengarkannya.
Demikianlah hubungan secara langsung antara seorang ustadz dengan murid guna membuahkan pengaruh yang terbaik. Alangkah baiknya jika para pengajar dan pendidik yang ada ditakdirkan demikian dan tentunya –dengan izin Allah– akan membawa kebaikan yang banyak. Di madrasah yang penuh berkah ini usia saya berlalu dari delapan sampai dua belas tahun.
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-28 Pindah ke Madrasah I’dadiyah
Ustadz kami memiliki banyak kesibukan, sehingga beliau tidak dapat mengelola madrasahnya lagi. Beliau menyerahkannya kepada ustadz-ustadz lain, yang tentu saja kurang setara dengannya dalam hal kekuatan ruhani, keilmuan, pengetahuan, serta akhlak yang memukau. Sehingga si murid ini (yakni penulis: Hasan Al-Banna), yang pernah merasakan manisnya kebersamaan dengan beliau, tidak lagi sabar untuk terus bersama mereka, sekalipun ia belum juga selesai menghafal Al-Qur’an dan belum dapat mewujudkan keinginan ayahnya yang menggebu: ingin melihat putranya menjadi seorang hafizh (penghafal) Qur’an. Ia belum juga selesai mengahafal surat Al-Isra’, setelah mengahafal surat-surat yang dimulai dari Al-Baqarah (yang berarti kurang lebih baru separo Al-Qur’an). Ketika itu pula, tiba-tiba sang ayah menyampaikan suatu rencana yang sangat mengejutkan; ia harus pindah dari sekolah ini ke Madraasah I’dadiyah, karena tidak kuat. Ketika itu, jenis pendidikan ini setingkat dengan Madarasah Ibtidaiyah, hanya tanpa pelajaran bahasa asing, namun ada tambahan beberapa pelajaran tentang undang-undang pertanahan dan perpajakan, serta sedikit tentang agrikultura, di samping mendalami secara luas tentang ilmu bahasa nasional (bahasa Arab) dan ilmu agama.
Sang ayah yang bersemangat itu tetap menginginkan agar putranya senantiasa menghafal Al-Qur’an. Akhirnya diambilah jalan keluar; hafalan Al-Qur’annya diselesaikan di rumah saja. Belum sepekan berselang, si anak pun sudah menjadi siswa di Madrasah I’dadiyah. Dengan demikian ia harus membagi waktunya untuk pelajaran sekolah di siang hari dan aktivitas lain yang ia lakukan seusai pulang sekolah hingga tiba waktu shalat isya’. Kemudian ia pun harus mengulangi pelajaran sekolah (belajar malan) hingga waktu tidur. Ia mengambil waktu untuk menghafal Al-Qur’an setelah shalat subuh hingga menjelang berangkat ke sekolah.
Imam Hasan Al Banna
sumber: hasanalbanna.id
2011-11-29 Guru Kehidupan
Ada murid dapat belajar hanya dari guru yang ber-SK, disuapi ilmu dan didikte habis-habisan. Ada yang cukup belajar dari katak yang melompat atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan kota dan desa. Ada yang belajar dari apel yang jatuh disamping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai itu. Ada guru yang banyak berkata tanpa berbuat. Ada yang lebih pandai berbuat daripada berkata. Ada yang memadukan kata dan perbuatan.
Yang istimewa diantara mereka, “bila melihatnya engkau langsung ingat Allah, ucapannya akan menambah amalmu dan amalnya membuatmu semakin cinta akhirat (khiyarukum man dzakkarakum billahi ru’yatuh wa zada fi’amalikum mantiquh wa raggahabakum fil akhirati ‘amaluh)”
Yang tak dapat belajar dari guru alam dan dinamika lingkungannya, sangat tak berpotensi belajar dari guru manusia. Yang tak dapat mengambil ibrah dari pelajaran orang lain, harus mengambilnya dari pengalaman sendiri, dan untuk itu ia harus membayar mahal.
Bani Israil bergurukan Nabi Musa As, salah satu Ulul Azmi para rasul dengan azam berdosis tinggi. Bahkan leluhur mereka nabi-nabi yang dikirim silih berganti.
Apa yang kurang?
Ibarat meniup tungku, bila masih ada api di bara, kayu bakar itu akan menyala, tetapi apa yang kau hasilkan dari tumpukan abu dapur tanpa setitik api, selain kotoran yang memenuhi wajahmu?
Murid-murid Bebal
Berbicara seputar orang-orang degil, berarti menimbun begitu banyak kata seharusnya. Seharusnya Bani Israil berjuang sepenuh jiwa dan raga, bukan malah mengatakan: “Hai Musa, kami telah disakiti sebelum engkau datang dan setelah engkau datang,” (QS.7:129), karena sesungguhnya mereka tahu ia benar-benar diutus Allah untuk memimpin mereka.
Seharusnya mereka tidak mengatakan: “Kami tak akan masuk kesana (Palestina), selama mereka masih ada disana, maka pergilah engkau dengan tuhanmu, biar kami duduk-duduk disini,” (QS.5:24) karena berita tenggelamnya Fir’aun di lautan dan selamatnya Bani Israil, adalah energi besar yang mampu meruntuhkan semangat orang-orang Amalek yang menduduki bumi suci yang dijanjikan itu.
Adapun yang ditenggelamkan itu Fir’aun, mitos sejarah yang tak terbayangkan bisa jatuh. Kemudian seharusnya mereka yang dihukum karena sikap dan ucapan dungu tadi, pasrah saja di padang Tih, dengan jatah catering Manna dan Salwa serta tinggal beratapkan awan pelindung dari sengatan terik matahari.
Ternyata mereka mengulangi lagi kedegilan lama mereka. “Hai Musa, kami tak bakalan sabaran dengan jenis makanan monotype, cuma semacam ini, karenanya berdoalah engkau kepada tuhanmu untuk kami, agar ia keluarkan untuk kami tumbuhan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang puihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya.” (QS.2:61)
Betul, manusia memerlukan guru manusia, tetapi apa yang dapat dilihatnya diterik siang di bawah sorotan lampu ribuan watt, bila matanya ditutup rapat?
Tarbiyah dzatiyah atau pendidikan mandiri untuk menguasai mata kuliah kehidupan sangat besar perannya. Sebuah bangsa yang sudah “merdeka” 54 tahun, namun tak peduli bagaimana menghemat cadangan energi, tak tahu bagaimana membuang sampah, ringan tangan membakar hutan dan me-WC-kan sungai-sungai kota mereka, tentulah bukan bangsa yang pandai mendidik diri.
Sebuah bangsa yang tergopoh-gopoh ikutan kampanye anti AIDS, dengan hanya menekankan aspek seks aman (dunia) saja tanpa mengingat murka Allah, tentulah bangsa itu belum kunjung dewasa. Bila diingat 6 dari 10 anak-anak mereka terancam flek paru-paru, lengkap sudah kebebalan itu.
Nurani yang Selalu Bergetar
Konon, Imam Syafi’ie ra sangat malu dan menyesal bila sampai ada orang mengutarakan hajat kepadanya. “Mestinya aku telah menangkap gejala itu cukup dari kilas wajahnya.”
Mereka yang akrab dengan arus batin manusia, mestinya selalu dapat menangkap isyarat muqabalah (oposit) makna ayat 2:273, “Engkau kenal mereka dengan ciri mereka, tak pernah meminta kepada manusia dengan mendesak.” Sementara yang bukan “engkau” tak dapat membaca gelagat ini: “Si jahil mengira mereka itu kaya, lantaran mereka berusaha menjaga diri.”
Mereka yang berhasil dalam tarbiyah dzatiyah akan tampil sebagai manusia yang jujur, ikhlas dan merdeka. Karenanya, “Hindarilah bergincu dengan ilmu sebagaimana engkau menghindari ujub (kagum diri) dengan amal. Jangan pula engkau meyakini bahwa aspek batin dari adab dapat diruntuhkan oleh sisi zahir dari ilmu. Taatilah Allah dalam menentang manusia dan jangan taati manusia dalam menentang Allah. Jangan simpan sediktipun potensimu dari Allah dan jangan restui suatu amal kepada Allah yang bersumber dari nafsumu. Berdirilah dihadapan-Nya dalam shalatmu secara total.” (Al Muhasibi, Risalatul Mustarsyidin).
Akhirnya, semakin jauh perjalanan tarbiyah dzatiyahnya, semakin banyak kekayaan yang diraihnya. Ungkapan berikut ini tidak ada kaitannya dengan bid’ah atau khilafiyah fiqh. Ia lebih mewakili ibrah agar kita tak terjebak pada aktifitas formal atau sebaliknya.
“Pada aspek zahir ada janabah yang menghalangimu masuk rumah-Nya atau membaca kitab-Nya, dan aspek batin juga punya janabah yang menghalangimu memasuki hadhirat keagungan-Nya dan memahami firman-Nya. Itulah ghaflah (kelalaian)” (Ibnu Atha’illah, Taju’l Arus).
Hakikat Kematangan Ilmu
Kembali ke kematangan pribadi dan keberhasilan tarbiyah dzatiyah, seseorang tak diukur berdasarkan kekayaan hafalannya atau keluasan pengetahuannya, tetapi pada kemampuannya memfungsikan bashirahnya: “Perumpamaan orang yang aktif dalam dunia ilmu namun tak punya bashirah, seperti 100.000 orang buta berjalan dengan kebingungan. Seandainya ada satu saja di tengah mereka yang dapat melihat walau hanya dengan satu mata, niscaya masyarakat hanya mau mengikuti yang satu ini dan meninggalkan yang 100.000”.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam meredakan kemarahan para sahabat yang sangat tersinggung kepada seorang pemuda yang minta izin kepada beliau untuk tetap bisa berzina.
“Engkau rela ibumu dizinai orang?” tanya beliau dengan bijak.
“Demi Allah, saya tidak rela!”
“Relakah engkau jika anak perempuanmu, saudara perempuanmu dan isterimu dizinai orang?”
“Tidak, demi Allah!”
”Nah, demikianlah masyarakat….”
Demikianlah, amtsal merupakan metode pencerahan yang digunakan Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan dengan kata kunci yang patut dicermati: “….Tak dapat memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (29:43).
Citarasa yang tinggi dibangun dan sensitifitas dipertajam, mengantarkan manusia kepada puncak pencerahan ruhani mereka.
Sebuah ungkapan kedewasaan pun “Semua manusia dari Adam dan Adam dari tanah, tak ada perbedaan antara Arab atas Ajam dan Ajam atas Arab melainkan dngan taqwa.” Itulah zaman, saat sejarah tak lagi dimonopoli raja, puteri dan pangeran, tetapi menjadi hak bersama yang melambungkan nama Bilal budak hitam abadi dalam adzan, atau Zaid menjadi satu-satunya nama sahabat dalam Al-Qur’an.
Demikianlah kemudian kita kenal Ammar, Sumayyah dan banyak lagi budak yang melampaui prestasi dan prestise para bangsawan. Padahal 13 abad kemudian pun Eropa masih mempertanyakan perempuan makhluk apa. Dan, para intelektualnya sampai pada kesimpulan, “Mereka adalah iblis yang ditampilkan dalam tampilan manusia.”
Justru Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberi standar, “Takkan memuliakan perempuan kecuali seorang mulia dan takkan menghinakan mereka kecuali manusia hina”.
Sementara para perempuannya seperti dilukiskan puteri Sa’id bin Musayyab: “Kami memperlakukan suami seperti kalian memperlakukan para pemimpin, kami ucapkan: “Ashlahakallah, hayyakallah!” (Semoga Allah memperbaiki/melindungimu, semoga Allah memuliakanmu).
sumber: hasanalbanna.id
2011-12
2011-12-02 Perhimpunan Akhlak Mulia
Di antara guru-guru yang mengajar di Madrasah I’dadiyah ini adalah Muhammad Afandi Abdul Khaliq rahimahullah, seorang guru matematika dan olahraga. Dia memiliki akhlak yang mulia. Dialah yang mengusulkan agar siswa-siswa kelas tiga mendirikan sebuah organisasi sekolah, yang akhirnya disepakati dengan nama Perhimpunan Akhlak Mulia.
Dia sendiri yang membuat tata aturannya, sekaligus yang bertindak sebagai Pembina. Ia juga mengarahkan para siswa untuk memilih personil dewan pimpinan organisasi itu. Substansi tata aturan internalnya terkandung dalam ungkapan sebagai berikut: “Barang siapa memaki saudaranya, didenda satu millim (mata uang terkecil di Mesir); yang memaki ayahnya, didenda dua millim, yang memaki ibunya, didenda satu qirsy (sen Mesir), yang mencela agama, didenda dua qirsy, yang bertengkar dengan temannya, didenda dua qirsy. Sanksi ini akan dilipatgandakan jika yang melakukan adalah personil anggota dewan pimpinan dan pemimpinnya.
Barangsiapa tidak mau menunaikan sanksi ini, ia diasingkan teman-temannya hingga mau menunaikannya. Denda-denda uang yang yang terkumpul itu akan diinfaqkan untuk kebaikan dan kegiatan sosial. Seluruh anggota perhimpunan ini harus saling mengingatkan agar selalu berpegang teguh kepada agama, menunaikan shalat tepat pada waktunya, menaati Allah, mematuhi kedua orang tua, dan mematuhi siapa saja yang lebih tua atau yang lebih mulia.”
Bekal yang diperoleh dari Madrasah Diniyah Ar-Rasyad menjadi faktor penyebab si murid ini lebih berprestasi dibanding teman-temannya. Mereka pun menaruh perhatian yang besar kepadanya, sehingga ketika pemilihan dewan pimpinan perhimpunan ini dilakukan, pilihan mereka pun jatuh kepadanya untuk diangkat sebagai ketuanya.
Perhimpunan ini dapat menunaikan programnya dengan baik dan menindak setiap anggota yang melakukan pelanggaran dengan menarik denda dari mereka. Dari denda-denda itu terkumpullah uang cukup banyak. Uang itu dimanfaatkan untuk membantu mereka yang memerlukan. Misalnya, pernah membantu salah seorang siswa bernama Labib Iskandar, saudara kandung dokter sekolah yang harus pindah ke negara lain.
Sebagian dana yang lain dimanfaatkan untuk biaya mengurus mayat tak dikenal yang tenggelam di sungai Nil, yang secara kebetulan madrasah berada di pinggirnya. Tidak diragukan lagi bahwa perhimpunan semacam ini jauh lebih efektif dalam membina akhlak, dibanding dua puluh mata pelajaran yang teoritis sifatnya. Oleh karena itu, madrasah-madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya hendak memberi perhatian yang lebih besar lagi terhadap perhimpunan-perhimpunan semacam ini.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Di Tepi Sungai Nil
Kiranya saya perlu menyebutkan salah satu pengaruh perhimpunan ini (Perhimpunan Akhlak Mulia – penyunting) yang melekat di jiwa para anggotanya.
Suatu hari saya berjalan-jalan melewati tepi sungai Nil. Di sana terdapat banyak pekerja yang sedang membuat kapal layar. Pekerjaan membuat kapal layar ini memang banyak terdapat di Mahmudia. Saya perhatikan salah seorang pemilik kapal yang sedang dibuat itu menggantungkan patung orang telanjang yang terbuat dari kayu pada tiang kapalnya. Hal ini jelas bertentangan dengan etika dan moral. Apalagi di tempat ini banyak sekali kaum wanita yang bolak-balik mengambil air. Apa yang saya lihat ini cukup menggelisahkan.
Akhirnya saya pun segera pergi melapor kepada aparat setempat–ketika itu Mahmudiyah belum menjadi sebuah kota pusat administratif—untuk mengadukan hal ini. Aparat itu menanggapi dengan serius dan seketika itu pula ia pergi bersama saya untuk memberikan peringatan kepada pemilik kapal tersebut dan memerintahkan agar menurunkan patung saat itu juga. Tidak hanya itu yang dilakukan oleh aparat tersebut, bahkan keesokan harinya ia datang ke sekolah dan menyampaikan berita mengenai kejadian itu kepada kepala sekolah dengan penuh kegembiraan dan ketakjuban.
Kepala sekolah saat itu adalah seorang pendidik yang sangat terhormat. Beliau adalah Ustadz Mahmud Rusydi yang sekarang ini menjadi seorang tokoh di jajaran kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia memberikan sambuatan pada upacara bagi kepada para siswa dengan memberikan dorongan kepada mereka agar selalu memberikan nasihat kepada sesama serta berupaya untuk menolak kemungkaran di mana saja berada. Kelihatannya perhatian semacam ini sudah jarang terjadi pada saat sekarang, apalagi banyak aparat dan penguasa yang sudah tidak peduli terhadap hal-hal yang demikian. Hal ini tentu sangat disayangkan.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Madrasah Al Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur
“Siswa yang satu ini” dapat memenui janjinya, yakni melanjutkan hafalan Al Qur’an yang pernah dimulainya dahulu di Madrasah Ar Rasyad. Kini ia tambah seperempatnya lagi hingga sampai surat Yasin.
Dewan Teritorial kota Bahirah menetapkan penghapusan sistem Madrasah I’dadiyah dan diganti dengan Madrasah Ibtida’iyah. Maka tidak ada alternatif lain bagi siswa ini kecuali harus memilih; mendaftarkan diri ke Al Ma’had Ad Diniy di Iskandaria –agar kelak menjadi “Azhari” (gelar bagi alumni Al-Azhar, pent)– atau ke Madrasatul Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur untuk dapat menyingkat waktu, karena setelah tiga tahun menempuh pelajaran di sini akan menjadi seorang guru. Akhirnya pilihan kedua inilah yang ia pilih.
Tibalah saatnya pendaftaran.
Ternyata ada dua kendala menghadang: kendala usia (umurnya baru tiga belas setengah tahun, padahal usia minimal untuk dapat diterima adalah empat belas tahun) dan kendala hafalan Al-Qur’an (mengingat hafalan merupakan syarat untuk diterima di madrasah ini dan harus diuji secara lisan).
Kepala sekolah ketika itu –Ustadz Basyir Ad-Dasuqi Musa—adalah seseorang yang murah hati. Beliau memberi dispensasi kepada siswa yang satu ini dengan tidak mempersoalkan syarat usia. Adapun mengenai hafalan Al-Qur’an, beliau dapat menerimanya dengan perjanjian menambah hafalan Al-Qur’an yang tinggal seperempatnya itu. Beliau menyatakan tetap akan melakukan tes tulis dan lisan. Akhirnya ia pun berhasil menyelesaikannya dan lulus. Sejak saat itu ia menjadi salah satu siswa di Madrasatul Mu’alimin Al-Awwaliyah di Damanhur.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Pengorbanan
Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena kekuatannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, niscaya engkau menemui kesalahan dan kelemahannya itu “tertelan” oleh kebaikan dan kekuatannya.
Akan tetapi, kebaikan dan kekuatan itu bukanlah untuk dirinya sendiri, melainkan merupakan rangkaian amal menjadi jasanya bagi kehidupan masyarakat manusia. Itulah sebabnya tidak semua orang baik dan kuat menjadi pahlawan yang dikenang dalam ingatan kolektif masyarakat atau apa yang kita sebut sejarah. Hanya apabila kebaikan dan kekuatan menjelma jadi matahari yang menerangi kehidupan, atau pumama yang merubah malam jadi indah, atau air yang menghilangkan dahaga.
Nilai sosial setiap kita terletak pada apa ya ng kita berikan kepada masyarakat, atau pada kadar manfaat yang dirasakan masyarakat dari keseluruhan performance kepribadian kita. Maka, Rasulullah saw berkata, “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.”
Demikianlah, kita menobatkan seseorang menjadi pahlawan karena ada begitu banyak hal yang telah ia berikan kepada masyarakat. Maka, takdir seorang pahlawan adalah bahwa ia tidak pernah hidup dan berpikir dalam lingkup dirinya sendiri. Ia telah melampui batas-batas kebutuhan psikologis dan biologisnya. Batasbatas kebutuhan itu bahkan telah hilang dan lebur dalam batas kebutuhan kolektif masyarakatnya di mana segenap pikiran dan jiwanya tercurahkan.
Dalam makna inilah pengorbanan menemukan dirinya sebagai kata kunci kepahlawanan seseorang. Di sini ia bertemu dengan pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran. Tiga hal terakhir ini adalah wadah-wadah kepribadian yang hanya akan menemukan makna dan fungsi kepahlawanannya apabila ada pengorbanan yang mengisi dan menggerakkannya. Pengorbananlah yang memberi arti dan fungsi kepahlawanan bagi sifat-sifat pertanggungjawaban, keberanian, dan kesabaran.
Maka, keempat makna dan sifat ini—rasa tanggung jawab keagamaan, semangat pengorbanan, keberaninn jiwa, dan kesabaran, adalah rangkaian dasar yang seluruhnya terkandung dalam ayat-ayat jihad. Dorongannya adalah tanggung jawab keagamaan (semacam semangat penyebaran dan pembelaan). Hakikat dan tabiatnya adalah pengorbanan. Perisainya keberanian jiwa. Namun. nafas panjangnya adalah kesabaran.
Maka, benarlah apa yang dikatakan Sayyid Quthb, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar.”
Kaidah itu tidak saja berlaku bagi kehidupan individu, tetapi juga merupakan kaidah universal yang berlaku bagi komunitas manusi. Syakib Arselan, pemikir Muslim asal Syiria, yang menulis buku Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan Orang Barat Maju menjelaskan jawabannya dalam kalimat yang sederhana, “Karena, ” kata Syakib Arselan, “orang-orang Barat lebih banyak berkorban daripada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya.”
Sekarang, mengertilah kita. Dan ketika ada pertanyaan, “Apakah yang dibutuhkan untuk menegakkan agama ini dalam realitas kehidupan?” Maka jawabnya adalah hadirnya ara pahlawan sejati yang tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, tetapi hidup bagi orang lain dan agamanya, serta mau mengorbankan semua yang ia miliki bagi agamanya.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Kompetisi
Para pahlawan mukmin sejati tidak akan membuang energi mereka untuk memikirkan seperti apa ia akan ditempatkan dalam sejarah manusia. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana mereka meraih posisi paling terhormat di sisi Allah SWT. Itulah sejarah yang sebenarnya. Jika suatu ketika sejarah manusia memberi mereka posisi yang terhormat, itu hanyalah—seperti kata Rasulullah saw, “berita gembira yang dipercepat.”
Ridha Allah dan tempat yang terhormat di sisi-Nya. Itulah cita-cita sejati para pahlawan mukmin. Itulah ambisi yang sebenarnya, ambisi yang disyariatkan, ambisi yang mendorong lahirnya semangat kompetisi yang tak habis-habis. Di sini medan kompetisi itu sangat berbeda dengan kompetisi di medan lain. Yang membedakannya adalah luas wilayah kompetisi yang tak terbatas, kecuali oleh batasan kebaikan itu sendiri. Sebab, hadiah yang disediakan untuk para kompetitor itu juga tak terbatas.
Dari mata air inilah para pahlawan mukmin sejati itu mereguk surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang bertakwa, “(yaitu) orangorang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orangorang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berhuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).
Kompetisi adalah semangat yang melekat dalam diri para pahlawan, karena ini merupakan cara terbaik untuk mengeksploitasi potensi-potensi mereka. Maka, mereka membutuhkan medan kompetisi yang tak terbatas, sebab ketidakterbatasan itu akan mendorong munculnya semua potensi tersembunyi dalam diri mereka. Dan, medan kompetisi ini memang tidak terbatas, sebab medannya adalah “amal shalih”, dan amal shalih itu beragam serta tidak terbatas.
Kompetisi juga merupakan cara terbaik untuk membedakan “pertngkat” para pahlawan sejati itu di mata Allah SWT. Itulah sebabnya Allah SWT menyebut generasi mukmin angkatan pertama sebagai assabiqunal awwalun (orang-orang pertama yang mendahului) atau semacam ‘edvanced competitor’. Itu pula sebabnya Allah SWT memberi ganjaran pahala yang berbeda-beda sesuai dengan capaian masing-masing mereka.
Indikator yang digunakan untuk menilai kompetisi itu adalah paduan-paduan yang harmonis antara waktu (kecepatan), kualitas, kuantitas, dan manfaat sosial dari setiap unit amal yang kita lakukan. Maka, pahala mujahidin Badar berbeda dengan pahala para mujahidin dari peperangan lain selain Badar.
Begitulah akhirnya para pahlawan mukmin sejati itu memaknai kebahagiaan. “Setiap kali ia menye-lesaikan satu unit amal, dalam tempo yang ringkas dan cepat, dengan kualitas maksimum, dan dengan manfaat sosial sebesar-besarnya, barulah mereka dapat menikmati rentang waktu itu. Kebahagiaan mereka terletak pada selesainya unit-unit amal shalih yang mereka kerjakan dengan cara yang sempurna.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-02 Asosiasi Anti Haram
Kegiatan internal di atas sepertinya belum dapat memuaskan keinginan para siswa dalam melakukan gerakan perbaikan. Mereka pun lalu berkumpul; antara lain Ustadz Muhammad Ali Badir (sekarang menjadi tenaga pengajar di Departemen Pendidikan), Labib Afandi Nawwar (sekarang berprofesi sebagai pedagang), Al Akh Abdul Muta’al Sankal Afandi, Ustadz Abdurrahman As Sa’ati (sekarang menjadi pegawai di Perusahaan Kereta Api), dan Ustadz Sa’id Badir (sekarang menjadi seorang insinyur). Mereka memutuskan untuk membuat sebuah asosiasi keislaman dengan nama Jam’iyah Man’ Al Muharramat (Asosiasi Anti Haram).
Kontribusi finansial berupa iuran, yang diberikan oleh anggota asosiasi tersebut, bervariasi antara lima sampai sepuluh millim setiap pekan. Pekerjaan-pekerjaan asosiasi dibagi kepada setiap anggota. Aktivitas yang dilakukan adalah memberi teguran dengan tulisan kepada pelaku dosa.
Untuk itu dibuatlah lembar teguran; ada yang tugasnya menyiapkan bahan-bahan, ada yang menyusunnya, ada pula yang mencetaknya. Sedangkan yang lain lagi bertugas untuk membagi-bagikan lembaran itu kepada para pelaku. “Pelaku” di sini adalah mereka yang diketahui oleh asosiasi telah melakukan tindakan dosa atau tidak menunaikan ibadah sebagaimana mestinya, khususnya berkenaan dengan shalat. Barangsiapa tidak berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ketahuan oleh anggota asosiasi, maka tidak lama kemudian akan datang kepadanya selembar kertas teguran yang memperingatkan dengan keras tindak kemungkaran ini. Mereka yang ketahuan shalatnya dilakukan dengan semaunya saja juga akan dikirimi lembar teguran dari asosiasi. Lelaki yang ketahuan memakai perhiasan emas akan dikirimi lembaran kertas yang berisi keterangan tentang larangan syariat mengenai hal itu. Kaum wanita yang ketahuan melakukan tindakan menampari muka sendiri di pemakaman atau berseru dengan seruan–seruan jahiliyah, maka suami atau walinya akan segera dikirimi kertas teguran oleh asosiasi.
Demikianlah, dengan tanpa pandang bulu; tua maupun muda, yang diketahui telah melakukan tindakan dosa sudah pasti akan dikirimi kertas teguran oleh asosiasi yang berisi larangan atas tindakan dosa tersebut. Sangatlah mudah bagi para anggota asosiasi–karena usia mereka yang masih muda dan tidak ada yang memperhitungkan mereka—untuk dapat mengetahui tindakan–tindakan dosa yang dilakukan oleh orang lain. Mereka tidak dapat bersembunyi dari pengawasan para anggota asosiasi.
Uniknya, orang-orang mengira bahwa semua ini adalah ulah ustadz kami: Syaikh Zahran rahimahullah, sehingga mereka menghadap beliau untuk menyampaikan keberatannya. Mereka meminta kepada beliau agar langsung saja berbicara dengan pelaku mengaenai apa yang beliau inginkan, daripada menulis di lembaran kertas seperti itu. Tentu beliau membantah dan lepas tangan dari semua itu. Hampir saja mereka tidak percaya, sampai pada suatu hari beliau sendiri yang menerima lembar itu dari asosiasi. Isinya mengingatkan bahwa beliau telah melakukan shalat zhuhur di antara tiang-tiang (yang hukumnya makruh). Padahal beliau adalah seorang ulama di negerinya, yang tentunya harus menjauhkan diri dari hal-hal makruh agar orang lain yang masih awam dapat menjauhkan dirinya dari hal-hal yang haram.
Saya masih ingat, ketika itu Syaikh Zahran rahimahullah memanggil saya untuk bersama-sama membuka diskusi mengenai hukum masalah ini dalam kitab Fathul Bari fi Syarhil Bukhari. Hubungan saya dengan beliau memang terus berlanjut melalui kajian-kajian umum, meskipun saya sudah meninggalkan madrasah dan perpusatakaan beliau. Saya senantiasa mengenang diskusi tema itu, seakan-akan waktu itu adalah hari ini. Ketika itu saya membaca kitab di hadapan beliau sambil tersenyum. Beliau bertanya-tanya tentang orang-orang yang mengirim lembar teguran kepadanya. Lalu beliau menyatakan bahwa memang benar adanya. Selanjutnya saya sampaikan berita ini kepada para anggota asosiasi. Mereka pun sangat gembira dan kecintaannya kepada Syaikh Zahran bertambah besar.
Asosiasi terus melaksanakan tugasnya lebih dari enam bulan. Asosiasi membuat orang-orang heran dan tercengang. Aktivitasnya belakangan terbongkar oleh seorang pemilik kafe yang dikirimi lebar terguran karena menghadirkan penari wanita. Surat-surat yang dikirimi oleh asosiasi memang tidak melalui pos, namun dibawa langsung oleh anggota asosiasi. Ini demi menghemat biaya.
Surat itu diletakan di tempat yang dapat dipastikan akan dilihat oleh pihak yang dituju, sehingga ia dapat menerima surat itu tanpa melihat siapa pengirimnya. Akan tetapi, kali ini diketahui oleh pemilik kafe, sehingga dapat menangkap basah salah seorang anggota asosiasi yang sedang bertugas. Pemilik kafe itu langsung mencaci makinya di hadapan para pengunjung. Ketika asosiasi mengetahui kejadian ini, ketua menyarankan kepada seluruh anggota agar lebih berhati-hati dalalm menunaikan tugas, serta agar melakukan alternatif cara lain untuk memberantas perilaku haram.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-03 Doa Rabithah: Doa di Sepanjang Mihwar Dakwah
Siang tadi (Sabtu 3 Desember 2011), saya mengikuti acara Tatsqif Kader Dakwah di Markaz Dakwah Gambiran, Yogyakarta. Ustadz Tulus Musthafa menyampaikan tausiyah yang sangat mengena. Penjagaan terhadap kader pada era dakwah di ranah publik harus semakin dikuatkan. Sarananya, kata beliau, telah terangkum dalam Doa Rabithah yang rutin kita baca setiap pagi dan petang.
Sembari mengikuti tausiyah beliau, ingatan saya menerawang jauh ke belakang…..
Suatu Masa, di Era 1980-an…..
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang aktivis dakwah, tidak banyak, hanya beberapa orang saja, duduk melingkar dalam sebuah majelis. Di ruangan yang sempit, diterangi lampu temaram, duduk bersila di atas tikar tua, khusyu’, khidmat, tawadhu’.
Tidak banyak, hanya beberapa orang saja. Berbincang membelah kesunyian, pelan-pelan, tidak berisik. Semua datang dengan berjalan kaki, naik sepeda tua, atau naik kendaraan umum saja. Pakaian mereka sangat sederhana, apa adanya, bersahaja. Hati mereka sangat mulia.
Tigapuluh tahun yang lalu, beberapa orang itu bercita-cita tentang kejayaan sebuah peradaban. Cita-cita besar, mengubah keadaan, menciptakan peradaban mulia. Wajah mereka tampak teduh, air wudhu telah membersihkan jiwa dan dada mereka. Tidak ada yang berbicara tentang fasilitas, materi, jabatan dan kekuasaan.
Mengakhiri majelis, mereka menundukkan wajah. Tunduk dalam kekhusyukan, larut dalam kehangatan persaudaraan, hanyut dalam samudera kecintaah. Doa Rabithah mereka lantunkan. Syahdu, menusuk kalbu.
Air mata berlinang, bercucuran. Akankah segelintir orang ini akan bisa mengubah keadaan? Akan beberapa orang ini akan mampu menciptakan perubahan? Hanya Allah yang mengetahui jawaban semua pertanyaan. Doa telah dimunajatkan, dari hati yang paling dalam:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Sejuk, menyusup sampai ke tulang, mengalir dalam darah. Meresap hingga ke sumsum dan seluruh sendi-sendi tubuh. Merekapun berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat. Masing-masing meninggalkan ruangan. Satu per satu. Hening, tenang. Tidak ada kegaduhan dan kebisingan.
Masa Bergerak, ke Era 1990-an
Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlahnya, berkumpul dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Ruang itu milik sebuah Yayasan, yang disewa untuk kantor dan tempat beraktivitas. Mampu menampung hingga seratus orang. Semua duduk lesehan, di atas karpet. Lampu cukup terang untuk memberikan kecerahan ruang.
Sebuah Daurah Tarqiyah dilakukan. Para muwajih silih berganti datang memberikan arahan. Taujih para masyayikh di seputar urgensi bersosialisasi ke tengah kehidupan masyarakat, berinteraksi dengan tokoh-tokoh publik, memperluas jaringan kemasyarakatan dengan pendekatan personal dan kelembagaan. Semua aktivis diarahkan untuk membuka diri dan berkiprah secara luas di tengah masyarakat. Membangun jaringan sosial dan membentuk ketokohan sosial.
Sekumpulan aktivis dakwah, jumlahnya cukup banyak, datang dengan mengendarai sepeda motor, beberapa tampak mengendarai mobil Carry dan Kijang tua. Wajah mereka bersih, bersinar. Penampilan mereka tampak intelek, namun bersahaja. Sebagian berbaju batik, sebagian lainnya berpenampilan rapi dengan setelan kemeja dan celana yang serasi.
Acara berlangsung khidmat dan sederhana. Namun sangat sarat muatan makna. Sebuah keyakinan semakin terhujamkan dalam jiwa, bahwa kemenangan dekat waktunya. Kader dakwah terus bertambah, aktivitas dakwah semakin melimpah ruah. Semua optimis dengan perkembangan dakwah.
Usai acara ditutup dengan doa. Hati mereka khusyu’, jiwa mereka tawadhu’. Sekumpulan aktivis dakwah, cukup banyak jumlah mereka, menengadahkan tangan, sepenuh harapan dan keyakinan. Munajat sepenuh kesadaran :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Mereka berdiri, berangkulan, bersalaman dengan erat dan hangat. Hati mereka tulus, bekerja di jalan kebenaran, pasti Allah akan memberikan jalan kemudahan. Doa Rabithah mengikat hati-hati mereka, semakin kuat, semakin erat.
Perlahan mereka meninggalkan ruangan, menuju tempat beraktivitas masing-masing. Khidmat, hening, namun tetap terpancar wajah yang cerah dan harapan yang terang benderang.
Masa Terus Mengalir, Sampai ke Era 2000-an….
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Memenuhi ruangan ber-AC, sebuah gedung pertemuan yang disewa untuk kegiatan. Diterangi lampu terang benderang, dengan sound system yang memadai, dan tata ruang yang tampak formal namun indah. Tampak bendera berkibar dimana-mana, dan sejumlah spanduk ucapan selamat datang kepada peserta dipasang indah di berbagai ruas jalan hingga memasuki ruangan.
Sebuah kegiatan koordinasi digelar untuk mempersiapkan perhelatan politik tingkat nasional. Para aktivis datang dengan sepeda motor dan mobil-mobil yang tampak memadati tempat parkir. Mereka hadir dengan mengenakan kostum yang seragam, bertuliskan kalimat dan bergambarkan lambang partai. Di depan ruang, tampak beberapa aktivis berseragam khas, menjaga keamanan acara.
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka cukup banyak. Mereka duduk berkursi, tampak rapi. Pakaian mereka formal dan bersih, sebagian tampak mengenakan jas dan dasi, bersepatu hitam mengkilap. Sebagian datang dengan protokoler, karena konsekuensi sebagai pejabat publik. Ada pengawal, ada ajudan, ada sopir, dan mobil dinas.
Para qiyadah hadir memberikan arahan dan taklimat, sesekali waktu disambut gegap gempita pekik takbir membahana. Rencana Strategis (Renstra) dicanangkan, program kerja digariskan, rancangan kegiatan telah diputuskan, para kader siap melaksanakan seluruh keputusan. Acara berlangsung meriah, diselingi hiburan grup nasyid yang tampil dengan penuh semangat.
Acara selesai, diakhiri dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, memimpin doa, munajat kepada Allah dengan kerendahan hati dan sepenuh keyakinan akan dikabulkan. Doa pun diumandangkan :
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Acara resmi ditutup. Para aktivis berdiri, berjabat tangan, meninggalkan ruangan dengan khidmat. Terdengar kebisingan suara sepeda motor dan mobil yang mesinnya dihidupkan. Sepeninggal mereka, tampak panitia sibuk membereskan ruangan.
Masa Cepat Bergulir, Hingga di Era 2010-an…..
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Harus menyediakan ruangan yang sangat besar untuk menampung jumlah tersebut. Ruang kantor Yayasan sudah tidak bisa menampung, ruang pertemuan yang sepuluh tahun lalu digunakan, sekarang sudah tampak terlampau kecil. Harus menyewa gedung pertemuan yang memiliki hall besar agar menampung antusias para aktivis dari berbagai daerah untuk datang.
Para aktivis dakwah berkumpul, jumlah mereka sangat banyak. Mereka datang naik pesawat, berasal dari Aceh hingga Papua. Berseragam rapi, semua mengenakan atribut dan jas berlambang partai. Peserta yang datang dari wilayah setempat datang dengan mobil atau taksi. Semua tampak rapi dan bersih.
Ruangan yang besar itu penuh diisi para aktivis dakwah yang datang dari seluruh pelosok wilayah. Dakwah telah tersebar hingga ke seluruh penjuru tanah air. Sebagian telah menempati posisi strategis sebagai pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, baik di eksekutif maupun legislatif. Hadir dengan sepenuh keyakinan dan harapan akan adanya perubahan menuju pencerahan.
Berbagai problem dan persoalan diutarakan. Berbagai ketidakpuasan disampaikan. Banyak kritik dilontarkan. Banyak saran dan masukan diungkapkan. Semua berbicara, mengevaluasi diri, mengaca kelemahan dan kekurangan, memetakan arah tujuan, namun tetap dalam bingkai kecintaan dan kasih sayang. Para aktivis sadar bahwa masih sangat banyak kekurangan dan kelemahan yang harus terus menerus diperbaiki dan dikuatkan. Semua bertekad untuk terus berusaha menyempurnakan.
Sang Qiyadah memberikan taujih dengan sepenuh kehadiran jiwa, “Nabi telah berpesan, bahwa sesungguhnya kalian dimenangkan karena orang-orang lemah di antara kalian. Maka tugas kita adalah selalu memberikan perhatian terhadap masyarakat, terlebih lagi kelompok dhuafa. Termasuk dhuafa di antara kader dakwah. Jangan pernah melupakan kerja para kader yang telah berjuang di pelosok-pelosok daerah. Lantaran kerja merekalah kita diberikan kemenangan oleh Allah”.
Lugas, tuntas. Arahan telah sangat jelas. Acara pun berakhir, ditutup dengan doa. Seorang petugas maju ke mimbar, mengajak semua peserta menghadirkan hati dan jiwa, dengan khusyu’ munajat kepadaNya agar senantiasa diberikan pertolongan dan kekuatan. Doapun dilantunkan:
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah kepada-Mu, telah berpadu dalam membela syari’at-Mu.”
“Maka kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukilah jalan-jalannya, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pernah pudar.”
“Lapangkanlah dada kami dengan limpahan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Nyalakan hati kami dengan ma’rifat kepada-Mu, matikanlah kami dalam syahid di jalan-Mu.”
“Sesungguhnya Engkaulah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin…”
Ternyata, doa Rabithah telah menghiasi perjalanan panjang kami. Bergerak melintasi zaman, dengan beragam tantangan, dengan aneka persoalan. Para aktivis selalu setia dengan arah tujuan, bergerak pasti menuju ridha Ilahi. Doa Rabithah tidak pernah lupa dimunajatkan, di waktu pagi dan malam hari.
Kesetiaan telah teruji pada garis waktu yang terus bergerak. Lintasan mihwar membawa para aktivis menuju kesadaran, bahwa kejayaan adalah keniscayaan, selama isi Doa Rabithah diamalkan, bukan sekedar diucapkan…..
Kabulkan permohonan kami, Ya Allah….
nDalem Mertosanan –Yogyakarta
3 Desember 2011
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-05 Filosofi
Tidak ada pahlawan sejati yang besar yang tidak mempunyai struktur filosofi yang solid dan kuat. Filosofi adalah sebuah ruang kecil dalam kepribadian kita darimana seluruh tindakan diarahkan dan dikontrol. Tindakan-tindakan kepahlawanan selalu lahir dari pikiran-pikiran kepahlawanan. Orang-orang yang tidak mempunyai pikiran-pikiran besar tidak akan pernah terarahkan untuk melakukan tindakan-tindakan kepahlawanan.
Filosofi adalah kerangka pikiran yang terbentuk sedemikian rupa dalam diri kita dan berfungsi memberi kita ruang bagi semua tindakan yang “mungkin” kita lakukan. Semakin luas “kerangka berpikir” itu, semakin luas pula “wilayah tindakan” yang mungkin kita lakukan. Saya menyebutnya “wilayah kemungkinan”. Setiap tindakan yang mempunyai wujud dalam pikiran kita akan segera masuk dalam wilayah kemungkinan. Pada saat sebuah tindakan masuk dalam wilayah kemungkinan itu, kita akan segera merasakan sesuatu yang ingin saya sebut sebagai “perasaan berdaya”. Yaitu semacam keyakinan yang menguasai jiwa kita bahwa kita “mampu” melakukannya.
Keyakinan itu saja sudah memadai untuk merangsang dorongan dari dalam jiwa kita untuk melakukannya. Begitulah akhirnya “tekad” terbentuk. Dan tekad seperti ini adalah “power” karena ia lahir dari perasaan berdaya.
Filosofi terbentuk dalam diri kita sebagai kumulasi dari kerja-kerja imajinatif. Adapun imajinasi itu sendiri merupakan bagian dari fungsi pikiran dan emosi sekaligus. Itu merupakan proses yang paling sublim dalam diri kita, tetapi sekaligus merupakan tahapan kreativitas yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian kita. Seperti ketika kita menyusun kata menjadi kalimat, atau memadukan warna menjadi gambar, atau menyerap selera ke dalam desain, seperti itulah imajinasi mempertautkan anak-anak pikiran menjadi sebuah filosofi.
Sebagian dari yang terekam dalam filosofi itu adalah cara memaknai suatu sisi kepahlawanan. Misalnya, cara Khalid bin Walid memaknai jihad atau peperangan yang menjadi sisi kepahlawannya. Ia pernah mengatakan, “Berada pada suatu malam yang sangat dingin untuk berjihad di jalan Allah lebih aku senangi daripada mendapatkan hadiah seorang pengantin perempuan cantik di malam pengantin.”
Atau misalnya, cara ‘Amr bin ‘Ash memaknai keterampilan politik seorang pemimpin: “Jika seorang pemimpin tahu bagaimana memasuki suatu urusan, maka ia harus tahu juga bagaimana cara keluar dari urusan itu. Sesempit apapun jalan keluar yang tersedia.“
Atau misalnya, cara Umar bin Khattab memaknai akseptibilitas seorang pemimpin di mata Allah dalam sebuah pesannya kepada para pejabat di masa kekhalifahnnya, “Ketahuilah kedudukan Anda di mata Allah dengan cara melihat tingkat penerimaan masyarakat kepada Anda.“
Akan tetapi, filosofi juga membicarakan harapan-harapan kita, arti kehormatan, sumber motivasi, apa-apa yang kita suka dan benci, proses pemaknaan terhadap sesuatu, fungsi keterampilan kepribadian, dan seterusnya. Pada akhirnya apa digambarkan oleh filosofi itu adalah keseluruhan kepribadian kita. Dan itulah kunci kepribadian kita.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-07 Problematika Umat
Kita tidak akan menganggap berlebihan orang yang mengatakan bahwa kita adalah ummat yang terbelakang dalam pentas peradaban dunia, yang konsumtif dan tidak produktif, mengekor dan tidak kreatif, dan menyerahkan urusan kita kepada orang lain, serta bahtera kita dikemudikan orang lain ke arah kepentingan yang ia inginkan.
Para pemikir yang menganalisa sebab-sebab keterbelakangan ini terbagi menjadi dua kelompok:
- Kelompok yang menyatakan bahwa penjajahan sebagai biang seluruh keterbelakangan ummat.
- Kelompok yang memandang bahwa kebodohan di tengah ummat, kerusakan akhlak, dan kondisi jumud dalam pemikiran serta keilmuan, itulah penyebab kehancuran peradaban, kemudian datanglah penjajah menambah keterbelakangan ini dan mengambil kesempatan di tengah kelemahan ummat. Kelompok ini meyakini seandainya ummat Islam menghadapi serangan penjajah dalam kondisi berpegang teguh dengan dien dan akhlaknya, kreatif dalam bidang ilmu pengetahuan, maju dalam pemikiran dan peradaban, niscaya penjajah tersebut gagal total dalam mempengaruhi ummat, bahkan bisa jadi justru merekalah yang terpengaruhdengan kepribadian ummat sebagaimana terjadi pada pasukan Tatar (Mongol) dan pasukan Salib.
Sedangkan serangan penjajah Barat yang terakhir sejak awal abad ke-X Hijriyah dan berlangsung selama empat abad, baru berhasil menguasai negeri-negeri Islam sesudah Perang Dunia I. Negeri-negeri Islam dijajah dengan menggunakan kekerasan yang paling keji dan dipecah belah menjadi beberapa kabilah, kelompok, atau negeri kecil. Fikrah Islamiyyah yang merupakan asas kesatuan ummat pun diperangi, sambil ditanamkan dalam otak pemikir-pemikir muslim khususnya, dan ummat secara umum, bahwa dunia Timur (Islam) tidak akan bangkit dari keterbelakangan kecuali bila ummat membuang agama mereka sebagaimana Barat melakukannya. Dan, peradaban Barat yang “ilmiyah” harus diterima sepenuhnya, karena di dalamnya terdapat solusi bagi problematika masyarakat dulu dan kini.
Kisah Barat dan Agama
Kekuasaan saat itu ada di tangan gereja, semua tunduk kepadanya, termasuk para penguasa. Tokoh-tokoh gereja membangun istana keyakinan mereka di atas kumpulan teori filsafat ilmiah Yunani. Ketika zaman kebangkitan muncul, dan para ilmuwan mulai melakukan analisa dan uji coba, barulah mereka mengetahui betapa jauhnya kerancuan teori ilmu dan falsafah gereja tersebut.
Di sisi lain gereja tidak mungkin menarik kembali keyakinannya, atau berkompromi, atau menerima kritik obyektif dari para ilmuwan, apalagi menguji kembali secara ilmiah doktrin-doktrin yang diajarkannya. Bahkan gereja berkeyakinan bahwa jika asas keyakinan mereka terbongkar kepalsuannya, pasti seluruh bangunan keyakinan itu akan hancur, dan itu berarti kehancuran agama Nasrani. Oleh karena itu, mereka memerangi para ilmuwan dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki: memenjarakan, membunuh, dan membakar para ilmuwan. Maka jurang pemisah antara gereja dan para ilmuwan semakin besar.
Keadaan berpihak kepada para ilmuwan dan tokoh-tokoh pencerahan hingga akhirnya kekuasaan gereja tersingkir dan runtuh. Tetapi gelombang perlawanan tidak hanya terjadi pada gereja dan agama Nasrani saja, melainkan menimpa seluruh agama. Jadilah agama dalam pandangan mereka kebohongan dan kepalsuan yang bertentangan dengan akal sehat. Keyakinan agama hanyalah ketundukan buta tanpa dalil dan argumentasi ilmiah, sehingga tokoh-tokoh agama khawatir dengan kebangkitan ilmu pengetahuan yang bisa membongkar kepalsuan mereka.
Pengaruh yang Ditimbulkan
Peristiwa di atas memberikan pengaruh yang sangat besar pada visi peradaban Barat terutama dalam menciptakan teori filsafat dan teori sosial sebagai pengisi otak dan jiwa masyarakat yang kosong yang telah ditinggalkan oleh agama. Di antara pengaruh yang ditimbulkan adalah:
- Munculnya pendapat bahwa agama hanyalah urusan hati dan pribadi seseorang, tidak ada hubungannya dengan masalah sosial, politik, atau ekonomi sama sekali.
- Terus berlangsungnya permusuhan antara agama dengan ilmu, seni, serta sastra sejak lahirnya masa pencerahan ilmiah, sehingga muncullah peradaban sekuler yang bebas dari nilai-nilai dan batas-batas. Jika agama memiliki persepsi tertentu tentang eksistensi manusia, maka peradaban sekuler pun mencoba membuat persepsi tentang eksistensi manusia dan alam. Persepsi itu adalah: “Bahwa manusia ada begitu saja di atas muka bumi, tidak bertanggung jawab kepada siapapun, tidak menerima arahan dan petunjuk dari siapapun, hanya pengalaman dirinya dan pengalaman generasi sebelumnya yang menjadi sumber petunjuk hidup.”
Adapun keberadaan manusia dan keterikatannya dengan alam dan kehidupan, maka peradaban hari ini memiliki persepsi dan teori filsafat tentangnya berdasarkan pada dua hal:
- Bahwa kehidupan adalah materi, manusia tidak boleh percaya dengan sesuatu di luar hukum sebab-akibat atau uji coba ilmiah.
- Bahwa hidup adalah pertarungan.
Heigel Memimpin Pertarungan
Dalam samudera pertarungan, Heigel, salah seorang filosof mengatakan, “Bahwa setiap masa memiliki peradaban, dan peradaban ini kokoh lewat pertarungan melawan nilai-nilai sebelumnya. Nilai-nilai itu jatuh di tengah jalan, sedangkan yang tetap bertahan bergabung bersama peradaban baru. Kemudian jika masa dan peradaban tersebut sudah tua, akan lahir kelompok dan pemikiran baru yang kontradiktif dan melanjutkan pertarungan sehingga melahirkan peradaban baru untuk zaman yang baru.”
Filosofi inilah yang menjadi tulang punggung alfikru al gharbi (pemikiran Barat). Secara singkat, ia mengandung arti bahwa tidak ada sesuatu yang bernilai di masa lalu yang dapat dijadikan petunjuk di dalam kehidupan.
Artinya, tidak ada kesempatan —dalam pandangan teori ini— untuk menunggu atau mencari hidayah agama-agama, karena agama telah berlalu sekian abad lamanya.
Teori Darwin
Sedangkan Darwin memandang bahwa kehidupan adalah medan pertarungan antara yang kuat melawan yang lemah. Bahwa yang kuat akan menang dan bertahan karena ia berhak hidup, sedangkan yang lemah akan mati karena dengan kelemahannya ia tidak berhak hidup. Teori ini diterapkan oleh penjajah di seluruh negeri jajahan mereka, bahkan hingga pemikir-pemikir dan penulis-penulis mereka menegaskan bahwa kaum kulit berwarna tidak berhak hidup kecuali sebagai “jongos” bagi “tuan-tuan” kulit putih.
Di bawah teori inilah hancurnya nilai-nilai dan akhlak yang diajarkan agama-agama, terutama Islam yang telah meninggikan dan membuktikan syi’arnya yang adil sepanjang sejarah.
Marx dan Pertarungan
Kari Marx tidak menambah teori konflik ini kecuali hanya membatasi konflik pada “konflik golongan (antar kelas)” dalam meraih tujuan materi. Sejauhmana ketajaman konflik berlangsung dan seberapa banyak darah yang mengalir, sebesar itu pula kedahsyatan dan kepentingan berlangsungnya revolusi kemanusiaan.
Inilah garis-garis besar filsafat peradaban Barat yang dibawa oleh para pemikir Eropa pada saat tentara mereka menguasai negeri-negeri Islam.
Dunia Islam menjadi sasaran penjajahan asing yang menginginkan bukan hanya penjajahan militer yang pasti berakhir cepat atau lambat, tetapi juga bentuk-bentuk penjajahan yang lain. Oleh karena itu berlangsunglah konfrensi-konfrensi yang diikuti para petinggi militer yang berpengalaman beserta para ahli perencanaan strategi, pendidikan dan perundang-undangan, dan propagandis.
Berjalanlah para propaganda peradaban Barat di samping pasukan perang, dan ketika pasukan perang meninggalkan dunia Islam setelah separuh abad atau lebih, mereka meninggalkan problematika lain bagi ummat Islam. Para penjajah telah berhasil menggantikan nilai-nilai setempat dengan nilai-nilai penjajah, dan menganggap serta mengatakan kepada kita bahwa kedatangan mereka untuk memakmurkan negeri, bahwa mereka adalah kawan baik.
Lalu apa yang telah dilakukan oleh “kawan baik” ini?
Di Bidang Politik
Politik penjajah berdiri di atas:
1. Politik Pecah Belah (At Taj’i’ah).
Usaha pertama yang dilakukan penjajah terhadap dunia Islam adalah membaginya menjadi bagian-bagian atau negeri-negeri kecil. Langkah awal mereka adalah membuat bangsa Arab “dengan senang hati” memberontak terhadap Turki Utsmani dengan alasan mereka lebih berhak memegang khilafah, dan menjanjikan mereka dengan terbentuknya Imperium Arab yang menyatukan seluruh bangsa Arab, jika mereka mau melakukan pemberontakan.
Di antara hasil dari perang dunia pertama ini ialah Turki Utsmani terkepung dan terisolasi, sedangkan negeri-negeri Arab terbagi menjadi lebih dari dua puluh negara kecil. Perpecahan itu berlangsung hingga kini tidak hanya dalam batas teritorial, tapi juga perpecahan dalam mencapai kepentingan. Penjajah telah meninggalkan luka perpecahan yang tetap berlangsung dan mudah menganga kembali ketika terlihat mulai sembuh. Yang aneh justru Inggris menyatukan India ketika menjajahnya, dan sebaliknya memecah belah negeri Islam yang tadinya bersatu.
2. Sekularisme (Al I’adimyah)
Pena-pena eksternal dan internal ummat Islam mulai menjajakah peradaban sekuler: ada Kook Alab di Turki, Thoha Husein dan Qosim Amin serta ‘Ali Abdur Raziq di Mesir, Ahmad Khan di India, dan lain-lain, yang awalnya masih malu-malu menulis bahwa agama hanyalah hubungan seseorang dengan Tuhan-nya, tidak ada hubungan selain itu, jika ummat ingin meninggalkan kebodohan dan keterbelakangannya maka ia harus melewati fase agama (fase penuh khurafat) menuju fase ilmu dan materi atau uji coba ilmiyah. Jika seseorang ingin melaksanakan sholat dan berdo’a, maka itu adalah urusan pribadinya, di luar itu tidak ada peran agama baik di bidang politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, sastra, seni, dan akhlak.
3. Nasionalisme (Al Qaumiyah Al Unshuriyah)
Nasionalisme yang mereka sebarkan di negeri kita ialah nasionalisme sekuler. Telah terjadi kesepakatan antara Asy Syarif Husein dengan Inggris dalam surat-suratnya bahwa negara Arab yang dicita-citakan adalah negara nasionalis, bukan agamis. Dan, nasionalisme yang lepas dari nilai-nilai Islam akan mencari syi’ar-syi’ar dan simbol-simbol lain untuk menyatukan rakyatnya, maka di Mesir ada Fir’aunisme, di Syiria ada Al Asyuriyyah. Kemudian jadilah setiap daerah memiliki simbol-simbol khusus seperti Libanon, Yordania, Syiria, yang masing-masing merasa memiliki peradaban sendiri.
4. Demokrasi Palsu (Ad Dimuqrathiyah Al Mu’ayafah)
Yaitu hukum rakyat untuk rakyat sebagai uslub/cara pemerintahan. Barat telah berhasil sampai batas tertentu merealisasikan sistem ini, dan manusia telah mencapai kebebasan yang cukup banyak di bawah naungannya. Sedangkan Dunia Ketiga atas nama demokratisasi mengalami banyak penindasan, dan di bawah nama demokrasi berdirilah lembaga-lembaga yang justru merendahkan kemerdekaan manusia.
Di Bidang Perundang-undangan
Bidang perundang-undangan adalah bidang yang paling dicermati oleh penjajah. Mereka tidak akan meninggalkan daerah jajahan kecuali jika telah yakin bahwa penduduknya siap memberlakukan undang-undang sekuler (Barat), sebagai ganti syari’at Islam.
Dalam peringatan lima puluh tahun Perjanjian Lousanne, televisi Turki mewawancarai Ismat Anino (utusan Turki pada perjanjian tersebut). Ketika televisi menanyakan tentang perjanjian yang telah berlalu 50 tahun itu, ia mengatakan: “Barat telah menyetujui tuntutan kemerdekaan kita (Turki) dan menarik pasukannya dengan syarat-syarat. Syarat yang paling penting adalah penghapusan khilafah, menyingkirkan seluruh keluarga Utsman dari Turki, dan mengganti syari’at Islam dengan undang-undang Eropa. Mereka juga mengharuskan pengiriman utusan khusus mereka untuk mengawasi pelaksanaan syarat yang terakhir”.
Seluruh negeri-negeri muslim yang telah meraih kemerdekaan secara politis telah menyingkirkan syari’at Islam dan menggantikannya dengan undang-undang Barat, dan penerapan syari’at hanya terbatas pada urusanurusan pribadi, bahkan akhirnya itupun tidak diberlakukan lagi.
“Undang-undang memiliki hubungan erat dengan akhlak masyarakat. Apabila manusia menetapkan suatu undang-undang, pasti di balik itu ada filosofi perilaku kemasyarakatan, dan masyarakat pasti akan diarahkan untuk hidup sesuai filosofi tersebut. Demikian juga jika manusia menghapus sebuah undang-undang, berarti ia menghapus konsep akhlak dan filosofi kemasyarakatannya yang menjadi landasan undang-undang tersebut. Maka tatkala penjajah menghapus syari’at Islam dan menggantinya dengan undang-undang mereka, hal itu tidak berarti sebuah undang-undang telah digantikan oleh undang-undang lain saja, tetapi juga berarti bahwa di negeri itu sistem akhlak dan kemasyarakatan telah dihapus dengan sistem yang lain.” [Waqi’ Al Muslimin Wa Sabil An Nuhudhi Bihim (Realitas Ummat Islam dan Jalan Menuju Kebangkitannya), Al Maududi: hal. 177]
Di Bidang Tsaqafah
Sejak meletakkan kakinya di negeri muslim, penjajah telah berupaya mengganti struktur bangunan kebudayaan masyarakat Islam. Mereka menghapus sekolah-sekolah tradisionalnya, mengurangi harga universitas-universitas Islam di mata masyarakat, dan mengecilkan kualitas alumnusnya. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang cerdas dikirim ke universitas-universitas Barat, kemudian lulus dengan membawa tsaqofah dan pemikiran Barat dalam kehidupan.
Saat ini, meskipun telah berlalu hampir satu abad, lembaga-lembaga pendidikan di negeri kita, juga para pelajar dan mahasiswa yang merupakan cadangan masa depan bangsa, masih tetap melahap budaya Barat, dan pemikirannya di bidang hukum, ekonomi, sosial, sejarah, dan pandangan manusia terhadap alam dan kehidupan. Dan, tokoh-tokoh pemikir Barat sering menyatakan bahwa mereka lebih mengandalkan lembaga pendidikan (untuk kepentingan mereka) daripada pasukan perang.
Dalam ceramahnya pada peringatan Hari Kemerdekaan Turki, Pemimpin Partai Refah, Prof. Dr. Najmuddin Arbakan mengatakan: “Sungguh bangsa kita telah mengalahkan pasukan Yunani dan mengusirnya dari negeri kita, dan kita selalu memperingati Hari Kemerdekaan ini sedap tahun. Tetapi, kita harus tahu bahwa Yunani yang telah kita usir pasukannya, pemikirannya masih dipelajari oleh para mahasiswa kita di kampus-kampus, dengan menganggapnya sebagai ideologi yang paling tinggi dan agung. Ummat harus tahu bahwa kemerdekaan hakiki adalah keluarnya tentara Yunani, ideologi, dan budaya mereka sekaligus dari negeri kita.”
Di Bidang Ekonomi
Kita dapat melihat dan menganalisa kondisi ekonomi negeri-negeri muslim di era penjajahan dengan cara yang sama, bagaimana mereka mampu mengubah sistem perekonomian masyarakat hingga sesuai dengan kepentingan mereka. Tangan-tangan penjajah menjadi kuat di negeri-negeri kita dengan atau tanpa kehendak kita. Masalah hutang negara-negara ketiga dan ketidakmampuan membayarnya atau bahkan membayar bunganya, adalah bentuk penjajahan baru yang mereka ciptakan untuk menjadikan negara-negara tersebut tergantung kepada mereka. Kekayaan yang dimiliki Dunia ketiga hanyalah angka-angka yang dititipkan kepada mereka tanpa mampu dimanfaatkan sedikitpun, “Sang Tuan lebih berhak menggunakannya.”
Demikian pula dengan kekayaan alam strategis milik Dunia Ketiga seperti minyak, atau lainnya, menjadi hak mereka untuk memanfaatkannya dan menumpuk kekayaannya. Tidak ada peran pemilik sahnya kecuali menjaganya, dan bagian kecil keuntungannya. Tanah di bumi ini telah menjadi kotak catur oleh Tatanan Dunia Baru yang dimainkan oleh Amerika.
Di Bidang Sosial
Demikian pula kondisi sosial terutama masalah wanita. Mereka berupaya agar masalah yang ada keluar dari proporsi yang sebenarnya, dan menafsirkannya dengan tafsiran yang bukan sebenarnya. Sangat disayangkan bahwa ummat Islam mengekor di belakang orang-orang Barat dalam kehidupan sosial mereka selangkah demi selangkah.
Siapa yang Akan Mengembalikan Bangunan yang Hilang?
Tidak hanya sampai di situ, ummat Islam sampai pada tingkat “mengingkari” akhlak dan kepribadian islami serta mencoba meminjam kepribadian yang lain. Tidak diragukan lagi hal ini merupakan kekalahan dari dalam, di samping kekalahan lain di seluruh sektor kehidupan. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah telah hilang, dibutuhkan orang-orang yang mampu mengembalikan bangunannya ke setiap individu muslim.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-08 Optimisme
Titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir untuk sebuah misi besar. Akan tetapi, ia juga menyimpan kesadaran lain yang sama; mereka tetap berpijak di permukaan bumi. Itu bukan dua hal yang saling benentangan. Sebab, di pertengahannya ada sebuah ruang tempat kedua hal itu bisa saling beririsan: optimisme.
Para pahlawan mukmin sejati memandang misinya sebagai sesuatu yang sakral darimana mereka menemukan perasaan terhormat karena lahir untuk memperjuangkan misi itu. Namun, mereka merasa tenang karena berjuang di bawah bendera Allah.
Mereka percaya bahwa di bawah bendera itu mereka pasti mendapaikan kemenangan, walaupun mereka tidak selalu menyaksikan kemenangan itu sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri. Apatah lagi bila kemudian dapat mengalahkan musuh, atau menegakkan daulah dan khilafah. Bahwasanya mereka kemudian gugur di perjalanan atau hidup dan menyaksikan kemenangan itu, maka itu semua hanya merupakan cara Allah membagi-bagi keutamaan-Nya kepada para tentara-Nya.
Dari keyakinan-keyakinan seperti inilah mereka menemukan kejujuran iman, dan dari kejujuran iman itulah mereka menemukan mata air kekuatan jiwa yang memberi mereka harapan dan optimisme: “Di antara orang-omng beriman itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu (sampai saat kemenangan), dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya.” (AJ-Ahzab: 23).
Namun, mereka sepenuhnya percaya pada sebuah hikmah Allah; bahwa Allah hanya mau memenangkan agama-Nya dengan usaha-usaha manusia, bukan dengan mukjizat demi mukjizat. Sebab jika tidak demikian, Allah tidak perlu mengutus nabi dan rasul, mewajibkan jihad, dan memilih syuhada. Tantangan-tantangan itu diciptakan untuk menguji kejujuran iman yang terpatri dalam jiwa para pahlawan mukmin.
Mukjizat atau karomah tentu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu, tetapi itu berfungsi penguatan, bukan penyelesaian misi. Ketentuan itulah yang membuat mereka harus realistis dalam menata garis perjuangan. Sebab, mereka bergerak dalam ruang yang terbatas, waktu dan tempat yang terbatas, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, dan sumber-sumber finansial yang terbatas serta technical resources yang sama terbatasnya.
Dalam segala hal ada keterbatasan. Itulah sebabnya mereka harus bekerja efektif dan menggunakan tenaga seefisien mungkin. Akan tetapi, keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak berjuang. Sebab, Allah berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu….” (At Taghaabun: 16). Bahkan, nilai kepahlawanan itu sesungguhnya terletak pada capaian-capaian besar di atas keteibatasan.
Keterbatasan itu ditata dalam konsep yang mereka sebut sebagai hukum alam, atau yang kita sebut sebagai sunnatullah. Kita semua bergerak dalam kerangka sunnatullah itu. Dan, para pahlawan itu bukanlah manusia istimewa yang turun dari langit dengan hak-hak istimewa untuk tidak mentaati sunnatullah. Mereka menjadi istimewa karena mereka menggunakan kaidah yang pernah diucapkan Imam Syahid Hasan Al-Banna, “Jangan pernah melawan sunnatullah pada alam, sebab ia pasti mengalahkanmu. Tapi, gunakanlah sebagiannya untuk menundukkan sebagian yang lain, niscaya kamu akan sampai ke tujuan.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-12 Pekerjaan Besar dan Pekerjaan
Di antara keajaiban hati para pahlawan mukmin sejati adalah cara mereka mengapresiasi karya-karya mereka. Mereka tidak pernah memandang karya-karya besar mereka secara berlebihan, tetapi mereka juga tidak pernah meremehkan pekerjaari-pekerjaan kecil yang mereka lakukan.
Besar kecilnya suatu karya atau pekerjaan tidaklah ditentukan oleh satu faktor saja. Misalnya, faktor kemampuan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi cara penilaian terhadap suatu karya dan pekerjaan seorang pahlawan. Misalnya, tingkat kebutuhan saat itu, kesinambungannya dengan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya, atau dengan pekerjaan-pekerjaan sesudahnya, luas wilayah distribusi manfaat, tingkat kemampuan pelaku, tingkat keterlibatan orang lain, banyaknya daya dukung, dan seterusnya. Kata kunci yang dapat menyimpul semua faktor tersebut adalah ketepatan. Yaitu, pekerjaan itu tepat pada waktunya, tepat pada sasarannya, tepat pada tempatnya, tepat pada orangnya, tepat pada niatnya, tepat pada caranya, dan tepat pada cost-nya.
Akan tetapi, bagaimanakah cara kita menilai tingkat ketepatan? Jawabannya adalah pada strategi. Strategilah yang menentukan nilai dari sebuah pekerjaan. Individu dan pekerjaannya dalam sebuah strategi adalah unit-unit yang tidak berdiri sendiri.
Strategilah yang menentukan jenis pekerjaan dan orang yang tepat untuk pekerjaan itu. Jika dalam strategi itu ditentukan bahwa seseorang harus melakukan suatu pekerjaan yang ‘tidak terlihat’ dalam waktu lama, maka ia harus melakukannya. Dan letak kepahlawanannya ada pada keikhlasannya, pada diamnya, dan pada penyelesaian pekerjaan itu pada waktunya. Demikian juga sebaliknya.
Dalam kerangka strategi itu, kita mungkin akan menemukan kenyataan-kenyataan yang boleh jadi paradoks dalam pandangan kasat mata kita. Apa yang kita duga sebagai pekerjaan-pekerjaan besar, ternyata mempunyai nilai yang kecil dalam kerangka strategi tersebut. Demikian juga sebaliknya.
Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah memandang dirinya lebih besar dari strategi. Sebaliknya, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu instrumen dari strategi tersebut. Demikianlah, Rasuluilah saw pernah bersabda, “Jangan pernah meremehkan suatu kebaikan walaupun itu kecil.”
Padanan dari ketepatan dalam bahasa agama kita adalah hikmah. Dan inilah hikmah yang dimaksud oleh Allah sebagai sumber dari semua kebaikan. Allah SWT berfirman, “…Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak….” (Al-Baqarah: 269).
Akan tetapi, para pahlawan mukmin sejati itu sama-sama menyimpan sebuah impian di kedalaman jiwa mereka. Mereka semua bermimpi untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan unggulan yang menjadi alasan utama bagi Allah untuk memasukkan mereka kedalam surga-Nya. Seorang sahabat pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar beliau mendoakan dirinya kepada Allah SWT untuk dimasukkan ke dalam surga.
Rasulullah saw lalu mengatakan kepada sahabat tersebut, “Bantulah aku (agar doamu ter-kabul) dengan memperbanyak sujud.”
Itulah amal unggulannya. Dan apakah amalan unggulan Anda, hai calon pahlawan?
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-15 Vitalitas
Para pahlawan mukmin sejati selalu unggul dalm kekuatan spiritual dan semangat hidup. Senantiasa ada gelombang gairah kehidupan yang bertalu-talu dalam jiwa mereka. Itulah yang membuat sorot mata mereka selalu tajam, di balik kelembutan sikap mereka. Itulah yang membuat mereka selalu penuh harapan di saat virus keputusasaan mematikan semangat hidup orang lain. Itulah vitalitas.
Tidak pernahkah kesedihan menghingggapi hati mereka? Tidak adakah jalan bagi ketakutan menuju jiwa mereka? Pernahkah mereka tergoda oleh keputusasaan untuk mengendurkan diri dari pentas kepahlawanan? Adakah di saat-saat dimana mereka merasa lemah, cemas, dan merasa tidak mungkin memenangkan pertempuran?
Para pahlawan itu tetaplah manusia biasa. Semua gejala jiwa yang dirasakan oleh manusia biasa juga dirasakan para pahlawan. Ada saat dimana mereka sedih. Ada saat dimana mereka takut. Jenak-jenak kelemahan, keputusasaan, kecemasan, dan keterpurukan juga pernah mendera jiwa mereka.
Tapi yang membedakan dengan manusia biasa adalah bahwa mereka selalu mengetahui bagaimana mempertahankan viatalitas, bagaimana melawan ketakutan-ketakutan, melawan kesedihan-kesedihan, bagaimana mempertahankan harapan di hadapan keputusasaan, bagaimana melampaui dorongan untuk menyerah dan pasrah di saat kelemahan mendera jiwa mereka. Mereka mengetahui bagaimana melawan gejala kelumpuhan jiwa.
Vitalitas hidup biasanya di bentuk dari paduan keberanian, harapan hidup, dan kegembiraan jiwa. Tapi ketiga hal ini dibentuk paduan keyakinan-keyakinan iman dan talenta kepahlawanan dalam diri mereka. Dari sini saya kemudian menemukan bahwa para pahlawan mukmin sejati selalu memilki tradisi spiritual yang khas. Mereka mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang khas di bentuk oleh keyakinan yang unik terhadap keghaiban. Dengan cara itu mereka mereka mempertahankan stamina perlawanan yang konstan. Kebiasaan-kebiasaan yang khas itu biasanya berbentuk ibadah mahdhah, tapi biasanya disertai dengan perilaku-perilaku tertentu yang sangat pribadi. Misalnya dua contoh berikut ini :
Dalam suatu peperangan kaum Muslimin menemukan betapa kekuatan Ibnu Taimiyah melampaui para mujahidin lainnya. Mereka pun menanyakan rahasia kekutan itu pada Ibnu Taimiyah. Beliau menjawab: “Ini adalah buah dari Ma’tsurat yang selalu saya baca di pagi hari setelah shalat subuh sampai terbitnya matahari. Saya selalu menemukan kekuatan yang dahsyat setiap setelah melakukan wirid itu Tapi jika suatu saat saya tidak melakukannya, saya akan merasa lumpuh pada hari itu.”
Suatu saat, dalam perang Yarmuk, Khalid bin Walid menyuruh dengan marah beberapa pasukannya untuk mencari topi perangnya yang hilang dari kepalanya. Beberapa saat kemudian pasukannya muncul dan melaporkan kalau topi Khalid tidak berhasil ditemukan. Khalid pun marah dan menyuruh mereka mencari kembali. Akhirnya mereka menememukannya. Tapi Khalid merasa perlu menjelaskan sikapnya yang unik itu. “Dibalik topi perang saya ini ada beberapa helai rambut Rasulullah SAW. Tidak pernah saya memasuki suatu peperangan dan memakai topi ini melainkan pasti saya merasa yakin bahwa Rasulullah SAW selalu mendoakan kemenangan bagi saya.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-16 Pengantar Fikih Sunnah
“Dengan Menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.”
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada juniungan kita, Nabi Muhammad SAW., pemimpin umat manusia sejak zaman dahulu hingga akhir zaman. Demikian juga, kepada seluruh keluarga dan orang-orangyang mengikuti petunjuk dan ajarannya hingga hari kiamat.
Buku ini merupakan jilid pertama dari kitab Fikih Sunnah, yang di dalamnya membahas masalah nasalah fikih Islam yang disertai dalil-dalil yang bersulnber dari AI Quran, Sunnah yang shahih, dan ijma’ para ulama.
Kajian dalarn buku ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan lengkap, yang mencakup berbagai aspek kehidupan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Di samping itu, saya berusaha untuk tidak mengangkat perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Namun, jika tidak dapat dimungkinkan karena permasalahan yang mengharuskannya, saya akan mengemukakannya dengan sekilas,
Dengan begitu, buku ini diharapkan dapat menampilkan gambaran fikih Islam yang benar. Inilah di antara misi diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah di permukaan bumi. Buku ini juga diharapkan dapat membuka pintu pemahaman umat manusia mengenai Allah dan rasul-Nya, mempersatukan umat Islam supaya berpegang teguh kepada Al Quran dan Sunnah serta menghilangkan perbedaan pendapat dan bid’ah fanatisme pada mazhab. Buku ini juga diharapkan dapat menghapus prasangka (sebagian orang) yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Inilah kontribusi yang saya persembahkan sebagai bakti saya kepada agama. Semoga bermanfaat bagi saudara-saudaraku yang sekeyakinan. Kami senantiasa berdoa kepada Allah SWT, agar amal bakti ini bermanfaat, disertai keikhlasan dan hanya mengharapkan keridhaan-Nya semata. Hanya Allah, tempat kita berpegang, Dia-lah sebaik-baik pelindung.
Kairo, 15 Sya’ban 1365 H
As Sayyid Sabiq
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-17 Pengantar Risalah Pergerakan
Islam, sejak kemunculannya yang pertama –dibawakan oleh Rasulullah Muhammad saw. hingga hari ini telah berumur empat belas abad. Sepanjang waktu itu, Islam mentalami Pasang surut peradaban. Dalam sebuah nubuwatnya Rasulullah Pernah menengarai bahwa umat lslam setidaknya akan melalui lima periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti; peridode Kenabian, periode Kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode Mulkan Aadhan atau Penguasa yang Menggigit,peridode mulkan jabariayan atau Penguasa yang menindas, dan terakhir sebelum datangnya Kiamat umat ini sekali lagi akan berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian. (disarikan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Baihaqi)
Satu pertanyaan paling relevan kita ungkapkan demi membawa nubuwat Rasul tersebut adalah, “Pada peridode yang manakah umat Islam sekarang ini berada?” Jawaban atas pertanyaan ini akan (dan sudah) menjadi titik tolak maraknya diskursus mengenai Kebangkitan Islam abad 20 menjelang 21.
Betapa tidak? Berdasarkan nubuwwat tersebut -sembari mengaca pada realitas sejarah- kita akan menemukan bahwa umat ini tidak pada periode pertama (periode Kenabian), tidak juga pada periode kedua (Kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, bukan pula periode ketiga (Mulkan Aadhan). Secara harfiyah, istilah yang disebut terakhir itu artinya adalah “penguasa yang menggigi”. Yakni suatu pemerintahan yang secara legal-formal masih menjadikan Islam, Al Quran, dan SUnnah sebagai dasar sistem politik, namun dalam praktiknya tidak konsisten, bahkan bertabur penyimpangan.
Karena itu dapat disimpulkan bahwa- umat sekarang ini berada pada seburuk-buruk periode, yakni Mulkan Jabariyan. Suatu periode secara de jure hukum Islam tidak lagi tegak di muka bumi, apalagi secara de facto. Inilah periode perlalanan umat dimana Khalifah Islamiyah tidak lagi tegak. Dan itulah yang sedang dialami umat Islam pada hari ini.
Tentang Mulkan Jabariyan ini Rasulullah saw mengingatkan dengan sabdanya, “Sesungguhnya di neraka Jahannam itu ada lembah, dan di dalam lembah itu ada sebuah sumur yang disebur Habhab. Adalah hak Allah untuk menempatkan penguasa Jabbarun ‘Anid ke dalamnya.” (HR ATh Thabrani)
Umatlslam telah melalui sejarahnya yang panjang dengan kebangkitan dan kernunduran yang darang silih berganti. Hal yang sama juga
dialami oleh peradaban-peradaban ain. Ini merupakan sunatullah yang tidak bisa ditawar-tawar.
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereha mendapat pelajaran).” (Ali Imran; 140)
Begitulah pada setiap kurun yang dilalui umat ini, kita selalu melihat di dalamnya terdapat krisis dalam aspek-aspek tertentu dari kehidupannya. Krisis itu kemudian memicu munculnya gerakan pembaruan (baca: kebangkitan) dengan lontaran isu-isu yang khas sesuai dengan ragam dan karakteristik binis yang terjadi saat itu.
Sebutlah misalnya Abu Bakar Ash shidiq, Umar bin Abdut Aziz, Ibnu Taimiyah, Shalahudin Al Ayubi, Muhammad bin Abdul Wahab, Imam Sanusi, dan masih banyak yang lain. Masing-masing mereka berhak menyandang predikat mujahid dan mujahid Islam. Namun, tentunya aksi yang mereka lancarkan dan karya tulis yang mereka hasilkan tidak sama dan sebangun. Ibnu Taimiyah banyak menuliskan masalah-masalah tauhid dan sistem kenegaraan dalam karya-karyanya, karena memang saat itu terjadi penyelewengan dalam pemikiran Islam oleh kaum MU’tazilah dan penyerbuan asing terhadap dunia Islam. Sementara Shalahuddin Al Ayubi memusatkan perhatian pada [enghancuran pasukan Salib dan bagaimana menghalau mereka dari tanah suci Palestina. Tentu orang yang bijak tidak akan mengatakan bahwa Shalahuddin kurang memperhatikan tauhid atau Ibnu Taimiyah acuh tak acuh terhadap pembebasan Masjidil Aqsha.
Sekarang kita sampai pada kesimpulan sementara bahwa krisis dan kebangkitan adalah dua kata kunci yang harus kita sertakan setiap kali kita membahas tentang perjalanan sejarah umat Islam. Dan kita akan melakukan apresiasi terhadap buku yang ada di hadapan pembaca ini dengan asumsi dasar tersebut.
Buku ini berjudul Majmu’ah Rasail (Kumpulan Risalah), karya Imam Syahid Hasan Al Banna. Sesuai dengan namanya, buku ini berisi kumpulan surat, makalah, dan transkrip pidato yang pernah disampaikan oleh Hasan Al Banna sepanjang hayatnya di medan dakwah dan jihad. Keistimewaan buku ini terletak pada keistimewaan penulisnya dan gerakan dakwah yang dirintisnya, yakni Ikhwanul Muslimin.
Tentang siapa dan bagaimana sosok Hasan Al Banna sendiri telah dijelaskan dalam salah satu bagian buku ini. Ia dipandang sebagai tokoh pembaharu Islam yang layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh pembaharu yang muncul pada masa-masa sebelumnya. Dengan seluruh karakter yang melekat pada dirinya, kiranya dia layak menjadi representasi dari tokoh kebangkitan Islam abad 21.
Sedangkan kehadiran Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan jawaban terhadap krisi yang tengah melanda umat Islam abad ii. Hasan Al Banna sebagai peletak dasar gerakan inni bernar-benar memahami karakter krisi tersebut, kemudian dia berusaha menyusun jawabannya yang memadai untuk menanggulanginya.
Krisis yang tengah melanda umat Islam saat inni tidak lagi terkonsesntrasi pada aspek-aspek tertentu dalam kehidupan umat, melainkan menyentuh keseluruhannya, hampir dalam semua segi kaum muslimin mengalami kemunduran. Lihatlah betapa secara politik mereka terjajah dan tidak memiliki lembaga “Daulah Islamiyah” yang mampu mengayomi warganya. Secara ekonomi mereka marginal, dalam masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan mereka tertinggal, dalam aspek sosial budaya mereka mengekor pada kehidupan Barat, dan demikian seterusnya pada bidang-bidang kehidupan yang lain. Bahkan dari segi kefahamannya terhadap ajaran Islam sendiri, mayoritas mereka masih jauh dari memadai. Tentang kemunduran umat Islam ini Amir Syaqib Arsalan mendeskripsikan secara gamblang dalam bukunya, Limadza Ta’akhkharal Muslimun wa Taqaddama Ghairuhum.
Lantas apa yang dibutuhkan oleh umat semacam ini? Tidak lain kecuali munculnya sebuah gerakan dakwah yang terpadu dan menyodorkan solusi sistemik bagi permasalahan umat yang sudah demikian parah dan berlarut-larut. Dan peran inilah yang coba dimainkan oleh Jamaah Ikhwanul Muslimin. Maka ia dengan segenap sumber daya dan perangkat yang dimiliki -tampil dengan melontarkan isu sentral: “Kembali kepada keutuhan Islam”. Yakni kembali kepada pemahaman Islam secara integral dan komprehensif, bukan Islam yang parsial dan tambal sulam. Islam sebagai suatu sistem nilai yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya, bukan Islam yang dipahami sebatas simbol dan ritual peradaban semata.
Lebih lanjut tentang siapa dan bagaimana Hasan Al Banna, seperti apa pula profil gerakan Ikhwanul Muslimin yang dicanangkannya? Sebagaian besar (kalau bukan semua) terekam secara kronologis maupun tematis dalam buku ini. Inilah sumber mata air pertama yang berisi informasi dari tangan pertama. Tentu kita harus menelaahnya pertama kali sebelum menerima penjelasan dari sumber yang lain. Selamat menyimak.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-19 Menilai Diri Sendiri
Para pahlawan mukmin sejati selalu mengetahui kadar pahlawanan dari setiap perbuatan dan karyanya. Mereka tidak biasa membesarkan-besarkan nilai perbuatan dan karya mereka jika kadar kepahlawanan dalam perbuatan dan karyanya itu secara objektif memang tidak ada atau sedikit. Demikian pula sebaliknya. Merekajuga mengetahui letak sisi kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada orang yang bisa menjadi pahlawan dalam segala hal. Maka, mereka menempatkan diri pada sisi dimana mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka tidak akan pernah memaksakan kehendak dan juga tidak akan pernah melawan kodrat mereka. Mereka yang merasa hanya bisa menjadi pahlawan dalam perang, tidak akan pernah memaksakan diri menjadi pahlawan dalam medan ilmu pengetahuan.
Menilai diri sendiri adalah seni yang paling rumit dari sekian banyak keterampilan jiwa yang harus dimiliki seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-saat yang paling menentukan sejarah kepahlawanan mereka, sekaligus menentukan jalan masuk mereka kepada sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari pengamatan yang mendalam tentang peta diri sendiri. Setelah itu, berlanjut pada penemuan letak kepahlawanan mereka. Sampai di tahap ini, seni itu belum terlalu rumit. Seni itu akan menjadi rumit manakalia memasuki penilaian tentang karya dan perbuatan mereka. Sebab, setap manusia mempunyai kecenderungan untuk membesarkan dirinya sendiri melampaui kadar yang sebenarnya. Karenanya, letak kerumitan dari seni penilaian ini ada pada pertarungan antara kecenderungan membesarkan diri sendiri dengan keharusan bersikap objektif yang sudah menjadi sifat sejarah yang niscaya dalam menilai para pahlawan. Inilah pertarungan antara megalomania dengan objektivitas.
Simaklah firman Allah tentang kecenderungan ini, “Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka suka akan supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan; janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dan siksa, dan bagi mereka siksaan yang pedih.” (Ali Imran: 188).
Para ilmuwan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah dari karya-karya mereka yang paling monumental dan dimanakah letak kedudukan karya-karya ilmiah mereka itu di hadapan para ilmuwan lain yang sejenis. Para sastrawan mengalami pertarungan ini, ketika mereka menilai manakah karya-karya sastra mereka yang paling abadi dan dimanakah letak kedudukan karya sastra itu di antara karya-karya para sastrawan lainnya? Para pemimpin perang juga mengalami pertarungan ini, ketika menilai manakah pertarungan yang telah dimenangkannya yang paling monumental, dan dimanakah letak kehebatannya, jika dibanding kehebatan para pemimpin perang lainnya dalam jenis-jenis perang yang mereka menangkan? Para pemimpin politik dan dakwah juga mengalami pertarungan ini ketika mereka menilai jejak-jejak kepemimpinan mereka tentang dimanakah letak kehebatannya dan seperti apa nilai kehebatan itu dibanding jejak-jejak para pemimpin lain dalam bidang politik dan dakwah?
Mempertahankan objektifitas di depan godaan megalomania adalah pekerjaan jiwa yang paling rumit yang senantiasa akan dirasakan oleh para pahlawan. Cobalah simak cara seorang Khalifah dari Zaman Abbasiyah menilai dirinya, “Saya tidak akan pernah bangga pada setiap prestasi yang saya capai, tapi sebenarnya tidak saya rencanakan. Tapi saya juga tidak akan pernah menyesali setiap kegagalan yang saya alami, selama saya sudah merencanakan semuanya dengan baik sebelum melakukannya.”
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-21 Ad Da’watu Waludatun
Puluhan tahun yang lalu, langkah-langkah harakah di sini, di Indonesia, sunyi sepi, illa ma’allah, kecuali bersama Allah. Mengayunkan kaki seorang diri. Beberapa waktu kemudian dilakukan ta’sis haraki atau ta’sis amali. Dalam ta’sis tanzhimi waktu itu, kita hanya berkumpul empat orang. Kita hanya duduk lesehan, bukan di hotel. Dari hanya empat orang, sekarang di level qiyadah saja sudah ada ratusan orang.
Saya menjadi yakin, kata-kata dari salafush shalih dalam dakwah ini yang mengatakan, “Ad Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat mudah beranak pinak. Sangat subur dan mudah berketurunan.
Lihat saja ikhwan dan akhwat yang bergabung dalam dakwah ini, secara biologis pun jumlah anaknya lumayan. Saya kira secara nasional keluarga kita ‘paling berprestasi’, lima, delapan, sepuluh, atau tiga belas orang anak. Ini salah satu indikator bahwa “Ad Da’watu Waludatun”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru. Bahkan secara biologis lebih dulu dibuktikan oleh Allah SWT secara ‘a’iliyah thabi’iyyah.
Secara haraki da’awi pun kita lihat luar biasa. Ini membuat saya di hari tua tersenyum. Rasanya saya tidak perlu berdo’a seperti Nabi Zakaria, yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam surah Maryam. Dia merayu dan merajuk kepada Allah SWT, dalam kesepuhan dan kerentaan, beliau masih belum juga memiliki generasi penerus yang akan melanjutkan langkah-langkah dakwah. Langkah-langkah dakwah yang diharapkan dapat diteruskan oleh pewaris itu belum juga muncul, sehingga beliau melanjutkan dengan do’a yang dijelaskan oleh Allah SWT,
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS. Maryam, 19: 5-6)
Agar menjadi pewaris esensinya adalah pewaris dakwah. Penerus-penerus risalah Nabiyullah Ya’qub ‘alahissalam.
Sepertinya saya tidak perlu berdo’a seperti ini, karena baik secara biologis atau secara haraki pun, Allah telah membuktikan bahwa “Ad Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru, termasuk generasi kepemimpinan. Bahwa dakwah ini mendapat sambutan yang hangat dari generasi terbaik dari umat ini. Bahkan sebetulnya, kalau kita pelajari secara demografis, penduduk negara-negara Muslim itu rata-rata banyak. Berarti pula “Ad Da’watu Waludatun.” Itu berpangkal dari “Al Ummatu Waludatun”, bahwa umat kita sangat tinggi populasinya dan mudah beranak pinak. Ada masyaikh dakwah yang mengatakan bahwa di bumi di mana kalimat ‘La Ilaha illallah Muhammadur Rasulullah’ dikumandangkan, maka segalanya akan subur. Cepat melahirkan betapa pun kondisinya sulit.
Di Palestina dalam kondisi terhimpit, terjajah, tertindas, dan ada pembantaian, perbandingan kelahiran antara Muslimin Palestina dan Yahudi adalah 1 : 50. Yahudi sebelum takut oleh ledakan roket-roket HAMAS, sudah takut oleh ledakan penduduk umat Islam Palestina.
Jadi ikhwan wa akhwat fillah, kalau kemudian para salafush shalih mengatakan al mustaqbal lil Islam dan al mustaqbal li da’watina, itu sesuai dengan fitrah pertumbuhan. Baik secara demografis maupun secara dakwah dan harakah.
Harakah dan dakwah kita di Indonesia sangat berpeluang dan paling berpotensi dalam segi pertumbuhan. Kalau dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sangat jauh. Bahkan dengan saudara-saudara kita di negeri tetangga. Kita sudah memasuki era musyarakah, dengan mizhallah siyasiyah, payung politik yang besar dan lebar. Tersedia medan yang luas untuk bergerak, peluang-peluang juga sangat luas di segala bidang. Dan Alhamdulillah pertumbuhan kader pun sangat menggembirakan. Ini adalah pemberian Allah semata. Umat Islam di Indonesia dengan populasi penduduk lebih dari 220 juta, juga menjadikan harakah dakwah kita populasinya tumbuh pesat. Pertumbuhan itu akan semakin pesat dengan dipicu dan dipacu oleh target-terget yang sudah digariskan dalam kebijakan jama’ah.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-22 Momentum Kepahlawanan
Seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu-padu. Saat itulah ia tersejarahkan.
Akan tetapi, kita tidak mengetahui kapan datangnya momentum itu. Yaitu, kematangan pribadi dan peluang sejarah. Simaklah firman Allah SWT, “Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya, Kami berikan padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan….” (Al-Qashash: 14)
Usaha manusiawi yang dapat kita lakukan adalah mempercepat saat-saat kematangan pribadi kita. Ini jenis kerja kapitalisasi asset kesejarahan personal kita. Yang kita lakukan di sini adalah mengumpulkan sebanyak mungkin potensi dalam diri kita, mengolahnya, dan kemudian mengkristalisasikanya. Dengan cara ini, kita memperluas “ruang keserbamungkinan” dan sedikitnya membantu kita menciptakan peluang sejarah.
Atau, setidaknya mengantar kita untuk berdiri di pintu gerbang sejarah. Para pahlawan mukmin sejati tidak pernah mem-persoalkan secara berlebihan masalah peluang sejarah. Kematangan pribadi seperti modal dalam investasi. Seperti apapun baiknya peluang Anda, hal itu tidak berguna jika pada dasarnya Anda memang tidak punya modal. Peluang sejarah hanyalah ledakan keharmonisan dari kematangan yang terabadikan. Seperti keharmonisan antara pedang dan keberanian dalam medan perang, antara kecerdasan dan pendidikan formal dalam dunia ilmu pengetahuan. Akan tetapi, jika Anda harus memilih salah satunya, maka pilihlah keberanian tanpa pedang dalam perang, atau kecerdasan tanpa pendidikan formal dalam ilmu. Selebihnya, biarlah itu menjadi wilayah takdir dimana Anda mengharapkan datangnya sentuhan keberuntungan.
Kesadaran semacam ini mempunyai dampak karakter yang sangat mendasar. Para pahlawan mukmin sejali bukanlah pemimpi di siang bolong, atau orang-orang yang berdoa dalam kekosongan dan ketidakberdayaan. Mereka adalah para petani yang berdoa di tengah sawah, para pedagang yang berdoa di tengah pasar, para petarung yang berdoa di tengah kecamuk perang. Mereka mempunyai mimpi besar tetapi pikiran mereka tercurahkan sepenuhnya pada kerja. Sekali-kali mereka menatap langit untuk menyegarkan ingatan pada misi mereka. Namun, setelah itu mereka menyeka keringat dan bekerja kembali.
Wilayah kerja adalah lingkaran realitas, sedangkan wilayah peluang adalah ruang keserbamungkinan. Semakin luas pijakan kaki kita dalam lingkaran kenyataan, semakin besar kemampuan kita mengubah kemungkinan menjadi kepastian, mengubah peluang menjadi pekerjaan, mengubah mimpi menjadi kenyataan. Berjalanlah dengan mantap menuju rumah sejarah. Jika engkau sudah sampai di depan pinlu gerbangnya, ketuklah pintunya dan bacakan pada penjaganya puisi Chairil Anwar:
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau……
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-25 Dakwah Kami: Empat Golongan Obyek Dakwah
Keterusterangan
Kami ingin berterus terang kepada semua orang tentang tujuan kami, emaparkan dihadapan mereka metode kami, dan membimbing mereka menuju dakwah kami. Di sini tidak ada yang samara dan remang-remang. Semuanya terang. Bahkan lebih terang dari dari sinar mentari, lebih carah dari cahaya fajar, dan lebih benderang dari putihnya siang.
Kesucian
Kami juga ingin agar umat kami –dan kaum muslimin semua adalah umat kami–mengetahui bahwa Ikhwanul Muslimin membawa misi dakwah yang bersih dan suci; bersih dari ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia, dan bersih dari hawa nafsu. Ia terus berlalu menapaki jalan panjang kebenaran yang telah digariskan Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam firman-Nya,
“Katakanlah, ‘inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.’ Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf : 108)
Kami tidak mengaharapkan sesuatu pun dari manusia; tidak mengharap harta benda atau imbalan yang lainnya, tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih. Yang kami harap hanyalah pahala dari Allah, Dzat yang telah menciptakan kami.
Kasih Sayang
Betapa inginnya kami agar umat ini mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai dari pada diri kami sendiri. Kami berbangga ketika jiwa-jiwa kami gugur sebagai penebus bagi kehoramatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau menjadi cita mereka, jika memang itu harga yang harus dibayar. Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami, mengusai perasaan kami, memeras habis air mata kami, dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami. Betapa berat rasa di hati ketika kami menyaksikan bencana yang mencabik-cabik umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan dan pasrah oleh keputusasaan.
Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai audara-saudara tercinta. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian.
Semua Keutamaan Hanyalah Milik Allah
Andaikan yang kami lakukan ini adalah sebuah keutamaan, maka kami sama sekali tidak menganggap itu keutamaan diri kami. Kami hanya percaya pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sebenarnya Allah, Dia-lah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 17)
Kami sering mengangankan –andaikan angan-angan itu bermanfaat– bahwa suatu saat tersingkaplah isi hati kami dihadapan penglihatan dan pendengaran umat ini. Kami hanya ingin mereka menyaksikan sendiri: adakah sesuatu dalam hati ini selain kecintaan yang tulus, rasa kasih yang dalam, serta kesungguhan kerja guna mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi mereka ? Adakah sesuatu dalam hati ini selain lara dan perih atas musibah yang menimpa mereka?
Namun biarlah, cukup bagi kami keyakinan bahwa Allah swt. mengetahui itu semua. Hanya Dia-lah yang menanggung kami dengan bimbingan-Nya dalam langkahlangkah kami. Di tangan-Nya-lah berada semua kunci dan kendali hati manusia. Siapa yang ia sesatkan maka tak akan ada yang dapat menunjukinya, dan siapa yang ia tunjuki maka tak akan ada yang dapat menyesatkannya. Cukuplah Dia bagi kami. Dia-lah sebaikbaik tempat bergantung. Bukankah hanya Allah yang mencukupi kekurangan hamba-Nya?
Empat Golongan Obyek Dakwah
Kami hanya ingin agar kelak –dalam mensikapi dakwah kami– orang akan masuk ke dalam salah satu dari empat golongan berikut:
Pertama, Golongan Mukmin
Mereka adalah orang-orang yang meyakini kebenaran dakwah kami, percaya kepada perkataan kami, mengagumi prinsip-prinsip kami, dan menemukan padanya kebaikan yang kebaikan yang menenangkan jiwanya. Kepada orang seperti ini kami mengajak untuk segera bergabung dan bekerja bersama kami agar jumlah para mujahid semakin banyak, dan agar dengan tambahan suara mereka, suara para da’i akan semakin meninggi.
Iman takkan punya arti bila tidak disertai dengan amal. Akidah tak akan memberi faedah bila tidak mendorong penganutnya untuk berbuat dan berkorban demi menjelmakannya menjadi kenyataan. Begitulah yang terjadi pada generasi terdahulu umat ini, dimana Allah melapangkan dada mereka untuk menerima hidayah-Nya. Mereka mengikuti jejak para Nabinya, beriman kepada risalahnya, dan berjihad dengan jihad yang benar dalam menegakkan misi suci itu. Kami berharap agar Allah swt. Berkenan memberikan pahala yang banyak kepada para pendahulu ini, ditambah dengan pahala orang-orang yang mengikuti jejek mereka, tanpa mengurangi pahala orang yang mengikuti itu.
Kedua, Golongan Orang Yang Ragu-ragu
Boleh jadi mereka orang-orang yang belum mengetahui secara jelas hakekat kebenaran dan belum mengenal makna keikhlasan serta manfaat di balik ucapan-ucapan kami. Mereka bimbang dan ragu. akan halnya golongan ini, biarkanlah mereka bersama keraguannya, sembari disarankan agar mereka tetap berhubungan dengan kami lebih dekat lagi, membaca tulisan-tulisan kami dan apa saja yang terkait dengan kami –baik dari jauh maupun dari dekat–, mengunjungi klub-klub kami, dan berkenalan dengan saudara-saudara kami. Setelah itu, isnya Allah hati mereka akan tentram dan dapat menerama kami. Begitulah juga tabiat golongan manusia peragu, yang menjadi pengikut para rasul zaman dahulu.
Ketiga, Golongan yang Mencari Keuntungan
Boleh jadi mereka adalah kelompok yang tidak ingin memberikan dukungan kepada kami sebelum mereka mengetahui keuntungan materi yang dapat mereka peroleh sebagai imbalannya. Kepada mereka ini kami hanya ingin mengatakan, “Menjauhlah! Disini hanya ada pahala dari Allah jika kamu memang benar-benar ikhlas, dan surga-Nya jika ia melihat ada kebaikan dalam hatimu. Adapun kami, kami adalah orang-orang yang miskin harta dan popularitas. Semua yang kami lakukan adalah pengorbanan dengan apa yang ada di tangan kami dan dengan segenap kemampuan yang ada pada kami, dengan harapan bahwa Allah akan meridhai. Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Bila kelak Allah menyikap tabir kegelapan dari hati mereka dan menghilangkan kabut keserakahan dari jiwanya, niscaya meraka akan tahu bahwa sesungguhnya apa yang ada disisi Allah itu jauh lebih baik dan lebih kekal. Kami percaya, hal itu akan mendorongnya bergabung dengan barisan Allah. Saat itu, dengan segala kemurahan hati mereka akan mengorbankkan seluruh hartanya demi memperoleh balasan Allah di akhirat kelak. Apa yang ada padamu (manusia) akan habis musnah, dan apa yang ada di sisi Allah akan abadi.
Andaikan tidak demikian, sungguh Allah tidak membutuhkan orang yang tidak melihat bahwa hak Allah-lah yang pertama harus ditunaikan, pada diri, harta, dunia, akhirat, hidup, dan matinya. Begitulah yang pernah terjadi, ketika sekelompok orang enggan berba’iat kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kecuali jika nantinya beliau berkenan memberikan porsi kekuasaan setelah Islam menang. Pada waktu itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Hanya menyatakan bahwa bumi ini adalah milik Allah, yang ia wariskan kepada siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya kemenangan akhir selalu menjadi milil orang-orang yang bertaqwa.
Keempat, Golongan yang Berprasangka Buruk
Barangkali mereka adalah orang-orang yang selalu berprasangka buruk kepada kami dan hatinya diliputi keraguan atas kami, mereka selalu melihat kami dengan kacamata hitam pekat, dan tidak berbicara tentang kami kecuali dengan pembicaraan yang sinis. Kecingkakan telah mendorong mereka terus berada pada keraguan, kesinisan, dan gambaran negatif tentang kami.
Bagi kelompok macam ini, kami bermohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala, agar berkenan memperlihatkan kepada kami dan kepada mereka kebenaran sebagai kebenaran dan memberi kekuatan kepada kami untuk mengikutinya, serta memperlihatkan kebatilan sebagai kebatilan dan memberi kekuatan kepada kami untuk menjauhinya. Kami memohon kepada Allah swt. Agar berkenan menunjuki kami dan mereka ke jalan yang lurus.
Kami akan selalu mendakwahi mereka jika mereka mau menerima, dan kami juga berdoa kepada Allah swt. Agar berkenan menunjuki mereka. Memang, hanya Allah-lah yang dapat menunjuki mereka. Kepada Nabi-Nya Allah berfirman tentang segolongan manusia,
“Sesunguhnya, kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada siapa yang kamu suka, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang ia kehendaki.” (Al-Qashash: 56).
Walaupun begitu, kami tetap mencintai mereka dan berharap bahwa suatu saat mereka akan sadar dan percaya pada dakwah kami. Terhadap mereka kami menggunakan semboyan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw., “Ya Allah ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
Kami menginginkan ada salah satu dari keempat golongan tadi yang bergabung bersama kami. Kini tiba saatnya bagi setiap muslim untuk memahami tujuan hidupnya dan menentukan arah perjalanannya. Ia harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk menempuh jalan tersebut agar dapat mencapai tujuannya. Adapun mereka yang lalai dan terus dalam kebingungan, yang suka bersantai-santai, yang hatinya buta dan gampang terbujuk oleh rayuan, maka tidak ada tempat bagi mereka di jalan panjang orang-orang yang beriman.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-26 Keunikan
Orang-orang menjadi pahlawan karena ia mempunyai bakat kepahlawanan dalam dirinya dan karena bakat itu menemukan lingkungan yang memicu pertumbuhannya, kemudian menemukan momentum historis yang menjadikannya abadi. Setiap orang datang membawa bakat yang berbeda, kemudian menemukan lingkungan yang berbeda, dan kemudian menemukan momentum historis yang berbeda.
Betapa banyak orang yang berbakat yang tidak menjadi pahlawan karena tidak menemukan lingkungan dan momentum historis yang mengakomodasi bakatnya. Dan betapa banyak orang yang hidup di tengah lingkungan dan momentum historis yang memungkinkannya menjadi pahlawan, tetapi mereka tidak juga menjadi pahlawan. Karena mereka memang tidak berbakat.
Maka, keunikan individual para pahlawan itu adalah keniscayaan sejarah. Sebagian dari keunikan itu bersumber dari bakatnya, sebagian yang lainnya bersumber dari ruang dan waktu serta situasi-situasinya. Keharmonisan dan perpaduan antara bakat, ruang, waktu dan situasi adalah faktor utama yang mengantarkan seseorang kepada dunia kepahlawanan. Inilah yang dimaksud Allah SWT, “Setiap orang dimudahkan melakukan apa yang untuknya ia diciptakan.“
Maka, seseorang kemudian dianggap pahlawan karena ia melahirkan karya yang berbeda dari karya-karya orang lain. Sejarah tidak mencatat pengulangan-pengulangan. Kecuali, untuk karya dalam bidang yang sama dengan kualitas yang tidak berbeda secara hirarkis, tetapi berbeda dalam situasinya. Hal ini meyebabkan letak kepahlawanan setiap orang selalu berbeda.
Jadi, justru disinilah letak masalahnya. Menjadi unik adalah beban psikologis yang tidak semua orang dapat memikulnya. Ancaman bagi orang-orang yang unik adalah isolasi, keterasingan, dan akhimya adalah kesepian. Sebab, tidak semua orang dapat memahaminya. Ketika Umar Bin Khattab menemukan bahwa ternyata Allah SWT membuka pintu kekayaan dunia pada masa khilafahnya, ia mulai cemas jangan-jangan itu bukan prestasi, tetapi justru karena Allah ingin memisahkannya dari kedua pendahulunya, Rasulullah saw dan Abu Bakar. Sebab, Allah tidak membuka pintu kekayaan dunia pada kedua masa itu.
Para pahlawan mukmin sejati memahami kenyataan ini dengan baik. Dibutuhkan suatu tekad dan keberanian moral untuk menembus tirai kesalahpahaman publik dan lingkungan. Itu pada tahap awalnya. Namun, dibutuhkan tekad dan keberanian yang lebih besar lagi pada tahap selanjutnya. Yaitu, tekad dan keberanian untuk “memaksakan” kehadiran pribadi kita dalam struktur kesadaran masyarakat. Inilah saat yang paling menegangkan dalam proses “pensejarahan” seseorang, karena sejarah hanyalah refleksi dari struktur kesadaran kolektif masyarakat. Pada saat seperti itulah, seorang pahlawan “memaksa” masyarakat untuk mengakuinya secara natural. Memaksa masyarakat untuk tunduk dihadapan kehebatan-kehebatannya. Memaksa masyarakat untuk menyerah pada rasa kagum mereka terhadapnya, karena kebaikan-kebaikan yang berserakan pada individu-individu masyarakat itu terkumpul dalam diri sang pahlawan.
Maka, ketika Rasulullah saw wafat, para sahabat terguncang. Ketika Khalid Bin Walid meninggal, para wanita Madinah menangis. Guncangan jiwa daan derai air mata adalah bentuk-bentuk penyerahan diri masyarakat terhadap rasa kagum mereka.
Jika engkau bersedia untuk menerima takdir kesepian sebagai pajak bagi keunikan, maka niscaya masyarakat juga akan membayar harga yang sama; kelak mereka akan merasa kehilangan.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-27 Surat dari Penjara
Bapak Abdullah bin Rawahah, dalam jannah, ridha dan maghfirah Allah,
Dari penjara pengap tempat begitu banyak anak manusia bertarung merebut jatah makan dan hunian terbaik, kutulis surat ini untuk mengungkapkan pengakuan dan kekagumanku atas sikapmu yang tergurat dalam rajaz-mu. Setidaknya bahwa orang tahu bahwa aku sangat menerima jalan pikiranmu. Atau agar diriku sendiri tahu dan sadar bahwa kebenaran semata-matalah yang melandai ungkapanmu yang di negeriku pernah dinyanyikan dengan semangat:
ku bersumpah; wahai jiwa, turunlah berlaga
turunlah atau haruskah engkau dipaksa
mengapa kulihat engkau membenci surga
hai jiwa, jika engkau tidak dibantai
kau kan pasti binasa
Di sebuah sel paling indah dari penjara yang berjajar dengan penghuni yang berblok-blok dan saling curiga, dengan aliansi yang cepat berubah hanya karena kepentingan berebut kesenangan, aku tinggal bersama tahanan yang akan ditentukan nasibnya dan menentukan suratannya. Maksudku, mereka akan mendapat keputusan, akan direhabilitasikah mereka? Atau dieksekusi atau ditingkatkan ke penjara yang lebih mengerikan? Kejadian silih berganti dan betapa mulia warnanya jalan hidup mereka. Penduduknya sangat majemuk. Ada yang menerbitkan koran berbau menyan. Ada yang menyebutkan Muhammad SAW junjungan kita tanpa gelar cinta di hati atau shalawat di mulut. Ada yang mau mmeberi apa saja demi kebahagiaan nanti, sampai-sampai dapat kau temukan kejadian yang kau dapatkan di zaman sahabatmu Ali bin Abi Thalib, saat seorang haruri yang memberontak kepada khalifah yang sah dan memisahkan diri dari jamaah Muslimin dan berteriak bangga, “Aku bersegera kepada-Mu ya Rabbi, agar Engkau ridha.” (QS Thaha: 80) sementara ususnya terburai oleh pedang pasukan Muslim yang loyal.
Bapak Khubaib bin Adi, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
(Maaf, kalau ukuran satu-satunya cuma usia, sebaiknya kupanggil engkau dengan adinda, karena saat kutulis surat ini, baik engkau atau Abdullah bin Rawahah adalah pemuda yang segar, terlebih di negerimu kini engkau takkan lagi mengalami keriput dan pikun)
Kalaulah tidak karena kejumudan lama dan dekadensi hari ini, tentu semua pemuda akan sangat apresiatif terhadap untaian syair kematianmu yang begitu manis, ironis dengan penyiksaan dan pembunuhan perlahan-lahan yang mereka lakukan terhadapmu:
dan aku tidak peduli ketika dibunuh sebagai Muslim
di arah manapun, pastilah jalan Allah gugurku
karena dalam pandangan Ilah, jika ia berkenan
Ia kuasa berkahi kepingan tubuh yang berserakan
Seorang bapak yang pergi ke hutan untuk membela Tuhan, menghibur anak lelakinya yang gemetar di usianya yang empat tahun itu. Di tingkah rentetan senapan mesin dan ledakan bom ia berpesan: “Jangan takut, tenangkan hatimu, karena setiap peluru dan bom itu sudah punya address, alamat siapa yang akan jadi korbannya. Bila tak ada namamu di situ, pasti ia tidak akan memangsamu.”
Mungkin terngiang di telingamu ayat tabsyir ini yang turun jauh sesudah pulangmu ke negeri abadi, “Mereka bergembira dengan orang-orang yang belum berjumpa dengan mereka di belakang mereka, tidak ada ketakutan pada mereka dan tak juga bersedih.” (QS Ali Imran: 170)
Bapak Abu Dujanah, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
Di anatara kami ada yang pergi mencari mati, namun lebih banyak mereka yang pulang dan berumur panjang. Banyak di antara kami yang amat ketakutan jika berjalan seperti kalian para syuhada, kata mereka hidup jadi pendek dan keluarga jadi terlantar. Maka, kalau ia seorang pejabat profesional atau serdadu, hidupnya penuh dengan kesibukan menumpuk harta curian. Jika ia ulama, maka ia menghindari topik-topik koreksi atas kemungkaran dan kecurangan. Banyak orang menjadi sangat miskin karena sangat memimpikan kekayaan. Mungkin kita bisa sama-sama terkesan dengan sebuah kalimat doa, “Allahumma aghnini bil iftiqari ilaika, wa la tufaqqirni bil istighna’i ‘anka (Ya Allah, kayakanlah daku dengan kesadaran diri sangat berhajat kepadaMu, dan jangan miskinkan daku karena merasa tak memerlukanMu).”
Bapak Annazham, filsuf para Mu’tazilah,
Hari ini bansaku mengulang kembali apa yang dikatakan orang-orang bijak dan penyair masa lalu tentang kebusukan dan kezaliman;
siapa tidak ikut gila, tidak kebagian
siapa yang tak mampu menzhalimi orang, maka ia akan dizhalimi
Sebagian lain menenggak begitu banyak racun yang menghancurkan akal mereka. Ah, ternyata engkau jauh lebih elegan dari anak-anak kampungku yang pagi-pagi beercerita dengan bangga bahwa mereka puas, hebat, modern, karena semalam tidur di selokan mabuk. Ya Annazham, engkau mabuk dengan cita rasa seni yang tinggi.
dengan lembut terus kuhirup sukma botol ini
dan kuhalalkan darah yang bukan dari luka
sampai aku terbungkuk-bungkuk dengan dua nyawa
botol pun tercampak, jadi badan tanpa jiwa
Mabuk di Selokan atau dengan Hadiah Nobel Sastra, Tetap Mabuk, kan?
Kata orang bijak, dunia hanya dibangun dan dipimpin oleh para pemberani, dalam hak atau batil. Kini mubarazah (duel) yang mengawali pertempuran massal tak dapat dilaksanakan. Bukan karena pertempuran tak lagi menggunakan pedang, tetapi jiwa pengecut itu yang jadi mahkota di kepala anak-anak laki-laki korban sekolah itu. Oh, Bani Arfidah penari perang dan penempur yang gagah berani, hari rayaku kini ramai dengan orang menangis di kuburan atau orang mabuk di selokan. Tari perangmu yang membangkitkan api ksatria telah berganti dengan penari latar norak, culun, dan penuh kepura-puraan. Laki-laki dan perempuan bergerak dengan dan karena ketakukan yang sangat kalau tak jadi terkenal. Laki-laki memakai rantai anjing dan menyobek lutut Jeans-nya dan “gadis-gadis”nya membuka seluas mungkin jengkal demi jengkal kehormatan yang seharusnya mereka tutup.
Tetapi Allah bukan si miskin yang tidak punya cadangan kekayaan hamba-hamba dari jenis kain atau si dungu yang tak tahu bagaimana mengganti perlengkapan rumahnya yang usang. Dari puing-puing sejarah bangsa kami masih muncul kepala-kepala lain dengan pikiran-pikiran lain, impian-impian lain. Benar kata orang bijak, “Perjuangan dirancang oleh orang alim, diperjuangakan oleh orang-orang ikhlas, dimenangkan oleh orang-orang berani, dan akhirnya dinikmati oleh orang-orang pengecut!”
Bapak Abdurahman bin Auf,
Betapapun tidak bisa mengejar tingkat pengorbananmu, namun masih ada pedagang kami yang kebih suka “hijrah” dari nikmat rezeki yang cemar lalu mengambil susu fitrah bagi kekayaan batin prajurit tauhid yang melimpah dan istiqamah.
Bapak Salman Al Farisi, biarpun tidak seperti keutamaanmu, namun masih banyak muhandis (insinyur) muda yang sibuk menggali khandaq penahan laju ahzab sekutu. Mereka seperti yang kau dapatkan juga dari Rasul tercinta, adalah sungguh-sungguh ahlul bait, karena menjaga rumah besar kita dari keruntuhan.
Bapak Bilal, gema adzanmu tetap dibunyikan oleh Bilal-bilal masa kini, dengan seruan hayya ‘alal falah yang santun, damai, dan perkasa. Ajaib, suara dari kerongkonganmu tak tergantikan oleh kecanggihan teknologi musik yang telah begitu jauh maju. Dan, ia telah menjadi “lagu kebangsaan” yang mendunia mengukuhkan kesistensi kami di tengan 6 milyar penduduknya.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-27 Pendahuluan Halal dan Haram
Direktorat Jenderal Urusan Kebudayaan Islam Universitas Al Azhar meminta kepada saya untuk memenuhi keinginan Universitas, agar saya menyusun buku-buku kecil yang sederhana untuk diterjemah ke dalam bahasa Inggris, guna memperkenalkan Islam kepada masyarakat Eropa dan Amerika, khususnya ummat Islam di sana; disamping sebagai usaha da’wah untuk orang luar Islam.
Rencana penyusunan buku-buku kecil sebagai tersebut, sangat baik sekali yang sudah seharusnya direalisir sejak lama, sebab masyarakat Islam di Eropa dan Amerika mengenal Islam hanya sedikit sekali. Sedang yang sedikit itupun tidak lepas dari kekeliruan dan kesalahan.
Dalam waktu dekat, seorang rekan lulusan Al-Azhar yang dikirim ke salah satu negara bagian USA mengirimkan surat kepada saya, ia mengatakan: “Bahwa kebanyakan ummat Islam di negara ini mencari pencaharian dengan membuka bar-bar dan memperdagangkan arak dengan tidak merasa bahwa hal tersebut suatu dosa besar dalam pandangan hukum Islam.”
Dalam suratnya itu dikatakan pula: “Bahwa laki-laki muslim di negara tersebut banyak yang mengawini perempuan-perempuan Kristen dan Yahudi –mungkin juga penyembah berhala– dengan meninggalkan perempuan-perempuan muslimah, mereka ini banyak yang tidak laku, dan sebagainya …”
Kalau demikian keadaannya ummat Islam, bagaimana lagi gerangan yang bukan Muslim? Mereka tidak mengenal hanya bentuk muka yang jahat tentang Islam, Nabi Muhammad dan para pengikutnya dikenal dengan sifat-sifat yang tidak baik. Bentuk mana merupakan usaha-usaha propagandis Kristen dan kaum penjajah yang berbisa, yaitu dengan merendahkan Islam dalam berbagai seginya. Hal ini justeru terjadi di saat kita sedang lengah dan lalai.
Kini telah tiba waktunya untuk memulai rencana itu serta merealisir cita-cita yang sangat dibutuhkan demi berda’wah kepada Islam dan hal ini meminta diperhatikan dengan serius. Untuk mencapai langkah yang sangat baik ini, harus kita bentuk suatu kelompok yang benar-benar sanggup mempertahankan dan melaksanakannya baik di kalangan Al-Azhar sendiri maupun di luar Azhar, dengan suatu permintaan kepada mereka ini supaya mau menghadapi lebih serius diiringi suatu doa semoga mereka selalu beroleh taufiq dari Allah.
Pokok persoalan yang diberikan kepada saya yaitu tentang masalah “Halal dan Haram dalam Islam”. Direktorat itu berpesan kepada saya agar saya menulis persoalan tersebut dengan sederhana (sederhana) dan mudah difahami serta diadakan comparative (perbandingan) dengan pandangan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain.
Barangkali nampaknya persoalan “Halal dan Haram” untuk pertama kalinya amat mudah, tetapi kenyataannya sangat sukar. Pengarang-pengarang di masa-masa yang telah lalu maupun yang belakangan ini belum ada yang menulis secara khusus persoalan tersebut. Akan tetapi penulis sendiri menjumpainya berserakan dalam beberapa bab di kitab-kitab Fiqih, dan juga sebagiannya di kitab-kitab Tafsir dan Hadis.
Persoalan inilah yang mendorong penulis dengan serius untuk memperhatikan beberapa persoalan yang oleh ulama-ulama dahulu diperselisihkan hukumnya dan ditentang pula oleh pendapat-pendapat ahli Hadis tentang persoalannya maupun alasan-alasannya.
Untuk mentarjih suatu pendapat lainnya dalam masalah halal dan haram diperlukan suatu pembahasan dan penelitian yang lama sekali; disamping penulis sendiri harus mengikhlaskan diri kepada Allah guna mencari yang benar, sebagai suatu keharusan yang harus ditempuh manusia.
Saya melihat kebanyakan para penyelidik Islam di zaman modern ini hampir-hampir terbagi dalam dua golongan:
Golongan Pertama: pandangannya disambar oleh kilauan kebudayaan barat; dan berhala yang besar ini ditakuti mereka sehingga kebudayaan itu disembahnya. Dan untuk ini mereka lakukan dengan penuh pengorbanan serta berdiri di hadapannya dengan menundukkan pandangannya dengan penuh kerendahan. Cara berfikir dan tradisi barat ini mereka jadikan sebagai suatu persoalan yang diterima yang tidak perlu ditentang dan diperdebatkan. Kalau Islam itu sesuai dengan fikiran dan tradisi barat, mereka menyambutnya; tetapi kalau bertentangan, mereka berusaha mencari jalan untuk mendekatkan, atau beralasan dan menjelaskan, atau mentakwil dan merubahnya, yang seolah-olah Islam itu diharuskan tunduk kepada kebudayaan barat, filsafat barat dan tradisi barat.
Dan begitu juga dalam pembicaraannya tentang sesuatu yang dihalalkan Islam, misalnya: masalah talaq dan poligami. Yang seolah-olah apa yang disebut halal dalam pandangan mereka; yaitu sesuatu yang dianggap halal oleh Barat. Dan yang dikatakan haram, yaitu sesuatu yang dianggap haram oleh Barat.
Mereka lupa, bahwa Islam itu Kalamullah (perkataan Allah), sedang Kalamullah itu selamanya tinggi; dia diikuti, bukan mengikuti, dia tinggi tidak dapat diatasi. Oleh karena itu bagaimana mungkin Allah akan mengikuti hambaNya; bagaimana pula Khaliq (pencipta) mengikuti Makhluk (yang dicipta)?
Firman Allah:
“Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya langit dan bumi ini serta makhluk yang didalamnya akan rusak!” (al-Mu’minun: 71)
“Katakanlah Muhammad! Apakah di antara sekutu-sekutumu ada yang dapat menunjukkan ke jalan yang benar? Katakanlah: Allahlah yang menunjukkan ke jalan yang benar. Apakah Dzat yang menunjukkan ke jalan yang benar itu yang lebih patut diikuti ataukah orang yang tidak dapat memimpin kecuali (sesudah) dia dipimpin (itu yang lebih patut diikuti)? Bagaimana kamu berbuat begitu? Bagaimana kamu mengambil keputusan?” (Yunus: 35)
Golongan Kedua: terlalu apatis, fikirannya beku dalam menilai beberapa masalah halal dan haram, karena mengikuti apa yang sudah ditulis dalam kitab-kitab, dengan suatu anggapan, bahwa itu adalah Islam. Pendapatnya samasekali tidak mau bergeser, kendati seutas rambut; tidak mau berusaha untuk menguji kekuatan dalil yang dipakai oleh madzhabnya untuk dibandingkan dengan dalil-dalil yang dipakai orang lain, guna mengambil suatu kesimpulan yang benar sesudah ditimbang dan diteliti.
Apabila mereka ditanya tentang hukumnya musik, nyanyian, catur, mengajar perempuan, perempuan membuka wajah dan tangannya dan sebagainya, maka omongan yang paling mudah keluar dari mulutnya ataupun penanya yang bergores, adalah kata-kata haram.
Golongan ini lupa etika yang dipakai oleh salafus-shalih (orang-orang dulu yang saleh), dimana mereka samasekali tidak pernah mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dalil yang mengharamkannya dengan positif. Sedang yang belum begitu jelas, mereka mengatakan: “Kami membenci”, “Kami tidak suka”, dan sebagainya.
Saya sendiri berusaha untuk tidak termasuk pada salah satu dari dua golongan di atas.
Saya tidak rela –demi membela agamaku– untuk menjadikan Barat sebagai suatu persembahan, sesudah saya menerima Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad sebagai Rasul!
Saya pun tidak rela –rasioku– terikat dengan suatu madzhab, dalam seluruh persoalan dan masalah, salah benar hanya mengikuti satu madzhab. Seorang muqallid (ikut-ikutan) menurut Ibnul Jauzie: “Tidak dapat dipercaya tentang apa yang diikutinya itu, dan taqlid itu sendiri sudah menghilangkan arti rasio, sebab rasio dicipta buat berfikir dan menganalisa. Buruk sekali orang yang diberi lilin tetapi dia berjalan dalam kegelapan.”
Benar! Memang saya tidak akan berusaha untuk mengikatkan diriku pada salah satu madzhab fiqih yang ada di dunia ini. Sebab kebenaran itu bukan dimiliki oleh satu madzhab saja. Dan imam-imam madzhab itu sendiri tidak pernah menganjurkan demikian. Mereka hanya berijtihad untuk mengetahui yang benar. Jika ternyata ijtihad mereka itu salah, akan mendapat satu pahala; dan jika benar, akan mendapat dua pahala.
Imam Malik r.a. berkata: “Setiap orang, omongannya boleh diambil dan boleh juga ditolak, kecuali Nabi Muhammad s.a.w.”
Imam Syafi’i r.a. berkata: “Apa yang saya anggap benar, mungkin juga salah; dan yang saya anggap salah, mungkin juga benar.”
Oleh karena itu tidak pantas seorang muslim yang berpengetahuan (alim) dan memiliki peralatan untuk menimbang dan menguji, bahwa dia akan menjadi tahanan oleh suatu madzhab, atau tunduk kepada pendapat seorang ahli fiqih. Tetapi seharusnya dia mau menjadi tawanan hujjah dan dalil. Selama dalil itu sah dan hujjahnya kuat, maka dialah yang lebih patut diikuti. Kalau sanadnya itu lemah dan hujjahnya pun tidak kuat, dia harus ditolak tidak memandang siapapun yang mengatakannya. Justeru itulah sejak pagi-pagi Ali r.a. mengatakan: “Jangan kamu kenali kebenaran itu karena manusianya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka kamu akan kenal orangnya.”
Saya berusaha akan memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Kebudayaan itu semaksimal mungkin. Dalam hal ini saya akan selalu menjuruskan kepada masalah dalil, alasan dan partimbangan dengan bantuan analisa ilmiah dan pengetahuan modern yang mutakhir. Dan alhamdulillah, bahwa Islam memancar dengan membawa sejumlah dalil, karena Islam adalah agama universal dan abadi, yaitu seperti dikatakan Allah:
“(Islam) adalah ciptaan Allah, dan siapakah yang lebih baik ciptaannya selain Allah?” (al-Baqarah: 138)
Halal dan Haram sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat, sekalipun masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab-sebabnya. Kebanyakan dikaitkan dengan kepercayaan primitif, khurafat dan dongeng-dongeng.
Kemudian datanglah agama-agama Samawi yang besar-besar dengan membawa berbagai peraturan dan rekomendasi tentang halal dan haram yang mengangkat martabat manusia dari tingkatan khurafat, dongeng-dongeng, dan hidup primitif, menjadi manusia yang mulia dan terhormat. Akan tetapi sebagian yang halal dan haram itu disesuaikan dengan keadaan dan kondisi, serta berkembang menurut perkembangan manusia itu sendiri serta mengikuti perkembangan situasi dan kondisi.
Dalam agama Yahudi misalnya, ada beberapa hal yang diharamkan yang bersifat preventif sebagai suatu hukuman Allah terhadap Bani Israel karena kezaliman mereka. Hukum ini tidak dimaksudkan untuk berlaku selama-lamanya. Justeru itu al-Quran menuturkan perkataan Isa al-Masih kepada Bani Israel sebagai berikut:
“(Bahwa aku) membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan supaya aku menghalalkan kepadamu sebagian yang pernah diharamkan atas kamu.” (Ali-Imran: 50)
Setelah Islam datang, keadaan ummat manusia sudah makin meluncur, maka sudah tepat pada waktunya Allah menurunkan agamaNya yang terakhir itu. Hukum yang berlaku di kalangan ummat manusia ini ditutupnya dengan syariat Islam yang komplit, menyeluruh dan abadi (universal).
Dalam hal ini dapat kita baca firman Allah yang berhubungan dengan masalah haramnya makanan-makanan sebagai tersebut dalam surah al-Maidah, yaitu sebagai berikut:
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Aku sempurnakan atas kamu nikmatKu, dan Aku telah rela untukmu Islam sebagai agama.” (al-Maidah: 3)
Cara berfikirnya Islam dalam persoalan halal dan haram sangat sederhana dan jelas. Cara berfikir ini merupakan satu bagian dari amanat yang besar yang tidak diterima oleh langit, bumi dan gunung dengan dalih semua tidak sanggup memikulnya, tetapi kemudian manusia sanggup.
Amanat kewajiban Allah serta pertanggungan jawab manusia sebagai khalifah di permukaan bumi ini, adalah merupakan suatu pertanggungan jawab yang membawa konsekwensi dan merupakan dasar tindakan suatu hukum bagi manusia apakah dia itu diberi pahala atau disiksa. Untuk itulah maka manusia diberinya akal (rasio) dan berkehendak serta diutusnya para Rasul dengan membawa kitab. Oleh karena itu dia tidak akan ditanya: mengapa ada halal dan haram? Mengapa saya tidak membiarkan kendali itu tetap lepas?
Ini benar-benar merupakan suatu ujian khusus untuk manusia mukallaf, dan kiranya dengan itu manusia dapat berbeda dengan makhluk-makhluk Allah yang semata-mata Roh seperti Malaikat dan yang semata-mata syahwat seperti binatang, Dengan demikian manusia adalah makhluk tengah-tengah yang dapat meningkat menjadi Malaikat atau lebih, atau meluncur seperti binatang dan lebih rendah dari binatang.
Dan dari segi lain, bahwa halal dan haram beredar menurut perputaran perundang-undangan Islam secara umum, yaitu suatu perundang-undangan yang berdiri di atas landasan demi mewujudkan kebaikan untuk ummat manusia dan menghilangkan beban yang berat serta mempermudah ummat manusia.
Perundang-undangan Islam tetap menegakkan prinsip menghilangkan mafsadah dan mendatangkan maslahah untuk segenap ummat manusia, baik jasmaninya, jiwanya, rasionya, masyarakat keseluruhannya, yang kaya, yang miskin, penguasa, rakyat, laki-laki, perempuan; dan maslahah untuk seluruh macam manusia baik jenisnya, kulitnya, kebangsaannya, pada setiap masa dan generasi.
Oleh karena itu tepat kalau agama ini datang dengan membawa rahmat yang meliputi seluruh hamba Allah sampai pada akhir perkembangan manusia. Hal ini telah dinyatakan Allah sendiri dalam firmanNya:
“Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan membawa rahmat bagi segenap makhluk.” (al-Anbia’: 107)
Dan telah dinyatakan juga oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadisnya yang berbunyi sebagai berikut:
“Saya hanya diutus sebagai rahmat dan membimbing. ” (Riwayat al-Hakim, dan disahkan oleh adz-Dzahabi)
Salah satu daripada bentuk rahmatNya ini ialah: dengan meniadakan dari ummat ini semua macam penekanan, dosa-dosa karena melakukan yang halal seperti yang diada-adakan oleh kaum watsaniyin dan ahli kitab, sehingga mereka berani mengharamkan yang baik dan menghalalkan yang jelek.
Firman Allah:
“… RahmatKu meliputi segala sesuatu, maka akan Kutetapkan dia itu untuk orang-orang yang taqwa dan mengeluarkan zakat serta orang-orang yang mau beriman dengan ayat-ayatKu. Yaitu orang-orang yang mau mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang telah mereka jumpainya tertulis di sisi mereka dalam kitab Taurat dan Injil. Nabi tersebut akan memerintah mereka untuk beramar ma’ruf dan nahi mungkar, dan menghalalkan yang baik, dan mengharamkan yang jelek dan menghilangkan dari mereka beban yang berat dan belenggu yang ada atas mereka.” (al-A’raf: 156-157)
Undang-undang Dasar Islam tercermin dalam dua ayat yang kami bawakan juga dalam kitab ini, yaitu:
“Katakanlah:Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan rezeki-rezeki yang baik itu?” (al-A’raf: 32)
“Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan yang jelek, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan dosa, dan kejahatan yang tidak benar, dan kamu menyekutukan Allah dengan suatu yang Allah samasekali tidak menurunkan hujjah, dan kamu mengatakan atas (nama) Allah sesuatu yang kamu tidak tahu.” (al-A’raf: 33)
Saya yakin, bahwa pentingnya persoalan Halal dan Haram menjadikan kitab ini betapapun kecilnya telah dapat mengisi kekosongan literatur Islam yang baru dan dapat memecahkan problema-problema yang kini sedang dihadapi oleh ummat Islam, baik dalam kehidupannya sebagai perseorangan, rumah tangga maupun masyarakat luas. Dan kiranya telah dapat menjawab seluruh pertanyaan: apa yang dihalalkan buat saya? Dan apa pula yang diharamkan atas diri saya? Apa hikmah diharamkannya ini dan dihalalkannya itu?
Akhirnya, tidak ada yang mampu saya katakan dalam mengakhiri muqaddimah ini, melainkan saya harus berterimakasih kepada Syaihul Azhar dan Direktorat Jenderal Kebudayaan Islam yang telah memberi kepadaku suatu kepercayaan untuk menulis persoalan tersebut pada pagi-pagi buta.
Dan saya pun mengharap: semoga apa yang saya tulis ini berarti saya telah menunaikan kepercayaan itu dan merealisir apa yang dimaksud.
Dan kepada Allah jua saya memohon semoga kitab ini besar manfaatnya dan memberinya kepadaku perkataan dan perbuatan yang benar, serta menjauhkan saya dari fikiran dan pena yang melampaui batas, dan mempersiapkan untuk suatu pimpinan dalam persoalanku ini. Sesungguhnya Dia selalu mendengarkan doa!
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-28 Ri’ayah Dakwah
Untuk menjamin nishabul baqa (angka atau quota yang aman bagi eksistensi gerakan dakwah), qudratu ‘ala tahammul (kemampuan memikul beban/tanggung jawab), dan hayawiyatul harakah (dinamika gerakan); perlu dilakukan ri’ayah da’wah, yang meliputi:
Ri’ayah Tarbawiyah
Ini sangat penting sebagai basis dari sebuah program. Sebuah recovery tarbiyyah. Walaupun kita juga harus tawazzun (seimbang), dalam arti, sering saya ingatkan bahwa kita ini harakah Islamiyah bukan harakah tarbawiyyah. Walaupun kita faham bahwa tarbiyah itu bukan segala sesuatu dalam jamaah ini—karena ia hanya juz’iyyatul ‘alal amal islami, tapi dia sangat menentukan segala sesuatu. Makanya jangan lalai dalam tarbiyah ini. Saya pun bertanggung jawab jangan sampai terjadi tawaruth siyasi (larut dalam dunia politik).
Hasil tarbiyah ini jangan dibatasi manfaatnya menjadi tarbiyah untuk tarbiyah. Artinya moralitas, idealisme, dan semangat yang dihasilkan tarbiyah itu jangan hanya dirasakan ketika ia menjadi murabbi saja. Tapi harus dirasakan juga produk tarbiyah itu baik secara moralitas, idealisme, akhlak, hayawiyah, semangat ke dalam dunia politik. Aktif dalam sektor bisnis, eksekutif, budaya, sosial, dan peradaban; perasaan bahwa mereka juga harus merasakan tarbiyah. Jangan sampai produk-produk tarbawi hanya semangat ketika mentarbiyah saja. Ketika di dunia politik dia lesu, di dunia ekonomi memble, di dunia sosial kemasyarakatan ketinggalan, dalam seni budaya jauh di urutan ke berapa.
Tarbiyah harus bisa memacu, memberikan semangat, memberikan moralitas tinggi, idealisme tinggi dalam segala bidang. Itu sebetulnya sudah kita rasakan, dan semakin kita butuhkan ketika kita semakin besar. Jangan sampai potensi apa pun yang ada tidak mendapat sentuhan tarbawi tersebut. Jangan terjadi apa yang dinamakan al-izaaban (pelarutan). Jangan sampai ketika aktif di bidang politik terjadi izaabatu syakhsiyyatul islamiyyah (pelarutan kepribadian islami), atau aktif di bidang ekonomi terjadi izaabatul akhlaqul islamiyyah. Pelarutan-pelarutan itu insya Allah tidak akan terjadi atau bisa diminimalisir jika tarbiyah kita konsisten.
Ri’ayah Ijtima’iyah
Kemampuan kita melakukan komunikasi sosial, baik dalam jama’ah sendiri atau juga di masyarakat, tahsinul ‘alaqotul ijtima’iyyah (perbaikan hubungan kemasyarakatan) ini sangat dibutuhkan dalam peran kita sebagai da’i.
Ri’ayah Tanzhimiyah
Jaringan struktur kita sebagai jalur komando harus solid. Agar cepat dan tepat, bisa menyalurkan program-program dari pusat sampai ke daerah-daerah.
Ri’ayah Iqtishadiyah
Ekonomi ini menjadi perhatian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (sesaat setelah hijrah-red) setelah membangun masjid. Masjid untuk membangun anfus (jiwa) dan pasar untuk membangun potensi amwal (harta), keduanya untuk wa jahidu bi amwalikum wa anfusikum.
Ekonomi kita masih berbasiskan ekonomi jaringan, belum berbasiskan ekonomi pasar. Yang dagang ikhwan dan akhwat, yang belanja juga ikhwan dan akhwat. Memang ekonomi jaringan itu nikmat, tapi sulit untuk menjadi besar, artinya ketemu pedagang sambil kangen-kangenan, tawar menawarnya juga enak. Dalam ekonomi kalau mau menjadi besar itu harus berbasiskan pasar.
Dalam ri’ayah iqtishadiyah, pelihara terus ekonomi jaringan, tetapi kembangkan menuju ekonomi pasar. Ekonomi jaringan itu menjadi basis ekonomi pasar. Jangan keasyikan berputar-putar di ekonomi jaringan, gak bisa besar. Sebab pasar kita terbatas. Coba hitung berapa persen kader kita yang menjadi pedagang, kemudian berapa komunitas kita yang jadi pasarnya. Apalagi kalau dibagi dengan jumlah pedagang yang berdagang dari halaqoh ke halaqoh, sehingga pembagian jumlah konsumen itu kecil.
Kita berada di negara yang pasarnya dipenuhi oleh negara-negara besar; Amerika, Eropa, Cina, dan Jepang berebut pasar Indonesia. Kenapa kita sebagai pemilik pasar tidak mendayagunakannya sebesar-besar manfaat dari pasar Indonesia ini. Pasar Indonesia ini pasar yang jika dilihat dari luas geografisnya—bahkan secara demografisnya lebih luas lagi—sama dengan London – Moskow.
Ri’ayah Siyasiyah
Komunikasi politik kita harus lebih baik antar partai-partai. Jangan ada hambatan-hambatan yang membuat komunikasi kita dengan mereka terputus. Terutama karena kita partai dakwah. Jangan ada komunikasi yang putus dengan siapa pun. PDIP mad’u (objek dakwah) kita, Golkar mad’u kita, bahkan PDS juga mad’u kita. Sebisa mungkin ada jalur komunikasi. Jika tidak ada komunikasi keumatan atau keislaman, maka bangun jalur kemanusiaan. Saya kira tidak ada partai yang anggotanya bukan manusia. Banteng simbolnya, tapi anggotanya tetap manusia.
Minimal hubungan kemanusiaan harus terbentuk dengan kelompok manapun. Ingat, seperti dulu saya tegaskan bahwa mihwar muassasi itu merupakan muqaddimah menuju mihwar dauli. Kalau kita sudah mencapai mihwar dauli, rakyat yang kita kelola itu dari beragam parpol, kelompok, dan agama; semuanya rakyat yang harus kita kelola. Harus kita layani. Jangan dibayangkan kalau sebuah partai dakwah berkuasa di sebuah negara, akan membumihanguskan golongan-golongan lain. Tidak! Karena khilafah fil ardhi, termasuk embrionya, mihwar daulah, itu juga mengemban misi rahmatan lil ‘alamin, bukan rahmatan lil mu’minin saja. Semua komponen bangsa harus menikmati kehadiran kita dalam sebuah daulah, minimal secara manusia. Terjamin hak-hak kemanusiaannya, termasuk hak-hak politiknya tidak akan diberangus. Kita akan memberikan space kepada siapa pun komponen bangsa ini—sudah tentu yang tidak bertentangan dengan konstitusi negara yang disepakati—agar mempunyai ruang hidup, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan relijius.
Itu latihannya dari sekarang. Membangun komunikasi politik, budaya, bisnis, dan sosial dengan semua golongan, semua lapisan masyarakat, semua kelompok, semua komponen bangsa dari sekarang. Sehingga kita diakui, laik memimpin negara ini. Allahu Akbar! Insya Allah tidak lama lagi.
sumber: hasanalbanna.id
2011-12-29 Kesempurnaan
Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan. Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (Al Baqarah: 286).
Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al Ghazali dalam Jaddid Hayataka, teryata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori relativitas, jika dibanding dengan total umurnya? Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al Qur’an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).
Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempurnaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain.
Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.
Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukinin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu,kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”
Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya Surah An Nashr pada saat Fathu Makkah, “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya la Maha Menerima Taubat.”
Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya.
Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi’ bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat sederhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
sumber: hasanalbanna.id
2012-01
2012-01-02 Sahabat Sang Pahlawan
Anda harus waspada dan berhati-hati! Sebab, di sini ada jebakan kepahlawanan yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.
Dalam lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada di tengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada “orang lain” yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.
Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan: mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah awal mula kejadiannya. Orang-orang biasa selalu merasa puas dengan bergaul dan menjadi sahabat para pahlawan. Mereka sudah cukup puas dengan mengatakan,
“Oh, pahlawan itu sahabatku,” atau ungkapan “Oh, pahlawan itu dulu seangkatan denganku.” Orang-orang itu tidak mau bertanya. mengapa bukan dia yang menjadi pahlawan.
Akan tetapi, ada “orang biasa” yang mempunyai sedikit rasa megaloman, semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena ia bersahabat dengan para pahlawan. Dan karenanya, sering berperilaku seakan-akan dialah sang pahlawan.
Yang kita saksikan dalam kejadian ini adalah suatu proses identifikasi “orang biasa” dengan sahabatnya yang “pahlawan”. Ini merupakan tipuan jiwa: seseorang tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar pahlawan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.
Persahabatan memang sering menipu, bukan karena tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan untuk memenuhinya. Maka, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, suatu ketika memperingatkan para “murid” yang sedang menuntut ilmu di bawah bimbingan para ulama. Katanya, “Waspadalah, jangan merasa telah menjadi ulama, hanya karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”
Apakah kita harus meninggalkan sahabat-sahabat kita yang para pahlawan itu? Tentu saja tidak! Yang perlu kita lakukan adalah meluruskan perasaan kita sendiri dan meluruskan pandangan kita terhadap diri kita sendiri. Suatu saat, Buya Hamka membawa isterinya ke dalam sebuah majelis, dimana ia akan berceramah. Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol justru mempersilakan juga isteri beliau untuk berceramah.
Mereka tentu berprasangka baik: isteri sang ulama juga mempunyai ilmu yang sama. Dan, isteri beliau benar-benar naik ke podium. Buya Hamka terhenyak. Hanya satu menit. Setelah memberi salam, isterinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”
Jangan melakukan identifikasi diri yang salah. Jangan menilai diri sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi pahlawan, tanpa melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-04 Menjaga Karamah Basyariyah
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rizqi dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS Al Isra’, 17: 70)
Ikhwah fillah, di muqaddimah jalasah ini tadi telah saya bacakan ayat yang sangat masyhur dan sering dinukil dari surat Al Isra’. Dalam ayat ini terlihat betapa Allah SWT secara fitrah, kata orang Malaysia secara ‘semula jadi’, menciptakan manusia dalam kemuliaan : “وَلَقَدْ كَرَّمْنَا”. Akan tetapi kemuliaan ini adalah al karamah bit takrim, kemuliaan karena dimuliakan dan bukannya al karamah dzatiyah, kemuliaan an sich atau kemuliaan yang melekat dengan sendirinya.
Sebagai makhluk mulia manusia dikaruniai kemampuan lebih oleh Allah SWT. Inipun bukan karena usahanya sendiri, melainkan karena Allah SWT telah mempersiapkan seluruh ciptaan-Nya untuk manusia:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (QS Luqman, 31: 20).
Semua yang ada di langit dan di bumi telah ditundukkan dan disiapkan-Nya untuk mendukung manusia menngimplementasikan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dan menerjemahkan bakat-bakat yang ada dalam dirinya, karena keseluruhan ciptaan Allah itu musakhar, yakni telah dipersiapkan untuk didayagunakan oleh manusia. Oleh sebab itulah frasa dalam ayat tersebut. “Walaqad karramnaa banii aadam” diikuti dengan frasa: “Wahamalnaahum fil barri wal bahri” sebagai simbol yang mewakili seluruh kemampuan rekayasa manusia dalam memanfaatkan al kaun (universe). Manusia bisa membuat dan merekayasa kendaraan dan bahkan masalah kendaraan bisa menjadi ukuran prestise dan kehormatan seseorang.
Makhluk-makhluk selain manusia, yang ada di bumi ini berkendaraan hanya artifisial sifatnya. Gajah misalnya, ada yang bisa naik motor, tapi hanya artifisial yakni hanya di ruang lingkup sirkus saja. Demikian pula dengan monyet yang sudah dilatih untuk bisa naik sepeda atau mobil. Mereka hanya bisa beratraksi di dalam tenda sirkus, karena bila dilepas di jalan raya besar kemungkinannya akan semakin menimbulkan keruwetan dan kemacetan. Sementara manusia mampu merekayasa pendayagunaan potensi yang dipersiapkan oleh Allah untuk mendukung ta’yid dari Allah sehingga ia berkendaraan di darat, laut, udara dan angkasa luar.
Kemudian “warazaqnaahum minath thayyibaat”, artinya Allah memberi rizqi kepada manusia dari yang baik-baik saja. Bisa kita bandingkan misalnya dengan hewan ayam yang makan dari comberan dan cacing yang mendapatkan rizqi dari lumpur, sementara manusia hanya mengkonsumsi yang baik-baik.
Apalagi manusia dengan kelebihan akal dan fitrahnya mampu membuat hal-hal yang thayyibat menjadi tampil semakin lebih thayyib. Misalnya manusia merekayasa, mengolah masakan berjam-jam bahkan berhari-hari agar tampil lezat dan prima seperti tomat yang diubah menjadi seperti bunga mawar untuk hiasan demikian pula cabe, timun dll, padahal untuk menghabiskan semua santapan tersebut mungkin hanya dibutuhkan waktu 1/4 atau 1/2 jam saja. Demikian juga gula-gula dan coklat yang dibuat dalam berbagai bentuk cetakan.
Selanjutnya dalam firman Allah SWT tersebut disebutkan,
وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
“Kami utamakan/lebihkan manusia di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya”. Keutamaan ini juga karena tafdhil, dimuliakan oleh Allah, semata-mata al-fadhlu minallah, kemuliaan dan kelebihan dari sisi Allah bukan kemuliaan an sich atau kemuliaan yang dengan sendirinya. Lalu kemuliaan yang dimiliki manusia ini pun ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhila, di atas makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Ada mufassir yang mengatakan keutamaan manusia tersebut ‘alaa jama’il khalaiq, di atas semua makhluknya kecuali malaikat. Tetapi mufassir lainnya, mengatakan kelebihan dan keutamaan manusia juga di atas malaikat. Menurut sebagian mufassir tersebut malaikat masih mafdhul di bawah manusia, karena ia memang tidak memiliki syahwat sehingga bisa konsisten dalam kepatuhannya kepada Allah. Sementara manusia yang memiliki akal, bakat dan mampu mengendalikan syahwatnya ia bisa mencapai derajat melebihi malaikat karena walau pun memiliki syahwat ia tetap berjuang dengan iman dan akalnya untuk konsisten di jalan-Nya. Namun bila manusia tidak mengoptimalkan takrim dan tafdhil dari Allah bahkan malah memperturutkan hawa nafsunya yang rendah, ia bisa meluncur ke derajat yang sangat rendah yakni lebih rendah dari binatang,
Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. (Al A’raf 179)
Bila manusia-manusia yang bertaqwa tidak melepaskan diri dari takrim dan tafdhil, ia bisa dianggap melebihi malaikat. Buktinya ada malaikat yang ditugaskan Allah menjaga dan memberinya rizqi serta mencatat segala amal perbuatannya, seolah-olah mereka pelayan manusia. Bahkan secara tidak langsung Allah mempersiapkan malaikat menjaga manusia tidur, karena bayangkan saja bila manusia tidur tidak dijaga malaikat maka segala binatang seperti semut bisa memasuki lubang hidung, mulut dan lainnya.
Berkat penjagaan/ri’ayah Allah melalui malaikat-malaikat maka orang tidur bisa aman. Begitu pula bila ada bayi atau anak kecil yang jatuh dari ranjang tetapi tidak cidera, orang-orang tua kita biasa berucap, “Wah anak kecil nggak punya dosa jadi masih selalu dilindungi dan dijaga oleh malaikat”. Atau ketika ia menatap terus ke atas dan berkata “aaah” dikomentari orang-orang tua, “Wah dia lagi ngelihat dan ngobrol dengan malaikat”. Wallahu a’lam hadza minal ghaibiyat.
Ditilik dari sudut tafsir yang manapun, tetap saja dapat disimpulkan manusia adalah makhluk termulia di sisi Allah SWT. Takrim dan tafdhil dari Allah tersebut terkait dengan kemanusiaannya dan takrim serta tafdhil tersebut tentu saja akan meningkat bila kemanusiaan tersebut ditambah dengan aspek keislamannya. Apalagi bila dilengkapi dengan aspek keda’wahan dan kejama’ahannya. Seyogyanyalah ada nilai plus atau nilai lebih dari sekedar nilai kemanusiaan atau bahkan dari keislaman. Kita harus menampilkan diri sebagai syakhsiyah mukarramah (pribadi yang mulia) atau syakhsiyah mufadhalah (pribadi yang utama) demikian pula dengan jama’ah mukarramah dan jama’ah yang mufadhalah. Hal itu insya Allah bukan perwujudan sifat riya’, sombong atau ghurur melainkan lebih sebagai konsekuensi dari takrim dan tafdhil yang diberikan Allah. Kita harus benar-benar menjaga, memelihara dan menunjukkan karunia yang diberikan Allah tersebut.
Ikhwah fillah, sekali lagi saya tekankan bahwa kita sebagai da’i berkewajiban meng’izharkan, mengekspresikan, merealisir karamah basyariyah (kemuliaan kemanusiaan) dan fadhail basyariyah (keutamaan kemanusiaan) agar benar-benar nampak kehormatan, kelebihan dan keutamaan manusia sebagai makhluk yang mukarramah dan fadhailah. Bukankah rasulullah SAW juga bersabda, “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia)?
Jadi kita tidak mungkin menampilkan takrim dari Allah tanpa kita memiliki akhlaqul karimah. Dan kita juga tidak mungkin merefleksikan dan merealisir tafdhil Allah dalam kehidupan kita bila kita tidak produktif dalam fadhail amal. Hal tersebut harus benar-benar kita camkan dan upayakan, karena bila kita lalai—na’udzubilah, kita akan meluncur jatuh bukan saja dari kejama’ahan, keda’ian dan keislaman, melainkan bisa pula meluncur jatuh dari kemanusiaannya menjadi seperti hewan atau bahkan lebih buruk lagi dari hewan.
Mereka itu tak ubahnya seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. (Al A’raf 179)
Ayat tersebut sering dilewati begitu saja dalam membacanya, sehingga kadang-kadang kebanggaan kita akan status sebagai makhluk mulia hanyalah kebanggaan semu belaka.
Sebagai da’i sudah tentu tugas kita adalah mambuktikan takrim dan tafdhil dari Allah serta tidak berhenti pada kebanggaan semu saja, hal itu dilakukan dengan cara melahirkan makarimul akhlaq dan fadhail amal dari diri kita.
Prioritas kita untuk senantiasa merefleksikan takrim dan tafdhil dari Allah dengan cara memegang teguh makarimul akhlaq dan fadhail amal adalah dalam rangka itsbatul wujud atau membuktikan eksistensi kita sebagai manusia, sebagai muslim, sebagai da’i dan sebagai jama’ah dakwah. Karena bila eksistensi kita tidak terkait dengan hal itu, kita akan dihinakan oleh Allah SWT.
Dalam do’a qunut setiap witir kita berdo’a, “Allahummahdinii fiman hadait, wa ‘afinii fiman ‘afait, watawallanii fiman tawallait wa barik lii fii ma a’thait waqinii syarra ma qadhait walaa ya’izzu man ‘adait walaa yadzillu man wallait”. Dua kalimat ini sarat dengan makna, jika kita mu’adatillah, memusuhi Allah, wali-wali Allah dan program-program Allah, maka kita tidak akan memiliki izzah, gengsi atau harga diri, jangankan sebagai da’i, sebagai manusia saja tidak (walaa ya’izzu man ‘adait).
Kemudian walaa yadzillu man wallait, tidak akan dihinakan siapa saja yang memiliki wala’ (loyalitas) kepada Allah. Sehingga betapapun ekonomi kita lagi morat-marit dan kedudukan secara sosial, politik serta ekonomi dianggap rendah oleh orang lain, kita tidak mungkin hina dan dihinakan selama wala’ kita utuh.
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ (المائدة)
Allah menegaskan walaa yadzillu, tidak mungkin hina karena izzah kita terkait dengan a’azzul a’azz, dzat yang paling mulia, aziz di atas segala yang mulia. Jadi izzah, gengsi kita terkait dengan izzah, gengsi Allah SWT.
Oleh karena itu dalam konsep Islam, wala’ terkait erat dan langsung dengan izzah. Merosotnya wala’ akan menyebabkan merosotnya pula izzah. Dahulu dalam madah tamhidiyah, saya qarinahkan di antara dua ayat yakni antara innama waliyyukumallahu wa rasuul walladzina amanu dan kemudian refleksi atau implementasinya nampak dalam ayat wa ‘athiullah, wa ‘athiurrasul wa ulil amri minkum. Wala’ kita kepada walladzina amanu dan taat kita kepada ulil amri minkum hanya melekat sepanjang orang-orang yang beriman dan pemimpin-pemimpin tersebut berada di jalur ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kemudian wala’ (loyalitas) yang kita miliki juga terkait dengan aziz dan dzalilnya kita. Jika wala’ kita kepada Allah, rasul dan ulil amri minkum meningkat maka izzah kitapun meningkat. Namun bila wala’ kita menurun maka—na’dzubillah, kitapun akan meluncur ke lembah kedzalilan, kehinaan. Hal itu saya gambarkan dalam madah tamhidiyah dengan satu kalimat: abdul azizi azizun, abdul dzalili dzalilun, abdul karimi karimun dst.
Kalimat singkat tersebut di atas mencerminkan refleksi asma’ul husna dan ash-shifatul ulyanya atas diri kita. Rasulullah SAW memang menganjurkan agar kita memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Allah. Bukan berarti menyamai-Nya, melainkan bagaimana caranya keagungan sifat-sifat Allah tersebut terefleksi atau terimbas ke dalam diri kita sesuai dengan kadar kemampuan kita.
وَإِنَّهُ لَذِكْرٌ لَكَ وَلِقَوْمِكَ وَسَوْفَ تُسْأَلونَ (الزخرف)
Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan / kehormatan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan dimintai pertanggungjawaban.
Artinya kehormatan dan kemuliaan diri kita sangat terkait dengan komitmen kita terhadap Islam, da’wah dan Qur’an itu sendiri. Dalam Al-Qur’an kata dzikr memiliki dua makna yakni bisa berarti peringatan bagi orang yang lalai, namun bagi mu’min kata dzikr berarti penghormatan baginya. Karena itu disebutkan dzikrun lidzakirin, kehormatan adalah untuk orang-orang yang selalu berkomunikasi dengan Allah SWT. Bahkan dalam surat Shaad (38) ayat 1:
ص وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ
Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan. Para mufassirin menyebutkan bahwa wal qur’aani dzil dzikir adalah lisharfin wa karamatin wa hurmatin artinya Qur’an memiliki sharf-sharf, dengan derajat-derajat/tingkat-tingkat kehormatan. Bila seseorang lulus ujian doktor dengan predikat cum laude hal itu disebut sharf dan bila lulusnya lebih bagus lagi disebut summa cum laude itu sepadan dengan karamah. Akhirnya bila lulusnya lebih gemilang lagi disebut magna cum laude itu sepadan dengan hurmah.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa sharf, karamah dan hurmah kita terkait erat dengan Al-Qur’an untuk menjaga takrim dan tafdhil dari Allah SWT. Bila kita tidak bisa menjaga takrim dan tafdhil dari Allah dan mendapatkan sharf, karamah dan hurmah karena komitmen kita dengan Al-Qur’an, apa bedanya kita dengan “ammatinnaas”, manusia kebanyakan atau manusia pada umumnya.
Ikhwah fillah, saya katakan kita ini tandzim nukhbawi (organisasi kader) artinya secara tandzim atau organisasi, jama’ah kita adalah jama’ah kader yang terbukti dengan adanya detail-detail perangkat tarbawi dengan segala tahapannya. Seseorang harus melalui berbagai tahapan untuk bisa menjadi anggota dewasa atau mas’ul.
Tanggung jawab kita adalah menjaga kehormatan, kemuliaan dan kelebihan kita yang sudah dikaruniai Allah SWT. Alat untuk menjaga kemuliaan sudah pula diberikan Allah yakni berupa Al-Qur’an dan Islam itu sendiri. Refleksi secara moral adalah berupa keutuhan wala’ (loyalitas) kita kepada Allah, rasul dan ulil amri, sedangkan refleksi secara operasional adalah dalam bentuk taat kepada Allah, rasul dan ulil amri. Jika refleksi moral dan operasional tidak ada, maka na’udzubillah kita akan merosot dari izzah menjadi dzillah (hina). Itu merupakan satu kepastian. Memang refleksi moral dan operasional adalah sesuatu yang sangat mendasar dan penting serta perlu senantiasa diperteguh kembali karena faktor-faktor yang bisa melunturkan aqidah sangat banyak.
Hal yang sekarang ini saya khawatirkan adalah antum para mas’ulin (lapisan pemimpin) dalam jamaah terkena istiftan, fitnah karena sering tampil di mana-mana dan memperoleh kemasyhuran di mimbar-mimbar khutbah, seminar, undangan-undangan yang berkelas nasional atau bahkan internasional. Kekhawatiran saya adalah jika kesemuanya itu kemudian akhirnya melunturkan refleksi moral sumber kehormatan kita yakni wala’ (loyalitas) dan refleksi operasionalnya berupa taat, sehingga akhirnya menyebabkan meluncurnya antum di bawah kehormatan sebagai manusia.
Fitnah tersebut biasa disebut fitnah ‘alal kibar atau fitnah yang menimpa orang-orang besar dan memiliki posisi. Padahal sekali lagi saya tekankan, Allah SWT telah memberikan kehormatan yang begitu besar kepada manusia seperti tergambar dalam adegan ketika Rasulullah seolah-olah berdialog dengan ka’bah. Inti dialog Rasulullah dengan ka’bah ialah pengakuan beliau tentang kehormatan dan kemuliaan yang dimiliki ka’bah sebagai baitullah, tetapi kemudian beliau bersumpah: “Wallahi lahurmatul mu’min a’zhamu ‘indallahi hurmatan minki”. Rasulullah menegaskan bahwa kehormatan seorang mu’min lebih agung dan lebih besar di sisi Allah dibandingkan dengan kehormatan ka’bah. Padahal bayangkan setiap tahunnya dua juta orang berkeliling thawaf di musim haji dan setiap hari kurang lebih 1,4 milyar muslim sujud menghadap kiblat atau paling tidak mengakui ka’bah sebagai kiblatnya.
Oleh sebab itu kehormatan yang diberikan Allah SWT jangan kita sia-siakan bahkan hendaknya selalu kita jaga dan tingkatkan agar kita lebih dekat dengan-Nya (aqrab ilallah). Kedekatan kita dengan Allah Yang Mulia akan membuat kita menjadi mulia pula, abdul karim karimun (hamba Yang Mulia akan mulia pula).
Dalam kitab tafsir Al-Qur’an, para ulama tafsir menyebutkan bahwa puncak kemuliaan seorang manusia ditunjukkan justru dalam posisi kehambaannya, sebagai abdun.
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Di ayat tersebut Rasulullah disebutkan dengan bi’abdihi dan bukan birasulihi atau bimuhammadin, karena manzilatil ulya’ indallah justru adalah manzilah ‘ubudiyah.
Manazilatul ‘ubudiyah adalah manzilatul ‘ulya dan akramuhum ‘azhomuhum lillah atau yang paling mulia adalah yang paling tinggi nilai ‘ubudiyahnya kepada Allah. Hal tersebut merupakan persoalan aqidah yang sangat mendasar sehingga menjadi sumber ya’ tazzu bi imanihi, bi islamihi, bida’ watihi, bijihadihi (kebanggaan akan keimanan, keislaman, da’wah dan perjuanganya).
Hal ini penting saya tekankan mengingat saat ini masih banyak orang yang berebut mencari eksistensi diri dan golongannya melalui beraneka ragam manuver. Mereka saling berebut kedudukan yang sebetulnya sudah lapuk dan sebentar lagi akan hancur.
إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقاً (الاسراء: من الآية81)
Padahal untuk mencari itsbatul wujud, tahqiqu dzat atau eksistensi diri, manusia harus kembali pada hal yang sangat elementer atau mendasar, yakni prinsip-prinsip aqidah.
Ikhwah fillah, Allah SWT banyak memperingatkan kita tentang sumber kemuliaan di dalam Al-Qur’an. Misalnya di dalam QS. 49:13,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات)
Juga di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha di bab jihad disebutkan: ‘Karamul mu’minin taqwahum wa dienuhu nasabuhu’. (Kemuliaan seorang mu’min terletak pada ketaqwaannya dan dien / agamanya adalah nasabnya).
Orang pada umumnya suka membanggakan asal usul keturunannya, misalnya berdarah biru atau keturunan bangsawan. Di Banten umpamanya dipanggil dengan Tubagus dan di Jawa dengan Den Mas (dari raden mas) atau Gus. Padahal Rasulullah bersabda bahwa kebanggaan kita akan nasab atau keturunan haruslah terkait dengan sejauh mana intima’ (komitmen) diri kita, orang tua dan nenek moyang kita terhadap Islam. Kemudian dilanjutkan hadits tersebut disebutkan juga ‘wa muru’atuhu khulquhu’ (harga dirinya terletak pada akhlaknya). Tinggi rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh tinggi rendahnya akhlaknya.
Ikhwah Fillah, jika kita gegabah atau melalaikan nilai-nilai elementer aqidah yang implementasi moralnya berupa keutuhan wala’ pada Allah, Rasul dan orang-orang beriman serta implementasi operasionalnya berupa keutuhan ketaatan kepada Allah, Rasul dan pemimpin mu’min, maka na’udzubillah kita dapat dimusnahkanNya dan digantikannya dengan kaum yang lain yang sesuai dengan kehendakNya (QS. 5:54),
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (المائدة)
Dalam QS. Al-Faathir ayat 15-17 Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ. إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ. وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ (فاطر)
Hai manusia kamulah yang membutuhkan Allah, dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.
Wahai umat manusia kalian semua fuqara ilallah dan Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Terpuji. Kata fuqara ilallah menunjukkan ketergantungan total manusia pada Allah. Untuk sekadar bisa bernafas saja kita sudah bergantung pada Allah. Kalau bukan Dia siapa yang bisa menjamin zat asam (O2) secara gratis kita hisap. Jangankan dicabut, sekadar dikurangi atau ditambah sedikit saja kadar kepekatannya sudah sangat berbahaya. Bila kadar zat asam di udara di tambah, paru-paru kita akan kebakaran.
Ketergantungan lainnya misalnya ketika kita tidur selain dijaga oleh malaikat dari serangga-serangga, ternyata di tubuh kita juga terjadi proses alamiah berupa keluarnya lendir-lendir yang menjijikkan namun berguna untuk mencegah serangga masuk ke lubang-lubang tubuh kita. Saya pernah membaca di dalam kitab Ath-Thibb Mihrabul Iman (Kedokteran adalah pintu gerbang keimanan) bahwa segala sesuatu yang sepintas menjijikkan justru merupakan bagian dari takrim dan tafdhil Allah terhadap kita. Jadi di saat tidur pun kita benar-benar fuqara ilallah. Dialah yang telah melindungi kita dengan memberikan penjagaan berupa aparat ruhi ghaibi (malaikat) dan instrumen-instrumen alami berupa keluarnya lendir-lendir.
Oleh sebab itu dulu pernah saya kisahkan bagaimana seorang perampok bermaksud merampok seorang ulama di Syam. Saat itu sang ulama sedang shalat tahajud dan membaca ayat,
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ. فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ (الذريات:22-23)
Linggis perampok itu terjatuh dan ia terduduk lemas seraya berucap: “Ya Allah thalabtuhu fid dunya wa huwa fis sama” (Ya Allah saya mencari rizqi di dunia ternyata adanya di langit). Sang ulama mendengar suara linggis jatuh, keluar dan mendapati pencuri itu sedang menangis. Pencurinya diajaknya masuk, bahkan kemudian dibekali dan ternyata pada musim haji berikutnya ulama tersebut bertemu dengan mantan pencuri itu sedang thawaf. Ia benar-benar telah taubat.
Artinya yang terpenting adalah as-Sama’, kalaupun kita berusaha itu sekadar wasail (sarana) dan merupakan hakikat syari’at, namun hasilnya belum tentu, tergantung yang di langit. Kita wajib mencari, namun hasilnya kita serahkan kepada Allah.
Ali bin Abi Thalib pernah menasehati Hasan dan Husein bahwa rizki itu ada dua macam yakni rizqun tathlubuhu (rizki yang kamu cari) dan rizqun yathlubuka (rizki yang mencari kamu). Namun Sayyidina Ali tidak memisahkan kedua-duanya: rizqun tathlubuhu wa rizqun yathlubuka. Karena rizqi ingin cepat sampai ya tathlubuhu (dicari) karena kalau menunggu yang yathlubuhu, bisa-bisa datangnya agak lama.
Saya pernah membaca dalam kitab tentang sufi, di antaranya ada kisah orang yang ingin menguji Allah SWT, apa iya ada rizqun yathlubuka, rizki yang mencari dan menghampirimu. Akhirnya ia tidak mau kerja, tidak mau berusaha dan tidak berinteraksi dengan orang lain. Ia menyendiri di dalam gua di tengah hutan, ternyata lama-lama jatuh sakit dan mengerang-erang. Ada orang kampung sedang mencari kayu bakar mendengar suara mengerang-erang di dalam gua. Karena ia tidak berani masuk sendirian, ia memanggil orang-orang kampung lebih dulu. Maka masuklah orang-orang itu ke tengah gua, beramai-ramai. Melihat si sufi ini sakit dan kelaparan, mereka membuka nasi bekal kemudian menyuapi dan mengobatinya. Sambil disuap, si sufi tadi bergumam: “Shadaqallah warrasul”. Saya enggak nyari rizki, orang-orang datang ramai-ramai bawa timbel. Namun untungnya si sufi ini berpikir positif, wah tidak nyari saja dapat rizki, apalagi kalau saya mau usaha mencari.
Kesadaran ‘Antum fuqara ilallah’ ini harus tertanam di dalam diri kita di semua bidang kehidupan, agar kita tidak mengkambing hitamkan dakwah. Misalnya menyesal menjadi da’i atau berada di dalam harakah dakwah ini karena hidup miskin atau pas-pasan.
Padahal bila kita berhenti berdakwah juga belum tentu jadi kaya. Wa huwal ghaniyul hamid. Dan Dialah Yang Maha Kaya lagi Terpuji, karena Dialah yang benar-benar memiliki dan menguasai segala sesuatu.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-05 Determinasi Sosial
Kita memang tidak punya pilihan di depan takdir Allah SWT yang bersifal seperti ini; kita dilahirkan di atas tanah apa, pada zaman apa, dari etnis apa, dan pada situasi seperti apa. Itulah nasib yang tidak mungkin diubah. Kumulasi dari itu semua yang selanjutnya kita sebut lingkungan. Para ahli pendidikan kemudian memberikan porsi yang sangat besar terhadap lingkungan sebagai faktor determinan yang mempengaruhi dan mewarnai pertumbuhan seseorang.
Akan tetapi, sejarah memberikan beberapa kesaksian yang mungkin bisa disebut pengecualian. Dan, para pahlawan memang merupakan pengecualian. Mereka pada mulanya juga lahir dari kumulasi lingkungan yang sama, tetapi pada akhirnya muncul dengan warna yang sama sekali berbeda dengan generasi angkatannya yang lahir dari lingkungan tersebut. Jadi, input lingkungannya sama, tetapi output efeknya berbeda.
Inilah cerita seorang penulis tentang Hasan Al Banna, pemimpin pergerakan Islam terbesar abad ini. Ia (Hasan Al Banna), kata sang penulis, tumbuh sebagaimana kami tumbuh, pada lingkungan yang sama tempat kami berkembang, pada sekolah yang sama tempat kami belajar, sejak dari tingkal dasar sampai perguruan tinggi, dan tentu juga dengan kurikulum yang sama. la juga menyaksikan dan merasakan kemiskinan, keterbelakangan, dan kerusakan sosial di Mesir sebagaimana kami umumnya. la juga membaca buku dan media cetak yang kami baca. Tidak ada yang istimewa dalam latar lingkungannya, baik di rumah maupun di sekolah atau di masyarakai.
Namun, hasilnya kemudian berbeda. la muncul sebagai pembaharu dan pemimpin. Lantas, dimanakah rahasianya? Tidak mudah memang memberikan jawaban yang sangat definitif untuk masalah ini. Akan tetapi, setidaknya ada dua faktor yang dapat disebut di sini. Pertama, semua itu sepenuhnya adalah karunia Allah SWT untuk masyarakat yang hidup di zamannya. Sebab, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika Allah SWT meridhai suatu kaum, maku Allah akan mengangkat orang-orang terbaik dari mereka sebagai pemimpin. Dan jika Allah memurkai suatu kaum, maka Allah akan mengangkat orang-orang terjahat dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Tirmizi).
Jadi, para pahlawan itu adalah hadiah langit untuk penduduk bumi. Karena itu, mereka memang mendapat inayah Allah SWT sejak awal pertumbuhan hingga saat mereka mementaskan peran kesejarahan mereka.
Kedua, para pahlawan biasanya mempersepsi lingkungannya dengan cara yang berbeda dari kebanyakan orang. Pada banyak orang, kesulitan-kesulitan yang tercipta dari kumulasi lingkungan dianggap sebagai nasib yang niscaya dan tidak dapat diubah. Jadi, sejak awal mereka kalah di depan nasib itu. Para pahlawan justru melihat lingkungan itu sebagai objek yang harus diubah dan kendali perubahan itu ada pada manusia. Jadi, sejak awal mereka berpikir sebagai pelaku atau perubah.
Mereka mungkin lapar, tetapi mereka lebih banyak memikirkan kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. Mereka mungkin dari keluarga tidak terdidik, tetapi mereka kemudian berpikir menjadi otodidak dan bagaimana mengembangkan pendidikan.
Begitulah akhirnya mengapa mereka menjadi lebih cerdas dari zamannya. Atau pikiran-pikiran mereka bahkan mendahului zamannya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-06 Telunjuk yang Bersyahadat
Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di jalan Alloh atas dasar ikhlas kepada-Nya, senantiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.
Diantara da’i dan penyeru Islam itu adalah syuhada (insya Allah) Sayyid Quthb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Diantara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).
Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:
Ada banyak peristiwa yang tidak dapat kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan mengubah total kehidupan kami.
Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami harus bisa mengorek rahasia dari mereka. Kami harus membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.
Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para ‘pengkhianat keji’ yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.
Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami menyaksikan para ‘pengkhianat’ ini senantiasa menjaga shalat mereka, bahkan senantiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamul lail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat mengingat Allah. Lisan mereka senantiasa berdzikir walau tengah menghadapi siksaaan yang berat.
Beberapa diantara mereka berpulang menghadap Allah, sementara ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.
Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agama adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?
Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan izin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di aman di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Quthb.
Orang ini agaknya telah mengalami siksaan yang sangat berat hingga ia tidak lagi mampu untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke pengadilan militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.
Malam itu seorang syeikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.
Syeikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah laa ilaaha illallah..”
Sayyid Quthb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Syeikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat laa ilaaha illallah, sementara engkau mencari makan dengan laa ilaaha illallah.”
Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, dimana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.
Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisisnya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalansi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.
Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap teguh dan sabar, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD” Aku tergetar mendengarnya.
Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.
Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Quthb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid,, aku datang bersegera menghadap anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.
Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah saudaraku, satu kalimat saja.. Aku bersalah dan aku minta maaf..”
Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Quthb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Quthb sembari membawa pesan dari rezim penguasa Mesir, meminta agar Sayyid Quthb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Gamal Abdul Nasser, maka ia akan diampuni. Sayyid Quthb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang senantiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalat, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rezim thawagit…”
Sayyid Quthb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi”.
Perwira itu berkata dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian..”
Ustadz Sayyid Quthb berkata tenang, “Selamat datang kematian di jalan Allah.. Sungguh Allah Maha Besar..”
Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.
Segera, para eksekutor akan menekan tuas, dan tubuh Sayyid Quthb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya.. Mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah..”
Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertaubat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hamba-Nya yang saleh. Aku senantiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.
(Diambil dari kumpulan kisah “Mereka yang Kembali kepada Allah” karya Muhammad Abdul Aziz Al Musnad)
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-06 Islam: Sebuah Sistem Pemikiran
Sistem adalah seperangkat prinsip dan aturan dalam melakukan sesuatu, metode dan tata cara (Collins English Dictionary: 1980). Sedangkan pemikiran adalah suatu upaya mental yang dilakukan oleh manusia untuk menemukan kesimpulan berdasarkan pada premise-premise (Woodworth, Robert, Psycholoy 1971: 615). Maka jika dikatakan bahwa Islam adalah sebuah sistem pemikiran, berarti ia adalah sejumlah prinsip yang mengatur mekanisme berpikir yang diarahkan pada penemuan kesimpulan rasional berdasarkan pada konsep-konsep Islam yang dirumuskan dari premise-premise Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Islam yang diyakini sebagai jalan hidup menuntut agar dipahami secara utuh, Ad Din (Al Baqarah:208). Sebab kesalahpahaman yang sering muncul dalam pengertian kontemporer mengenai Islam disebabkan teratama karena Islam dipahami sebagai agama dalam pengertian yang tidak utuh. Di dunia Barat pada umumnya agama (religion) dikatakan sebagai faith: yaitu keyakinan pribadi yang dapat dilihat dari berbagai bentuk ekspresi. Dengan demikian jika menerima Islam sebagai keyakinan pribadi — yang hanya berkaitan dengan kesalehan individu — berarti telah membatasi wilayah pengaruh dan geraknya hanya pada masalah-masalah ibadah praktis, upacara keagamaan dan ucapan religius yang tidak berdampak pada konsep-konsep pemikiran mengenai wilayah-wilayah lain. Islam lebih dari sekedar agama seperti yang secara ketat dipahami oleh Barat sekuler pada umumnya. Sebab misi utama Islam diantaranya adalah membangkitkan gerakan perubahan sosial dan meluruskan pola pikir umat manusia dengan acuan pandangan dunia tauhid — yaitu menerjemahkan tauhid dalam sikap, perilaku dan pemikiran — dalam rangka menegakkan keadilan di bawah bimbingan Ilahi di muka bumi. Istilah agama dalam konotasi Barat tidak mancakup wilayah dan bidang pengaruh Islam. Inilah sebabnya Islam disebut Ad Din (Ali Imran: 19, 83, Al Mumtahanah: 9 dan sejumlah ayat lainnya), atau jalan hidup, bukan sekedar agama.
Secara etimologis istilah Ad Din dalam Bahasa Arab dipakai untuk memberi empat macam arti (Manzhur, Ibnu, Lisan Al ‘Arab: entry: dana). Pertama, mempunyai arti hak untuk menguasai, mendominasi, memerintah dan menaklukkan. Kedua, memberi arti mirip dengan arti pertama akan tetapi berbeda penekanannya, yaitu patuh, tunduk, pasrah dan merendahkan diri. Ketiga, memberi arti syariah atau rambu-rambu jalan yang harus dipatuhi, hukum, adat istiadat dan kebiasaan. Keempat, memberi arti balasan atas perbuatan, pengadilan, dan perhitungen neraca amal.
Lebih jauh dari analisis leksikografis dan filologis, secara konseptual Ad Din adalah kode dan jalan yang telah dijelaskan oleh AIlah yang mencakup keempat arti literal Ad Din, yaitu siap mengakui kekuasaan Allah sebagai pemegang otoritas mutlak, siap dan pasrah menerima aturan-aturan hukum dan syariah-Nya dan akhirnya menerima dan mengakui bahwa hanya Allah-lah sebagai satu-satunya Hakim kelak di hari pengadilan. Dari sini lalu dapat dimaklumi, mengapa banyak mujaddid Muslim lebih cenderung menggunakan terma Ad Din atau Al Islam seperti Ibnu Badis, Hasan Al Banna, Al Maududi dan lain-lainnya. Al Qur’an sendiri menggunakan terma Ad Din untuk menegaskan pengertian komprehensif yang menunjukkan satu keutuhan sistem hidup yang harus dipegang dalam kehidupan manusia pada setiap masa dan tempat. Dalam Al Qur’an , istilah Ad Din juga menunjukkan suatu kemapanan sistem pemikiran, ekonomi, politik, sosial dan moral yang dengan demikian mencakup seluruh aspek kehidupan (Yusuf: 76).
Kata Ad Din — bentuk ma’rifah dengan artikel al — dalam Bahasa Arab menunjukkan jalan hidup tertentu, Al Islam. Sedangkan kata Din — bentuk nakirah tanpa artikel al — menunjukkan satu sistem agama, aturan, atau pemikiran tidak tertentu. Oleh karenanya istilah Ad Din dan Al Islam digunakan dalam satu pengertian, yaitu agama abadi yang telah ada semenjak awal kehidupan manusia di muka bumi.
Pada tingkat kosmologis, Al Qur’an menyatakan bahwa Al Islam yang berarti menerima dan patuh secara total kepada Allah dan aturan hukum yang telah ia berikan merupakan agama jagad raya (Ali Imran: 83, Al An’aam: 38)
Pada tingkat kehidupan umat manusia Al Qur’an menjajaki sejarah baru umat manusia sejauh masa Nabi Nuh as menunjukkan bahwa ia dan anak cucunya termasuk Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Musa, Nabi Yusuf dan Nabi Isa as mereka semua ialah pembawa risalah Ad Din atau Al Islam. Tidak satu pun diantara mereka yang menyembah selain Allah dan mereka semua disebut Muslim. Secara singkat Al Qur’an menyatakan bahwa menerima Al Islam atau Ad Din sebagai satu cara model hidup: sistem keyakinan, pemikiran, sikap dan perilaku, tidak hanya merupakan fakta kosmologis tetapi sejauh perjalanan umat manusia, para nabi dan rasul-Nya melaksanakan dan mengamalkannya.
Dari sini terdapat tuntutan bahwa jika Islam sebagai jalan hidup — yang bersifat kaffah — maka keislaman seseorang hanya akan dapat diwujudkan ketika kekaffahannya secara integral dan paripurna — direfleksikan tanpa memilah satu aspek dari aspek lainnya — sehingga menjadi manusia sosial yang rabbani: hidup di tengah masyarakat manusia dengan bimbingan Ilahi dalam keyakinan, pemikiran, sikap dan perbuatan. Kekaffahan Islam juga menuntut reorientasi dan restrukturisasi yang berangkat dari landasan pokok sistem Islam yaitu tauhid dalam kehidupan Muslim untuk diterjemahkan dalam kehidupan secara utuh. Sebab interpretasi partikularistik mengenai Islam hanya sekedar sebagai satu keyakinan (faith) tidak akan mampu menjelaskan raison d’etre konflik antara penduduk Makkah dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Seandainya Islam hanyalah sekedar sebagai agama — dalam pengertian sempit — maka masyarakat Quraisy akan dengan mudah menyesuaikan diri dengan Islam. Akan tetapi karena Islam adalah Ad Din, maka ia memberi implikasi suatu revolusi pemikiran di semua aspek kehidupan.
Al Qur’an memperkenalkan terma-terma baru untuk fenomena yang muncul dalam kehidupan manusia di samping juga memperkenalkan nilai, kriteria dan ukuran baru yang menjadi pegangan Muslim. Konsep-konsep baru ini diperkenalkan melalui sumber wahyu dari Yang Maha pandai dan bijaksana dan Rasul-Nya — yang dijadikan oleh Islam — sebagai satu sumber pokok kebenaran. Petunjuk ini dikenal dengan ayat-ayat Qur’aniyyah. Disamping itu –untuk mengemban amanat istikhlaf manusia dari Allah — pada alam jagat raya ini, khususnya alam fisik terkandung petunjuk lain yang merupakan hukum Allah (sunnatullah) yang berlaku dalam bentuk kausalitas fenomena alam agar manusia mempelajari dan mengamati lalu memanfaatkannya. Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada alam fisik ini dikenal dengan istilah ayat-ayat afaqiyyah. Kemudian disana juga terdapat ketentuan-ketentuan lain yang bekerja pada diri manusia, termasuk kejiwaannya, yang dikenal dengan istilah ayat-ayat nafsaniyyah (Fushshilat: 53). Sentuhan ketiga ayat ini pada diri Muslim memberi warna sikap dan pandangannya yang unik terhadap hidup dan fenomena sosial sehingga menurunkan sejumlah konsep yang berbeda — bahkan tidak jarang bertentangan — dengan konsep-konsep yang ada. Namun demikian tidak berarti bahwa — selain ketentuan dan prinsip-prinsip dasar ajarannya berupa aqidah — Al Qur’an telah menyajikan “barang jadi” untuk itu semua, melainkan masih harus terus dikaji dan dijadikan acuan ijtihad untuk menghadapi dan meluruskan persoalan-persoalan baru yang terus berkembang menyertai perkembangan zaman.
Musibah intelektual, kultural, ekonomi, sosial dan pendidikan dialami oleh umat Islam khususnya pada abad 18 dan 19 saat mana secara militer kekuatan Barat telah berhasil memperoleh pijakan kaki di hampir seluruh Dunia Islam, sementara kaum orientalis melakukan kajian dan merepresentasikan Islam dan kaun Muslimin sesuai dengan kacamata mereka, dibarengi dengan kegiatan misionarisme dalam rangka memperkokoh kedudukan imperialisme dan penyebaran Kristen di kalangan bangsa Timur Muslim. Di pihak lain, kaum Muslimin mengalami stagnasi pemikiran dan disintegrasi politik yang sangat parah, bahkan semangat interdependensi seakan lenyap akibat pertikaian intern memperebutkan kepentingan masing-masing dan fenomena taqlid dalam pemikiran agama. Kemunduran kekuatan politik Islam periode ini berakibat secara meyakinkan pada kelemahan umat Islam, sehingga budaya asing, nilai-nilainya dan ideologinya dengan mudah mendapat tempat tanpa mendapat filter yang berarti. Perkembangan yang sangat merugikan bagi arah pemikiran Islam ini secara pelan disadari — dengan berpijak pada Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam — oleh para tokoh pergerakan Islam di berbagai negeri untuk melakukan tajdid dan menentang kehadiran Barat — baik pada dataran kultur maupun militer. Jihad dan ijtihad secara bersamaan dilakukan berupa perlawanan militer dibarengi dengan penegasan kembali identitas Islam dengan mengacu pada sumber pokok Islam: Al Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Model pergerakan pemikiran periode sebelumnya pun memberi inspirasi khususnya gerakan tajdid (pembaruan) yang dipimpin lbnu Taimiyah di Syam yang mengkombinasikan antara upaya pemberantasan fenomena taqlid dan sufisme yang mengebiri kreatifitas intelektual dan pada saat yang sama memimpin perlawanan jihad terhadap invasi asing. Begitu pula model gerakan pembaruan yang dipimpin oleh Syah Waliyullah dan Sayyid Ahmad Syahid di Anak Benua India yang membawa bendera kebangkitan Islam dengan jihad dan ijtihad.
Berangkat dari konteks ini, kiranya tidak fair untuk menilai bahwa kebangkitan dan perlawanan Islam adalah suatu gerakan reaksioner yang muncul semata akibat kehadiran imperialisme Barat. Sebab jika ditelusuri secara seksama setiap pergerakan Islam mempunyai akar dan latar belakang sejarah serta merupakan mata rantai pergerakan dalam sejarah. Sejarah umat Islam adalah sejarah perjuangan melawan penyelewengan internal dan tantangan eksternal. Dengan demikian, di balik setiap kemunduran pada dasarnya terdapat benih kebangkitan, sebab Islam sebagai Ad Din — melalui sumber pokoknya yaitu Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam — meletakkan paridigma “what to become”, bukan “what is becoming” (bagaimana seharusnya, bukan menerima sebagaimana adanya). Dengan ungkapan lain bahwa paradigma ini menjadi standar acuan bangunan sistem pemikiran dalam Islam yang menjamin kelangsungan upaya untuk mengembalikan kekuatan, supremasi dan kekuasaan sepanjang masa. Dari sini maka perjalanan pergerakan Islam tidak dapat dibandingkan dengan sejarah peradaban dan kebudayaan bangsa lain manapun yang senantiasa kurang kontinuitasnya serta tidak mempunyai standar jatidiri, sehingga jika terdapat upaya untuk mencari pembagian secara jelas mengenai periode “klasik”, “medieval”, “abad kegelapan”, “renaissance”, “liberal dan humanistic” dan lain sebagainya dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, maka dapat dikatakan ibarat mencari kucing hitam di kamar gelap gulita yang kenyataannya tidak ada. Namun demikian tidak berarti sejarah Islam tidak mengalami proses naik turun yang merupakan sunnatullah dalam sejarah peradaban umat manusia.
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah terjemahan dari naskah asli berbahasa Arab berjudul “Ma’rakah Al Mushthalahat baina Al Gharb wa Al Islam”. Tema bahasan buku ini kiranya belum banyak ditulis oleh cendekiawan Muslim sebagai satu kreatifitas intelektual yang mengkritik dan meluruskan tema-tema populer — khususnya yang lahir dan tumbuh dalam peradaban Barat — yang banyak beredar kemudian tidak jarang secara mentah-mentah dipakai oleh kalangan Muslim. Dengan demikian, penerjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia diharapkan dapat memberi wawasan baru dan sekaligus memberi benang merah pada terminologi-terminologi yang ada antara Barat dan Islam.
Universitas Djuanda, 20 Desember 1997
Mustolah Maufur, M.A.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-07 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (1)
Para rasul, semoga rahmat dan salam tercurahkan kepada mereka, diutus untuk memperingatkan manusia akan ayat-ayat Allah, mengajarkan hidayah Allah. Pengajaran, peringatan, penyucian jiwa, termasuk tugas-tugas terpenting para rasul. Lihatlah hal itu pada doa Ibrahim ‘alaihis salam.
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al Hikmah (As Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 129)
Lihatlah pengabulan doa ini serta karunia yang dikaruniakan kepada umat ini dalam firman-Nya.
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al Baqarah: 151)
Nabi Musa berdialog bersama Fir’aun.
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun), ‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan). Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya.’” (An Nazi’at: 18-19)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya.” (Al Lail: 17-18)
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy Syams: 9-10)
Jelaslah bahwa penyucian jiwa termasuk tugas-tugas para rasul sekaligus merupakan target bagi orang-orang yang bertakwa. Tergantung kepada penyucian jiwalah keselamatan dan kebinasaan manusia di sisi Allah. Kata tazkiyah ‘penyucian’ dalam bahasa Arab memiliki banyak arti, di antaranya adalah ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’. Kata itu dalam istilah juga berarti begitu, yaitu ‘penyucian’ dan ‘pertumbuhan’.
Zakaatun nafs ‘penyucian jiwa’ berarti penyucian dari segala penyakit, penguatannya dengan penyokong dan penghiasannya dengan nama-nama dan sifat-sifat. Tazkiyah ‘penyucian’ pada akhirnya berarti penyucian, penguatan, dan penghiasan.
Oleh karena itu, sarananya diatur syariat Islam dan inti serta buahnya juga bersifat syar’i (sesuai dengan syariat Islam). Semua pengaruh itu akan tampak pada pola dan tingkah laku dalam berinteraksi dengan Allah yang Mahaperkasa dan Mulia, juga dalam berinteraksi dengan sesama makhluk. Selain itu, akan tampak pula pengaruhnya pada pengendalian anggota tubuh untuk menjalani perintah Allah. Semoga isi buku dapat menjelaskan secara detail tentang hal itu.
***
Sesungguhnya penyucian hati dan jiwa hanya dapat terlaksana dengan banyak ibadah dan amal. Jika seseorang mengerjakannya dengan sempurna, maka saat itu hatinya menjadi kuat dengan nilai-nilai yang dapat menyucikan jiwa dan akan tampak pengaruh serta hasilnya pada seluruh anggota tubuhnya, seperti lidah, mata, telinga, dan anggota tubuh lainnya. Hasil yang paling tampak dari jiwa yang suci adalah adab yang baik dalam berinteraksi dengan Allah dan sesama manusia. Terhadap Allah dengan cara melaksanakan hal-hakNya, termasuk di dalamnya mencurahkan jiwa untuk berjihad di jalan-Nya, dan terhadap manusia sesuai dengan apa yang biasa berlaku, sesuai juga dengan tuntutan keadaan dan pembebanan Tuhan.
***
Penyucian jiwa memiliki berbagai sarana, seperti shalat, infak, puasa, haji, zikir, berpikir, membaca Al Quran, meditasi, instropeksi diri, dan mengingat mati dengan syarat dikerjakan dengan baik dan sempurna.
Hal-hal yang termasuk hasil penyucian jiwa adalah hati menjadi kuat dengan tauhid, keikhlasan, kesabaran, kesyukuran, rasa takut, harapan, kelemahlembutan, jujur kepada Allah, dan cinta kepadaNya, serta hati menjadi bersih. Lawannya adalah sifat suka pamer dan tidak ikhlas, egois, tertipu, dan marah karena nafsu atau setan. Dengan penyucian, jiwa menjadi suci dan hasilnya tampak pada pengendalian anggota tubuh untuk kepada perintah Allah dalam berinteraksi dengan keluarga, tetangga, masyarakat, dan semua orang.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baikseperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
***
Tetapi, yang terjadi adalah penyucian jiwa mengalami kelesuan dari generasi ke generasi, sehingga mengharuskan pembaruan yang berkesinambngan. Seperti halnya setiap hari terdapat pada umat ini jiwa-jiwa baru, maka penyucian jiwa harus menggungguli jiwa-jiwa itu. Mungkin kelesuan penyucian pada masa sekarang ini lebih banyak terjadi dibanding masa-masa sebellumnya, maka diperlukan pembahasan khusus dalam masalah penyucian. Inilah yang menjadi motivasi kerja keras penulisan buku ini. Maka saya fokuskan pembahasan pada sarana-sarana penyucian jiwa dan bagaimana pelaksanaannya secara sempurna, juga pada tingkatan-tingkatan hati, penyakit-penyakitnya, perangai-perangainya yang baik, dan adab berinteraksi. Semua itu berkaitan langsung dengan penyucian jiwa.
Dalam pengambilan intisari nilai-nilai ini, kami memilih kitab Ihya’ Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Al Ghazali karena sebab-sebab berikut ini:
- Imam Al Ghazali menghadapi kelesuan kehidupan ruhani pada masanya, seprti kelesuan ruhani yang kita hadapi pada masa kita. Penyakitnya hanya satu dan beliau telah memberikan resep obat, lalu berhasil.
- Ia telah membahas tuntas tema-tema yang dibahas kurang sempurna oleh ulama sebelumnya, maka pada buku Imam Al Ghazali tercantum apa yang tidak tercantum pada kitab pengarang lain.
- Rasio dan penjelasan terpau dalam kitab Ihya’nya itulah tanda ketelitian terhadap apa yang ia yakini dan tulis. Karena itulah penjelasan Imam Al Ghazali lebih mengenai sasaran dan tidak dapat dibandingkan dengan penjelasan pengarang lain. Setiap orang yang berinteraksi dengan bukunya akan merasakan hal itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri seperti layaknya kitab karangan manusia biasa, begitulah isinya. Maka sebagian peneliti mengkritisi beberapa bagian dari buku itu, kemudian pembahasannya dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian. Ada bagian yang lebih dekat dengan pembahasan fiqih, ada yang lebih dekat dengan nasihat, ada pula yang lebih dekat dengan penelitian dan pemecahan masalah. Ada pula yang lebih dekat dengan ilmu-ilmu syariat dan rasio, dan ada yang lebih dekat dengan ilmu penyucian jiwa. Inilah yang kita kehendaki. Oleh karena itu, saya mencurahkan kerja keras hanya untuk meringkas ilmu-ilmu penyucian jiwa.
Namun begitu, pada bagian yang khusus membahas penyucian jiwa ini juga terdapat pembahasan yang tidak disetujui sebagian ulama, ada yang terlalu panjang pembahasannya, ada juga yang terlalu rumit, maka sebagianpenjelasan Imam Al Ghazali yang tidak dirasa perlu , saya potong. Jadi, saya memperhatikan dalam menyeleksi pembahasan-pembahasan dengan landasan sebagai berikut:
- Pembahasan yang diperlukan pada zaman kita sekarang saja karena sedikit peringatan akan hal itu.
- Berdasarkan pembahasan tersebut, saya hilangkan pembahasan yang dapat menimbulkan perdebatan, sebagaimana saya hilangkan juga pembahasan yang terlalu rumit dan panjang agar pembaca tidak merasa bosan dan agar mudah dipahami oleh seluruh kalangan. Saya juga menghilangkan hadits dha’if dan kesimpulan-kesimpulan yang berdasarkan padanya, walaupun hadits dha’if itu tidak berarti hadits palsu, tetapi mungkin saja itu sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan nash-nash sunnah yang saya cantumkan. Saya juga menyertakan komentar-komentar Imam Al Iraqi terhadapnya setelah komentar-komentar itu saya ringkas agar pembaca dapat mengetahui derajat riwayat itu dan tempat keberadaanya dengan perubahan pada penomoran. Tetapi ada beberapa riwayat dari para imam hadits yang derajat kuatnya tidak disebutkan Imam Al Iraqi tetapi maknanya shahih, maka sebagian riwayat-riwayat ini saya cantumkan dan saya anggap hal itu boleh-boleh saja. Saya juga menghilangkan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada rasul terdahulu selain rasul kita shahallahu ‘alaihi wasallam karena riwayat-riwayat ini perlu penelitian ualng yang tidak mungkin kita lakukan, walaupaun ada beberapa pendapat yang memnolehkan periwayatannya. Saya juga menghilangkan pembahasan tentang hal-hal ghaib, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah akhirat atau alam ghaib, apabila tidak terdapat dasarnya dalam Al Quran dan As Sunnah yang shahih. Saya juga menghilangkan pembahasan yang sekiranya dapat dibantah oleh sebagian peneliti.
Penyeleksian terhadap suatu kitab tidak menciptakan konsep baru yang sempurna, di samping kehilangan mata rantai, relevansi, dan alur. Padahal saya ingin mempersembahkan konsep yang sempurna tentang penyucian jiwa yang berdasarkan pada kajian Imam Al Ghazali. Hal ini menuntut saya untuk menyusun bab-bab, sistematika, dan pendahuluan bagi setiap bab, pasal, dan paragraf. Dengan begitu, buku ini menjadi seperti kalung yang rapi atau batangan emas murni.
***
Banyak orang yang bergantung kepada buku Ihya’ dan menghargainya sebagai buku yang tiada tandingannya dalam Islam, sebagaian lagi fanatik sehingga hampir mengharamkan upaya peninjauan terhadapnya.
Apabila kita tinggalkan kritik para peneliti dan sisi-sisi kesamaan antara buku tersebut dengan kitab lain, maka sesungguhnya isi buku Ihya’ hampir merupakan obat yang dijadikan terapi berbagai problematika pada masa kita yang wujud utamanya adalah kekosongan spiritual dan kekuasaan syahwat. Kami telah berusaha untuk meringkas hal-hal seperti itu yang dapat dijadikan obat bagi berbagai penyakit zaman sekarang, bahkan setiap zaman, kita berharap semoga mendapat pahala para mujtahid (ahli ijtihad).
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-08 Mencintai Sejantan Ali
Kalau cinta berawal dan berakhir karena Allah,
maka cinta yang lain hanya upaya menunjukkan cinta padaNya,
pengejawantahan ibadah hati yang paling hakiki:
selamanya memberikan apa yang bisa kita berikan,
selamanya membahagiakan orang-orang yang kita cintai…
– M. Anis Matta –
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak terkisahkan pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, putri tersayang dari sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ‘Abdullah Sang terpercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada sang nabi tiba-tiba diam. Fatimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tau apakah perasaan itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fatimah dilamar oleh seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tidak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, radhiyallahu ‘anhu
‘Ali merasa diuji karena terasa apalah ia dibanding dengan Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ‘Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bark menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ‘Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan da’wah Abu Bakr; ‘Ustman, ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakuakn kanak-kanak kurang pergaulan seperti ‘Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ‘Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ‘Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaAllah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
“Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali. “Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ‘Ali terus menjaga semangatmya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ‘Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
‘Umar memang masuk Islam belakangan, setelah 3 tahun setelah ‘Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dasyat yang hanya ‘Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ‘Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,” Aku datang bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ‘Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ‘Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ‘Umar melakukannya. ‘Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan Rasul. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari ia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ‘Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai kaum Quraisy”, katanya. “Hari ini putera Al-Khaththab akan berhijrah. Barang siapa yang ingin istrinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ‘Umar dibalik bukit ini!”
‘Umar adalah lelaki pemberani. ‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulullah! Tidak! ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang dicintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian. Atau mempersilakan, itulah pengorbanan.
Maka ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti Ustman sang miliaderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ‘Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh berbeda dengannya. Di antara muhajirin hanya Abdurrahman ibn ‘Auf yang setara dalam harta dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak coba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu baginda Nabi..”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
‘Ali pun menghadap Sang Nabi, maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantinya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. “Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggung jawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamaran berjawab, “Ahlan wa sahlan!”. Kata itu meluncur tenang bersama senyum sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabipun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wasahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ‘Alipun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ‘Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ‘Ali adalah gentlemen sejati. Tidak heran jika pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tidak ada pemuda kecuali ‘Ali.”
Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan disini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ‘Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah Pengorbanan. Yang kedua adalah Keberanian. Dan bagi pecinta sejati, selalu ada yang manis dalam mengecap keduanya. Di jalan cinta para pejuang, kita belajar bertanggung jawab atas setiap perasaan kita…
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-08 Pokok-pokok Ajaran Islam tentang Halal dan Haram
Persoalan halal-haram adalah seperti halnya soal-soal lain, di mana orang-orang jahiliah pernah tersesat dan mengalami kekacauan yang luarbiasa, sehingga mereka berani menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal.
Keadaan yang sama pernah juga dialami oleh golongan penyembah berhala (watsaniyin) dan ahli-ahli kitab.
Kesesatan ini akhirnya dapat menimbulkan suatu penyimpangan yang ekstrimis kanan, atau suatu penyimpangan yang ekstrimis kiri.
Di pihak kanan, misalnya: Kaum Brahmana Hindu, Para Rahib Kristen dan beberapa golongan lain yang berprinsip menyiksa diri dan menjauhi hal-hal yang baik dalam masalah makanan ataupun pakaian yang telah diserahkan Allah kepada hambaNya.
Kedurhakaan para rahib ini sudah pernah mencapai puncaknya pada abad pertengahan. Beribu-ribu rahib mengharamkan barang yang halal sehingga sampai kepada sikap yang keterlaluan. Sampai-sampai di antara mereka ada yang menganggap dosa karena mencuci dua kaki, dan masuk kamar mandi dianggap dapat membawa kepada penyesalan dan kerugian.
Dari golongan ekstrimis kiri, dapat dijumpai misalnya aliran Masdak yang timbul.di Parsi. Golongan ini menyuarakan kebolehan yang sangat meluas. Kendali manusia dilepaskan, supaya dapat mencapai apa saja yang dikehendaki. Segala-galanya bagi mereka adalah halal, sampaipun kepada masalah identitas dan kehormatan diri yang telah dianggapnya suci oleh fitrah manusia.
Bangsa Arab di zaman Jahiliah merupakan contoh konkrit, betapa tidak beresnya barometer untuk menentukan halal-haramnya sesuatu benda atau perbuatan. Oleh karena itu membolehkan minuman-minuman keras, makan riba yang berlipat-ganda, menganiaya perempuan dan sebagainya. Lebih dari itu, mereka juga telah dipengaruhi oleh godaan syaitan yang terdiri dari jin dan manusia sehingga mereka tega membunuh anak mereka dan mengunyah-ngunyah jantungnya. Godaan itu mereka turutinya juga. Perasaan kebapaan yang bersarang dalam hatinya, samasekali ditentang.
“Dan begitu juga kebanyakan dari orang-orang musyrik itu telah dihiasi oleh sekutu-sekutu mereka untuk membunuh anak-anak mereka guna menjerumuskan mereka dan meragu kan mereka agama mereka. ” (al-An’am : 137)
Para sekutu dari pelindung berhala itu melalui berbagai cara dalam mengganggu kaum bapa untuk membunuh anak-anak mereka antara lain:
- takut miskin.
- takut tercela, kalau anak yang lahir itu wanita.
- demi bertakarrub kepada Tuhan, yaitu dengan mengorbankan anak.
Satu hal yang mengherankan, yaitu bahwa mereka yang membolehkan membunuh anak, baik dengan dipotong ataupun dengan ditanam hidup-hidup, tetapi justeru mengharamkan beberapa makanan dan binatang yang baik-baik.
Dan yang lebih mengherankan lagi, bahwa itu semua dianggapnya sebagai hukum agama. Mereka nisbatkannya kepada Allah. Tetapi kemudian oleh Allah, anggapan ini dibantah dengan firmanNya:
“Mereka berpendapat: ini adalah binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terlarang, tidak boleh dimakan kecuali orang-orang yang kami kehendaki menurut anggapan mereka dan juga diharamkan untuk dinaiki, dan binatang-binatang yang mereka tidak sebut asma Allah atasnya karena hendak berbuat dusta atas nama Allah. (Begitulah) mereka itu kelak akan dibalas lantaran kedustaan yang mereka perbuat.” (al-An’am: 138)
Al-Quran telah menegaskan kesesatan mereka yang berani menghalalkan sesuatu yang seharusnya haram, dan mengharamkan sesuatu yang seharusnya halal; al-Quran mengatakan:
“Sungguh rugilah orang-orang yang telah membunuh anak-anak mereka lantaran kebodohannya dengan tidak mengarti itu, dan mereka yang telah mengharamkan rezeki yang Allah sudah berikan kepada mereka (lantaran hendak) berdusta atas (nama) Allah; mereka itu pada hakikatnya telah sesat, dan mereka itu tidak mau mengikuti pimpinan.” (al-An’am: 140)
Kedatangan Islam langsung dihadapkan dengan kesesatan dan ketidak-beresan tentang persoalan halal dan haram ini. Oleh karena itu pertama kali undang-undang yang dibuat guna memperbaiki segi yang sangat membahayakan ini ialah dengan membuat sejumlah Pokok-pokok Perundang-undangan sebagai standard untuk dijadikan landasan guna menentukan halal dan haram. Seluruh persoalan yang timbul, dapat dikembalikan kepadanya, seluruh neraca kejujuran dapat ditegakkan; keadilan dan keseimbangan yang menyangkut soal halal dan haram dapat dikembalikan.
Oleh karena itu ummat Islam menduduki sebagai golongan penengah (ummatan wasathan) di antara ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri sebagaimana telah ditegaskan sendiri oleh Allah; yaitu dengan dijadikan ummat Islam ini sebagai ummat pilihan (khaira ummah) yang diketengahkan ke hadapan ummat manusia (QS Ali Imran)
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-09 Kegagalan
Jangan pernah menyangka bahwa seorang pahlawan selalu meraih prestasi-prestasinya dengan mulus, atau bahkan tidak pernah mengenal kegagalan. Kesulitan-kesulitan adalah rintangan yang diciptakan oleh sejarah dalam perjalanan menuju kepahlawanan. Karena itu, peluang kegagalan sama besarnya dengan peluang keberhasitan. “Kalau bukan karena kesulitan, maka semua orang akan jadi pahlawan.” kata seorang penyair Arab, Al Mutanabbi.
Membebaskan Konstantinopel bukanlah pekerjaan mudah bagi seorang pemuda berusia 23 lahun setangguh Muhammad Al-Fatih Murad. Pembebasan pusat kekuasaan Imperium Romawi itu, kata orientalis Hamilton Gibb, adalah mimpi delapan abad dari Kaum Muslimin. Semua serangan gagal meruntuhkan perlawanan kota itu di sepanjang abad-abad itu. Dan serangan-serangan awal Muhammad Al-Fatih Murad juga mengalami kegagalan. Kegagalan itu sama dengan kegagalannya sebagai pemimpin negara, ketika pada usia 16 tahun ayahnya menyerahkan kekuasaan kepadanya. Akan tetapi, bila Muhammad Al-Fatih kemudian berhasil merebut kota itu, kita memang perlu mencatat pelajaran ini: “Bagaimana seorang pahlawan dapat melampaui kegagalan-kegagalannya dan merebut takdirnya sebagai pahlawan?”
Rahasia pertama adalah mimpi yang tidak selesai. Kegagalan adalah perkara teknis bagi sang pahlawan. Kegagalan tidak boleh menyentuh setitik pun wilayah mimpinya. Mimpi tidak boleh selesai karena kegagalan. “Dan tekad seperti ini akan merubah rintangan dan kesulitan menjadi sarana mencapai tujuan,” kata Said bin Al Musayyib.
Begitulah, tekad mereka melampaui kegagalan, sampai rintangan yang menghadang jalannya tak sanggup menatap mata tekadnya, maka ia tunduk, lalu memberinya jalan menuju penghentian terakhir dari mimpinya. “Kalau tekad seseorang benar adanya, maka jalan menuju tujuannya pastilah jelas,” kata pepatah Arab.
Rahasia kedua adalah semangat pembelajaran yang konstan. Seorang pahlawan tidak pernah memandang dirinya sebagai Superman atau Malaikat. Ia tetaplah manusia biasa. Dan kegagalan merupakan bagian dari tabiat kehidupan manusia, maka ia “memaafkan ” dirinya untuk kegagalan itu. Namun, ia tidak berhenti sampai di situ. Kegagalan adalah objek pengalaman yang harus dipelajari, untuk kemudian dirubah menjadi pintu kemenangan. Demikianlah seharusnya kita mendefenisikan pengalaman: bahwa ia adalah investasi pembelajaran yang membantu proses penyempurnaan seluruh faktor keberhasilan dalam hidup.
Rahasia ketiga adalah kepercayaan pada waktu. Setiap peristiwa ada waktunya, maka setiap kemenangan ada jadwalnya. Ada banyak rahasia yang tersimpan dalam rahim sang waktu, dan biasanya tidak tercatat dalam kesadaran kita. Akan tetapi, para pahlawan biasanya mempunyai cara lain untuk mengenalinya, atau setidaknya meraba-rabanya, yaitu firasat. Mereka “memfirasati zaman,” walaupun ia mungkin benar mungkin salah, tetapi ia berguna untuk membentuk kecenderungannya. Firasat bagi mereka adalah faktor intuitif yang menyempurnakan faktor rasional. Perhitungan-perhitungan rasional harus tetap ada, tetapi keputusan untuk melangkah pada akhirnya bersifat intuitif. Begitulah akhirnya takdir kepahlawanan terjembatani dengan firasat untuk sampai ke kenyataan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-10 Mencintai Penanda Dosa
Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.
Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.
“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.
Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demibarak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati,” tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-10 Pengantar Kebebasan Wanita (1)
Dilihat dari hitungan banyaknya, jumlah wanita mencapai separuh dari jumlah masyarakat dunia. Namun, dilihat dari pengaruhnya terhadap suami, anak-anak, dan lingkungan jumlah tersebut lebih dari separuh jumlah masyarakat dunia. Seorang pujangga berkata:
Seorang ibu ibarat sekolah …
apabila kamu siapkan dengan baik…
berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya
Begitu juga, orang-orang bijak banyak yang mengaitkan keberhasilan para tokoh dan pemimpin dengan peran dan bantuan kaum wanita lewat ungkapan: “Di balik keberhasilan setiap pembesar ada wanita!”
Di sisi lain, banyak kita lihat para filosof yang menganggap wanita sebagai sumber atau biang terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Bahkan, jika terjadi musibah atau tindak kriminal, ada yang mengatakan: “Coba periksa kaum wanitanya!”
Manusia, baik dahulu maupun sekarang, terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang pro dan berbaik sangka terhadap wanita. Kedua, kelompok yang menjadi musuh wanita. Karena itu, seorang pujangga pernah berkata:
Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…
yang diciptakan untuk kita …
setiap kita tentu senang mencium aromanya
Tetapi ada pula pujangga yang berkata:
Kaum wanita itu bagaikan setan …
yang diciptakan untuk kita…
kita berlindung kepada Allah dari kejahatan setan
Kita menemukan sebagian filosof mendukung keberadaan wanita, menyanjung, serta menyebut-nyebut kelebihan dan keutamaannya dalam keluarga atau masyarakat. Namun, ada juga mereka yang melihat kaum wanita lewat kacamata hitam pekat sehingga wanita dilihat bagaikan kuman penyakit dan kejahatan di dunia. Bahkan orang-orang yang pesimistis menganggap bahwa ilmu yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang sesat dan meluruskan orang yang bengkok dianggap tidak berguna bagi kaum wanita. Ada di antara mereka yang berpendapat bahwa wanita hanya cukup belajar menulis. Menurut mereka, bagaimana pun ular dapat menularkan racun. Lebih dari itu, mereka memikulkan ke atas pundak wanita beban penderitaan yang telah dan akan dialami umat manusia sejak Adam diciptakan sampai kiamat nanti. Menurut keyakinan mereka wanitalah yang telah merayu Adam agar memakan buah (pohon yang ada di surga) dan melanggar apa yang ditetapkan Allah, sehingga Adam beserta anak cucunya dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi hingga mereka merasakan pahit getirnya kehidupan.
Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama –kitab suci penganut Kristen dan Yahudi– mereka membenarkan dalil-dalil tuduhan tersebut yang dibebankan ke atas pundak kaum wanita. Namun, apabila penelusuran kita sudah sampai pada Islam, kita akan menemukan bahwa Islam mengangkat harkat dan martabat wanita dengan memandangnya sebagai anak, istri, ibu, dan anggota masyarakat. Dengan demikian, Islam memandang wanita sebagai seorang manusia.
Wanita diberi tugas dan kewajiban seperti halnya laki-laki; Kepadanya disampaikan perintah dan larangan Allah seperti halnya kepada laki-laki, kepadanya diberikan pahala atau siksaan seperti halnya kepada laki-laki. Pertama kali, tugas dari Allah dikeluarkan dan disampaikan kepada laki-laki dan wanita secara bersamaan (ketika keduanya diperintah untuk menetap di surga). Kepada mereka berdua Allah berfirman:
“Dan Kami berfirman: ‘Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al Baqarah: 35)
Di dalam Al Qur’an –begitu juga di dalam Taurat– tidak ditemukan nash yang mengatakan bahwa wanita harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Adam. Sebenarnya, Adamlah penanggung jawab utamanya, sementara wanita hanya sebagai pengikut. Allah SWT berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka dia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” (Thaha: 115)
“… dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (Thaha: 121-122)
Dalam pandangan Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya, wanita adalah pelengkap laki-laki dan laki-laki adalah pelengkap wanita. Wanita adalah bagian dari laki-laki dan laki-laki adalah bagian dari wanita. Karena itulah Al Qur’an mengatakan: “… sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain …” (Ali Imran: 195) Rasulullah saw. pun bersabda: “Sebenarnya wanita adalah saudara kandung laki-laki.” Di dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan atas hak wanita atau penzaliman atas wanita demi kepentingan kaum laki-laki sebab Islam adalah syariat Allah SWT yang diturunkan untuk laki-laki dan wanita sekaligus.
Akan tetapi, ada beberapa pemikiran keliru mengenai wanita menyusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita.
Persepsi tersebut diiringi dengan perlakuan yang tidak baik terhadap kaum wanita. Karenanya, mereka digolongkan sebagai kaum yang telah melangkahi hukum-hukum Allah. Mereka digolongkan ke dalam kaum yang menzalimi diri wanita sekaligus dirinya sendiri. Hal itu sering terjadi pada zaman keterbelakangan ketika umat Islam sudah jauh dari tuntunan Nabi saw, sikap pertengahan Islam, serta manhaj generasi salaf yang mudah dan seimbang.
Pada masa sekarang ini, di tengah-tengah kita, akan kita temukan penyakit ganas yang melanda alam pemikiran manusia. Banyak kasus atau peristiwa yang dipecahkan tidak didasarkan pada jalan tengah yang di dalam terminologi Islam dikatakan sebagai ash shirat al mustaqim. Lazimnya, sebagian besar masyarakat mengambil keputusan dengan ekstrem atau berlebih-lebihan, bahkan ada pula kecenderungan pada penyia-nyiaan. Padahal, kita sendiri sering membaca firman Allah berikut ini:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan (yang adil dan pilihan) …” (Al Baqarah: 143)
Selain itu, kita juga sering mendengar kata mutiara yang mengatakan: “Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan.” Ali r.a. juga pernah mengatakan: “Hendaklah kalian mengambil model atau contoh yang pertengahan. Yang terlanjur hendaklah surut dan yang tertinggal hendaklah menyusul.”
Kasus wanita dalam masyarakat kita –yang dikenal dengan sebutan masyarakat Islam– menjadi contoh yang gamblang tentang sikap keterlaluan dan berlebihan, atau menyepelekan dan menyia-nyiakan wanita. Orang-orang yang menyepelekan hak wanita memandang wanita dengan sikap angkuh dan pandangan hina. Menurut mereka, wanita ibarat jerat setan dan perangkap iblis untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Wanita dianggap makhluk yang kurang akal dan agama serta tidak mempunyai keahlian apa pun. Wanita dianggap budak atau setengah budak oleh laki-laki, dikawini untuk melampiaskan keinginan kaum laki-laki, tubuhnya dimiliki dengan bayaran uang, serta bisa diceraikan kapan pun diinginkan. Wanita tidak memiliki wewenang untuk menolak dan tidak berhak menuntut imbalan atau ganti rugi. Bahkan sebagian orang menganggapnya seperti sandal yang bisa dipakai atau dilepaskan kapan pun diinginkan.
Jika seorang wanita menikah dan tidak senang kepada suami, dia tidak bisa benci atau lari. Yang dapat dia lakukan hanyalah sabar meneguk derita dan pahitnya kehidupan, sampai suami berkenan menalak atau dia meminta diceraikan (khuluk). Di luar itu, wanita tidak mempunyai jalan atau cara untuk lepas dari neraka perbudakan laki-laki. Ada lagi kalangan masyarakat yang kembali ke zaman jahiliah sebelum datangnya Islam. Anak-anak wanita tidak diberi hak untuk mendapatkan warisan. Seluruh harta peninggalan ditetapkan sebagai barang jual-beli bagi anak-anak laki-laki, sementara anak-anak wanita tidak diberi bagian sedikit pun. Mereka mengurung anak-anak perempuan di dalam rumah, tidak boleh keluar untuk belajar atau bekerja, tidak boleh mengikuti kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat, apapun jenisnya, sehingga sebagian mereka berpandangan bahwa wanita yang baik atau salehah tidak keluar rumahnya kecuali dua kali, yaitu dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya dan dari rumah suaminya ke liang kubur. Padahal Al Qur’an hanya menjadikan “pengurungan wanita dalam rumah” sebagai hukuman bagi wanita yang melakukan perbuatan zina dengan kesaksian empat orang laki-laki dari kaum muslimin. Hal itu diterapkan sebelum syariat menetapkan had (hukuman) bagi perbuatan zina yang sudah dikenal sekarang ini. Mengenai pengurungan wanita yang melakukan zina itu Al Qur’an menyebutkan:
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemai ajalnya atau Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (an-Nisa’: 15)
Mereka melarang wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua atau suaminya yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya, mereka menghambat wanita dari pancaran nur ilmu pengetahuan dan memaksanya tetap hidup dalam kegelapan dan kebodohan. Padahal, orang tua dan suaminya pun tidak dapat mengajarinya, sebab mereka masih membutuhkan pengajar. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki sesuatu dapat memberi? Sudah banyak wanita yang sesat karena yang membimbingnya adalah orang-orang yang buta! Di sisi lain, mereka paham bahwa menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim dan muslimah. Sesungguhnya, istri-istri Nabi saw. serta istri-istri para sahabat dan generasi salaf telah sampai ke satu posisi terhormat dalam bidang ilmu, fiqih, dan periwayatan hadits, di samping mengenal syair, sastra, dan retorika berbicara. Pernah saya temukan salah seorang ulama kita berkata: “Seorang ulama wanita yang dipercaya dan salehah, fulanah binti fulan, menceritakan kepadaku.” Karimah binti Ahmad Al Marwaziyyah adalah seorang wanita periwayat sahih Bukhari. Buku riwayatnya dijadikan salah satu buku pegangan yang dipercaya dan sering disebut-sebut oleh Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam kitab Fathul Bari. Hingga ke masalah masjid, mereka melarang wanita pergi, baik untuk shalat maupun menghadiri pengajian. Padahal mereka tahu bahwa kaum wanita ikut shalat berjamaah pada zaman Nabi saw., bahkan untuk shalat isya dan subuh. Nabi saw. mengatakan dengan tegas dalam sabda beliau: “Janganlah kalian melarang hamba-hamba wanita Allah ke masjid-masjid Allah.” (HR Muslim) Anehnya, sampai saat ini, wanita masih diharamkan menikmati hak yang sama dimiliki wanita pemeluk agama lain selain Islam. Wanita Yahudi, misalnya, mereka boleh pergi ke sinagog, wanita Nasrani boleh pergi ke gereja, dan wanita Budha atau Hindu boleh pergi ke biara mereka. Hanya wanita muslimah saja yang dilarang pergi ke masjid.
Mereka melarang wanita mengikuti bapak atau suaminya untuk melakukan berbagai macam aktivitas kehidupan yang sebenarnya sanggup dia lakukan dan diperbolehkan oleh agama. Padahal, hal itu didukung oleh riwayat sahih yang mengatakan bahwa sebagian istri para sahabat pernah melakukannya, seperti Asma yang dijuluki sebagai wanita pemilik dua ikat pinggang dengan suaminya Zubair ibnul Awwam.
Lebih jelasnya, hal itu diceritakan dalam Al Qur’an berkaitan dengan dua anak gadis seorang laki-laki tua dalam surat Al Qashash ketika keduanya menggembala dan memberi minum kambingnya. Kedua gadis itu berbicara dengan Musa a.s. dan begitu pula sebaliknya. Salah satu dari dua gadis itu dengan berterus terang dan berani berkata kepada bapakaya sebagaimana tercantum dalam ayat berikut ini:
“… Ya bapakku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orangyang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al Qashash: 26)
Perkataan ringkas gadis itu telah dijadikan dasar bagi laki-laki untuk memilih berbagai pekerjaan.
Dalam melakukan pengurungan wanita di rumah, mereka sering menyandarkan keputusan pada nash-nash yang mutasyabihat (kalimat yang mengandung beberapa arti, penj.) dan meninggalkan nash-nash yang muhkamat (tegas dan jelas maksudnya). Sebagai contoh kita lihat mereka berargumentasi dengan ayat-ayat yang terdapat dalam surat Al Ahzab mengenai istri-istri Nabi saw, yaitu:
“Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik …” (Al Ahzab: 32-33)
“… Apabila kamu meminta sesuatu keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir…” (Al Ahzab: 53)
Mereka pun kadang-kadang mengekang hak wanita dalam memilih pasangan hidupnya, atau setidaknya hak untuk mengatakan setuju atau tidak, ketika wali wanita memperkenalkan calon suaminya. Bahkan, kita menemukan kaum bapak yang mengawinkan anak gadisnya tanpa restunya, tanpa musyawarah atau memperhatikan pendapatnya; meskipun sekadar menduga-duga pendapatnya!
Namun, sungguh disayangkan, banyak masalah yang disebutkan dalam pendapat Syafi’i, Maliki, dan sebagian besar pengikut Hanbali didasarkan pada dalil-dalil yang tidak layak didiskusikan dan tidak akan tegar menghadapi argumentasi-argumentasi lawannya, sehingga ditolak oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah atau muridnya, Imam Ibnul Qayyim.
Betapa berlebihannya mereka melindas hak wanita. Mereka mengutip hadits-hadits sahih, tetapi tidak meletakkannya pada tempatnya, serta menjadikan hadits-hadits tersebut sebagai dalil walaupun maksudnya tidak sesuai. Sebagai contoh, hadits yang sering mereka jadikan pegangan untuk meloloskan pendapat mereka mengenai wanita adalah hadits yang menggambarkan wamta sebagai makhluk kurang akal dan kurang agama. Begitu juga dengan hadits: “Kalau aku ingin memerintahkan seseorang supaya sujud kepada yang lain, maka pastilah aku perintah wanita supaya sujud kepada suaminya.”
Tidak cukup sampai di situ, mereka bahkan mengemukakan hadits-hadits yang tidak jelas ujungpangkalnya, tidak jelas asal dan sanadnya, sangat lemah, atau hadits palsu dan berdusta terhadap Rasulullah saw., seperti hadits yang mengatakan bahwa Nabi saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah Az Zahra: “Apa yang paling baik untuk wanita?” Fathimah berkata: “Bila wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki pun tidak melihatnya.” Lalu beliau mencium Fathimah seraya berkata: “Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan bagian yang lain.” Hadits tersebut sangat lemah. Nilainya tidak sepadan sama sekali dengan harga tinta yang dipergunakan untuk menulisnya. Atau seperti hadits: “Bermusyawarahlah dengan mereka (perempuan) kemudian tentanglah pendapat mereka.” Hadits ini sama sekali tidak ada dasarnya sebab bertentangan dengan prinsip musyawarah sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an untuk orang tua dalam soal menghentikan bayinya menyusu:
“… Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya …” (Al Baqarah: 233)
Hadits tersebut bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih dari sunnah dan sirah (sejarah) kehidupan Rasulullah saw. Beliau pernah bermusyawarah dengan istri beliau, Ummu Salamah, ketika terjadi Perang Hudaibiyah. Nabi saw. mengambil pendapat Ummu Salamah yang dipandang lebih baik dan lebih tepat. Hal itu pun tergambar dalam riwayat mereka dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berbunyi:
“Wanita itu jelek keseluruhannya, dan yang lebih jeleknya lagi pada diri wanita itu bahwa dia harus memiliki kejelekan tersebut.”
Ketidakbenaran riwayat ini telah saya jelaskan dalam tulisan-tulisan saya terdahulu (lihat buku Fatawa Mu’ashirah). Atau seperti yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam kitab Mustadrak-nya dan dengan sanadnya: “Dan janganlah kalian suruh wanita tinggal dalam kamar dan jangan kalian ajarkan kepada mereka menulis!”
Hadits ini telah divonis oleh para kritikus hadits sebagai hadits maudhu’ (palsu) sebagaimana yang dikatakan oleh Hafizh Adz Dzahabi ketika beliau mengulas riwayat Al Hakim ini.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-10 Asal Tiap-tiap Sesuatu Adalah Mubah
Dasar pertama yang ditetapkan Islam, ialah: bahwa asal sesuatu yang dicipta Allah adalah halal dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul) yang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah –misalnya karena ada sebagian Hadis lemah– atau tidak ada nash yang tegas (sharih) yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya, yaitu mubah.
Ulama-ulama Islam mendasarkan ketetapannya, bahwa segala sesuatu asalnya mubah, seperti tersebut di atas, dengan dalil ayat-ayat Al Quran yang antara lain:
“Dialah Zat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya.” (Al Baqarah: 29)
“(Allah) telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi semuanya daripadaNya.” (Al Jatsiyah: 13)
“Belum tahukah kamu, bahwa sesungguhnya Allah telah memudahkan untuk kamu apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi; dan Ia telah sempurnakan buat kamu nikmat-nikmatNya yang nampak maupun yang tidak nampak.” (Luqman: 20)
Allah tidak akan membuat segala-galanya ini yang diserahkan kepada manusia dan dikurniakannya, kemudian Dia sendiri mengharamkannya. Kalau tidak begitu, buat apa Ia jadikan, Dia serahkan kepada manusia dan Dia kurniakannya?
Beberapa hal yang Allah haramkan itu, justeru karena ada sebab dan hikmat, yang –insya Allah– akan kita sebutkan nanti.
Dengan demikian arena haram dalam syariat Islam itu sebenarnya sangat sempit sekali; dan arena halal malah justeru sangat luas. Hal ini adalah justeru nas-nas yang sahih dan tegas dalam hal-haram, jumlahnya sangat minim sekali. Sedang sesuatu yang tidak ada keterangan halal-haramnya, adalah kembali kepada hukum asal yaitu halal dan termasuk dalam kategori yang dima’fukan Allah.
Untuk soal ini ada satu Hadits yang menyatakan sebagai berikut:
“Apa saja yang Allah halalkan dalam kitabNya, maka dia adalah halal, dan apa saja yang Ia haramkan, maka dia itu adalah haram; sedang apa yang Ia diamkannya, maka dia itu dibolehkan (ma’fu). Oleh karena itu terimalah dari Allah kemaafannya itu, sebab sesungguhnya Allah tidak bakal lupa sedikitpun.” Kemudian Rasulullah membaca ayat: dan Tuhanmu tidak lupa.[1] (Riwayat Hakim dan Bazzar)
“Rasulullah s.aw. pernah ditanya tentang hukumnya samin, keju dan keledai hutan, maka jawab beliau: Apa yang disebut halal ialah: sesuatu yang Allah halalkan dalam kitabNya; dan yang disebut haram ialah: sesuatu yang Allah haramkan dalam kitabNya; sedang apa yang Ia diamkan, maka dia itu salah satu yang Allah maafkan buat kamu.” (Riwayat Tarmizi dan lbnu Majah)
Rasulullah tidak ingin memberikan jawaban kepada si penanya dengan menerangkan satu persatunya, tetapi beliau mengembalikan kepada suatu kaidah yang kiranya dengan kaidah itu mereka dapat diharamkan Allah, sedang lainnya halal dan baik.
Dan sabda beliau juga,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa batas, maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Di sini ingin pula saya jelaskan, bahwa kaidah asal segala sesuatu adalah halal ini tidak hanya terbatas dalam masalah benda, tetapi meliputi masalah perbuatan dan pekerjaan yang tidak termasuk daripada urusan ibadah, yaitu yang biasa kita istilahkan dengan Adat atau Mu’amalat. Pokok dalam masalah ini tidak haram dan tidak terikat, kecuali sesuatu yang memang oleh syari’ sendiri telah diharamkan dan dikonkritkannya sesuai dengan firman Allah:
“Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu.” (Al An’am: 119)
Ayat ini umum, meliputi soal-soal makanan, perbuatan dan lain-lain.
Berbeda sekali dengan urusan ibadah. Dia itu semata-mata urusan agama yang tidak ditetapkan, melainkan dari jalan wahyu. Untuk itulah, maka terdapat dalam suatu Hadis Nabi yang mengatakan:
“Barangsiapa membuat cara baru dalam urusan kami, dengan sesuatu yang tidak ada contohnya, maka dia itu tertolak.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Ini, adalah karena hakikat agama –atau katakanlah ibadah– itu tercermin dalam dua hal, yaitu:
- Hanya Allah lah yang disembah.
- Untuk menyembah Allah, hanya dapat dilakukan menurut apa yang disyariatkannya.
Oleh karena itu, barangsiapa mengada-ada suatu cara ibadah yang timbul dari dirinya sendiri –apapun macamnya– adalah suatu kesesatan yang harus ditolak. Sebab hanya syari’lah yang berhak menentukan cara ibadah yang dapat dipakai untuk bertaqarrub kepadaNya.
Adapun masalah Adat atau Mu’amalat, sumbernya bukan dari syari’, tetapi manusia itu sendiri yang menimbulkan dan mengadakan. Syari’ dalam hal ini tugasnya adalah untuk membetulkan, meluruskan, mendidik dan mengakui, kecuali dalam beberapa hal yang memang akan membawa kerusakan dan mudharat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sesungguhnya sikap manusia, baik yang berbentuk omongan ataupun perbuatan ada dua macam: ibadah untuk kemaslahatan agamanya, dan kedua adat (kebiasaan) yang sangat mereka butuhkan demi kemaslahatan dunia mereka Maka dengan terperincinya pokok-pokok syariat, kita dapat mengakui, bahwa seluruh ibadah yang telah dibenarkannya, hanya dapat ditetapkan dengan ketentuan syara’ itu sendiri.”
Adapun masalah Adat yaitu yang biasa dipakai ummat manusia demi kemaslahatan dunia mereka sesuai dengan apa yang mereka butuhkan, semula tidak terlarang. Semuanya boleh, kecuali hal-hal yang oleh Allah dilarangnya Demikian itu adalah karena perintah dan larangan, kedua-duanya disyariatkan Allah. Sedang ibadah adalah termasuk yang mesti diperintah. Oleh karena itu sesuatu, yang tidak diperintah, bagaimana mungkin dihukumi terlarang.
Imam Ahmad dan beberapa ahli fiqih lainnya berpendapat: pokok dalam urusan ibadah adalah tauqif (bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul). Oleh karena itu ibadah tersebut tidak boleh dikerjakan, kecuali kalau ternyata telah disyariatkan oleh Allah. Kalau tidak demikian, berarti kita akan termasuk dalam apa yang disebutkan Allah:
“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah?” (Asy Syura: 21)
Sedang dalam persoalan Adat prinsipnya boleh. Tidak satupun yang terlarang, kecuali yang memang telah diharamkan. Kalau tidak demikian, maka kita akan termasuk dalam apa yang dikatakan Allah:
“Katakanlah! Apakah kamu sudah mengetahui sesuatu yang diturunkan Allah untuk kamu daripada rezeki, kemudian kamu jadikan daripadanya itu haram dan halal? Katakanlah! Apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah kamu memang berdusta atas (nama) Allah?” (Yunus: 59)
Ini adalah suatu kaidah yang besar sekali manfaatnya. Dengan dasar itu pula kami berpendapat: bahwa jual-bell, hibah, sewa-menyewa dan lain-lain adat yang selalu dibutuhkan manusia untuk mengatur kehidupan mereka seperti makan, minum dan pakaian. Agama membawakan beberapa etika yang sangat baik sekali, yaitu mana yang sekiranya membawa bahaya, diharamkan; sedang yang mesti, diwajibkannya. Yang tidak layak, dimakruhkan; sedang yang jelas membawa maslahah, disunnatkan.
Dengan dasar itulah maka manusia dapat melakukan jual-beli dan sewa-menyewa sesuka hatinya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’. Begitu juga mereka bisa makan dan minum sesukanya, selama dia itu tidak diharamkan oleh syara’, sekalipun sebagiannya ada yang oleh syara’ kadangkadang disunnatkan dan ada kalanya dimakruhkan. Sesuatu yang oleh syara’ tidak diberinya pembatasan, mereka dapat menetapkan menurut kemutlakan hukum asal.[2]
Prinsip di atas, sesuai dengan apa yang disebut dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Jabir bin Abdillah, ia berkata:
“Kami pernah melakukan ‘azl[3], sedang waktu itu Al Quran masih turun; kalau hal tersebut dilarang, niscaya Al Quran akan melarangnya.”
Demikianlah salah satu daripada kesempurnaan kecerdasan para sahabat.
Dan dengan ini pula, ditetapkan suatu kaidah: “Soal ibadah tidak boleh dikerjakan kecuali dengan syariat yang ditetapkan Allah; dan suatu hukum adat tidak boleh diharamkan, kecuali dengan ketentuan yang diharamkan oleh Allah.”
[1] Maryam
[2] Qawaidun Nuraniyah Al Fiqhiyah oleh Ibnu Taimiyah, hal 112-113.
[3] ‘Azl yaitu mengeluarkan mani di luar kemaluan perempuan ketika bersanggama.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-10 Prakata 114 Tips Murabbi Sukses
Segala puji bagi Allah, yang ditangan-Nyalah terletak segala kekuasaan. Salam dan sholawat kepada pemimpin umat manusia, Nabi Muhammad saw, beserta para sahabatnya, yang merupakan kumpulan orang-orang terbaik sepanjang masa.
Buku yang berjudul 114 Tips Murabbi Sukses ini merupakan sumbangan kecil dari kami kepada para murabbi dan calon murabbi. Kami berharap mereka menjadikan buku ini sebagai wacana peningkatan kemampuan membina halaqah. Kami tidak mengklaim apa yang kami tulis ini sebagai satu-satunya tips menjadi murabbi sukses. Mungkin, para murabbi lain mempunyai tips berbeda yang juga berhasil mengantarkan mad’u-mad’unya menjadi kader dakwah yang iltizam (komitmen) kepada Islam. Namun, berdasarkan “riset” kami, tips yang tercantum dalam buku ini cukup berhasil diterapkan oleh sebagian murabbi dalam mengantarkan halaqahnya menuju keberhasilan.
Selain itu, latar belakang penulisan buku ini juga didasari oleh kondisi saat ini yang memang membutuhkan lahirnya murabbi-murabbi handal sebagai ujung tombak dakwah khashah (khusus). Kami yakin, kejayaan Islam adalah suatu keniscayaan. Dan hal itu tak mungkin terwujud tanpa lahirnya murabbi-murabbi yang siap mencurahkan segala kemampuannya untuk membimbing umat ke arah cahaya-Nya. Kami berharap untuk itulah buku ini ada.
Murabbi adalah orang yang memimpin jalannya halaqah (pengajian kelompok, mentoring, usroh, ta’lim, dan sejenisnya). Di beberapa kalangan aktivis dakwah, murabbi juga disebut dengan ustadz, mentor, pembina, naqib, mas’ul dan qiyadah. Apapun istilahnya, murabbi berperan strategis untuk menumbuhkan kader-kader dakwah yang berkualitas. Hal ini sudah dibuktikan oleh berbagai kelompok pergerakan Islam (harakah) di seluruh dunia.
Namun dalam realitanya, menjadi murabbi bukanlah pekerjaan mudah. Ada berbagai kendala dan persoalan yang menghadang seseorang untuk menjadi murabbi sukses.
Karena itu, di dalam buku ini penulis mencoba menawarkan berbagai tips (kiat) untuk menjadi murabbi yang sukses memimpin halaqah. Dengan harapan agar para pembaca – khususnya mereka yang akan atau telah menjadi murabbi— bertambah keterampilannya sebagai murabbi.
Kami berupaya membahas berbagai tips menjadi murabbi sukses ini dengan pembahasan yang praktis dan menghindari teori yang panjang lebar. Tujuannya agar Anda, para pembaca, dapat dengan cepat dan mudah memahaminya.
Apabila Anda telah berkesempatan membaca buku ini, silakan beri kami umpan balik. Umpan balik para pembaca begitu penting sehingga kami merasa perlu memasukkan Formulir Umpan Balik pada buku ini. Anda bisa mengirimkannya melalui faks ke Lembaga Pelatihan Manajemen LP2U (021) 5494719.
Jika pembaca ingin berkonsultasi atau mengikuti pelatihan yang khusus membahas apa yang disampaikan pada buku ini, silakan hubungi kami di Lembaga Pelatihan Manajemen LP2U Jl. Anggrek Nelimurni Blok B No. 12 Slipi – Jakarta Barat, Telp. (021) 5494719, Faks. (021)53678452, Email: lp2u_center@lycos.com.
Akhirnya, ucapan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya penulisan buku ini. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Kingkin Anida, isteri dan kekasih yang selalu memberikan dukungan dan masukan yang berharga. Juga kepada anak-anak kami, Syahid, Faris, Sajjad, Fauzan, Sania, yang celotehnya menjadi “musik” yang mengiringi penulisan buku ini. Tak lupa juga kepada Bang Tizar –orang yang memperkenalkan penulis pada dunia “kemurabbian”— dan rekan-rekan lainnya yang tak dapat kami sebutkan satu persatu.
Selamat membina !
Satria Hadi Lubis
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-11 Imtidad Ad Da`wah
Agar al-imtidadud da’awi (penyebaran pertumbuhan da’wah) semakin berpengaruh dalam perubahan, pembinaan, dan siyaghatu al-binaai al-ijtima’i (penataan struktur kemasyarakatan), tidak cukup hanya kita respon dengan al imtidad at tanzhimi (penyebaran pertumbuhan struktur dakwah). Begitu pula agar struktur kemasyarakatan ini semakin dekat dengan siyaghatu al-binaai al-Islamiy (tatanan struktur masyarakat islami), tidak cukup hanya kita respon dengan al-imtidadud tanzhimi, memperluas dan memperlebar struktur kita.
Respon-respon structural itu harus ditindaklanjuti dengan al imtidad at tarbawi (pengembangan pembinaan). Hajman wa waznan, baik kapasitas ataupun bobotnya. Pengembangan tarbiyah yang sudah merupakan pekerjaan kita sehari-hari dan merupakan basis operasional, harus kita kembangkan kapasitas daya tampungnya. Sudah banyak yang menunggu untuk ditarbiyah. Sekarang tidak terbatas pada level mahasiswa, pemuda, atau akademisi. Para professional, pengusaha, praktisi bisnis, banyak yang menunggu untuk ditangani secara tarbawi. Sehingga kapasitas tarbiyah kita harus meningkat. Efeknya, tuntutan kepada pengembangan manhaj tarbiyah pun harus meningkat.
Pendekatan tarbiyah untuk pemuda dan mahasiswa berbeda dengan pendekatan tarbiyah kepada alim ulama dan mubaligh. Berbeda pula dengan para professional, praktisi bisnis, dan lain-lain. Oleh karena itu, fann at-tarbawi, penguasaan teknis operasional tarbiyah harus semakin meningkat. Agar kapasitas tarbiyah daya tampungnya semakin luas.
Untuk menjaga kapasitas, daya dan bobot tarbiyah, jangan sampai tarbiyah kita berkembang nuansanya menjadi ta’lim, apalagi tabligh. Karena ta’lim itu tazwidul ‘ilm (pembekalan ilmu), dan tabligh itu tazwidul ma’lumat (pembekalan informasi). Sedangkan tarbiyah merupakan tashihul aqidah, tashihul fikrah, tashihul akhlaq, dan tashihul ‘ibadah. Sehingga bobot taujihnya harus sangat menyentuh mafatihul uqul, mafatihul qulub, wa mafatihun nufus. Harus membuka kunci-kunci jiwa, hati, dan akal manusia. Tarbiyah harus lebih menggugah, lebih berkesan, dan lebih membangkitkan. Sebab tarbiyah bukan talqinul ulum.
Lapisan pendukung dan simpatisan dakwah menunggu penanganan kita. Kalau mereka merasakannya sama dengan majelis ta’lim umum, bahkan naudzubillah dirasakan sama dengan dakwahtainment, maka itu tidak akan menghasilkan potensi dakwah. Ini harus ditata. Karena tarbiyah itu merupakan kerja pertama dan utama jama’ah dakwah kita untuk membangun potensi SDMnya.
Walaupun begitu, tarbiyah, sebagai upaya manusia, bisa saja—naudzubillah—terjadi infilath tarbawi/falatan tarbawi. Artinya hasil tarbiyah yang tidak terkontrol. Hasil kerja keras dan pengorbanan kita, bisa saja natijahnya jelek. Tidak saesuai dengan yang kita inginkan. Infilat tarbawi biasanya berbentuk:
- Munculnya tasyaddud, sikap eksklusif, ekstrim, dan merasa benar sendiri. Ini harus dipantau. Padahal kita memiliki pandangan ijabiyah ru’yah (memandang sisi positif). Pada hakekatnya kebaikan itu ada di mana-mana. Cuma ada yang terkonsolidasi oleh kita dan ada yang belum.
- Bersikap kamaliyat (perfeksionis). Seolah-olah tarbiyah itu targetnya menciptakan insan malaki, manusia berkualitas malaikat. Ini juga bentuk infilat tarbawi, bentuk penyimpangan.
- Bentuk infilath tarbawi yang lain adalah juz’iyyah. Hanya menukik di sector tertentu saja. Misalnya ruhiyah saja, sementara fikriyah kurang berkembang. Sehingga pertumbuhan cara berfikirnya ketinggalan. Tidak mampu menghadapi komunikasi fikriyah seperti yang kita jumpai di lapangan setelah musyarokah ini. Atau hanya menukik di bidang fikriyah atau siyasah saja. Padahal yang kita harapkan adalah tarbiyah yang integral dan terpadu.
Selain imtidad tarbawi, pertumbuhan dakwah kita juga menuntut imtidad tsaqafy. Kita harus belajar dan belajar, terus menerus. Kita harus mau membaca dan membaca. Baik bacaan yang tertulis di buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, radio atau TV. Juga membaca kehidupan masyarakat. Ini semua penting. Sehingga tsaqofah kita berkembang, tidak ketinggalan di segala sector.
Kita bergaul dengan mereka yang beraneka ragam keyakinan, beraneka ragam latar belakang ideology, pendidikan, budaya, dan bahkan kepentingannya. Supaya kita tidak gagap, kekurangan modal ketika menghadapi mereka, maka tsaqofah kita harus ditingkatkan. Bagi yang masih mempunyai kesempatan belajar formal, silahkan tingkatkan. Apakah S1, S2, S3, kalau ada S4 kita masuki. Bagi yang pendidikan formalnya sudah tertib, maka informalnya harus iqro’, terus membaca. Memang kalau kita tidak pandai memenej waktu, tazwidul tsaqafah (pembekalan wawasan) ini akan merosot.
Imtidad tsaqofiy—hazman waznan—harus ditingkatkan. Apalagi ajaran Islam mengajarkan bahwa thalabul ‘ilmi itu minal mahdi ilal lahdi. Menuntut ilmu itu dari bauaian hingga liang kubur. Uthlubul ‘ilma walau bi shin. Walaupun di Cina. Padahal waktu itu dakwah Islam belum sampai ke Cina. Tapi kata Rasul carilah ilmu itu sampai ke negeri Cina.
Jama’ah kita ini, di mana pun, terkenal sebagai madrasah, di mana di dalamnya selalu belajar dan meningkatkan diri, sudah menjadi shibghoh yaumiyah, warna keseharian kita.
Imtidad fanni, penguasaan teknik operasional sesuai bidang dan tugas kerja kita, baik kerja tanzhimiyah atau kerja professional. Penguasaan teknis secara lebih mengerucut sesuai dengan latar belakang tugas kita semakin penting.
Berikutnya adalah imtidad idari. Organisasi kita semakin besar, memerlukan manajerial yang tangguh. Sesuai dengan karakter organisasi jama’ah kita, adalah bukan karakter birokrasi, tapi karakter mutathowwi’in (sukarela). Oleh karena itu kita harus membagi pendelegasian wewenang, tugas-tugas secara lebih merata dan lebih meluas. Mungkin kalau dilihat dari sudut pandang birokrasi—perusahaan atau pemerintahan—organisasi kita amat bengkak. Karena kita ini tidak ada keterkaitan antara penugasan dengan standar gaji. Kalau pun ada, itu sifatnya hanya ta’awun. Itu pun jauh dari standar untuk ma’isyah. Karena kaitannya bukan ma’isyah, tapi lebih kepada muwasholah (penyambung) saja.
Karakter organisasi yang mutathowwi’in, sukarelawan ini, tugasnya harus terbagi. Kewenangan didelegasikan d I dalam bidang-bidang. Kalau ada pos-pos yang kurang berjalan, kita tingkatkan agar lebih mampu berjalan dan memikul tugas secara lebih baik. Bukan dengan cara ditekel/diambil. Kita berusaha untuk meningkatkan para penjaga pos agar bertugas secara bertahap. Agar terbagi secara baik, terlaksana melalui proses ta’awanu ‘alal birri wat taqwa. Ini karena tanzhim kita adalah tanzhim mutatowwi’in, bukan birokrasi.
Karakter organisasi lain, yang terkenal sibuk dan bekerja adalah ketua dan sekretaris. Di organisasi kemasyarakatan itu hal biasa. Mudah-mudahan, insya Allah, itu tidak akan merembes kepada kita. Kita sudah terbagi, semua bekerja, yang penting adalah tanasuq dzaatii. Singkronisasi antar komponen organisasi dalam bidang tertentu, dan singkronisasi antara bidang dengan bidang yang lain. Setiap potensi kader harus termanfaatkan. Dengan begitu semakin meningkat kapasitas, bobot, dan kompetensinya.
Selanjutnya al imtidad al iqtishadiy (perkembangan ekonomi). Sampai sekarang pembiayaan dakwah kita masih dalam level konvensional melalui tadhiyyah dari ikhwan dan akhwat, dari ta’awun ikhowi yang luar biasa. Tentu berkahnya tidak diragukan. Tapi kalau diakaitkan dengan tugas berat ke depan, pengembangan ekonomi dakwah harus semakin professional. Basis ta’awun dan tadhiyyah harus selalu terpelihara, karena itu adalah modal awal. Tapi kalau modal awal itu tidak berkembang menjadi professional, maka akan banyak pembiayaan-pembiayaan dakwah yang tidak tertangani secara konvensional.
Sudah barang tentu, Allahu Ghaniyyun Karim. Semua sumber kekuatan, termasuk sumber ekonomi adalah dari Allah SWT. Tapi Allah memerintahkan kita bekerja. Rasulullah SAW pernah melihat seseorang yang setiap hari nongkrong terus di masjid. Beliau bertanya, “Siapa yang member nafkah dia?”. Sahabat menjawab, “Saudaranya”. Kata Rasulullah: “Saudaranya itu lebih baik dari dia”.
Umar bin Khattab juga melihat fenomena serupa. Ada orang terus menerus berdo’a di masjid. Kata beliau, “Alaa ta’khudzu fa’san, litahtathibu?” Mengapa kamu tidak ambil kampak, agar kamu mencari kayu. “Fa innas samaa la tumthiru dzahaban wa la fidhdhoh”, sesungguhnya langit tidak akan pernah hujan emas atau perak. Allah akan menurunkan rizki—apalagi rizki untuk dakwah, yang penting kita tampil di hadapan Allah dengan kerja keras.
Sudah tentu ini untuk para ikhwan dan akhwat yang mempunyai bakat di bidangnya. Kalau tidak mempunyai bakat jangan di dorong-dorong. Karena ada dua kerugiannya: bisnis rusak, dakwah rusak.
Disinilah kemudian peran takaful-ta’awun. Kita bakatnya berbeda-beda. Ada yang tumbuh dengan bakat ekonomi, bakat politik, bakat budaya, bakat kerja di charity. Dari semua bakat yang tumbuh ini terjadi ta’awun dan takaful, saling menopang.
Rasa berbagi dari ikhwah yang sukses ekonominya kepada ikhwan yang menekuni bidang lain harus ditumbuh suburkan. Supoaya tidak aka nada komentar dari masyarakat, “Kasihan itu ustadz, dibiarin sama ikhwannya” Walaupun ikhwan akhwat itu ikhlas, tekun menekuni bidangnya walaupun tidak berefek secara ekonomi. Tapi masyarakat yang akan berkomentar. Banyakl komentar itu dating kepada saya. Biasanya selagi masih dapat saya tangani, saya akan tangani sendiri. Kalau tidak, biasanya saya transfer ke ikhwan lain. Tapi kita tentu tidak harus menunggu komentar dari masyarakat. Maka, ikhwah harus mempunyai semangat berbagi. Alhamdulillah, beberapa ikhwah yang ekonominya baik, mempunyai daftar kafalah untuk ikhwah lain. Kalau kebiasaan ini ditumbuh suburkan, Insya Allah semakin berkah dakwah kita.
Perkembangan ekonomi ini, baik kapasitas atau bobotnya harus meningkat. Dari dulu sering saya komentari, Alhamdulillah pertumbuhan ekonomi di liqo’at/halaqoh itu berkah. Tapi pasar itu lebih luas dari halaqoh. Ketika dating ke halaqoh ada yang bawa jilbab, yang ini bawa barang lainnya, insya Allah berkah. Tapi untuk ekonomi dakwah itu kurang. Salah satu yang dibangun Rasulullah SAW setelah hijrah itu adalah pasar. Maka semuanya harus seimbang anatara pertumbuhan tanzhimi, tarbawi, tsaqofi, fanni, idari, dan iqtishady.
Berikutnya adalah factor ijtima’i. Komunikasi social kita harus diperluas. Dalam hal komunikasi social, tidak perlu memakai taqwim nukhbawi (ukuran kader). Kita perluas komunikasi social kita, lintas partai, jama’ah, agama, dan etnis. Kita lakukan komunikasi secara luas. Karena keragaman atau pluralitas itu adalah fitrah. Rasulullah SAW juga mengembangkan hubungan secara luas. Bahkan ada komunikasi social yang jarang terungkap dari sirah nabawiyah, yang disampaikan Abu Bakar Shiddiq. Ketika menjadi khalifah pertama, beliau sangat memperhatikan kebijakan dan kebiasaan Rasulullah SAW.
Salah satunya, ternyata Rasulullah SAW melakukan komunikasi yang sangat baik dan akrab dengan seorang Yahudi yang buta matanya. Setiap pagi Rasulullah SAW datang mengantar roti dan susu. Orang Yahudi ini sudah tua dan giginya ompong. Kalau diberi roti yang kering dan ada air, roti itu dicelupkan. Kalau tidak ada, dikunyahkan Rasulullah, setelah itu disuapkan kepada orang Yahudi itu. Peristiwa itu hanya diketahui Abu Bakar.
Begitu Rasulullah wafat, Abu Bakar menggantikannya. Karena Yahudi ini buta, ia tidak tahu pada Abu Bakar. Ketika Abu Bakar menyuapkan roti, Yahudi itu berkata, “Siapa kamu?” Abu Bakar menjawab, “Saya biasa datang setiap pagi”—maksudnya menemani Rasulullah. Orang Yahudi berkata, “Tapi rasanya tidak begini, dia lebih halus dan lebih hangat”. Abu Bakar pun menangis.Ini adalah komunikasi lintas agama, dan itu merupakan bentuk riil dari rahmatan lil alamin. Sampai orang Yahudi pun menikmati Islam dalam keyahudiannya. Orang Kristen menikmati Islam dalam kekristenannya.
Walaupun entitas non muslim minoritas di Indonesia, tetap harus terjangkau oleh komunikasi social. Di lingkungan umat Islam diperkokoh. Jangan terhambat oleh beda yayasan, beda organisasi, beda partai. Kita harus terbuka. Kalau mereka mulutnya usil kepada kita, kita maafkan. Karena kita kader dakwah. Kadang-kadang ada organisasi yang terkontaminasi oleh kepentingan partai tertentu, lalu usil kepada kita. Maka kita harus lebih dewasa meresponnya. Tidak perlu terprovokasi oleh sifat-sifat yang kita yakini bukan sifat asli dari organisasi itu. Sekedar terkontaminasi, terkotori oleh kepentingan partai tertentu. Kita jangan mudah terpancing untuk kemudian ketus atau menjadi cuek kepda organisasi itu. Mereka tetap ikhwan kita, saudara kita seiman.
Alaqoh ijtima’i diperluas. Agar kehadiran kita diterima secara baik oleh seluruh komponen masyarakat, lintas partai, agama, dan organisasi. Kalaupun masih ada resistensi, itu bagian kecil dan biasanya berwarna ideologis politik.
Dalam berkomunikasi, prinsipnya, “sayyidul qaumi khadimuhum”, selalu berkhidmat. Dalam Islam, khidmat itu sampai ke tingkat “tabassumuka fi wajhika li akhika laka shadaqah”. Murah senyum, ramah, santun, itu merupakan modal dasar bagi komunikasi social kita.
Ini bagian dari tanhidiyah kita menuju mihwar daulah. Agar tingkat resistensi kehadiran kita di tengah-tengah pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara semakin kecil. Karena masyarakat melihat realitas fenomena kesantunan, keramahan, dan keterbukaan kita dalam komunikasi, insya Allah resistensi itu semakin mengecil, ia akan selalu ada, tapi akan bisa kita kurangi.
Berikutnya, imtidad siyasi. Ruang lingkup komunikasi politik harus diperluas. Kemampuan berkomunikasi politik sangat besar pengaruhnya. Komunikasi politik itu mencari kemungkinan-kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. Mencari titik temu bersama. Kita kelola dengan baik, supaya tidak ada benturan yang tidak perlu. Kita memerlukan peluang dan ruang pertumbuhan. Untuk menjamin keamanan, ruang dan peluang pertumbuhan, kita harus mengurangi komplikasi-komplikasi politik dengan pihak manapun agar kita mencapai posisi yang aman, bahkan sampai ke posisi dominan. Peluang-peluang kita terbuka banyak. Itu harus kita manfaatkan untuk lebih mengokohkan dakwah dan memperbesar dakwah.
Terakhir, imtidad i’lami. Pertumbuhan di sektor media massa. Memang beberapa factor yang mencuat dan dianggap kendala adalah pembiayaan. Tapi ‘ala kulli hal, masalah i’lam (media) ini perlu dikemas secara baik. i’lam yang paling mendasar dalam gerakan dakwah ini adalah performance dari setiap diri kita. Setiap kita harus memancarkan sum’ah thayyibah (aroma yang baik) bagi jama’ahnya. Itulah modal dasar i’lam.
Di tahun 50-an Sayyid Qutb pernah didatangi banyak aktivis Islam. Mereka mengeluh tentang i’lam. Ada yang berbicara kurang modal, ada yang berbicara masalah keamanan. Ada yang mengeluh majalah-majalahnya sering dibredel, diberangus, dicabut izinnya, atau kantornya digerebek. Sayyid Qutb berkata, “I’lam asasi adalah anfusuhum”. Media utama adalah diri kader itu sendiri.
Mrengelola i’lam ini terkadang gamang. Apakah ini tidak termasuk riya, apa tidak merusak zuhud kita, merusak tawadhu kita?
Kalau kita mengumumkan hal-hal yang terkait dengan pribadi, milik kita atau orang lain secara pribadi, itu baru bermasalah. Tapi kalau terkait dengan kepentingan public, yang kita kerjakan, itu justru diperlukan. Untuk merangsang orang lain mengikuti, membantu, dan mendukungnya. Sikap-sikap kita yang membela umat harus ditampilkan. Bahkan itu bisa wajib, karena mendukung eksisistensi dakwah kita, pertumbuhan dakwah kita.
Faktor-faktor tadi secara simultan bergerak, tumbuh, mutawazin, berkembang. Insya Allah dakwah ini bukan hanya berkembang, tapi pengaruhnya, suaranya mudah didengar. Komentarnya mudah diikuti. Kritiknya mudah diterima. Karena kapasitas dan bobot tanzhimi, tarbawi, tsaqofy, fanni, idari, iqtishady, ijtima’i, siyasi, dan i’lami terkelola, terkemas secara baik, simultan dan seimbang.
Insya Allah ini akan menjadi modal agar dakwah dan jama’ah kita berpengaruh. Jika berbicara didengar, Jika bertindak terasa.
Insya Allah jama’ah dakwah kita semakin berbobot. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan taufiq, ri’ayah, inayah. Memberikan tamkin kepada kita. Sehingga semakin mendekatkan diri kita kepada ridha Allah sampai padali i’lai kalimatillahi hiyal ‘ulya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-11 Pengantar Kebebasan Wanita (2)
Ketika membaca buku Muhadharutul Udaba’ karangan Ar Raghib Al Ashfahani, saya menemukan keterangan bahwa beliau menyediakan bab khusus mengenai anak perempuan dengan judul Fa’idatu Mautiha wa Tamanihi (Manfaat Kematian Anak Perempuan dan Mendambakan Kematiannya). Beliau memulai pembahasan dengan perkataan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sebaik-baik mertua/ipar adalah kubur,” dan “Menguburkan anak-anak perempuan merupakan salah satu kemuliaan.” Kedua hadits tersebut tergolong pada sebagian dari hadits-hadits maudhu’ dan mendustakan Rasulullah saw. Pada dasarnya, buku-buku sastra tidak dapat dijadikan sumber pengambilan hadits-hadits Nabi saw. Hanya saja, sebagian orang tidak mampu melakukan evaluasi atau penilaian terhadap sumber rujukan, sekaligus tidak mampu membedakan satu riwayat dengan yang lainnya. Mereka mengira bahwa semua yang terdapat dalam buku adalah keterangan yang dapat dipercaya. Apalagi jika ternyata penulisnya adalah orang yang ternama dan populer dalam dunia ilmu pengetahuan dan pemikiran seperti halnya Ar Raghib Al Ashfahani. Beliau adalah penulis buku Mufradatul Qur’an, Ad Dzrari’ah ila Makarimisy Syariah, dan lain-lain. Namun, ada yang mereka lupakan bahwa seseorang itu dapat saja menjadi figur dalam salah satu bidang ilmu pengetahuan, tetapi dalam bidang yang lain dia buta atau semibuta. Banyak di antara mereka yang tidak memperhatikan hal itu, sebagaimana telah diingatkan oleh Imam Al Ghazali dalam bukunya yang berjudul Al Munqidz minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan).
Mereka yang berhaluan keras menjadikan kehidupan wanita bagaikan penjara yang tidak tembus ke dalamnya walaupun seberkas cahaya. Karena itulah, wanita tidak boleh keluar rumah, pergi ke masjid, tidak dianjurkan berbicara dengan kaum laki-laki –meskipun dengan cara yang sopan. Muka dan telapak tangannya adalah aurat, begitu pula suara dan pembicaraannya. Bahkan sampai pada pelarangan menggunakan pakaian putih yang biasa dilakukan oleh wanita-wanita Mesir sejak dahulu ketika mereka menunaikan ibadah haji dan umrah. Ketika ditanyakan alasan pelarangannya, mereka menjawab bahwa perbuatan tersebut menyerupai laki-laki! Padahal, dalam soal berpakaian, Allah memberikan kelonggaran bagi wanita dalam hal yang tidak diperbolehkan bagi kaum laki-laki, misalnya pengharaman memakai perhiasan emas dan mengenakan pakaian yang terbuat dari sutera bagi kaum laki-laki.
Kebalikan dari mereka yang menyia-nyiakan, menyepelekan, dan mempecundangi hak wanita, kita temukan pula kelompok lain yang berlebihan dalam urusan wanita, sehingga melangkahi hukum Allah serta melampaui garis fitrah dan akhlak mulia yang telah ditetapkan agama. Jika kelompok pertama tadi menjadi tawanan tradisi Timur yang diwarisi turun-temurun, maka kelompok kedua ini menjadi tawanan tradisi Barat.
Saya melihat kelompok kedua ini ingin mengikis semua bentuk perbedaan antara laki-laki dan wanita sebab keduanya sama-sama manusia, hanya yang satu dilahirkan sebagai laki-laki dan yang satu lagi sebagai wanita. Menurut mereka, mengapa harus ada perbedaan antara keduanya? Mereka telah lupa bahwa Allah menciptakan kedua insan dengan perbedaan dalam struktur fisik untuk suatu tujuan yang sangat besar dan mulia. Mereka memiliki misi dalam kehidupan ini yang sesuai dengan tabiat dan keahlian masing-masing. Menjadi ibu dengan segala ciri, kelebihan, dan beban deritanya merupakan inti misi kaum wanita. Inilah yang membuat wanita lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan dengan kaum laki-laki.
Kalau memang sudah diciptakan dalam bentuk yang berbeda dari segi ciptaannya, hal itu tidak boleh kita abaikan, terutama dalam merancang pendidikan dan pekerjaan bagi wanita, dan hal seperti itu telah mendapat perhatian dari ilmu modern pada zaman sekarang ini. Kita lihat, sebagian orang secara membabi buta menolak nash-nash sahih yang sudah mapan tanpa penjelasan, seperti yang dilakukan oleh seorang satrawan wanita terkenal. Ketika menyampaikan ceramah di Qatar, dia menolak mentah-mentah hadits: “Tidak akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.” Padahal hadits itu adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitabnya dan diterima secara bulat oleh para ulama dan tidak ada yang mempermasalahkannya sejak beberapa abad yang silam. Lebih aneh lagi, salah seorang penulis menolak hadits ini dan menganggapnya sebagai hadits bohong dan palsu, sebab menurut pandangannya hadits ini berlawanan dengan hadits sahih yang berbunyi: “Ambillah separuh agamamu dari wanita yang pipinya merah ini (maksudnya Aisyah r.a.)”
Bayangkan bagaimana dia menolak hadits sahih yang telah diterima secara bulat demi mempertahankan suatu hadits bohong dan batil yang tidak ada nilai dan bobotnya menurut neraca ilmu pengetahuan! Ada pula kita temukan orang yang ingin mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagi laki-laki, yaitu kawin kepada lebih dari seorang wanita bagi orang yang berkeinginan untuk itu atau merasa dirinya mampu dan yakin bahwa dia akan bisa berbuat adil. Mereka menyalahi apa yang sudah tetap dalam Al Qur’an dan perbuatan Rasulullah saw. beserta para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Begitu juga perbuatan generasi salaf pada zaman-zaman keemasan umat Islam, serta generasi khalaf (berikutnya) di berbagai belahan dunia dan berbagai masa, atau dalam semua mazhab umat sampai masa sekarang ini.
Bahkan adapula yang menghimbau agar diciptakan sistem yang membagi-bagikan harta warisan kepada wanita sama dengan bagian saudara laki-lakinya, menolak bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, serta secara terang-terangan menyalahi nash Kitabullah, Sunnah Rasulullah saw., dan Ijma’ para ulama, baik dari segi fiqih maupun dalam bentuk perbuatan selama empat belas abad. Yang lebih mengherankan lagi, arus pemikiran tersebut telah melanda orang yang mengaku sebagai ahli agama. Mereka membuat keadaan menyimpang dari jalan yang benar. Mereka berbicara dengan mengatasnamakan Islam melalui pers dan media massa, lalu mereka berbicara mengenai Allah tanpa didasari ilmu pengetahuan yang benar. Di antara mereka itu ada yang tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu mengenai hadits-hadits yang sahih dan jelas, dengan tujuan agar mereka dapat mengeluarkan fatwa yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh syariat Allah dan melegitimasi keadaan yang sedang berlaku, atau guna menghalalkan kebijakan-kebijakan penguasa yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Karena itu, Anda lihat mereka diam saja ketika muncul undang-undang yang memperbolehkan zina dan mereka ikut-ikutan menentang poligami.
Kita juga menemukan ulama yang memfatwakan bolehnya wanita memakai rambut palsu, padahal ada riwayat hadits sahih dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Asma, dan Mu’awiyah r.a. yang mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda: “Allah melaknat wanita yang menyambung dan minta disambung rambutnya.” Perbuatan menyambung rambut ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai pemalsuan, sebab si pelaku telah memalsukan keadaan yang sebenarnya, dan beliau mengisyaratkan bahwa yang demikian itu adalah perbuatan orang-orang Yahudi.
Serupa dengan itu orang yang memfatwakan bahwa pakaian yang memperlihatkan kedua siku dan betis atau rambut, atau pakaian tipis yang menerawang atau menampilkan bentuk dan lekuk-lekuk tubuh –seperti pakaian budaya bangsa Barat yang menyusup ke dalam masyarakat Islam–hanyalah dosa kecil yang bisa dihapuskan dengan melakukan shalat atau ibadah lainnya. Bodoh sekali orang yang berkata begitu. Sebab, Nabi saw. sendiri memasukkan wanita-wanita seperti itu ke dalam kelompok penghuni neraka yang “berpakaian telanjang”. Beliau pun memutuskan bahwa mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak bisa mencium bau surga, padahal bau surga itu dapat dicium dari jarak yang sangat jauh. Wanita-wanita yang berpakaian telanjang adalah wanita yang pakaiannya tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan agama. Artinya mereka memakai pakaian yang masih menerawang dan menampilkan lekuk-lekuk dan bentuk tubuh, atau tidak menutupi bagian-bagian tubuh yang harus ditutupi. Jika dikatakan bahwa yang mereka lakukan itu hanya dosa kecil, tentu Nabi saw. tidak memutuskan mereka masuk neraka atau mengharamkan mereka dari surga walaupun sekadar mencium baunya.
Sekarang katakanlah kita menerima bahwa memakai pakaian yang tidak menutup aurat itu hanyalah dosa kecil. Apakah mungkin mereka tidak tahu bahwa berketerusan melakukan dosa kecil akan mengantarkan pelakunya pada dosa besar sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama, sehingga mereka berkata: “Tidak ada dosa yang kecil kalau dilakukan secara terus-menerus dan tidak ada dosa yang besar jika disertai dengan istighfar.” Yang tepat dikatakan adalah bahwa sebagian besar dari orang-orang yang bersikap ekstrem dan berlebihan dalam meniru Barat adalah sebagai reaksi terhadap orang-orang yang bersikap ekstrem dan keterlaluan dalam meniru Timur, atau dengan kata lain mereka menjadi tawanan zaman kuno dan zaman modern. Sementara yang dituntut dari kita hanyalah tunduk dan patuh kepada petunjuk dan bimbingan Dinul Haq yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad saw. Karena itu, yang harus diambil adalah sikap yang mencerminkan sifat atau karakter pertengahan Islam yang tidak keterlaluan dan tidak pula menyepelekan suatu masalah, tidak melebihi dan tidak pula mengurangi. Itulah yang diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:
“Supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (Ar Rahman: 8-9)
Buku yang saya antarkan untuk pembaca sekarang ini dapat menjelaskan karakter pertengahan Islam tersebut dan menampilkan sikap Islam yang sebenarnya mengenai masalah yang sangat penting ini. Dalam masyarakat Islam masih bercampur aduk antara yang hak dan yang batil, jelasnya mengenai masalah wanita serta perannya dalam rumah tangga, masyarakat, dan kehidupan.
Penulis buku ini mulai menekuni masalah wanita muslimah sejak bertahun-tahun, ketika dia banyak sekali menemukan nash-nash yang berlawanan dengan sikap sebagian besar kaum muslimin yang keras dan kaku mengenai wanita. Semakin dalam kajian yang dia lakukan terhadap masalah ini, semakin bertambah kuat keyakinannya mengenai keluasan pandangan Islam terhadap wanita, kedudukan, dan peranan pentingnya di tengah keluarga dan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Beliau semakin serius menangani masalah ini karena melihat sikap berlebihan dari sekelompok umat Islam dan sebagian para da’i dalam mengenali kaum wanita. Hal-hal itu menyebabkan kaum laki-laki dan wanita semakin jauh dari tuntunan Islam. Itu sama artinya dengan menyerahkan kepada orang-orang sekuler dan antiagama senjata yang dapat mereka gunakan untuk menghalangi para da’i dalam memecahkan berbagai problem kehidupan secara islami.
Dalam kajian ini, penulis buku ini tidak berpegang pada ucapan si fulan atau orang tertentu, tetapi membiarkan nash-nash berbicara dan menentukan hukum sendiri. Karena itu, banyak terdapat nash dalam buku ini yang secara sengaja dikemukakan begitu saja, sehingga nash itu sendiri dengan bahasa dan gayanya akan menjelaskan, menegaskan, dan menentukan nilai dan maksud yang dituju. Beliau tidak menukil/menyadur ucapan para ulama atau para pensyarah kecuali dalam batas yang wajar untuk sekadar menjelaskan hal-hal yang kurang jelas, samar-samar, atau ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai nash tersebut.
Kita benar-benar sedang menekuni suatu kajian ilmiah yang dapat dipercaya karena didukung oleh nash-nash yang sahih, diambil dari sumber-sumber yang paling dipercaya dan betul-betul dikuasai oleh penulisnya. Beliau mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hati, ilmu, dan pengalaman sehingga membuahkan keberhasilan sampai ke tingkat yang begitu matang. Bahkan pada kenyataannya kita sedang menghadapi sebuah ensiklopedia yang sarat dengan masalah-masalah penting mengenai wanita muslimah, baik menyangkut kepribadian dan kedudukannya, pakaian dan perhiasannya, perannya di tengah keluarga dan masyarakat, pertemuannya dengan kaum laki-laki, hingga pada keterlibatannya dalam kehidupan sosial dan politik menurut pandangan nash-nash Al Qur’an, hadits, dan pemahaman ulama salaf terhadap nash-nash yang me-nyangkut masalah wanita tersebut.
Penulis buku ini, Profesor Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, adalah seorang tokoh yang belum begitu dikenal di kalangan cendekiawan. Sebab, beliau belum banyak membuat tulisan yang membuat beliau dikenal orang atau dengan kata lain, belum banyak menurunkan tulisan yang dapat mempublikasikan siapa dirinya kepada orang lain. Tulisan beliau masih terbatas dalam bentuk artikel-artikel yang dimuat dalam beberapa majalah Islam. Padahal sebenarnya beliau banyak menulis dan merekam buah pikirannya dalam berbagai bidang. Tulisan-tulisan beliau mengandung ide-ide yang cemerlang dan teori-teori reformasi yang unggul. Hanya saja, ide-ide beliau sering seperti mutiara yang masih berserakan di sana sini dan belum ditata dalam satu ikatan. Beliau masih terus mengulur-ulur waktu sehingga menemukan tali pengikat yang diidam-idamkan.
Di samping itu sikap hati-hati dalam menyusun buku ini –sikap pelan dan hati-hati disenangi oleh Allah dan Rasul-Nya menurut nash yang sahih– membuat beliau membaca berulangkali pemikiran yang telah dituangkan ke dalam bentuk tulisan, dan mendiskusikannya dengan teman-teman dekat beliau, sehingga beliau betul-betul yakin akan kebenaran yang ditulis. Mungkin juga beliau melakukan ralat dan perbaikan sehingga beliau betul-betul merasa mantap dan puas dengan tulisannya.
Meskipun Prof. Abdul Halim yang juga dijuluki Abu Abdurrahman ini tidak begitu dikenal di kalangan luas, kalangan yang mengenalnya merasa kagum dan mengakui kemampuannya dalam berpikir secara tenang dan mendalam; pandangannya yang kritis, reformis, dan berani mengemukakan apa yang diyakininya benar; sampai pada kejujuran dan sikap istiqamahnya sehingga lahir dan batinnya tetap seirama.
Saya tegaskan di sini bahwa saya sudah mengenalnya secara baik sejak seperempat abad silam, ketika kami sama-sama bekerja di kementerian pendidikan di Qatar. Sejauh yang saya tahu, beliau selalu berbicara jujur, benar, bersih, sopan, halus, jenius, dan kritis. Di dalam pergaulan hidup, saya mengenalnya sebagai seorang muslim yang sangat konsisten pada ajaran Islam serta senantiasa mempelajari hukum dan ajaran agama untuk diterapkan pada diri dan keluarganya. Beliau tidak belajar untuk pandai beretorika atau membangga-banggakan kehebatan dan kepintaran yang dimiliki, tetapi untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupannya.
Kekonsistenan beliau tidak didasarkan pada Islam mazhab tertentu dari mazhab-mazhab yang lazim diikuti atau Islam suatu periode dari periode-periode sejarah terdahulu, dan bukan pula Islam suatu negara dari negara-negara Islam yang dikenal. Akan tetapi, Islam beliau adalah Islam Al Qur’an dan Sunnah semata. Karena itulah dia sangat hati-hati dalam membuat tulisan agar jangan berdasarkan pada pendapat ulama ini atau ulama itu. Sebab ulama mana pun di dunia ini pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya, bagaimana pun kehebatan ilmu pengetahuan dan fatwanya.
Saya mengenalnya sebagai seorang pendidik yang didukung bakat, studi, dan pengalaman. Beliau pernah menjadi guru sekolah lanjutan atas dan direktur sebuah SLTA di Doha. Karena itu, tidak mengherankan jika pada diri beliau sering terlihat semangat seorang pendidik yang senantiasa berupaya memberi dan mengajar dengan berbagai cara dan metode yang sangat menarik.
Saya juga mengenalnya sebagai seorang pemburu kebenaran yang ikhlas dalam mencarinya, tidak pernah merasa jemu dan bosan untuk mengetahui rahasianya, serta teliti dalam membaca dan mengkaji. Sifat tekun dan teliti serta berpikir dan mengamati merupakan beberapa keistimewaan yang cukup menonjol dan ciri yang sangat kentara dalam seluruh kehidupannya. Beliau tidak suka terburu-buru membuat keputusan dan kesimpulan, serta tidak suka meniru-niru. Keputusan dibuat melalui kajian yang teliti dan pemikiran yang mendalam. Setelah itu baru beliau menyusun catatan tentang pokok-pokok pikiran yang masih berserakan untuk dihimpun dan disusun secara rapi.
Beliau juga seorang yang sederhana dan rendah hati. Apabila diberi nasihat, beliau tidak cukup sekadar menerima. Lebih dari itu, beliau meminta nasihat lebih banyak dan lebih banyak lagi dari orang yang beliau percayai ilmu dan pendapatnya, sehingga beliau yakin betul dengan hasil yang disimpulkan. Beliau senantiasa lapang dada dalam menerima pendapat lain, tidak acuh bila menemukan suatu kebenaran. Beliau menampakkan wajah yang ceria, siap beradu pendapat, menghapuskan atau menambahkan, mendiskusikan dan memperbaiki, hingga beliau sampai kepada suatu kesimpulan yang betul-betul mantap.
Beliau selalu mendambakan perbaikan, tidak berhenti kalau sudah mengenal jenis penyakit, tetapi senantiasa berusaha menentukan obat dan menjelaskan cara perawatannya.
Beliau selalu mendukung semangat kemudahan dan keluwesan dalam menyampaikan dakwah Islam, khususnya mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan keluarga dan masyarakat. Beliau pun tidak mengada-ada mencari kemudahan dalam syariat Allah. Beliau hanya mengikuti saja kemana arah syariat itu berjalan. Hal itu tidaklah aneh sebab memberikan kemudahan merupakan roh dan darah daging syariat Islam.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-11 Pendahuluan Menjadi Murabbi Sukses
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. 21 : 107).
Misi keberadaan kita di dunia ini tiada lain kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmat dalam pengertian menebarkan kasih sayang dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Misi tersebut tak bisa tidak mengharuskan kita hidup dalam jalan dakwah. Mengapa? Sebab hanya dakwah yang membuat seorang muslim konsisten mengajak orang lain ke arah kebaikan dan kasih sayang. Sedang jalan selain dakwah adalah jalan yang penuh ketidakpastian dan keraguan untuk merealisasikan misi keberadaan manusia muslim tersebut. Jalan yang seringkali menggelincirkan seseorang kepada sikap egois dan hanya mementingkan diri sendiri.
Itulah sebabnya Allah mewajibkan setiap muslim berdakwah, agar mantap merealisasikan misi keberadaannya di muka bumi. Kewajiban tersebut bahkan sudah kita sandang sejak akil baligh. “Hai anakku, dirikanlah sholat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. 31 : 18).
Dakwah adalah jalan orang-orang yang mulia sepanjang masa. Saking mulianya jalan tersebut, Allah SWT sampai menyebutnya sebagai jalan “yang terbaik”. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. 41 : 33). Karena itu, amat ironis jika ada seorang muslim yang secara sadar meninggalkan jalan dakwah.
Untuk berdakwah, kita perlu memahami tahapan dakwah. Secara umum, ada dua tahapan dakwah, yakni dakwah umum (‘ammah) dan dakwah khusus (khossoh). Dakwah ‘ammah adalah dakwah yang ditujukan kepada masyarakat umum tanpa adanya hubungan yang intensif antara da’i (orang yang berdakwah) dengan mad’u (orang yang didakwahi). Sebagian besar fenomena dakwah yang ada di masjid-masjid dan media massa adalah dakwah ‘ammah. Follow up (kelanjutan) dari dakwah ‘ammah adalah dakwah khossoh. Yakni dakwah kepada orang-orang terbatas yang ingin bersungguhsungguh mengamalkan Islam. Hubungan antara da’i dan mad’u berlangsung intensif pada dakwah khossoh. Umumnya, mad’u pada dakwah tahapan khusus ini dikumpulkan dalam kelompok-kelompok kecil berjumlah 3-12 orang yang disebut dengan halaqah (lingkaran). Di beberapa kalangan halaqah juga disebut dengan pengajian kelompok, mentoring, ta’lim, usroh, liqo’, dan lain-lain. Di dalam halaqah inilah murabbi (pembina) berada.
Pengertian Murabbi
Murabbi adalah seorang da’i yang membina mad’u dalam halaqah. Ia bertindak sebagai qiyadah (pemimpin), ustadz (guru), walid (orang tua), dan shohabah (sahabat) bagi mad’unya. Peran yang multifungi itu menyebabkan seorang murabbi perlu memiliki berbagai keterampilan, antara lain keterampilan memimpin, mengajar, membimbing, dan bergaul. Biasanya, keterampilan tersebut akan berkembang sesuai dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman seseorang sebagai murabbi.
Peran murabbi berbeda dengan peran ustadz, muballigh atau penceramah pada tataran dakwah ‘ammah. Jika peran muballigh titik tekannya pada penyampaian materimateri Islam secara menarik dan menyentuh hati, maka murabbi memiliki peran yang lebih kompleks daripada muballigh. Murabbi perlu melakukan hubungan yang intensif dengan mad’unya. Ia perlu mengenal “luar dalam” mad’unya melalui hubungan yang dekat dan akrab. Ia juga memiliki tanggung jawab untuk membantu permasalahan mad’unya sekaligus bertindak sebagai pembina mental, spritual, dan (bahkan) jasmani mad’unya. Peran ini relatif tidak ada pada diri seorang muballigh. Karena itulah, mencetak murabbi sukses lebih sulit daripada mencetak muballigh sukses.
Dalam skala makro, keberadaan murabbi sangat penting bagi keberlangsungan perjuangan Islam. Dari tangan murabbilah lahir kader-kader dakwah yang tangguh dan handal memperjuangkan Islam. Jika dari tangan muballigh lahir orang-orang yang “melek’ terhadap pentingnya Islam dalam kehidupan, maka murabbi melajutkan kondisi “melek” tersebut menjadi kondisi terlibat dan terikat dalam perjuangan Islam. Urgensi murabbi dalam perjuangan Islam bukan hanya retorika belaka, tapi sudah dibuktikan dalam sejarah panjang umat Islam. Dimulai oleh Nabi Muhammad saw sendiri ketika beliau menjadi murabbi bagi para sahabatnya. Kemudian dilanjutkan dengan para ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (terbelakang), sampai akhirnya dipraktekkan oleh berbagai harakah (gerakan) Islam di seluruh belahan dunia hingga saat ini. Tongkat esatafeta perjuangan Islam tersebut dilakukan oleh para murabbi yang sukses membina kaderkader dakwah yang tangguh.
Pada intinya, umat Islam tak mungkin mencapai cita-citanya jika dari tubuh umat Islam itu sendiri belum lahir sebanyak-banyaknya murabbi handal yang ikhlas mengajak umat untuk memperjuangkan Islam.
Keutamaan Murabbi
Mengingat begitu pentingnya peran murabbi dalam keberlangsungan eksistensi umat dan dakwah, sudah seharusnya kita memiliki keseriusan untuk mencetak murabbi-murabbi sukses. Namun ternyata mencetak murabbi sukses bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai kendala yang menghadang. Kendala tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga bagian.
1. Kendala kemauan
Yakni kendala berupa belum munculnya kesadaran dan motivasi yang tinggi dari sebagian kita untuk menjadi murabbi. Mungkin disebabkan belum tahu pentingnya murabbi, belum percaya diri untuk menjadi murabbi, atau karena tidak menganggap prestisius peran murabbi dalam masyarakat.
2. Kendala kemampuan
Yakni kendala berupa minimnya pengetahuan dan pengalaman menjadi murabbi. Memang, menjadi murabbi membutuhkan berbagai kemampuan yang perlu terus ditingkatkan. Beberapa kemampuan yang perlu dimiliki, misalnya pengetahuan agama, dakwah, pendidikan, organisasi, manajemen, psikologi, dan lain-lain. Kemampuan ini masih terbatas dimiliki oleh kebanyakan umat.
3. Kendala kesempatan
Yakni kendala ketiadaan waktu dan kesempatan untuk menjadi murabbi. Kehidupan dunia yang penuh godaan materi ini membuat orang terlena untuk mengejarnya, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang strategis. Termasuk di dalamnya tak punya waktu untuk serius menjadi murabbi. Padahal keberlangsungan eksistensi umat sangat tergantung pada keberadaan murabbi-murabbi handal.
Mestinya, berbagai kendala tersebut dapat diatasi dengan kekuatan iman dan taqwa kepada Allah swt. Tanpa kekuatan iman dan taqwa, obsesi menjadi murabbi sukses menjadi musykil dilakukan. Selain dengan iman dan taqwa, untuk mengatasi berbagai kendala itu kita juga perlu menyadari beberapa keutamaan menjadi murabbi, diantaranya :
1. Melaksanakan kewajiban syar’i.
Halaqah tidak akan berjalan efektif tanpa adanya dua pihak, pembina (murabbi) dan peserta (mad’u). Karena itu, menjadi murabbi dan mad’u menjadi wajib juga. Allah berfirman : “..Hendaklah kamu menjadi orang-orang robbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (QS. 3 :79). Pada ayat tersebut, Allah menyuruh setiap muslim menjadi murabbi (mengajarkan Al Kitab) dan menjadi mad’u (mempelajari Al Kitab). Tidak boleh hanya mau menjadi mad’u saja, tapi tidak mau menjadi murabbi. Jadi kesimpulannya, setiap muslim wajib mengupayakan dirinya untuk menjadi murabbi.
2. Menjalankan sunnah rasul.
Rasulullah saw telah membina sahabat-sahabatnya dalam majelis zikir atau halaqah. Rasulullah membina halaqah selama hidupnya, baik ketika di Mekah (contohnya di Darul Arqom) maupun di Madinah (contohnya majelis ta’lim di Masjid Nabawi). Jadi, menjadi murabbi berarti melaksanakan sunnah rasul (kebiasaan Rasulullah saw). “Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan hikmah (Sunnah Rasul), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. 2 : 151).
3. Mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
Barangsiapa yang mengajarkan Islam kepada orang lain maka ia akan mendapatkan pahala. Semakin efektif sarana pengajarannya, semakin berlipat ganda pahala yang akan didapatkan. Halaqah adalah sarana yang paling efektif untuk mengajar Islam. Karena itu, menjadi murabbi akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.
4. Mencetak pribadi-pribadi unggul
Nabi Muhammad saw adalah murabbi yang telah berhasil mencetak generasi terbaik sepanjang masa. Oleh sebab itu, menjadi murabbi berarti turut membina pribadi-pribadi unggul harapan umat dan bangsa. Sangat aneh jika seorang muslim tidak mau menjadi murabbi padahal ia sebenarnya sedang melakukan tugas yang besar dan penting bagi masa depan umat dan bangsa.
5. Belajar berbagai keterampilan
Dengan membina, seorang murabbi akan belajar tentang berbagai hal. Misalnya, ia akan belajar tentang bagaimana cara meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, bergaul, mengemukakan pendapat, mempengaruhi orang lain, merencanakan sesuatu, menilai orang lain, mengatur waktu, mengkreasikan sesuatu, mendengar pendapat orang lain, mempercayai orang lain, dan lain sebagainya. Pembelajaran tersebut belum tentu didapatkan di sekolah formal.
Padahal manfaatnya begitu besar, bukan hanya akan meningkatkan kualitas pembinaan selanjutnya, tapi juga bermanfaat untuk kesuksesan hidup seseorang.
6. Meningkatkan iman dan taqwa.
Dengan menjadi murabbi, seseorang akan dapat meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Secara psikologis, orang yang mengajarkan orang lain akan merasa seperti menasehati dirinya sendiri. Ia akan berupaya meningkatkan iman dan taqwanya kepada Allah seperti yang ia ajarkan kepada orang lain. Dampaknya, hidupnya akan menjadi tenang karena dekat dengan Allah dan terhindar dari kemaksiatan.
7. Merasakan manisnya ukhuwah
Untuk mencapai sasaran-sasaran halaqah, murabbi dituntut mampu bekerjasama dengan peserta halaqah. Kerjasama tersebut akan berbuah pada manisnya ukhuwah Islamiyah di antara murabbi dan mad’u. Betapa banyak orang Islam yang tidak dapat merasakan manisnya ukhuwah. Namun dengan menjadi murabbi, seorang muslim akan berpeluang untuk merasakan manisnya ukhuwah.
Dengan mengetahui berbagai keutamaan murabbi tersebut, tak alasan lagi bagi kita untuk mengelak menjadi murabbi. Kita harus berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan diri kita sebagai murabbi yang sukses membina mad’u. Inilah pekerjaan besar yang masih banyak “lowongannya”. Inilah tugas besar yang menanti kita untuk meresponnya.
Syarat Murabbi
Lalu siapa saja yang boleh menjadi murabbi? Sebenarnya setiap orang Islam boleh dan berhak menjadi murabbi. Tidak ada alasan untuk melarang seseorang menjadi murabbi. Sebab menjadi murabbi adalah bagian dari pekerjaan dakwah. Dan dakwah merupakan kewajiban setiap muslim. Jadi setiap muslim boleh saja menjadi murabbi sebagai salah satu pelaksanaan kewajiban dakwahnya.
Namun agar murabbi tidak mengalami kesulitan dalam membina mad’unya, ia perlu memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
- Memiliki pengetahuan tentang Islam sebagai minhajul hayah (metode hidup), khususnya menguasai kurikulum halaqah (yang biasanya dibuat oleh jama’ah).
- Mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf Arab, meskipun tingkat dasar.
- Tidak terbata-bata dalam membaca Al Qur’an.
- Mempunyai kemampuan mengorganisir.
- Mempunyai kemampuan merespon dan menyelesaikan masalah.
- Mempunyai kemampuan menyampaikan ide dan pengetahuannya kepada orang lain.
- Berusaha menghiasi dirinya dengan akhlaq Islami, khususnya akhlaq sebagai seorang murabbi.
Tugas dan Hak Murabbi
Sebagai pemimpin dalam halaqah, murabbi perlu memahami tugas-tugasnya. Tugas murabbi adalah:
- Memimpin pertemuan.
- Mengambil keputusan dalam syuro’ halaqah.
- Menasehati dan mengupayakan pemecahan masalah mad’u.
- Mempertimbangkan berbagai usulan dan kritik mad’u.
- Mengawasi dan mengkoordinir penghimpunan dan penyaluran infaq.
- Menghidupkan suasana ruhiyah, fikriyah dan da’wiyah dalam halaqah.
- Membangun kinerja halaqah yang solid, sehat, dinamis, produktif dan penuh ukhuwah.
- Memahami dan menguasai kondisi mad’u serta meningkatkan potensi mereka.
- Meneruskan dan mensosialisasi informasi dan kebijakan jama’ah.
- Mengupayakan terealisirnya berbagai program halaqah dan jama’ah dalam lingkup halaqah.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, murabbi mempunyai hak untuk :
- Didengar dan ditaati.
- Dimintai pendapat.
- Dihargai dan dihormati.
- Mengajukan permintaan bantuan untuk melaksanakan tugas.
- Memutuskan kebijakan.
- Membentuk kepengurusan halaqah.
Tujuan dan Sasaran Halaqah
Semua tugas dan hak murabbi tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan halaqah, yakni membentuk pribadi Islami dan da’iyah (Syakhsiyah Islamiyah wad da’iyah).
Tujuan tersebut dijabarkan dalam empat sasaran halaqah, yaitu :
1. Tercapainya 10 muwashafat (sifat-sifat) tarbiyah
- Aqidah yang bersih (salimul aqidah)
- Ibadah yang benar (shahihul ibadah)
- Akhlaq yang kokoh (matinul khuluq)
- Penghasilan yang baik dan cukup (qadirul ‘alal kasbi)
- Pikiran yang berwawasan (mutsafaqul fikr)
- Tubuh yang kuat (qawiyul jism)
- Mampu memerangi hawa nafsu (mujahidu linafsihi)
- Mampu mengatur segala urusan (munazham fi syu’unihi)
- Mampu memelihara waktu (haritsun ‘ala waqtihi)j.
- Bermanfaat bagi orang lain (nafi’un lighairihi)
2. Tercapainya ukhuwah Islamiyah
3. Tercapainya produktifitas dakwah (berupa tumbuhnya da’i dan murabbi baru)
3. Tercapainya pengembangan potensi mad’u
Alasan Sistematika Penulisan
Di dalam buku ini, kami menguraikan 114 tips (kiat) menjadi murabbi sukses. Tips sebanyak 114 ini sebenarnya dapat dikurangi atau ditambahkan lagi, tapi kami sengaja membatasinya menjadi 114 tips agar sama dengan jumlah surah dalam Al Qur’an. Kami berharap dengan kesamaan jumlah ini Anda lebih mudah mengingatnya. Kami juga berharap agar kesamaan jumlah 114 ini, ruh Al Qur’an dapat “berpindah” kepada Anda, para pembaca, khususnya kepada mereka yang ingin menjadi murabbi sukses. Kami berharap semoga amal mereka selalu diiringi dengan semangat Al Qur’an.
Kami juga membagi buku ini dalam 10 bagian, yakni :
Bagian I : Tips Persiapan
Bagian II : Tips Meningkatkan Kredibilitas dan Wibawa
Bagian III : Tips Menarik Simpati Mad’u
Bagian IV : Tips Memahami Mad’u
Bagian VI : Tips Meningkatkan Disiplin
Bagian VII : Tips Memberikan Tugas
Bagian VIII : Tips Meningkatkan Ruhiyah
Bagian IX : Tips Mendinamiskan Sistem Halaqah
Bagian X : Tips Lain-Lain
Pembagian tersebut untuk memberikan kesempatan kepada Anda melakukan jeda (istirahat) ketika membaca buku ini. Selain itu, untuk mempermudah Anda mencari tips tertentu yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Namun jika pembaca memperhatikan, sebenarnya pembagian tersebut kurang tepat untuk beberapa tips. Ada beberapa tips yang mungkin cocok dimasukkan dalam beberapa bagian. Mungkin juga ada beberapa tips yang menurut Anda kurang pas ditempatkan pada bagian tertentu. Hal ini dapat kami maklumi. Yang penting bagi kami, pesan kami dapat sampai kepada Anda, tanpa terlalu mempersoalkan di bagian mana sebaiknya tips tersebut ditempatkan.
Di setiap tips, kami juga menyampaikan dalil Al Qur’an dan Hadits atau kata-kata bijak dari beberapa ulama dan tokoh dakwah. Tujuannya agar Anda mendapatkan nuansa yang lebih luas dari tips yang kami sampaikan. Mudah-mudahan hal tersebut bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan keyakinan kita tentang pentingnya penggunaan tips tersebut dalam mengelola halaqah.
Kami juga memohon maaf jika dalam sumbangan kecil kami ini masih ada hal-hal yang kurang berkenan. Kami tidak mengklaim bahwa apa yang kami sampaikan ini merupakan satu-satunya cara yang harus digunakan untuk menjadi murabbi sukses.
Mungkin, para murabbi lain mempunyai tips berbeda yang juga berhasil mengantarkan mad’u-mad’unya menjadi kader dakwah yang iltizam (komitmen) kepada Islam.
Akhirul kalam, kami kembalikan semuanya kepada Allah SWT. Kami memohon taufik dan pertolongan Allah. Sesungguhnya Dia mampu berbuat apa saja yang dikehendakinya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-12 Kesalahan
Sebagai manusia, setiap pahlawan pasti pernah dan akan selalu pernah melakukan kesalahan. Dalam diri mereka, bukan cuma ada nalar dan nurani, tetapi juga ada naluri. Dalam diri mereka, tidak hanya ada akal dan iman, namun juga ada syahwat. Mereka bukan hanya memiliki kekuatan, namun juga kelemahan. Mereka tidak menjadi malaikat manakala mereka menjadi pahlawan; mereka hanya menjadi sempurna secara relatif sebagai manusia.
Laiknya sebuah karya, demikian pula kesalahan: ada yang besar dan ada juga yang kecil. Para pahlawan sejati itu pasti pernah melakukan kesalahan, entah besar entah kecil. Namun, seseorang sampai disebut pahlawan karena kebaikannya lebih besar daripada kesalahannya; karena kekuatannya lebih menonjol daripada kelemahannya. Maka, kesalahan-kesalahan yang diiakukan oleh para pahlawan itu biasanya lebih banyak yang kecil, dan tidak sering terulang, serta umumnya tidak disengaja, kecuali kalau itu menjadi sumber kelemahannya.
Sebenarnya, kuantitas kesalahan tidaklah sepenting katagori kesalahan. Yang terakhir inilah sebenarnya yang menentukan peluang kepahlawanan seseorang. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan para pahlawan umumnya tidak secara langsung menunjukkan karakter yang buruk, tetapi lebih banyak pada tingkat kematangan dalam profesi atau kepribadian yang dibentuk oleh ilmu pengetahuan, pendidikan, pengalaman, dan kesiapan dasarnya sebagai pahlawan.
Kesalahan-kesalahan itu biasanya lebih terkait pada masalah strategi dan leknis. Kendati demikian, kedua jenis kesalahan itu—kepribadian atau profesi, tidak boleh bersifat fatal. Adapun ukuran kesalahan fatal itu adalah habisnya peluang untuk memperbaikinya. Misalnya. kesalahan falal yang diiakukan oleh seorang politisi pada akhir karirnya sebagai politisi, Begitu pula tatkala seorang pebisnis, di usia senjanya, melakukan kesalahan fatal yang menghabiskan aset bisnisnya. Akan tetapi, kesalahan ijtihad yang diiakukan oleh seorang ulama, mungkin tidak akan mematikan namanya sebagai ulama.
Andaikata ia melakukan kesalahan akhiak, mungkin hal itu lebih efektif mematikan peluangnya sebagai ulama.
Selain itu, ada pula masalah efek kesalahan: kepada pribadi atau kepada publik? Para pahlawan akan menutup peluang kepahlawanannya manakala ia melakukan kesatahan yang berefek kepada publik. Sebab, salah satu ukuran kepahlawanan adalah manfaat publik yang diberikan oleh pahlawan tersebut. Ketika Khalid bin Walid menikahi janda Malik bin Nuwairah, Umar bin Khathab meminta Abu Bakar untuk memecat Khalid. Malik bin Nuwairah yang mengaku Nabi itu tewas dibunuh Khalid pada Perang Riddah. Umar beralasan, Malik bin Nuwairah telah mengucapkan syahadat, namun Khalid tetap membunuhnya, kemudian malah menikahi jandanya.
Meski demikian, Abu Bakar tidak mengabulkannya. Entah karena Abu Bakar membenarkan ijtihad Khalid yang menganggap syahadat itu hanya karena terdesak, atau karena alasan lain. Yang pasti, seperti yang terlihat, efek kesalahan itu—jika itu bisa disebut kesalahan—tidak sampai kepada publik.
Di balik itu semua, yang jauh lebih penting dalam perspektif Islam adalah semangat bertaubat secara konstan. Sebab, taubat hakikatnya adalah proses perbaikan diri secara berkelanjutan. Dengan taubat itulah, seorang pahlawan mukmin sejati mengubah setiap kesalahan menjadi pelajaran mahal bagi kelanjutan langkah-langkah kepahlawanannya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-12 Pengantar Kebebasan Wanita (3)
Beliau (Prof. Abdul Halim Abu Syuqqah) tumbuh dan berkembang dalam gerakan Ikhwanul Muslimin sejak usia remaja serta dekat dengan pendiri dan pembina pertamanya, Imam Hasan Al Banna. Beliau menyatu dengan aturan khusus Ikhwanul Muslimin yang pada saat itu menghimpun pemuda-pemuda pilihan serta pernah masuk penjara karena terlibat di dalam salah satu kasus Ikhwanul Muslimin. Melalui hubungan tersebut beliau berhasil memetik berbagai pengalaman. Dakwah sangat berpengaruh terhadap pola berpikir, kecenderungan, dan tindak tanduknya. Setelah matang dan mapan, beliau membuat catatan-catatan yang jeli dan kritis terhadap apa yang telah beliau alami, tidak takut atau bakhil menyebutkan dan menjelaskannya, apalagi mengenai aturan khusus Ikhwanul Muslimin serta perkembangannya.
Sejak edisi pertama majalah Al Muslim Al Mu’ashir –dalam kelahiran majalah ini, peran dan jasa beliau sangat besar, bahkan beliaulah yang memiliki ide dan menghimbau untuk menerbitkannya– telah kita lihat pembicaraan beliau yang sangat menarik dan berani mengenai krisis pemikiran muslim modern. Melalui hal itu terungkaplah kemampuan beliau dalam menyelami, menganalisis, dan mengkritik, sekaligus juga tentang kedalaman pemahaman beliau terhadap agama dan kehidupan serta keberanian dalam menentang apa yang beliau yakini salah, meskipun akhirnya beliau dikenal orang sebagai seorang tokoh yang kontroversial.
Pada edisi berikutnya beliau menurunkan tulisan mengenai krisis akhlak muslim modern . Kedua tulisan tersebut membuktikan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki kejelian berpikir, kecermelangan pemikiran, dan jiwa yang kritis. Beliau hidup pada zamannya sekaligus mengenal seluk beluknya dan menghadapinya dengan hati seorang mukmin, pemikiran seorang peneliti, dan kemauan seorang reformis, jauh dari asal bunyi dan taklid buta.
Orang yang membaca tulisan beliau boleh saja tidak sependapat dengannya. Saya sendiri pernah menentang pendapat beliau dalam edisi lanjutan majalah tersebut. Namun demikian, Anda pasti tetap salut dan hormat pada pemikiran dan keikhlasannya.
Buku ini berjalan ke arah memberi kemudahan serta menghilangkan kesulitan dan beban dari pundak wanita muslimah. Bagaimanapun, trend yang melanda umat Islam selama berabad-abad cenderung menunjukkan sikap keras, kaku, dan berburuk sangka terhadap wanita. Tampaknya, sikap keras tersebut terjadi karena dua hal. Pertama, karena ketidaktahuan orang mengenai nash-nash syariat yang mengandung dalil tentang kemudahan dan menentang sikap mempersulit, khususnya nash-nash Sunnah Nabi saw. yang sahih. Sementara, nash-nash Al Qur’an sudah dimaklumi oleh semua orang dan sunnah-sunnah hanya tampil dalam beberapa kitab saja. Sedangkan di dalam berbagai dawawin (buku-buku besar) yang menghimpun berbagai hadits, sanad, dan bagian-bagiannya, hal-hal seperti itu terlupakan. Orang sibuk membaca kitab-kitab mazhab fiqih saja sehingga tidak sempat lagi menggali kitab-kitab besar yang sarat dengan sunnah. Akibatnya, banyak Anda lihat kaum muslimin tidak mempedulikan hadits-hadits sahih; mereka hanya mengambil dalil dari hadits-hadits dha’if atau maudhu’.
Kedua, tidak memahami dengan baik nash-nash yang sudah mereka ketahui, misalnya dengan meletakkan tidak pada tempatnya, ceroboh dalam meng-istinbath hukum darinya, mengartikannya secara kasar, memisahkannya dari sababulwurud (sebab muncul)-nya satu hadits, memisahkannya dari pembicaraan sebelumnya atau dengan konteks pembicaraan, serta mengucilkannya dari hukum-hukum Islam yang lazim dan tujuannya yang menyeluruh sehingga tidak ada kesinkronan antara satu dengan yang lainnya.
Mengenai masalah ini cukup banyak contoh. Dalam hal ini, kita tidak memiliki lahan yang cukup luas untuk menyebutkannya satu persatu. Penulis buku kita ini jeli sekali melihat kedua faktor tadi untuk kemudian beliau mencurahkan perhatian sepenuhnya pada kedua masalah berikut. Pertama, mencari nash-nash yang muhkamat, khususnya dari hadits-hadits Nabi saw. Kemudian mengumpulkan nash-nash yang mencerminkan roh Islam ini dan sikapnya terhadap kaum wanita. Jumlah nash-nash tersebut sangat banyak dan dilengkapi dengan keterangan yang jelas. Anda dapat membaca topik-topik pembahasan dan bagian-bagian yang menghimpun hadits-hadits yang banyak sekali. Anda akan merasakan betapa banyak dan jelasnya maksud nash-nash tersebut. Dalam hal ini, dapat saya sebutkan kepada para pembaca beberapa tema dari buku ini sebagai contoh tentang kekuatan pribadi muslimah dan kesadarannya pada tanggung jawab:
Pola dan langkah-langkah awal yang dilakukan dalam penyusunan buku ini adalah membaca sebanyak mungkin buku-buku Sunnah sebab di dalamnya terdapat banyak sekali khazanah ilmiah yang tidak patut diabaikan. Beliau membacanya dengan tekun dan menyelidikinya secermat mungkin sehingga beliau berhasil mengumpulkan nash yang banyak sekali jumlahnya. Akan tetapi, dalam tahap ini, kepada pembaca beliau memutuskan untuk menyuguhkan khazanah yang diambil dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim saja. Sekarang beliau mempersembahkan kepada kita mutiara-mutiara Nabawi berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) Nabi saw.
Pada bagian tertentu, beliau seringkali menyuguhkan nash-nash tersebut tanpa mengomentarinya karena nash-nash itu berbicara sendiri untuk menyampaikan maksud kepada manusia yang satu sama lainnya saling menjelaskan. Akan tetapi, jika beliau mengomentari nash tersebut dengan menarik kesimpulan, menerangkan, menguatkan, atau menerapkannya dalam realita kehidupan, maka beliau menampakkan keluasan wawasan dalam menyampaikan apa yang beliau inginkan.
Untuk pembaca budiman, dalam hal ini, cukup saya tunjukkan satu contoh tentang komentar penulis untuk dibaca dengan tenang dan teliti bab penutup yang sarat dengan kandungan nash mengenai keterlibatan wanita bersama kaum laki-laki dalam kehidupan sosial. Beliau berbicara mengenai gejala-gejala sosial baru yang memaksa terjadinya pertemuan wanita dengan laki-laki pada masa sekarang ini. Masalah-masalah tersebut dibicarakan oleh seseorang yang berpengalaman dan memahami kondisi zaman serta perubahan masyarakatnya. Dapat saya katakan bahwa orang yang tidak memahami gejala-gejala sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat kita, tidak mungkin memiliki kesimpulan yang benar mengenai kasus-kasus wanita, meskipun dia hapal di luar kepala berbagai macam nash. Kata Imam Ibnul Qayyim –semoga Allah mencurahkan rahmat kepadanya– seorang ahlu fiqih haruslah mampu mengawinkan kewajiban dengan kenyataan.
Adapun masalah kedua yang mendapat perhatian dari penulis adalah menjawab pemahaman-pemahaman keliru yang menyebabkan nash melenceng dari jalurnya, baik secara sengaja ataupun tidak. Kemudian, beliau menarik kesimpulan/hukum yang benar dari nash tersebut, misalnya pendapat beliau mengenai firman Allah yang berbunyi: “Dan hendaklah kamu (perempuan) tetap di rumahmu” dan hadits yang menggambarkan wanita sebagai makhluk yang kurang akal dan agama.
Pada dasarnya, ayat di atas beserta ayat yang sebelum dan sesudahnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Perintah untuk tetap di rumah hanya diperuntukkan bagi istri-istri Nabi saw., diperkuat dengan dalil yang bahwa Umar ibnul Khattab terus melarang mereka pergi haji, dan baru diizinkan pergi haji ketika Umar menunaikan hajinya yang terakhir.
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Firman Allah tentang hendaknya kamu (perempuan) tetap di rumahmu, sebenarnya ditujukan kepada istri-istri Nabi saw.” Pada bagian lain Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Aisyah dan orang-orang yang sependapat dengannya memahami targhib (dorongan) untuk melaksanakan haji yang terdapat dalam sabda Nabi saw.: ‘Jihad yang paling baik dan paling indah bagi kalian adalah menunaikan haji.’ Dengan demikian, diperbolehkan menunaikan haji berulangkali, dan hadits ini mengkhususkan keumuman sabda Nabi saw. yang berbunyi: ‘Ini, dan munculnya hambatan.’ Pada ayat: ‘Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu,’ itu pada mulanya, seolah-olah Umar mengambil sikap tawaqquf (berdiam diri). Namun, kemudian setelah mengetahui kekuatan dasar/alasan Aisyah, akhirnya Umar mengizinkan mereka (istri-istri Nabi saw.) melaksanakan haji pada akhir masa pemerintahan beliau. “
Jika kita katakan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada semua wanita muslimah, coba kita perhatikan nash-nash Sunnah –yang berfungsi menjelaskan Al Qur’an– agar kita dapat melihat bagaimana wanita-wanita kaum muslimin pada zaman Nabi saw. menerapkan perintah untuk tetap tinggal di rumah. Mengapa perintah ini tidak menghalangi mereka keluar rumah untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial? Kami telah menyebutkan ratusan nash yang bersumber dari kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Nash-nash tersebut menegaskan keterlibatan wanita dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam menjelaskan hadits, penulis berkata: “Dari Abu Sa’id Al Khudri, dia berkata bahwa pada hari raya Fitri atau Adha Rasulullah saw. pergi ke lapangan yang dikhususkan sebagai tempat penyelenggaraan shalat ‘id, lalu beliau melewati jamaah wanita dan bersabda: ‘Wahai kaum wanita, aku tidak melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian'” (HR Muslim)
Kita dapat menguraikan hadits di atas dari tiga sisi. Akan tetapi, di sini kami hanya membahas sisi yang pertama. Hadits Nabi saw. di atas masih memerlukan kajian dan penelitian, baik dari segi momentum dikeluarkannya hadits tersebut atau dari segi kepada siapa hadits tersebut ditujukan maupun dari segi bentuk dan susunan katanya. Hal itu perlu sekali dilakukan guna mengetahui relevansinya dengan karakteristik wanita. Dari segi momentum, hadits di atas disampaikan ketika Nabi saw. memberikan saran dan nasihat kepada kaum wanita setelah shalat hari raya. Mungkinkah Rasulullah saw. sebagai seorang yang berakhlak mulia memejamkan mata ketika menghadapi persoalan wanita, kemudian menjatuhkan martabat mereka dan merendahkan nilai kepribadian mereka pada saat yang penuh dengan suka cita itu? Dari segi kepada siapa hadits itu ditujukan, sudah jelas. Mereka adalah jamaah wanita kota Madinah yang mayoritas kaum Anshar. Mereka digambarkan oleh Umar dalam ucapannya sebagai berikut: “Tatkala kami sampai di Madinah, kami temukan bahwa kaum yang lebih dominan adalah kaum wanitanya. Lalu wanita-wanita kami meniru adab dan perilaku orang-orang Anshar.” Hal itu menjelaskan mengapa Rasulullah saw. mengatakan: “… Aku tidak pernah melihat orang-orang yang kurang akal dan agama mampu melumpuhkan hati seorang laki-laki yang tegas melebihi salah seorang dari kalian?”
Dari segi bentuk dan susunan nash, kata-kata di dalam hadits tersebut tidak berbentuk taqriri (ketetapan) kaidah umum atau hukum umum, tetapi lebih bersifat ungkapan rasa kagum Rasulullah saw. terhadap kontradiksi yang terjadi, yaitu mengenai lebih dominannya kaum wanita –padahal mereka adalah makhluk yang lemah– atas kaum laki-laki yang memiliki sikap tegas. Artinya, kekaguman Rasulullah saw. terhadap hikmah/kebijaksanaan Allah SWT adalah karena Allah meletakkan kekuatan di tempat yang kita duga lemah dan dia memperlihatkan kelemahan di tempat yang kita duga kuat! Karena itu kita patut bertanya, bukankah kata-kata hadits yang terdapat dalam nasihat Nabi saw. itu mengandung sentuhan atau sindiran halus terhadap kaum wanita? Bukankah itu merupakan permulaan yang apik pada satu bagian dari bagian-bagian nasihat Nabi saw.? Seolah-olah beliau ingin mengatakan: “Wahai kaum wanita, kalau kalian diberi kekuatan oleh Allah untuk melumpuhkan hati kaum laki-laki yang bersifat tegas, meskipun kalian lemah, maka takutlah kepada Allah, dan jangan kalian pergunakan kekuatan kalian itu kecuali untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat.”
Demikianlah permasalahannya, dan kalimat “yang kurang akal dan agama” disampaikan hanya satu kali dengan tujuan menarik perhatian sekaligus merupakan pendahuluan yang apik-dan halus dalam menyampaikan nasihat, khususnya terhadap kaum wanita. Artinya, hal itu tidak pernah disampaikan secara khusus dalam bentuk taqriri, baik di hadapan kaum wanita maupun kaum laki-laki.
Penulis berupaya mendiskusikan beberapa masalah fundamental dan sangat penting yang ada kaitannya dengan topik di atas. Masalah-masalah tersebut sering dipakai oleh banyak ulama untuk mempersempit ruang gerak wanita. Tentu saja, hal itu berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Nabi saw., diantaranya, seperti dalam masalah saddudz dzari’ah (pencegahan sebelum terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan).
Sebagai penutup, saya katakan bahwa buku yang berisikan nash-nash yang kuat, pendapat-pendapat yang benar, bukti-bukti yang hidup, pemahaman yang cemerlang, dan ulasan-ulasan yang padat telah menambah khazanah kepustakaan Islam, di samping bobot dan orisinilitas yang terkandung di dalamnya.
Pada beberapa bagian buku ini mungkin terdapat hal-hal yang berbeda dengan pendapat sebagian orang akibat pengaruh budaya dan lingkungan. Hal itu sesuai dengan ketentuan sunnatullah terhadap manusia. Namun demikian, semangat dan esensi buku ini dalam menjelaskan sikap Islam terhadap wanita berdasarkan nash-nash yang muhkamat dan petunjuk umum pada masa kenabian tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Saya berdoa kepada Allah semoga para pembaca buku ini dapat memetik manfaat darinya, sementara penulisnya diberi ganjaran yang setimpal atas jasa, jerih payah, dan tenaga yang telah dikorbankan selama bertahun-tahun demi terwujudnya buku ini. Semoga Allah menunjuki kita semua jalan yang benar!
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-13 Misi Peradaban dalam Terminologi
Terdapat ungkapan yang beredar di kalangan kaum terpelajar dan di dalam berbagai tulisan para ilmuwan bahwa:
“Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”
Maksud ungkapan ini adalah bahwa bagi peneliti, penulis atau cendikiawan boleh menggunakan terminologi apa saja tanpa memandang lingkungan kebudayaan, kerangka berpikir, epistimologi, filsafat atau ideologi yang melahirkan dan menimbulkan terminologi-terminologi ini. Karena terminologi dan kata menunjuk pada pengertian terminologis bagi setiap peradaban yaitu warisan bagi setiap peradaban, semua macam disiplin ilmu, dan semua masyarakat.
Ungkapan ini sepenuhnya benar, tetapi memerlukan pelurusan pengertian agar tidak menjadi rancu atau bahkan memperdaya sebagaimana yang terjadi sekarang di dunia pemikiran akibat membiarkannya tanpa meluruskan dan memberi batasan makna secara definitif.
Jika dicermati bahwa peran terminologi berfungsi sebagai “wadah” yang diisi dengan “muatan” tertentu, atau sebagai “alat” yang membawa misi makna maka akan ditemukan keabsahan banyak terminologi atau ungkapan-ungkapan idiomatik untuk menyampaikan peran sebagai “wadah” dan “alat” sepanjang perjalanan semua peradaban yang berbeda-beda, dan interaksi pemikiran-pemikiran yang berlainan, ideologi dan aliran yang bermacam-macam. Di sini kita akan melihat kebenaran makna mendalam dan tepat untuk ungkapan: “Pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.” Sedangkan apabila sebuah kata dan terminologi dilihat dari sudut “kandungan” yang dimuatkan dalam “wadah”-nya dan sebagai “tugas pengemas gagasan” yang dibawa oleh “alat-alat” atau “terminologi-terminologi” itu maka akan dihadapkan pada tuntutan mendesak untuk meluruskan ungkapan ini, memberi batasan-batasan kemutlakannya, memagari wilayah keabsahan yang berlaku bagi kandungan pengertian ungkapan-ungkapan tersebut.
Di sini, disadari bahwa ketika meneliti dan mendalami berbagai terminologi, seringkali dihadapkan pada “wadah-wadah” umum dan “alat-alat” bersama antar peradaban, paradigma, ideologi, dan aliran, dan pada saat yang sama juga berhadapan dengan “kandungan” khusus, dan “fungsi-fungsi” tertentu yang berbeda satu sama lainnya. “Wadah-wadah” umum dan “alat-alat” milik bersama ini berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lainnya; atau pemikiran dengan pemkiran lainnya; atau aliran, ideologi, sistem sosial, sistem agama yang satu dengan yang lainnya, khususnya yang memiliki karakter khusus yang berbeda.
Contoh pertama, umpamanya dalam bidang terminologi perundang-undangan hukum, di sana terdapat terminologi syari’ (legislator) untuk orang yang membuat undang-undang, baik individu maupun kelompok atau lembaga. Jadi terminologi syari’ digunakan untuk legislator yang meletakkan undang-undang atau dewan perwakilan yang mewakili kekuasaan rakyat
dalam pembuatan undang undang, yaitu dewan legislatif (legislative assembly) yang meletakkan perundang-undangan. Di sini penggunaan terminologi syari’, legislator dan legislative assembly, semuanya adalah untuk manusia baik individu maupun kolektif dalam bentuk dewan atau lembaga. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: Apakah terminologi-terminologi ini dapat berlaku umum, jika terminologi dipandang sekedar beperan sebagai “wadah” tanpa pertimbangan isi kandungan? Tentu disana terdapat pengertian khusus dari terminologi ini sesuai dengan kebudayaan dan ideologi, atau kebudayaan masyarakat tertentu, sebab ia berperan sebagai alat penyampai kandungan pengertian makna.
Orang yang mewarisi peradaban Barat sekuler tidak mempercayai adanya undang-undang Tuhan (Divine Law) yang mengatur bidang sipil, sosial, ekonomi, dan politik bagi negara dan komunitas manusia serta peradaban umat manusia, tetapi mempercayai bahwa manusia, baik individu maupun kolektif adalah sumber satu-satunya bagi hukum perundang-undangan. Maka manusia didefinisikan sebagai syari’ atau legislator (pembuat hukum dan undang-undang), baik dalam kerangka dasar-dasar hukum yaitu prinsip-prinsip hukum alamiah sebagaimana yang dikenal dalam peradaban Barat atau dalam kerangka cabang-cabang turunan hukum perundang-undangannya. Maka terminologi syari’ (legislator) dalam pengertian ini secara wajar dapat diterima dalam kerangka peradaban Barat, yang mempercayai hanya manusia adalah sumber pembuat undang-undang. Sebab filsafat yang berkembang dan dianut oleh Barat bersifat materialistik dan turunan peradabannya pun bersifat materialistik yang menolak otoritas Tuhan yang bersifat metafisik (non-materi). Oleh sebab itu, peran Tuhan “disingkirkan” dari urusan negara, sosial, dan peradaban.
Dikarenakan peradaban Barat ini memiliki sifat dan karakter sekuler, sekalipun semua peradaban memiliki sifat dan karakter demikian, maka ketika terminologi ini dikenakan pada peradaban lain yang berbeda sifat dasarnya akan ditemukan kekurangtepatan pengertian, sehingga dalam kasus ini tidak mungkin ungkapan “tidak boleh digugat” dikenakan pada peradaban lain.
Dalam peradaban Islam yang menampilkan aqidah Islam, mewakili ideologinya serta jalan pikiran umatnya sejak ia menjadi ruh dalam setiap peradabannya yang mencakup politik, sosial, ekonomi, negara, arsitektur, dan lain sebagainya, terminologi syari’ menunjuk pada pembuat dasar-dasar syari’ah dan mempunyai pengertian khusus, sebab prinsip-prinsip syari’ah bukan ciptaan manusia seperti halnya aturan hukum sipil yang berlaku dalam peradaban Barat, melainkan ia adalah buatan Tuhan melalui wahyu; merupakan ajaran agama yang dianut oleh manusia peradaban ini, sebagaimana firman Allah:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan oleh Allah kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada lbrahim, Musa, dan lsa yaitu: Tegakkan-lah agama dan janganlah berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya …”(Asy Syura’: 13)
Dikarenakan syari’ah Tuhan ini adalah syari’ah terakhir bagi umat manusia, maka syari’ (pembuat undang-undang) ini, yaitu Allah, memberi penjelasan prinsip-prinsip dan kaidah yang membatasi jalan yang berkaitan dengan hal-hal yang berubah dan berkembang mengenai urusan dunia disertai penjelasan elaboratif mana yang bersifat agama yang tidak berubah atau berkembang, atau mana hal-hal yang menyangkut keduniaan yang senantiasa berubah sesuai dengan perubahan zaman.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikuti-lah syari’at itu.” (Al Jatsiyah: 18)
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang …” (Al Ma’idah: 48)
Oleh sebab itu, manusia yang lahir dari kandungan peradaban Islam ini tidak dapat — ketika telah mengimani agamanya — memberi otoritas pembuatan undang-undang atau memandang disana ada syari‘ (pembuat undang-undang) selain Allah. Sedangkan upaya manusia Muslim ini dalam merekonstruksi hukum Islam dan deduksi rincian furu’iah dari prinsip-prinsip syari’ah berpijak pada acuan sesuai dengan perkembangan dan perbuahan zaman selama tidak bertentangan dengan teks-teks serta batasan-batasan yang telah ditentukan dalam prinsip-prinsip Tuhan yang merupakan wilayah fiqih muamalat. Dari sini terdapat perbedaan antara fiqih dengan syari’ah dalam peradaban lslam, dimana Allah-lah yang mempunyai posisi Syari’ (legislator) yang hakiki, bukan manusia, sedangkan manusia adalah faqih (orang yang mengkodifikasi pemahaman syari’at).
Di sini kita dihadapkan pada satu contoh bahwa fungsi ungkapan dan terminologi tidak hanya berperan sebagai “wadah kandungan makna” saja dan tidak juga sebagai pembawa “pesan” saja, melainkan pada saat yang sama juga mempunyai fungsi dalam: “ungkapan, wadah dan alat”.
Contoh kedua barangkali mendukung makna yang diyakini secara tegas oleh manusia Muslim ketika menghadapi berbagai terminologi perekonomian atau pertanian, umpamanya terhadap terminologi “penanam” (grower). Manusia peradaban Barat, yang tidak mengembalikan efek-efek materiil kecuali hanya kepada faktor-faktor materiil, baik karena sifat materialistiknya, atau ateis yang mengesampingkan peran Tuhan, atau karena metodologinya, tidak melihat dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman kecuali faktor-faktor material dan alamiah serta pengaruh manusia. Oleh sebab itu, manusia di mata peradaban Barat adalah penanam hakiki, dan tidak ada penanam selain manusia ini. Sedangkan manusia peradaban Islam yang aqidah agamanya telah menjadi ruh dalam ilmu-ilmu yang dimiliki oleh peradabannya, meyakini adanya faktor-faktor materiil yang merupakan kekuatan aktif terhadap efek dari penyebabnya, akan tetapi ia juga meyakini bahwa faktor-faktor materiil aktif ini hanya dapat berperan karena adanya pencipta faktor-faktor tersebut yaitu Allah yang berkuasa menghilangkan atau menghentikan efektifitasnya, disamping berkuasa menggantikan dengan yang lainnya, jika Dia menghendaki. Manusia Muslim ini juga meyakini bahwa perbuatan manusia mempunyai horizon terbatas dengan keterbatasan keabsahan dan kemampuannya sebagai khalifah Allah dalam tugas memakmurkan bumi. Disamping itu pelaku di balik horizon ini — yaitu horizon khilafah manusia — adalah Yang Maha pemberi khilafah: yang memiliki alam semesta, Pencipta dan Pemeliharanya. Oleh sebab itu, manusia dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman mempunyai peran, perbuatan dan penciptaan, akan tetapi tidak melebihi batasan wilayah horizon ini, sebab di luar batas ini merupakan wilayah perbuatan Allah.
Jadi, dalam menanam di sana terdapat perbuatan manusia; seperti, penggarapan tanah, penyemaian, pengairan, pemupukan, dan begitu seterusnya yang mampu dilakukan oleh manusia sehingga ia dapat dikatakan sebagai penanam (grower) dengan sebutan “Az Zarra”. Dari sini dapat ditemukan bahwa hakekat menanam adalah menumbuhkembangkan, yang sifat ini hanya dimiliki oleh Allah, sedangkan penyemaian, pengairan dan pemupukan serta usaha-usaha manusia yang lain dinisbahkan kepada pelakunya; yaitu manusia. Sementara, perbuatan seperti menumbuhkan benih, mengembangkannya serta memberinya perlindungan — yaitu hal-hal yang tidak mampu dilakukan manusia — adalah atribut yang hanya berhak diberikan kepada Allah sebagai penanam yang diterminologikan dalam bahasa Arab dengan Az Zari’. Sebab dalam proses penanaman, manusia berfungsi sebagai pelaku, akan tetapi menurut iman yang dipegang dan peradaban keimanannya, manusia bukan satu-satunya pelaku. Dari sini dapat dipahami makna ayat Al Qur’an yang menyatakan:
Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kamu tanam, kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya?” (Al Waqi’ah: 63-64)
Di sini sekali lagi, karakter manusia yang meyakini peradaban iman (hadharah imaniyah) membuahkan satu sikap yang berbeda yang menunjuk pada kesimpulan bahwa “ungkapan dan terminologi” mempunyai fungsi.
Contoh ketiga, bahwa “perbuatan dan terminologi” mempunyai fungsi adalah terminologi “tuan tanah.” Dalam peradaban Barat yang filsafat keuangannya menjadikan pemilikan mutlak sebagai pemilikan hakiki (real ownership) dalam masalah kekayaan manusia baik individu, dalam model masyarakat liberal maupun model masyarakat sosialis, ditemukan terminologi tuan tanah yang dipahami sebagai pemilikan penuh kaum borjuis atas sarana-sarana produksi — tanah pertanian — dengan pemilikan terbatas bagi penggarapnya — kaum “budak.”
Sedangkan dalam peradaban Islam, dimana jalan tengah ditawarkan sebagai satu mazhab ekonomi secara tegas, menjadikan pemilikan mutlak dan hakiki atas harta kekayaan hanya kepada Allah dengan menetapkan hak pemilikan terbatas, yaitu pemilikan pemanfaatan secara
alegoris, yaitu pemilikan fungsi sosial bagi harta kekayaan: manusia sebagai pemilik amanat dan titipan (trustee) atau yang diterminologikan dengan mustakhlaf. Ia mendapat titipan dan pinjaman harta kekayaan ini dari Allah untuk dimiliki, dikembangkan, dalam kapasitasnya sebagai trustee — kemutlakan pemilikan relatif manusia yang diberi amanat pinjaman — bukan sebagai individu atau sebagai kelas masyarakat, dalam model peradaban sekuler Barat ini. Jadi terminologi “tuan tanah” mengandung muatan khusus jika dipahami dari sudut pandang peradaban Islam, yaitu memiliki untuk dimanfaatkan bukan untuk dijadikan alat untuk menguasai kelas masyarakat tertentu. Dalam aplikasi Islam, menguasai tanah yang dimaksud adalah cara menghidupkan tanah mati dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia atau umat manusia yang mendapat titipan amanat dari Allah berupa tanah dan harta kekayaan lain dalam bentuk apa saja.
Contoh keempat, dapat ditemukan terminologi monopoli (ihtikar). Dalam peradaban Barat, dengan berbagai trend sosialnya yang bermacam-macam, bahkan hingga bagi orang-orang yang mengetahui sisi-sisi buruk monopoli dalam dominasi sistem perekonomian suatu bangsa pun dapat ditemukan pandangan terhadap monopoli sebagai satu keniscayaan fase yang harus dilalui oleh masyarakat pada langkah-langkah perkembangan penguasaan terhadap sarana-sarana produksi. Maka monopoli menurut pandangan Barat adalah perkembangan alamiah dan satu keniscayaan meskipun dipandang oleh sebagian orang sebagai suatu bencana.
Sedangkan dalam pandangan ekonomi Islam, yang mengatur penguasaan manusia atas harta dengan ikatan sebagai pinjaman dari kekayaan Allah, Sang pemilik hakiki atas kekayaan, kepada manusia, maka monopoli itu dilarang dan tidak dapat diterima pada pokok dan asasnya dan tidak mungkin keberadaannya dapat berjalan seiring dengan pandangan Islam mengenai harta kekayaan, sebagaimana yang ditegaskan dalam sebuah hadits:
“Barangsiapa menimbun (kebutuhan bahan makanan) kaum Muslimin, Allah akan menimpakan kemelaratan dan kebangkrutan kepadanya.” (Ibnu Majah dan Ahmad)
Yang demikian itu adalah ancaman dan peringatan bagi masyarakat yang membiarkan praktik monopoli, yang mana akan mengantarkan pada kemiskinan umat dan kebangkrutan sistemnya serta tidak mampu rnewujudkan tujuan membudayakan manusia. Praktik monopoli ini yang dapat mematikan bangsa, ketika menyingkirkan keadilan dalam kehidupan ekonomi dan sosialnya, adalah yang dikatakan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang nasib yang akan dialami oleh pelakunya, dengan sabdanya:
“Para pelaku monopoli dan pembunuh dihimpun dalam satu kelompok kelas.” (Muslim, Ad Darimi, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad)
Terdapat perbedaan fungsi dalam terminologi “monopoli” sebagai satu terma yang lahir dari peradaban Barat dan terminologi “ihtikar” yang terdapat dalam bahasa Arab, sebagai bahasa Islam, bahkan dalam pengertiannya pun terdapat perbedaan. Sebab monopoli dalam peradaban Barat berkisar mengenai fase pertumbuhan konsentrasi pemilikan sarana-sarana produksi atau kepentingan bisnis dan perbankan pada sekelompok kecil pemilik modal. Sedangkan dalam
pandangan Islam, pelarangannya mencapai jenis monopoli yang paling sederhana seperti menimbun bahan makanan untuk mengharapkan kenaikan harga sebagaimana ditegaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Seburuk-buruk hamba (manusia) adalah orang yang melakukan praktik ihtikar: bilamana Allah menurunkan harga-harga, ia bersedih karenanya, tetapi apabila itu dinaikkan, ia lalu bergembira. Jika mendengar penurunan harga, ia memandang dirinya mengalami nasib buruk tetapi jika mendengar kenaikan harga, ia bergembira.”
Yang demikian itu karena:
“Orang yang tidak melakukan praktik monopoli (al jalib) mendapat karunia, sedangkan pelaku monopoli mendapat laknat.” (Ibnu Majah dan ad-Darami)
Contoh kelima, adalah satu terminologi yang dikenal secara luas dan jelas yaitu terminologi “kiri”. Sebagian orang memandang terminologi ini tidak mempunyai fungsi lain selain menunjuk pada: trend sosial yang menyerukan penggunaan konflik kelas masyarakat sebagai alat untuk mengangkat kelas Proletar dengan menyingkirkan kelas Borjuis sebagai tahap awal menghilangkan perbedaan kelas lalu membentuk masyarakat tanpa sistem kelas dimana semua bentuk pemilikan pribadi dilebur dan menghilang dari fenomena sosial.
Sebagian orang memandang terminologi yang lahir dari rahim peradaban Barat ini karena alasan “tidak ada fungsi dalam kata-kata dan terminologi” untuk dipakai, bahkan menyerukan untuk melakukan lslamisasi terminologi ini serta melakukan Islamisasi kandungan maknanya, dengan meyerukan pada “Islam kiri.” Sedangkan bagi Muslim, disana terdapat ketidaktepatan terminologi ini baik dalam pengungkapan kata maupun kandungan pengertiannya, jika dikenakan dalam pemikiran sosial Islam. Sebab kata “kiri” (Al Yasar) dalam Bahasa Arab (bahasa umat, Agama dan peradaban kita), berarti al yusr (mudah), yakni lawan kata al ‘usr (sulit); dan kaya (al ghani) sebagai lawan kata kemelaratan dan kesulitan (al faqr wa al I’sar) sebagaimana firman Allah:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (Al Baqarah: 185)
“Dan jika orang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.” (Al Baqarah 280)
Oleh sebab itu, istilah golongan kiri (ahlal Yasar) dalam terminologi bahasa Arab adalah mereka yang kaya bukan yang miskin: aliran yang mendapat kemudahan bukan orang yang sengsara.
Pertanyaan yang patut diangkat adalah, bagaimana bahasa Islam (Arab) diperkosa menerima citra idiomatik yang berlawanan ini?!
Sebagaimana yang dilakukan oleh ulama dan cendikiawan Muslim abad ini seperti Imam Abdul Hamid bin Badis (1887-1940) — yang menegaskan makna ini — dalam doa munajatnya mengucapkan:
“Ya Allah, jadikanlah hamba di dunia termasuk orang yang mendapat kekayaan dunia (ahlul yasar) dan di akhirat termasuk orang yang mendapat kebahagiaan (ahlul yamin)!”
Sebab al yasar yang dimaksud adalah kekayaan atau kemudahan dunia. Begitu pula ahlul yamin, mereka adalah orang-orang yang mendapat kebahagiaan, yang menegakkan keadilan di dunia. Oleh sebab itu, mereka berhak menerima catatan amal perbuatan mereka yang adil itu dengan tangan kanan (al yamin) pada hari pembalasan. Demikian logika Bahasa Arab yang benar, tidak ada alasan, pada prinsipnya, untuk keluar dari logika ini, meskipun menggunakan alasan untuk menggeneralisasi “pemakaian terminologi dan kata tidak boleh digugat.”
Selanjutnya pandangan Islam tentang pemikiran ekonomi mempunyai aspek tersendiri yang tidak menolak perbedaan kelas sosial dalam masyarakat menjadi kelas-kelas tertentu, akan tetapi meletakkan persyaratan landasan perbedaan kelas tersebut berdasarkan pada sebab dan faktor yang ditetapkan oleh syari’ah. Pembatasan wilayah perbedaan ini dimaksudkan untuk menghindarkan kesewenang-wenangan yang diakibatkan oleh penguasaan individu atau kelompok minoritas atas pemilikan kekayaan. Maka dengan sendirinya Islam memandang perekonomian dalam multi kelas masyarakat sebagai hal yang wadjar dan alamiah dan Islam menyerukan kelangsungan hubungan antar kelas yang ada dalam kerangka keadilan, yaitu: keseimbangan sosial, bukan persamaan. Yang demikian itu agar hubungan saling melengkapi, saling membantu, dan saling membutuhkan, seperti halnya dengan organ tubuh manusia, dalam perbedaan masing-masing organ, tetapi saling membutuhkan dan mendukungnya. Apabila tidak ada keseimbangan sosial (social balance), dan kezaliman sosial menggantikan keadilan, maka jalan penyelesaian yang ditawarkan oleh Islam tidaklah melalui konflik kelas, dimana kelas masyarakat tertentu melakukan konflik dengan tujuan menyingkirkan dan agar kekayaan dan kekuasaan berada pada masyarakat tanpa kelas. Islam menawarkan jalan melalui “dorongan sosial” yang mengembalikan gerakan dan penggerakan posisi-posisi kelas dan tingkat ketidakadilan — yang kehilangan keseimbangan itu — ke tingkat keadilan yang merupakan perwujudan keseimbangan sosial antar kelas masyarakat, yang mana multi kelas tetap ada dan agar keseimbangan itu menjadi pengikat dan pemersatu dalam perbedaan kelas.
Terminologi konflik (shira’) dalam Al Qur’an dipakai ketika satu pihak membanting pihak yang lain lalu membinasakannya:
“Maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan mereka itu tunggul-tunggul pohon kurma yang telah rapuh.” (Al Haaqqah: 7)
Sedangkan mendorong atau menolak (ad daf’) adalah penggerakan terhadap posisi-posisi pihak yang berbeda dan satu tingkat ke tingkat yang lain sebagai penyelaras hubungan antar pihak yang bermacam-macam, bukan untuk membinasakan yang lain agar ia sendiri yang menguasai arena dan fasilitas:
“Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34)
Jadi tujuan dari menolak (ad daf’) di sini tidaklah membanting musuh dan membinasakannya, melainkan menyerahkan posisinya dari posisi permusuhan ke posisi berteman setia. Gerak sosial dalam pandangan Islam adalah penolakan atau pendorongan sosial (ad daf’ al ijtima’i) bukan konflik kelas (ash shira’ ath thabaqi).
“Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini…” (Al Baqarah: 251)
“Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah ibadah-rumah ibadah Yahudi dan masjid-masjid yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al Hajj: 40)
Tentang pesan kandungan pengertian epistemologisnya, Islam menolak — tidak hanya berbeda — yang ada dalam istilah “kiri” (left) dan terminologi “pertikaian” (conflict), suatu hal yang secara pasti terdapat ketidaktepatan pengertian dalam kedua terminologi tersebut jika dikenakan pada Bahasa Islam baik dalam isyarat bahasanya maupun pengertian epistemologisnya.
Karena melakukan ‘uzlah hadhariyah — di dunia Islam modern dan di bawah pengaruh revolusi media komunikasi — merupakan fiksi besar; karena kandungan pengertian epistemologis Barat dan asing yang ada dalam banyak terminologi Arab Islam telah menjadi bagian realitas pemikiran dan kebudayaan setempat mengingat keberhasilan pembaratan (westernization) dalam kehidupan pemikiran, budaya dan informasi; karena dialog antara kebudayaan Islam dan kebudayaan asing, begitu pula dialog antara trend pemikiran dan realitas kebudayaan Muslim, adalah upaya penyelamat dari pengambilan pemikiran secara buta yang menghancurkan. Maka membebaskan kandungan pengertian terminologi-terminologi itu, mengungkap wilayah-wilayah yang dapat diterima dan ditolak dalam makna dan konsepnya, khususnya terminologi-terminologi yang banyak beredar dan banyak mengundang polemik antar aliran pemikiran zaman sekarang ini, adalah merupakan tugas pokok dan menjadi prioritas utama dalam satu dialog pemikiran serius yang menyelamatkan kehidupan pemikiran Islam dari bahaya yang ditimbulkan oleh penjiplakan secara serampangan.
Karena buku ini diharapkan membawa tugas “membebaskan” dan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi penting yang beredar dan banyak menimbulkan polemik serta kontroversi dalam kehidupan pemikiran pada masa sekarang, maka untuk lebih meyakini keharusan meluruskan kandungan pengertian terminologi-terminologi ini sebagai prasyarat pokok adalah mengadakan dialog serius dan efektif, yaitu dialog seputar maksud-maksud syari’ah Islam yang diharapkan akan mengungkap keharusan membebaskan kandungan
pengertian dan konsep-konsep terminologi-terminologi epistemologis. Selanjutnya dikemukakan kepada para pembaca konsep-konsep terminologi yang menjadi fokus perdebatan antara peradaban Barat dan Islam dan antara kelompok sekular dan Islamis dalam kehidupan pemikiran modern.
Semoga Allah berkenan memberi kemudahan dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan dari upaya pemikiran ini: mengungkap wilayah yang mempunyai kesamaan dan juga wilayah-wilayah yang berbeda antara peradaban Islam dan peradaban Barat.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-14 Rambu-rambu Petunjuk Jalan Ilahi
Ras manusia dewasa ini berada di ambang jurang kehancuran. Bukan disebabkan bayang-bayang kematian yang merisaukan pikirannya, karena semua itu hanya merupakan indikasi penyakit. Bukan penyakit itu sendiri, melainkan ini disebabkan kegagalannya dalam mengenali nilai-nilai yang mendorong kehidupan manusia berkembang alami dan mencapai kemajuan berarti dalam naungan nilai-nilai tersebut. Demikian ini telah jelas-jelas terjadi pada dunia barat yang tidak menyediakan cukup ruang untuk nilai-nilai kemanusiaan, bahkan tidak memberikan sesuatu yang memuaskan nuraninya dengan pengakuan eksistensi. Hal ini terjadi setelah propaganda demokrasi sampai pada sesuatu yang mengkhawatirkan, di mana demokrasi barat lambat laun mulai mengadopsi dan mempratikkan sistem-sistem blok timur, dan lebih-lebih sistem ekonomi di bawah bendera sosialisme.
Demikian pula yang terjadi pada blok timur sendiri. Teori-teori komunalis yang dipelopori Marxisme yang di awal kemunculannya sempat menarik simpati khalayak di dunia timur –juga di dunia barat- sebagai aliran yang mengusung watak keimanan, jelas-jelas mengalami kemunduran dalam hal pemikiran, sampai-sampai kini hampir sebatas berkenaan dengan negara dann perundang-undangannya saja. Tentunya, hal ini makin jauh dari ide-ide dasar paham tersebut.
Secara umun, paham Marxisme bertentangan dengan sifat alamiah watak dan kebutuhan-kebutuhan fitrah manusia (thabi’ah al fithrah al basyariyyah wa muqtadhayatuha). Paham ini hanya akan berkembang pada waktu chaos , atau dalam suasana yang mendukung sistem diktatorial dalam rentang waktu yang lama. Hingga akhirnya, dalam situasi semacam ini mulailah tampak kehancuran-kehancuran Eropa dalam segi material-ekonomis padahal bidang inilah yang selama ini mereka tonjolkan dan banggakan. Negara Rusia, yang selama ini menjaadi simbol sentral sistem ssosialis, produktivitasnya merosot drastis setelah sebelumnya mencapai kemakmuran sampai pada masa-masa kekaisaran. Rusia kini malah mengimpor gandum dan beberapa bahan makanan. Bahkan mereka sampai menjual emas yang mereka punyai untuk mendapatkan bahan makanan karena gagalnya lahan pertanian rakyat mereka, termasuk juga sebab gagalnya sistem yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan (human nature).
Atas dasar tersebut, mutlak diperlukan sistem kepemimpinan sosial yang baru bagi kemanusiaan!
Sesungguhnya kepemimpinan barat terhadap manusia telah mendekati titik kehancuran. Ini bukan disebabkan peradaban barat yang mengalami kerugian secara material maupun lemah dalam segi kekuatan ekonomi dan paramiliter, melainkan karena sistem abrat (yakni, peranannya) telah habis masanya, sebab tidak dianggap memiliki neraca nilai yang mendukungnya memegang tampuk kepemimpinan.
Mutlak diperlukan kepemimpinan sosial yang mamppu melestarikan dan mengembangkan peradaban materialistik yang telah dicapai manusia, yakni dengan mempertahankan kecemerlangan bangsa Eropa dalam penemuan-penemuan ilmiah (scientific inventions), plus memenuhi jiwa manusia dengan nilai-nilai yang benar-benar baru –dari yang pernah dikenal manusia- dan dengan manhaj yang orisinal, progresif, dan realistis pada masa kini.
Hanya islamlah, satu-satunya agama yang memiliki nilai-nilai dan manhaj tersebut.
Kebangkitan ilmu pengetahuan telah berlalu masanya, masa yang trennya dimulai sejak masa renaissans pada abad ke-16 Masehi dan mencapai puncaknya selama dua abad berikutnya, abad ke-17 dan abad ke-18. Akan tetapi, kebangkitan ini tidak dianggap memiliki nilai yang up to date.
Demikian halnya patriotisme dan nasionalisme –keduanya cukup aktual pada masanya- serta beberapa paham etnis, secara umum, telah melewati masanya sepanjang abad tersebut. Akan tetapi paham-paham itu tidak juga dianggap memiliki neraca nilai yang up to date. Sehingga pada akhirnya paham-paham tersebut baik yang dianut secara individual maupun komunal, lambat laun mengalami kegagalan.
Tibalah gilirannya masa islam dan komunitas ‘umat’ (al ummah) mengambil alih di tengah-tengah situasi yang sulit, centang perenang, dan tak karuan. Islam hadir dengan konsepsi yang bersahabat dengan penemuan-penemuan ilmiah di muka bumi, karena islam memang memberikan ruang bagi kretifitas ilmiah sebagai bagian dari ‘tugas’ pokok manusia semenjak Allah mengambil janjinya memegang kendali pengelolaan (khilafah) atas bumi. Dan atas semua itu, Allah menghargainya –dengan syarat-syarat tertentu- sebagai bagian dari pengabdian kepada-Nya dan sebagai bentuk implementasi tujuan eksistensi manusia. Allah SWT berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’” (QS Al Baqarah [2] : 30)
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat [51] : 56)
Sementara itu konsep ‘umat yang taat’ (ummah muslimah) hadir untuk merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah atas ditampilkannya mereka di hadapan rasa manusia, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. Ali Imran [3] : 110)
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian” (QS Al Baqarah [2] : 143)
—
Akan tetapi, Islam tidak akan mampu menunaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah; komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan –lebih-lebih pada masa sekarang- seruan akidah semata; mereka enggan memandang bukti nyata dalam kehidupan kekinian.
Eksistensi umat Islam terbilang telah tercerai-berai sejak beberapa abad yang lalu. Umat Islam bukanlah “tanah air” di mana islam hidup di sana, bukan pula suatu kaum yang para leluhurnya hidup di suatu zaman sejarah dengan tatanan Islam. Namun, umat Islam adalah sekelompok manusia yang kehidupan, konsepsi, sikap, tatanan, nilai-nilai dan pertimbangannya, terpancar dari manhaj islam. Dan umat ini –dengan karakteristik yang demikian- terseok-seok eksistensinya sejak terjadinya diskontinuitas implementasi hukum syariat Allah di segala penjuru bumi.
Mau tak mau, harus dilakukan review terhadap eksistensi umat ini, agar Islam mampu menunaikan perannya dalam kepemimpinan manusia yang ditunggu-tunggu sekali lagi.
Harus ada suatu stimulan bagi umat ini, umat yang selama ini terkubur di tengah generasi-generasi, di baawah tumpukan beragam konsepsi, aturan main dan sistem, yang semuanya tak ada kaitannya dengan Islam dan manhaj Islami, sekalipun semua itu diklaim masih berada dalam apa yang disebut “Dunia Islam” (al alam al islami).
Kami menyadari bahwasanya perjalanan yang ditempuh mulai dari upaya stimulasi umat hingga realisasi kepemimpinan adalah sangat berat. Bahkan umat Islam sempat kehilangan eksistensi dan perannya dalam jangka waktu yang lama. Dalam masa yang lama itu, berbagai umat, juga beragam pemikiran, konsepsi dan aturan main, silih berganti menghagemoni tatanan sosial manusia. Kecermelangan bangsa Eropa ketika itu menciptakan kekayaan yang besar berupa sains, kebudayaan, isme-isme, dan produktivitas materi. Ini merupakan kekayaan besar yang dicapai manusia dalam kejayaannya, manusia tidak akan melupakannya begitu saja, dan tidak pula melupakan orang-orang yang merintisnya dengan mudah. Lebih-lebih bahwasanya apa yang disebut dunia Islam hampir mengalami disfungsi sosial dalam kegemerlapan tersebut.
Bertolak dari semua pengalaman di atas, maka harus ada kebangkitan Islam, meski perjalanan dari upaya stimulasi umat menuju realisasi tatanan sosial sangatlah jauh. Usaha keras stimulasi umat islam inilah langkah awal yang tak mungkin diabaikan.
—
Dalam rangka membuktikan hipotesa di atas, untuk mengidentifikasi permasalahan, kita semestinya memahami spesialisasi umat ini dalam hal kepemimpinan manusia. Agar, jangan sampai kita keliru merumuskan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk upaya awal stimulasi tersebut.
Sejatinya, sekarang ini umat Islam tak mampu mempersembahkan kehebatan yang gemilang bagi manusia dalam hal penemuan ilmiah. Sangat disayangkan, kepemimpinannya yang mendunia dalam bidang ini telah berlalu. Kini, kecemerlangan bangsa Eropa telah jauh mendahului mereka mencapai garis finish. Namun, paling tidak, yang dinantikan –sepanjang beberapa abad- bukanlah superioritas secara materi di atas Barat!
Ini bukan berarti kita menganggap sebelah mata penemuan ilmiah. Kita tetap wajib mencurahkan segenap tenaga dan fikiran untuk itu, akan tetapi tidak dengan label “spesialis” yang hendak kita dedikasikan bagi kepemimpinan manusia sepanjang masa. Tetapi, hal tersebut kita masukkan dalam kategori kebutuhan personal bagi kelangsungan hidup kita.
Begitu pula, kita menganggapnya sebagai kepentingan yang harus kita pikirkan konsepnya secara Islami sehingga bisa menjadi spirit bagi manusia dalam pengelolaan bumi (khilafatul ardh), dan ditempatkan manusia –dengan syarat-syarat tertentu- sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah dan sebagai bentuk implementasi tujuan eksistensi manusia.
Bagi kepemimpinan manusia, jika demikian, mau tak mau dibutuhkan spesialisasi lain, selain penemuan ilmiah. Spesialisasi itu, tidak bisa tidak, adalah bidang akidah dan manhaj. Yakni, spesialisasi yang kondusif bagi manusia agar melestarikan hasil-hasil kemajuan materi di bawah arahan konsepsi Islam yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia sebagaimana peranan yang dijalankan oleh penemuan ilmiah; serta agar akidah dan manhaj Islam mengejawantah dalam suatu komunitas manusia, yakni masyarakat Muslim.
—
Sejatinya, semua manusia sekarang ini hidup dalam suatu masa jahiliyah, dilihat dari sudut pandang sumber yang merasuki berbagai sendi kehidupan dan tatanannya. Yakni, suatu jahiliyah di mana berbagai kemajuan fasilitas fisik – materi dan kegemilangan penemuan ilmiah tidak mengurangi kejahiliyahan sedikitpun.
Jahiliyah tampil di atas prinsip menentang intervensi kekuasaan Allah swt di muka bumi, terutama berkaitan dengan karakteristik ketuhanan (uluhiyah), yakni jahiliyah dalam sistem kekuasaan. Dalam hal ini, ia menyerahkan sistem kekuasaan kepada manusia. Sebagian mereka menjadikan sebagian yang lain sebagai penguasa. Bukan dalam struktur primordial nan polos yang dikenal pada fase jahiliyah primitif, melainkan dalam bentuk pengakuan kebenaran atas pelbagai konsepsi dan nilai yang mereka anut, juga pelbagai hukum dan undang-undang, serta tata aturan dan tradisi yang berlaku. Semuanya berlawanan dengan manhaj Allah tentang kehidupan, dan berada dalam kondisi yang tidak diridhai-Nya.
Kemudian, penentangan terhadap intervensi kekuasaan Allah berkembang menjadi penentangan terhadap hamba-hamba-Nya. Bukankah kehancuran manusia secara masif terjadi dalam tata aturan sosialis?! Bukankah kesengsaraan berbagai individu dan bangsa-bangsa disebabkan perbudakan kapital dan imperialisme dalam sistem kapitalis?! Semua itu tiada lain merupakan salah satu dampak penentangan terhadap intervensi kekuasaan Allah dan penafian hak asasi yang telah ditetapkan Allah bagi manusia.
Atas dasar semua itulah, manhaj islam menjadi manhaj satu-satunya (yang layak). Dengan tata aturan apapun selain aturan Islam, sebagian manusia memperbudak sebagian yang lain dalam bentuk perbudakan tertentu; sementara hanya dalam manhaj Islamlah, manusia terbebas dari segala bentuk perbudakan sesama manusia. Dalam manhaj ini, manusia hanya menghambakan diri kepada Allah, menerima sesuatu dari Allah semata, dan tunduk hanya kepada-Nya.
Inilah yang menjadi titik perbedaan, dan inilah konsepsi terbaru –berikut segala konsekuensi besar yang diakibatkannya- yang dapat kita persembahkan bagi kemanusiaan dalam kelangsungan kehidupannya. Semua ini merupakan kekayaan besar yang tidak dimiliki oleh ras manusia, karena ia bukanlah buah karya peradaban Barat, bukan pula merupakan output dari kecemerlangan Bangsa Eropa, baik Eropa Timur maupun Eropa Barat.
—
Tak diragukan lagi, kita sejatinya memiliki sesuatu yang benar-benar baru; yakni sesuatu yang tidak dikenal, dan tidak mampu dihasilkan, oleh ras manusia. Namun, sesuatu yang baru ini –sebagaimana kami katakan sebelumnya- harus terejawantahkan dalam pengamalan nyata yang senantiasa dipedomani oleh suatu umat. Untuk itu, ia memerlukan suatu proses stimulasi dalam internal Dunia Islam. Stimulasi inilah yang akan diikuti –entah dalam waktu dekat atau jauh- dengan implementasi dalam tatanan sosial.
Lantas, bagaimanakah proses stimulasi Islam akan dimulai?
Harus ada sekelompok pionir yang membulatkan tekad ini, kemudian menindaklanjutinya dengan pengamalan. Mereka terjun ke dalam lautan kejahiliyahan yang memiliki network di seluruh penjuru bumi. Di sana, mereka mempraktikkan perbuatan yang asing dalam suatu bidang, dan juga mempraktikkan perbuatan yang erat kaitannya –dalam bidang lain- dengan praktik jahiliyah.
Dalam hal ini, sang pionir yang telah membulatkan tekad harus memiliki sebuah “petunjuk jalan” (ma’alim fi ath-thariq), yakni petunjuk yang memaparkan karakteristik perannya, hakikat fungsinya, tujuan idealnya, dan tahapan-tahapannya, dalam perjalanan yang panjang. Dari petunjuk tersebut, juga dikenalkan karakter posisinya di hadapan jahiliyah yang memiliki network di seluruh dunia.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: di manakah sang pionir harus sejalan, dan di mana pula ia harus berbeda, dengan dunia jahiliyah? Apa keistimewaan sang pionir dan apa pula kelebihan jaringan jahiliyah? Bagaimana, dan dalam hal apa, sang pionir bergumul –dengan bahasa islam- dengan para ahli jahiliyah? Kemudian dari mana, dan bagaimanakah sang pionir mengetahui semua hal tersebut?
Petunjuk jalan tersebut haruslah diluruskan dengan berpangkal dari referensi utama akidah ini: al-Quran. Kemudian, barulah diluruskan sejalan dengan tuntunan-tuntunan pokok al-Quran, dan konsepsi yang ditanamkannya dalam jiwa-jiwa yang jernih nan terpilih. Jiwa-jiwa inilah yang diciptakan Allah swt di bumi ini sesuai dengan kehendak-Nya, dan yang akan mengubah catatan perjalanan sejarah –sekali lagi- sesuai dengan jalan yang dikehendaki Allah swt.
Untuk sang pionir yang diharap-harap nan ditunggu-tunggu inilah kami menulis kitab (buku) Ma’alim fi Ath Thariq. Empat bab dalam karya ini disarikan dari kitab Fi Zhilal Al Quran disertai dengan beberapa modifikasi dan tambahan yang sesuai dengan tema kitab Ma’alim. Dan delapan bab lainnya –di luar prolog- terpublikasi secara terpisah, seiring inspirasi berkesinambungan yang mengilhaminya menuju manhaj Rabbani yang terjabarkan dalam al-Quranul Karim. Semua tulisan –yang berserakan- tersebut dihimpun agar menjadi “rambu-rambu petunjuk jalan” (ma’alim fi ath thariq), karena ia merupakan sesuatu yang inheren dengan petunjuk di setiap perjalanan. Kolektivitas petunjuk tersebut telah memunculkan prototipe berupa generasi pertama dari para pendahulu kita. Allah telah membimbing mereka mengikuti rambu-rambu petunjuk dalam meniti perjalanan ini.
Semoga Allah berkenan melimpahkan taufik-Nya. Amin.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-14 Dakwah Kami: Kejelasan Seruan
Melebur
Di samping itu, umat Islam harus mengetahui bahwa beban dakwah ini hanya dapat dipikul oleh mereka yang telah memahami dan bersedia memberikan apa saja yang kelak dituntut olehnya; baik waktu, kesehatan, harta, bahkan darah.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, sanak keluargamu, harta yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu takuti kerugiannya, rumahrumah kediaman yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan adzab-Nya. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaun yang dzalim.” (At Taubah: 24)
Dakwah ini tidak mengenal sikap ganda. Ia hanya mengenal satu sikap totalitas. Siapa yang bersedia untuk itu, maka ia harus hidup bersama dakwah dan dakwah pun melebur dalam dirinya. Sebaliknya, barang siapa yang lemah dalam memikul beban ini, ia terhalang dari pahala besar mujahid dan tertinggal bersama orang-orang yang dudukduduk.
Lalu Allah swt. akan mengganti mereka dengan generasi lain yang lebih baik dan sanggup memikul beban dalwah ini. Allah swt. berfirman tentang mereka, “…yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” (Al Maidah: 54)
Kejelasan
Kami mengajak manusia kepada suatu ideologi. Ideologi yang jelas, definitif, dan aksiomatik. Sebuah ideologi yang mereka semua telah mengenalnya, beriman padanya, dan percaya akan kebenarannya. Mereka juga tahu bahwa ideologi itu merupakan jalan menuju pembebasan, kebahagiaan, dan ketenangan dalam kehidupan ini. Sebuah ideologi yang telah dibuktikan oleh pengalaman dan disaksikan oleh sejarah akan keabadian dan kelailannya dalam menata dan menyejahterakan kehidupan manusia.
Dua Iman
Pada dasarnya baik kami maupun umat kami sama-sama beriman dan meyakini kebenaran ideologi itu. Yang membedakan kami dengan mereka adalah bahwa iman pada diri mereka itu tertidur lelap, dan karenanya tidak mempunyai daya dorong yang kuat yang dapat membuat mereka mau melaksanakan segala konsekwensi keimanan tersebut. Tapi sebaliknya, iman itu terasa begitu kuat, penuh elan vital, dan senantiasa menggelora dalam jiwa Ikhwanul Muslimin.
Ada sebuah gejala psikologis aneh di kalangan orang-orang Timur –yang dirasakan orang banyak dan juga kita rasakan– bahwa kita sering menggambarkan keyakinan kita terhadap suatu ideologi kepada orang lain, dengan ekspresi yang kadang membuat mereka percaya bahwa dengan keyakinan itu kita mampu menghancurkan gunung, mengarungi lautan, dan melintasi seluruh marabahaya yang menentang kita, sampai ideologi itu menang bersama kita dan kita menang bersamanya. Tetapi ketika gelora retorika itu mulai surut, tiba-tiba saja semua kita lupa dan lalai pada ideologi itu.
Tak seorang pun yang berpikir bagaimana merealisasikan ideologi itu dan berjihad membelanya, bahkan dengan selemah-lemahnya jihad sekalipun. Sadar atau tidak sadar, kelengahan dan kelalaian itu terkadang bahkan sampai mendorong sebagian kita untuk melakukan tindakan yang memusuhi ideologi itu. Dalam banyak kesempatan kita sering dibuat terbawa bingung, melihat seorang tokoh pemikir atau budayawan, yang suatu saat dia bersikap atheis lalu tiba-tiba dia bisa menjadi seorang yang sangat agamis.
Inilah kelengahan, kealpaan, ketaksadaran, kerapuhan dan keterlelapan yang panjang -atau apa saja sebutan yang tepat yang mendorong kami untuk menghidupkan kembali ‘ideologi’ itu. Sekalipun sebenarnya umat –yang kami cintai ini– telah lama mempercayai dan meyakininya.
Seruan-seruan
Saya ingin kembali kepada awal pembicaraan. Saya ingin mengatakan bahwa dakwah Ikhwanul Muslimin adalah seruan kepada suatu ideologi. Kini, baik di Barat maupun di Timur, kita menyaksikan amukan badai dari berbagai ideologi, isme, dan aliran pemikiran yang saling berpacu untuk mempengaruhi pikiran dan perasaan khalayak. Dengan berbagai promosi dan yel-yel –walaupun terkadang tampak norak dan berlebihan– mereka mengekspos isme-isme yang diyakininya sedemikian rupa dalam suatu kemasan yang membuatnya tampak menarik dan penuh pesona.
Sang Penyeru
Para penyeru isme-isme sekarang berbeda dengan masa-masa sebelum ini. Mereka kini —khususnya di negara-negara Barat— tampil lebih intelek, lebih profesional, dan lebih terlatih. Kini setiap isme didukung oleh perangkat sumber daya manusia yang sangat terlatih dan setiap saat bekerja mengkampanyekan dan mempromosikan paham yang diyakininya. Setiap saat mereka berusaha menemukan berbagai sarana sosialisasi dan provokasi serta mencari metode paling efektif untuk mempengaruhi massa.
Sarana Untuk Menyeru
Sarana-sarana propaganda saat ini pun berbeda dengan sebelumnya. Kemarin, propaganda disebarkan melalui khutbah, pertemuan atau surat menyurat. Tapi sekarang seruan atau propaganda kepada isme-isme itu disebarkan melalui penerbitan majalah, koran, film, panggung teater, radio dan media-media lain yang beragam. Sarana-sarana itu telah berhasil menembus semua jalan menuju akal dan hati khalayak, baik pria maupun wanita, di rumah-rumah, di toko-toko, di pabrik-pabrik, bahkan di sawah-sawah mereka.
Maka adalah wajb bagi para pengemban missi dakwah ini untuk (juga) menguasai semua sarana tersebut agar dakwah mereka membuahkan hasil yang memuaskan. Saya akan kembali mengatakan bahwa dunia kini sedang diharu-biru oleh berbagai isme. Ada yang bernuansa politik, ekonomi, militer, nasionalisme, ada yang mengatasnamakan perdamaian, dan sebagainya. Lalu di manakah posisi Ikhwanul Muslimin dalam percaturan antar berbagai isme tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan itu akan membawa saya untuk membicarakan dua masalah. Pertama, tentang kerangka positif normatif dakwah kami. Kedua, tentang sikap dakwah kami terhadap seruan dan propaganda dari isme-isme tersebut.
Saya berharap bahwa anda tidak akan menyalahkan jika kata-kata saya nantinya mengalir panjang. Sebab saya telah berjanji kepada diri sendiri untuk menulis dengan cara seperti ketika saya berbicara dan membahas tema ini dengan gaya tersebut, dengan gaya pembahasan yang ringan dan tanpa beban. Dengannya saya hanya ingin agar orang dapat memahami saya sebagaimana saya adanya, dan agar ucapan saya masuk ke dalam jiwa mereka secara utuh, tidak terpotong-potong.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-15 Fitrah dan Kejujuran Cinta
Kau tentang Tuhan dan nampakkan cinta Dia demi Allah, ini perkara luar biasa.
Bila sungguh cintamu benar tentulah kau taat Dia.
Karena setiap kekasih, kepada Kekasihnya pastilah setia. ( Imam Syafi’i)
Tak satu pun orang suka dibohongi, terlebih bila itu menyangkut cinta dan kesetiaan. Dimana saja kebohongan dan penghianatan dibenci, termasuk di kalangan para bandit dan mafia yang notabene kerja mereka di sekitar kejahatan. Syirik adalah bentuk dusta yang paling besar, yang banyak menghasilkan dusta-dusta susulan. Ketika Allah menyebutkan salah satu misi Rasulullah SAW adalah memberi peringatan kepada mereka yang mengatakan Allah berputera, Ia berkata, “Mereka dan bapak-bapak mereka tidak berilmu, alangkah buruknya ucapan yang keluar dari mulut mereka. Tak lain yang mereka katakan kecuali dusta” (QS. Al Kahfi : 5).
Jujur Vs Lacur (baca:Nifaq)
Sedemikian bahayakah dusta? Ya, dan dusta yang lebih nista terjadi ketika seorang mendustai kata hatinya sendiri. Seseorang yang mengabaikan lintasan hatinya tentang derita tetangganya yang kelaparan lalu tidur nyenyak, maka ia adalah seorang pendusta. Karenanya Rasulullah SAW mensyaratkan (kejujuran) iman kepada Allah dan hari akhir dengan ihsan kepada tetangga. (HR. Muslim)
Nilai iman yang tertinggi manakala pemiliknya dapat merasakan ketenteraman iman ( QS. Ar Ra’d “28) dan karenanya mereka berhak mendapatkan keamanan (QS Al An’am:82). Ketenteraman dan keamanan tersebut tidak ada hubungannya dengan mentalitas burung onta yang melarikan diri dari persoalan umat dan berlindung di balik dinding ma’bad tempat dzikir, karena orang seperti mereka bisa sangat guncang dan tidak merasa aman terhadap ancaman makhluk. Terlebih untuk menjadikan dirinya “perisai Tuhan” bagi hamba-Nya yang lemah teraniaya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, “Suatu masa turun perintah Allah kepada malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya:” Ya Rabb, inna fiha rajulan shalihan (Ya Tuhan, disana ada seorang saleh). “Justru jawaban Allah begitu mengejutkan “Fabihi fabda” (Justru mulailah timpakan adzab kepadanya)” Apa pasal? Linnahu lam yatama’ar wajhuhu fiyya (Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Aku). Ia tak punya ghirah (kecemburuan dan ketersinggungan) bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika ummatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadinya diusik! Salah satu sukses madrasah (aliran) sekuler modern adalah keberhasilan mereka mencetak generasi Muslim yang (tak) tersinggung bila Islam, Al Qur’an dan Rasul diejek. “Demi toleransi” kata mereka.
Cinta dan Kejujuran
Ada banyak apresiasi iman, ibadah, dan cinta. Mungkin seseorang beribadah dengan penghayatan ibadah sebagai pedagang, ia berkiblat kepada keuntungan. Ada penghayatan ibadah sebagai jalan pembebasan. Ada pengabdian yang semata-mata berangkat karena ingin mencintai, memberi , menikmati pengabdian yang hakiki dalam wujud ketundukan dan pengorbanan. Suatu hari berlangsung diskusi antara empat orang tokoh : Rabi’ah Al Adawiyah, Sufyan Ats Tsauri, Syaqiq Al Balkhi dan Malik Bin Dinar. Rabi’ah meminta mereka mendefinisikan Kejujuran.
“Tak jujur pengakuan cinta seseorang yang tak bersabar menahan pukulan tuannya, “ ungkap Sufyan Ats Tsauri.
“Tak jujur pengakuan seseorang yang tak bersyukur atas pukulan tuannya,” jawab Syaqiq Al Balkhi.
“Tak jujur pengakuan seseorang yang bernikmat-nikmat dipukul tuannya,” sergah Malik bin Dinar.
“Tak jujur pengakuan seseorang yang takmelupakan pukulan ketika menghadap tuannya,” jawab Rabi’ah Al ’Adawiyah.
Demikian tingkat-tingkat kematangan manusia dalam kejujuran dan kematangan pribadi mereka. Ada orang yang begitu sabar menahan derita hidup. Ada begitu tahan menerima derita da’wah. Dan ada yang begitu bersyukur dan bahkan menikmati derita sebagai karunia. Semuanya indah, terutama pada sang totalis (Shahibut tajrid) yang tak menyadari derita, karena yang ada hanyalah Dia.
Banyak orang mengenal kejujuran yang belum beranjak dari kejujuran mulut, belum lagi hati, apa lagi hati yang paling dalam. Mengapa engkau percaya pujian orang yang tak mengenal hakekat dirimu. Padahal engkau tahu dirimu tidak berhak untuk hal tersebut. Suatu hari Rasululloh SAW ditanya:” Mungkinkah seseorang Muslim berzina?” Beliau menjawab ” Ya, mungkin.” Mencuri?” Ya, mungkin.” Berdusta? “Tidak, demi Allah, dia tidak mungkin berdusta!” Barang siapa berhati jujur tentulah tak akan mendustai hatinya yang tak pernah bisa didustai.
Dengan berbagai macama alasan, delapan puluh munafiqin kelas berat menghindari mobilisasi Tabuk. Saat Rasulullah SAW kembali dari perang yang Allah sendiri menyebutnya sebagai “sa’atul ‘usrah” (saat-saat sulit), mereka telah menunggu di depan masjid dan menyambut kedatangan beliau dengan persiapan matang dan alasan yang memukau, tentang mengapa mereka tak ikut perang Tabuk. Ka’ab bin Malik seorang sahabat utama yang tak pernah absen dalam setiap pertempuran -kecuali Badar- mengajukan kalimat terang dan jujur sebagai pilihan terpahit dan mereka tak ingin membohongi Rasulullah SAW agar dapat dimaklumi dan dimaafkan. Kepada Rasulullah menyatakan: “Amma hadza faqad shadaq,” (Adapun orang ini, maka benarlah ia).
Jujur, Jalan Bebas Hambatan
Suatu hari, dalam pertempuran yang sangat dahsyat datanglah seorang budak kepada Rasulullah yang sedang menghitung ghanimah. Beliau membagi orang itu bagian dari rampasan perang tersebut. “Bukan untuk ini berjihad,” jelasnya. “Lalu, untuk apa?” tanya Rasulullah SAW. “Agar saya bisa ikut membela islam, kena tombak disini (sambil menunjuk ke puncak dadanya) dan saya mati karenanya sebagai syahid lalu masuk surga,” jawab penggembala hitam itu. Tak lama kemudian orang menemukan jasadnya, ia telah syahid dengan luka persis di tempat yang ditunjukkannya tadi. Rasulullah berkata: ” Ia benar, maka Allah membenarkannya. “Dan, diantara empat kelompok yang Allah beri nikmat dan diletakkan setelah kedudukan para nabi, ialah kedudukan Ash Sidhiqin.” (QS An Nisa’:69)
Kejujuran puasa mestinya terus berlanjut dalam bentuk kejujuran hidup jauh selepas bulan Ramadhan yang penuh berkah itu. Bila seseorang bertaubat dengan memenuhi tiga syaratnya maka taubatnya akan diterima. Mencabut diri dari maksiat, menyesal sepenuh sesal atas maksiat itu, dan berazam sepenuh tekad untuk tidak kembali kepadanya.
Kejujuran cinta terhadap tanah air dan bangsa akan mengambil bentuk ghirah dan gairah yang hanya keselamatan dan kemajuannya. Tidak ada cinta tanpa cemburu (ghirah) sebagaimana tak ada kemuliaan tanpa pengorbanan. Allah menjadika rezeki paling mulia datang dari amal yang paling mulia (akramul arzaq ta’ti min akraminal a’maal). Betapa indah seseorang yang menyerahkan nyawanya kepada Allah untuk tegakknya kalimatullah. Seluruh dosanya –kecil dan besar dijamin dapat ampunan, kecuali hutang terhadap sesama manusia. Karenanya, rezeki yang didapat dalam jihad menjadi rezeki paling mulia. Ghanimah adalah harta paling mulia (jihad). Dan jihad me-loundry semua harta, dari manapun sumbernya dan bagaimanapun kotornya.
Ghirah dan Gairah
Sebuah rumah tangga yang baik ditandai dengan kehormatan dan harga diri warganya. Seorang bapak yang menjual kehormatan anak atau istrinya dengan gemerlap perangkat rumah tangga dan harta melimpah, sama sekali tidak berhak menyandang kehormatan anak seorang manusia sebatas manusia, jangan lagi dalam ukuran hamba beriman. Para pengambil keputusan di setiap bangsa dengan orientasi dunia dan hidup tanpa aqidah wajar-wajar saja membuka hubungan dengan bangsa predator dan agresor yang menzalimi sesama bangsa. Mereka tidak perlu mempertimbangkan harga diri dan kehormatan.
Tetapi bangsa beraqidah mempunyai nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai angka rupiah atau dolar. Mereka pasti akan malu kepada hewan yang umumnya punya rasa cemburu an harga diri. Lihatlah kemarahan harimau atas hilangnya anak tersayang. Atau ingatan yang amat kuat pada seekor gajah sirkus yang merasakan pedihnya kehilangan seorang teman yang mati dibunuh pemburu hutan. Ingatan itu muncul kembali saat sang pemburu menonton sirkus beberapa tahun kemudian.
Hanya babi yang tak punya rasa cemburu. Seekor babi jantan baru saja menggauli betinanya lalu dengan dungunya menonton anak kandungnya menggauli sang betina. Itulah toleransi dan hidup damai yang diimikan pemimpin bermental babi. Ia tak terusik oleh kekejaman umat lain terhadap ummatnya. Ia hanya berfikir bagaimana bangsanya bisa dapat banyak uang dan selamat dari lapar jasad.
Tentu saja kita tak boleh hidup dengan dendam seperti Yahudi, yang setiap datang hari jadi PBB selalu mengelabui kalangan awam untuk menonton film-film perang dunia (baca perang Nazi terhadap Yahudi) untuk menguras air mata pemirsa. Atau ketika dunia marah lantaran mereka menembaki ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek serta menjaring bocah-bocah intifadah dari heli dan menjatuhkannya dari ketinggian! Jangan ajarkan ummat untuk bertoleransi dan melindungi kaum minoritas, karena mereka keturunan leluhur yang telah menjadi guru dunia tentang hak asasi dan toleransi.
Apakah kutukan Allah yang mengubah manusia jadi kera hanya berlaku bagi Bani Israil? Sebenarnya kedewasaan iman dan kematangan akhlaq seorang Muslim tidak perlu merisaukan perubahan itu jasadiyah atau ruhaniyah. Apalah artinya kecantikan rupa bila watak dan perilaku telah berubah menjadi rakus, licik, kikir, peniru tanpa pertimbangan, pengimpor kerusakan dan dekaden. Mengapa masih banyak orang yang berlapang hati bahwa yang dikutuk jadi kera itu orang dulu, padahal dirinya sendiri telah menjadi kera dan babi.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-16 Kekalahan
Dalam sajak Aku, Chairil Anwar mengungkap sebuah obsesi tentang nafas dan stamina kehidupan, vitalitas, dinamika, dan yang jauh lebih penting: perlawanan. Dia ingin melawan ketidakmungkinan; dia ingin menembus masa; dia ingin mengabadi, maka dia berkata, “Aku mau hidup seribu tahun lagi.”
Akan tetapi, beberapa saat menjelang wafatnya, Chairil Anwar ternyata menyerah. Sakitnya parah. Ia mati muda. Namun, sebelumnya dia berkata. “Hidup hanya menunda kekalahan,”
Seorang pahlawan boleh salah, boleh gagal, boleh tertimpa musibah. Akan tetapi, dia tidak boleh kalah. Dia tidak boleh menyerah kepada kelemahannya; dia tidak boleh menyerah kepada tantangannya; dia tidak boleh menyerah kepada keterbatasannya. Dia harus tetap melawan, menembus gelap, supaya dia bisa menjemput fajar. Sebab, kepahlawanan adalah piala yang direbut, bukan kado yang dihadiahkan.
Di bawah godaan keterbatasan dan kelemahan, di bawah tekanan realitas tantangan yang sering terlihat seperti kabut tebal dari ketidakmungkinan, semangat perlawanan seorang pahlawan teruji. Maka, di alam jiwa individu, selalu ada yang kalah, lalu ia menjadi pengkhianat: sebab dia mengkhianati cita-citanya. Maka, dalam sejarah sebuah bangsa, selalu ada noda yang diteteskan oleh pengkhianatan: ketika mereka menyerah kepada kodrat mereka sebagai bangsa yang lemah; ketika mereka merasa bangga bernaung di bawah ketiak bangsa-bangsa lain; ketika sekelompok pengkhianat dari bangsa itu melepaskan diri dari identitas dan harga diri bangsa, lalu menjual bang-anya, semata karena mereka kehilangan kepercayaan untuk melawan.
Perlawanan bukanlah keberanian, walaupun ia merupakan bagiannya yang terpenting. Keberanian adalah anugerah. Akan tetapi, perlawanan adalah keharusan. Ketika Hekmatyar bersama tiga puluh orang Mujahidin Afghanistan dikepung tentara Uni Soviet, mereka memutuskan untuk tidak menyerah.
Mereka tidak mau sia-sia. Mereka harus melawan tank-tank sadis itu, walaupun hanya dengan batu. Jihad pun dimulai, sampai empat belas tahun kemudian mereka menang, walaupun dengan dua juta syuhada. Uni Soviet pun runtuh. Begitulah sejarah kepahlawanan ditulis dari perlawanan. Satu setengah juta orang Aljazair syahid untuk melawan penjajah Perancis. Adapun Bangsa Indonesia mengusir penjajah Belanda dan Jepang hanya dengan bambu runcing.
Akan tetapi, perlawanan bukanlah kenekatan. Tidak ada pertentangan antara perlawanan dengan realisme yang mengharuskan kita mempertimbangkan semua aspek secara utuh. Perlawanan adalah ruh dan jasadnya adalah realisme. Maka, ketika ruh itu hilang dalam diri kita, segeralah membuat keranda jenazah unluk mengubur mimpi kepahlawanan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-16 Pengantar Kebebasan Wanita (4)
Saya berharap, buku yang mengupas masalah wanita dalam masyarakat seperti ini sudah muncul beberapa abad yang silam. Sebab, kaum muslimin sudah jauh menyimpang dari tuntutan agama dalam memperlakukan kaum wanita. Di tengah-tengah umat Islam telah beredar riwayat-riwayat dan hadits-hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’ Yang mengantarkan wanita ke alam kebodohan dan keterbelakangan dalam bidang agama dan dunia sekaligus. Menyekolahkan anak perempuan dianggap maksiat dan mereka dilarang pergi ke masjid. Mengetahui keadaan umat Islam, baik yang menyangkut masa sekarang maupun masa depannya merupakan sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak wanita. Merendahkan kaum wanita danm enginjak-injak haknya, baik yang bersifat material maupun moral, sudah menjadi tradisi yang lumrah.
Kira-kira tiga tahun yang lalu, seorang khatib ternama, dengan nada kesal dan marah, berkata dalam khutbahnya: “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya untuk masa lalu ketika kaum wanita tidak keluar kecuali tiga kali, yaitu dari perut ibunya ke alam dunia, dari rumah orang tuanya ke rumah suaminya, dan dari rumah suaminya ke liang kubur!”
Semoga Allah tidak memberkahi masa tersebut dan semoga masa semacam itu tidak terulang lagi dalam sejarah umat Islam sebab yang demikian itu adalah masa jahiliah, bukan masa silam. Masa tersebut merupakan era kemenangan bagi tradisi zalim, bukan kelanjutan dari ash shirath al mustaqim (jalan yang lurus). Ketersisihan umat Islam ke dalam kelompok Dunia Ketiga dalam bidang ilmu pengetahuan, pendidikan, dan produktivitas, sebagian besar adalah diakibatkan oleh tradisi yang keliru tersebut.
Kemudian muncul kritikan terhadap pendapat tersebut dengan mengatakan: “Mengapa Anda tidak senang dengan ungkapan perasaan hati ulama yang ikhlas tersebut? Bukankah khutbahnya itu sejalan dengan isi hadits yang diriwayatkan dari Fathimah binti Rasulullah saw. Yaitu bahwa wanita tidak boleh melihat seseorang (laki-laki) dan tidak boleh dilihat oleh siapa pun? Bukankah hal itu pun dibenarkan oleh Rasulullah saw., sehingga beliau merangkul puterinya seraya berkata: ‘Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain?’ Bukankah hal itu merupakan legitimasi terhadap sikap menyendiri yang diterapkan Islam terhadap kehidupan kaum wanita muali dari ayunan sampai ke liang kubur?”
Lontaran kritik itu saya tanggapi dengan pernyataan, “Yang Anda sebutkan itu tadi adalah hadits munkar (tidak bisa diterima). Tidak pernah kitab ataupun As Sunnah yang mulia mengatakan hal itu. Anda mengungkapkan hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang mutawatir dari Al Quran dan hadits hadits sahih serta bertentangan dengan sejarah Nabi saw dan Khulafaur Rasyidin. Para pembuat hadits-hadits palsu dengan sengaja membuat hadits-hadits yang menyebabkan kaum wanita senantiasa berada dalam keadaan bodoh dan buta huruf. Hadits-hadits yang mereka lontarkan dipercayai oleh kalangan masyarakat yang mudah tertipu sehingga mereka tidak mau membuka sekolah untuk anak-anak perempuan. Mereka menciptakan hukum hukum yang melarang wanita pergi ke masjid. Mereka terus melangkah dalam kebodohan sehingga mereka memenggal fungsi wanita baik menyangkut agama maupun dunia, sebatas sisi kebinatangan semata. Akibatnya wanita kehilangan sisi kemanusiaannya”
Buku ini mengarahkan kaum muslimin kaum muslimin untuk kembali kepada sunnah Nabi Saw tanpa ditambah atau dikurangi sehingga dapat dijadikan dokumentasi berharga. Pengarangnya tergolong agama yang sangat mencibtai agamanya, menghargai ilmu pengetahuan, ikhlas membela yang hak, tidak suka debat kusir yang banyak disukai oleh ulama-ulama tanggung, memilih cara yang didasarkan pada pemaparan riwayat-riwayat yang disadur dari Bukhari dan Muslim, dan sedikit sekali beliau mengemukakan hadits-hadits di luar syaikh hadits Bukhari dan Muslim.
Dengan menyimak perkataan dan keterangan dari penulis buku ini Anda akan menemukan betapa luasnya ruang lingkup hubungan antara laki-laki dan wanita yang telah digariskan Islam. Anda pun akan menemukan betapa besar dan mulianya fungsi atau tugas yang berkaitan dengan kehidupan wanita. Penulis buku ini disamping menggariskan pedoman-pedoman yang benar dan bersumber dari hakikat Islam semata juga berupaya menjauhkan kaum muslimin dari tradisi Barat yang tengah dominan, serta menjauhkan mereka dari kekeliruan-kekeliruan yang menyelimuti peradaban modern. Kita harus menyelematkan manusia dari peradaban-peradaban tersebut dan tidak ingin kembali pada kekurangan dan kelemahan yang membuat kita kalah. Kita ingin kembali pada tradisi generas Islam zaman Nabi Saw dan masa-masa Khulafaur Rasyidin. Tidak ada kemuliaa selain dari masa seperti itu, apalagi jika dibandingkan dengan produk-produk generasi jahiliyah yang hanya menuruti hawa nafsu semata.
Muhammad Al Ghazali
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-16 Pengantar Shahih Fikih Sunnah
Sesungguhnya pujian itu milik Allah. Kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari jahatnya diri dan jeleknya amal. Siapapun yang telah Allah berikan petunjuk, pasti tidak ada seorangpun yang dapat membimbingnya. Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu hamba dan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. “ (QS Al Ahzab 70-71)
Amma ba’du…
Kitab Fikih Sunnah, karya Syaikh Sayyid Sabiq, termasuk kitab terbaik yang saya ketahui dalam hal materi, sistematika, dan bahasanya yang mudah dimengerti. Kitab ini terhindar dari ungkapan-ungkapan yang rumit, yang sedikit seklai kitab-kitab fiqh (hukum) Islam seperti ini dapat terhindar dari hal tersebut. Sisi-sisi positif inilah yang membuat para pemuda muslim tertarik mempelajarinya. Dalam mengenali agama mereka terutama sunnah yang suci dan memotivasi mereka menggali khazanah kelimuan yang dibutuhkan setiap muslim yang dikehendaki baik oleh Allah, sebagaimana sabda Nabi Saw.
“Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka Dia menjadikannya mengerti tentang agama.” Disepakati keshahihan hadits ini. Hadits ini ada pada Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah (No. 1194)
Saya rasa penerbitan kitab ini merupakan suatu keharusan pada masa seperti sekarang ini. Hal ini karena sudah jelas banyak kaum muslimin yang tidak mungkin dapat selamat dari penyimpangan, perselisihan, kehancuran, dominasi orang kafir dan fasik atas mereka kecuali kembali kepada kitrabullah dan sunnah Rasul-Nya. Hanya dengan keduanya mereka menyelesaikan urusan-urusan agama dan persoalan-persoalan hukum.
Bagi kaum muslimin kebanyakan harus ada sumber pegangan yang terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka ketika muncul permasalahan, sedikit atau banyak, dan tidak membutuhkan banyak sumber rujukan dan ensiklopedia. Maka Allah menganugerahkan Al Ustadz Sayyid Sabiq kemampuan untuk menyuguhkan karyanya (Fikih Sunnah) kepada mereka. Semoga Allah memudahkan dan menerangi jalan mereka dan membalas kebaikan bagi beliau.
Untuk itu, saya senantiasa menghimbau kepada setiap pecinta As Sunnah dan penolong kebenaran (Al Haq) untuk menerima dan memanfaatkan kitab tersebut sejak terbit jilid pertamanya dalam ukuran kecil hingga menyebar ke lapisan ikhwah salafiyyin dan yang lainnya di Damaskus dan kota-kota lain di Syiria dan luar Syiria.
Fenomena ini melahirkan banyak pertanyaan tentang persoalan-persoalan dan maslah hadits yang dimuat di dalamnya yang mereka ajukan kepada saya. Saya menjelaskan ke[ada mereka apa yang saya ketahui dan ternyata banyak jawaban saya yang berbeda dengan kitab tersebut dan di dalamnya terdapat banyak hadits yang saya nilai dhaif dan banyak pembahasan yang saya anggap keliru. Setelah tahu bahwa hal itu benar sebagian dari para pecinta Fikih Sunnah dan penyebarnya menyarankan agar saya menghimpun jawaban-jawaban tersebut Dalam bentuk kitab dan menyebarluaskannnya.
Pada mulanya saya berkeberatan. Namun karena permintaan itu datang berualang kali dan banyak dari mereka yang terus mendesak akhirnya saya penuhi keinginan mereka karena hal tersebut mengandung gagasan menyatukan mereka di atas dasar Al Quran dan As Sunnah dan memberantas perselisihan dan bid’ah fanatismme madzab sebagaimana dijelaskan dalam pendahuluan kitab, di samping membersihkannya dari kekeliruan fiqhiyah dan hadits hadits dhaif.
Sebenarnya saya igin menerima tawaran kerja sama langsungdi bidang pemikiran dari salah seorang teman yang datang ke Mesir. Namun karena banyaknya kendala, seperti berjauhannya tempat tinggal dan sulitnya kesempatan bertemu, maka kerjasama dalam jarak jauh pun bisa. Seperti kata pepatah, “Jika tidak bisa diperoleh semua, jangan ditinggalkan seluruhnya.”
Akhirnya, dengan lapang dada dan hati tentram, saya mulai membaca dengan tekun dan serius beberapa bagian dari kitab itu. Setiap kali saya dapatkan kalimat yang memerlukan perhatian lebih, saya catat dengan diberi komentar. Belum selesai memberi catatan penting, saya merasa harus melakukan sesuatu, karena saya mendapatkan banyak kesalahan, bahkan kesalahan besar yang saya tidak memperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu, atas pertolongan Allah, bagiNya segala pujian dan dariNya anugerah, saya merasa harus meluruskan kesalahan-kesallahan itu.
Agar dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dalam memperoleh gambaran umum, saya sebutkan secara global kesalahan-kesalahan tersebut dengtan sedikit penjelasan. Kira-kira kesalahan tersebut dapat saya ringkas sebagai berikut:
- Banyak hadits-haddits yang tidak dijelaskan kedudukannya ternyata hadits-hadits dha’if.
- Beberapa hadits lain yang dinilai kuat, setelah dilacak ternyata sangat lemah.
- Beberapa hadits yang dianggap dha’if sebenarnya shahih, atau melalui sanad-sanad lain yang kuat.
- Beberapa hadits tidak dinisbatkan kepada Bukhari-Muslim, padahal ada padanya atau salah satunya.
- Beberapa hadits disandarkan kepada salah satu Shahihain atau kepada lainnya, padahal tidak ada penyandarannya.
- Beberapa hadits yang tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab sunnah.
- Ada hadits yang dikatakan bersumber dari salah seorang shahabat tertentu yang dkisahkan oleh sejumlah besar perawi hadits, padahal hadits tersebut menurut mereka bersumber dari shahabat lain atau lebih dari satu shahabat.
- Menisbatkan hadits kepada perawinya tetapi tidak menjelaskannya, padahal dalam periwayatan yang shahih.
- Kurang respek terhadap dalil-dalil sandaran suatu permasalahan, sehingga sering ada pembahasan masalah tanpa dalil pendukung. Terkadang mengargumentasikan qiyas padahal ada hadits shahih, atau mengambil dalil umum padahal ada dalil khusus.
- Kurang menguasai permasalahan mandi sunnag atau semisalnya.
- Menampilkan beberapa pendapat yang saling bertentangan dalam suatu masalah tanpa mentarjihkan (mengunggulkan) salah satunya.
- Adanya kebimbangan pendapat dalam beberapa permasalahan, sehingga banyak pendapat yang disebutkan di awal pembahasan, kemudian dibatalkan di akhir pembahasannya.
- Menguatkan salah satu pendapat yang saling bertentangan, yang sebenarnya tidak berhak untuk dikuatkan karena dalilnya yang lemah dan kuatnya dalil yang digunakan oleh lawan.
- Menyelisihi hadits shahih yang tidak ada hadits lain yang menntangnya.
Jenis yang terkahir ini merupakan jenis kesalahan mualif yang besar. Mu’alif tidak konsisten dengan arahan atau misi beliau dalam karyanya tersebut, agar kita berpegang dengan As Sunnah. Lebih-lebih beliau beralasan karena mayoritas ulama tidak merujuk hadits terkait dalam masalah atau karena mereka tidak mengenal orang yang melaksanakan hadits tersebut dalam masalah lain. Inilah sikap keliru orang-orang yang mengekor taqlid dalam menolak atau menentang Sunnah. Tentang kesalahpahaman ini akan dijelaskan dengan pendapat Imam Asy Syafi’i yang membatalkan dan mencabut hingga akar-akarnya. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.
Sebagai tambahan, saya sebutkan bahwa saya mengomentari dan mengungkapkan kekeliruan-kekeliruan Fikih Sunnah bukan untuk bermaksud merendahkan penulisnya sama sekali. Akan tetapi, saya bertujuan menolong kebenaran dengan kebenaran, menjaga Fikih Sunnah dari kesalahan sedapat mungkin, sehingga menjadikan kitab tersebut dapat dterima dan bermanfaat bagi segenap manusia serta bisa untuk memotong tuduhan benar atau salah dari lawan-lawan pemikiran penulis Fikih Sunnah –semoga Allah menambah pertolonganNya- hendaklah berkenan untuk meninjau kembali apa yang telah beliau tulis sekarang, mengoreksi kesalahan-kesalahan dan tidak gegabah menerbitkan bagian-bagian dari karyanya itu, kecuali setelah jelas kebenarannya dan selamat dari kesalahan-kesalahan dan hadits-hadits dha’if. Sesungguhnya pada yang shahih itu ada sesuatu yang tidak membutuhkan yang lemah.
Ketika akan memulai pemberian komentar terhadap Fikih Sunnah, saya sempat ragu-ragu tentang cara yang harus saya pergunakan, apakah akan saya nukil semua kalimat yang akan dikomentari atau cukup menyalin bagian awalnya saja sebagaimana kebiasaan dalam penulisan komentar.
Akhirnya, saya memilih cara yang pertama, yaitu cara yang lebih banyak memberi manfaat dan kejelasan kepada orang yang tidak mempunyai teks asli kitab Fikih Sunnah, karena ia dapat memahami kalimat yang dikritik dan memuat hadits-hadits dha’if tanpa harus melihat teks aslinya, meskipun tentu saja cara ini terkesan mengulang-ulang kalimat, terutama bagi orang yang memiliki teks asli Fikih Sunnah.
Karya komentar ini saya beri judul Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhus Sunnah, Kesempurnaan Anugerah dalam Mengomentari Fikih Sunnah.
Saya memohon semoga Allah SWT menjadikan tulisan saya ini tulus karena wajahNya yang Mulia dan bermanfaat secara umum. Sesungguhnya, Dialah Zat yang Maha Mendengar lagi Maha Memperkenankan.
Muhammad Nashiruddin Al Albani
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-16 Mukadimah Tazkiyatun Nafs (2)
Para murabbi (pendidik dan pembina) di zaman kita menghadapi kondisi yang sangat genting, yaitu hati manusia membatu dan penyakit-penyakitnya seperti dengki dan ujub tersebar luas. Berinteraksi dengan sesama secara baik telah melemah. Jihad dan amar ma’ruf nahi munkar pasti terpengaruh oleh hal-hal itu. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi orang-orang yang menginginkan perbaruan komitmen keislaman untuk berpikir demi menghidupkan nilai-nilai spiritual dari berbagai bentuk peribadahan dan demi menghiasi jiwa dengan akhlak kehambaan dan menyucikan dari berbagai naluri kebinatangan dan kesetanan.
Jika telah jelas bahwa penyebab langsung kematian hati adalah kehilangan nilai-nilai spiritual dan keimanan seperti sabar, syukur, takut kepada Allah yang semua itu merupakan keharusan demi maslahat kehidupan dan jika sudah jelas pula bahwa penyebab langsung kematian itu adalah dengki, ujub, ghurur (tertipu) yang semua itu adalah hal-hal yang sangat berbahaya bagi kehidupan maka konsentrasi kepada pengkajian nilai-nilai ini menjadi kewajiban bagi orang-orang yang menghendaki perbaikan kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Karena sisi mu’amalah dan perkataan merupakan dua sisi yang paling dipengaruhi oleh berbagai kekurangsempurnaan ibadah dan berbagai penyakit hati, maka kedua sisi ini kami berikan perhatian dalam buku ini.
Saya menyeleksi aspek-aspek qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) yang seharusnya menyertai berbagai ibadah, penyakit-penyakit yang harus dihindari oleh hati seperti dengki, aspek-aspek utama yang mesti terealisasi dalam hati seperti sifat sabar, tawakal, takut dan cinta, serta aspek-aspek utama yang harus menjadi akhlak manusia.
Saya mengangkat pembahasan mengenai adab-adab lisan dan adab-adab berinteraksi, dimulai dari adab guru dan murid hingga adab berinteraksi dengan orang tua, kerabat dan masyarakat dengan tambahan bahasan tentang jiwa, setan, dan cara-caranya merasuki manusia. Menurut pendapat saya, hal-hal inilah yang harus dijadikan pelajaran oleh kaum muslimin pada zaman kita sekarang.
Gerakan Islam kontemporer menghadapi permutadan dari agama Islam yang hampir lebih besar dari pemurtadan dahulu. Oleh karena itu, gerakan Islam harus mengerahkan seluruh kekuatan ilmiah dan fikriahnya untuk membebaskan manusia dari pemurtadan itu. Muncullah aliran pembaruan Islam kontemporer, ustadz Hasan Al Banna mempeloporinya, dialah pelopor setiap kebaikan, dialah pelopor dalam hal pemberian nasihat, pengajaran, penyucian jiwa, dan lain-lain, sehingga arus pembaruan ini menjalar ke semua hal. Kebutuhan langsung pada waktu itu terkadang menuntut penjelasan secara terperinci. Oleh sebab itu, sebagian nilai-nilai tersebut bersifat global, seperti hakikat perjalanan spiritual dan hati menuju Allah.
Sudah menjadi keharusan bagi anak-anak didik madrasah Hasan Al Banna untuk menjelaskan nilai-nilai itu secara terperinci, karena masa sekarang menuntut penjelasan terperinci dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam dakwahnya, yaitu prinsip-prinsip yang telah baku, tinggi derajatnya, dan komprehensif yang bersumber dari ilmu dan pengalaman.
Gerakan Islam kontemporer dalam salah satu periodenya pernah hanyut dalam sikap hanya mempertahankan Islam dari berbagai tuduhan dan menyerang para konspirator, sehingga mengabaikan sebagian kewajibannya, seperti menulis tentang masalah-masalah ini, sehingga dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Sekarang sudah waktunya kita beralih menghidupkan nilai-nilai tazkirah atau penyuci jiwa karena pergerakan Islam mulai meluas, aktivitasnya mulai bercabang dan timbul berbagai sudut pandang yang dikhawatirkan menyebabkan beberapa hal berjalan tidak semestinya atau membuat lemahnya benih cahaya di lubuk hati. Walaupun buku-buku turats (karya ulama-ulama terdahulu) penuh dengan nilai-nilai itu dan banyak yang dapat dijadikan acuan dalam masalah ini, tetapi apa yang tercakup di dalamnya terkadang sesuai dengan zaman kita dan terkadang melebihi keperluan kita atau terkadang kurang dari keperluan seorang muslimin biasa. Disamping itu, banyak hal yang diperselisihkan dan menjadi pangkal perdebatan panjang.
Saya yakin bahwa pembahasan-pembahasan yang saya sebutkan dalam buku ini adalah amal baik yang mendekatkan kepada Allah dan menjauhkan dari murka-Nya. Pembahasan-pembahasan itu termasuk ilmu-ilmu yang hukum menuntutnya fardu ‘ain bagi setiap muslim dan muslimah dan sangat diperlukan pada zaman kita yang kosong spiritual ini. Jika pembaruan Islam meliputi pembaruannya pada tingat individu, keluarga, bangsa dan kemanusiaan, juga meliputi tingkat masyarakat dan pemerintah, maka penghidupan rohaniah yang didahulukan demi terwujudnya pembaharuan Islam menyeluruh. Selama hati mati, jiwa tidak disucikan dan tidak ada kepada Allah dan makhluk-Nya, maka tidak ada pembaruan di muka bumi Islam. Karena itulah nilai-nilai ini kami susun dalam buku ini.
Walaupun jarang ada hasil seleksi dari sebuah buku yang tampil dengan tetap menjaga keutuhan sistematika pembahasan dan temanya sebagaimana telah saya sebutkan diawal, namun untuk menghindari hal-hal yang seharusnya dihindari itu, saya menambah banyak tulisan, mengubah susunan, dan menyusun mukadimah pada setiap bab. Buku ini saya bagi menjadi empat bab dan sebuah penutup.
Bagian pertama berisi penjelasan tentang adab-adab guru dan murid. Bagian kedua berisi penjelasan tentang sarana-sarana penyucian jiwa berupa berbagai ibadah dan amal (perbuatan). Bagian ini meliputi tiga belas bab. Bagian ketiga berisi penjelasan tentang hakikat penyucian jiwa. Bagian ini meliputi tiga bab. Bagian keempat berisi penjelasan mengenai pengendalian lisan dan adab berbagai interaksi.
Ketika membaca buku ini pembaca akan merasa berada di hadapan khazanah nilai-nilai yang amat tinggi. Mereka akan mendapatkan pendalaman materi berkenaan dengan masalah penyucian jiwa sehingga ia akan membacanya berkali-kali karena banyak hal yang tercantum dalam kajian buku ini termasuk ke dalam ilmu yang hukum menuntutnya fardu áin bagi setiap muslim dan muslimah.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-16 Latar Belakang Penulisan Buku Kebebasan Wanita
Pendahuluan
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keaduan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahlm. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71)
Buku ini merupakan buah karya hamba Allah yang lemah, yang berusaha membahas topik permasalahan yang sangat besar dan penting. Hanya Allah –sebelum dan sesudahnya– tempat kita meminta pertolongan dan kepada-Nya juga penulis bertawakal serta berserah diri.
A. Latar Belakang Penulisan Buku
Telah sekian tahun penulis bertekad melakukan kajian yang mendalam tentang Sirah Nabawiyyah (Sejarah Kehidupan Nabi saw.) berdasarkan buku-buku Sunnah agar kita memiliki pegangan yang lebih kuat dan mantap. Bagaimana pun, kisah atau sejarah kehidupan Nabi saw. belum mendapatkan perhatian yang cukup sehingga banyak sanad yang belum ditahqiq (diteliti). Akibatnya, masih sangat sulit untuk menentukan mana yang sahih dan mana yang dhaif. Faktor yang mendorong penulis melakukan pekerjaan ini adalah kenyataan bahwa Sirah Nabawiyyah yang mengetengahkan kehidupan Rasulullah mengandung banyak sekali perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang masuk ke dalam kategori Sunnah, sehingga dapat ditiru oleh kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Karena itu, sirah harus diketengahkan kepada kaum muslimin dengan dalil yang lebih kuat sehingga mereka dapat mengikuti petunjuknya dengan perasaan tenang dan mantap melalui keabsahan dalil-dalil yang dijadikan pegangan. Perlu juga penulis sebutkan di sini bahwa kecenderungan untuk mempelajari sirah melalui kitab-kitab Sunnah merupakan akibat hubungan penulis dengan seorang yang alim dan ahli hadits, Syekh Nashiruddin Al Albani. Penulis pernah belajar kepada beliau dan merasakan bahwa masa tersebut merupakan masa yang indah dan penuh berkah. Penulis memulainya dengan mempelajari kitab Shahih Muslim beserta Syarah Imam An Nawawi. Namun, ketika menguraikan dan mengelompokkan hadits-hadits tersebut, penulis sempat dikejutkan oleh beberapa hadits yang bersifat praktis dan operasional serta berkaitan dengan masalah wanita dan hubungannya dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Yang mengejutkan itu adalah bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang sama sekali dengan apa yang penulis pahami dan praktekkan selama ini, bahkan dengan apa yang dipahami dan dipraktekkan oleh berbagai kelompok keagamaan yang pernah berhubungan dengan mereka. Mereka terdiri atas berbagai aliran, seperti organisasi asy-Syari’ah, Ikhwanul Muslimun, kelompok Sufi, kelompok Salaf, Partai Pembebasan Islam, dan lain-lain. Bahkan, hadits-hadits tersebut –karena vital dan pentingnya– telah menarik penulis untuk membenahi persepsi mengenai karakteristik wanita muslimah dan sejauh mana keterlibatannya dalam berbagai bidang kehidupan pada zaman kerasulan Muhammad saw.
Di sini penulis kemukakan kepada pembaca apa yang diisyaratkan oleh beberapa hadits dengan harapan pembaca akan menemukan sesuatu yang baru, sekaligus tertarik, untuk kemudian melakukan peninjauan kembali terhadap kenyataan yang sedang kita hadapi sesuai dengan tuntunan hadits-hadits tersebut, seperti:
- Wanita muslimah menghadiri shalat isya dan subuh di masjid Rasulullah saw.
- Wanita muslimah menghadiri shalat Jum’at dan menghapal surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullah saw. sendiri.
- Wanita muslimah menghadiri shalat gerhana, meskipun waktunya panjang, bersama Rasulullah saw.
- Wanita muslimah beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan di masjid Rasulullah saw.
- Wanita muslimah mengunjungi suaminya, yaitu Rasulullah saw., yang sedang beri’tikaf di masjid.
- Wanita muslimah memenuhi undangan ke pertemuan umum di masjid yang disampaikan oleh muazin Rasulullah saw.
- Wanita muslimah menuntut Rasulullah saw. memberikan pelajaran khusus bagi mereka, sebab kesempatan di masjid lebih banyak dikuasai oleh kaum laki-laki.
- Wanita muslimah mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta fatwa tentang berbagai masalah, baik yang bersifat pribadi ataupun umum.
- Wanita muslimah menyuruh kaum laki-laki berbuat ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.
- Wanita muslimah menerima tamu, di antara mereka terdapat Rasulullah saw., dan menghidangkan makanan kepada mereka.
- Wanita muslimah menyediakan rumahnya untuk para tamu yang berasal dari kalangan muhajirin gelombang pertama.
- Wanita muslimah duduk bersama suaminya dan ikut santap malam bersama tamunya.
- Wanita muslimah melayani tamu laki-laki dalam suatu resepsi perkawinan dan menyuguhkan minuman segar kepada Rasulullah.
- Wanita muslimah ikut dalam beberapa peperangan Rasulullah saw., bertugas memberi minum para pasukan yang kehausan, mengobati yang terluka, serta mengangkut yang terbunuh dan terluka ke Madinah
- Wanita muslimah memohon kepada Rasulullah saw. untuk mendoakan agar dirinya dapat mati syahid bersama pasukan marinir pertama, dan permohonannya itu dikabulkan oleh Rasulullah saw.
- Wanita muslimah menghadiri shalat ‘id bersama Rasulullah saw. dan kaum wanita mendapatkan wejangan khusus dari Rasulullah saw. seusai khotbah ‘id.
- Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. –meskipun masih gadis remaja dan dalam pingitan– supaya keluar menghadiri shalat ‘id agar dapat menyaksikan suatu pertemuan yang baik dan mengikuti doa orang-orang mukmin.
- Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. –meskipun dalam keadaan haid– supaya keluar menghadiri shalat ‘id, tetapi agak menjauh dari mushalla (tempat shalat). Tempat mereka adalah di belakang jamaah serta ikut bertakhir dan berdoa bersama mereka.
Karena kuatnya tarikan tersebut, penulis mengubah haluan pengkajian dari proyek penulisan Sirah Nabawiyyah pada proyek pengkajian wanita muslimah pada masa kenabian. Kondisi wanita muslimah pada masa kenabian memberikan gambaran yang jelas sekali tentang udara kebebasan yang dapat dihirup kaum wanita. Yang mendorong penulis mengerjakan proyek baru ini adalah bahaya besar yang pernah dan masih penulis rasakan, yaitu dominasi visi dan persepsi yang bertolak belakang dengan ajaran agama mengenai emansipasi wanita. Apalagi, sikap yang bertolak belakang dengan ajaran agama itu sudah sangat kental terdapat dalam jiwa beberapa kelompok umat Islam yang taat beragama dan antusias sekali menegakkan syariat Islam, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Mengatakan yang hak itu hak dalam soal wanita sama pentingnya dengan mengatakan yang hak itu adalah hak dalam aspek mana pun dari aspek-aspek syariat karena kedua-duanya sama-sama memperjuangkan agama Allah. Namun demikian, masalah wanita memiliki urgensi tersendiri karena beberapa pertimbangan berikut:
- Bagi seorang muslim, wanita adalah ibu, saudara perempuan, istri, atau anak perempuan. Jika keempat status itu dihimpun oleh seorang wanita, maka manusia manakah yang lebih mulia daripadanya?
- Wanita muslimah paling sering dijadikan mangsa oleh dua jenis jahiliah: jahiliah abad keempat belas hijrah, yaitu jahiliah dalam sikap yang berlebihan, keras, dan taklid buta yang dimiliki oleh kaum bapak, dan jahiliah abad kedua puluh masehi, yaitu jahiliah yang memamerkan aurat, melakukan seks bebas, dan taklid buta terhadap Barat. Kedua jenis jahiliah tersebut tidak sesuai sama sekali dengan syariat Allah.
- Rasulullah saw. bersabda: “Wanita itu adalah saudara kandung pria.” (HR Abu Daud)[1] Menolong wanita muslimah berarti menolong insan muslim dengan kedua belah pihaknya, yaitu yang teraniaya dengan menyadarkan dan membersihkannya serta yang menganiaya dengan mengembalikannya ke jalan yang benar dan tidak berbuat aniaya lagi, sebagai pelaksanaan terhadap perintah Nabi saw. yang berbunyi: “Bantulah saudaramu yang menganiaya atau yang teraniaya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, yang ini kami bantu karena dia teraniaya. Tetapi bagaimana kami membantunya kalau dia yang menganiaya?” Rasulullah saw. menjawab: “Kalian tahan tangannya.”[2] Dan menurut satu riwayat: “Kamu cegah dia dari berbuat aniaya, itulah pertolongan kepadanya.”[3]
- Wanita adalah setengah masyarakat. Jika kaum wanita tidak berfungsi berarti separuh kehidupan manusia tidak berfungsi dengan melahirkan generasi mukmin mujahid yang cemerlang atau tidak berfungsi dari berpartisipasi dalam membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial maupun politik. Namun, hal itu tidak menafikan tidak berfungsinya “setengah yang lain” (kaum laki-laki) sampai ke tingkat yang cukup memprihatinkan. Dengan begitu, membebaskan wanita muslimah sama artinya dengan membebaskan setengah masyarakat muslim, dan wanita tidak dapat bebas kecuali bersamaan dengan bebasnya kaum laki-laki. Selanjutnya kedua kelompok tersebut tidak akan pernah bebas kecuali dengan mengikuti petunjuk Allah.
- Di balik semua itu, Allah telah memberikan perasaan yang halus kepada wanita sehingga mereka senang beragama asalkan saja mendapatkan pengarahan yang baik dan bijaksana. Hal ini mengingatkan penulis pada kata-kata dua orang ulama masa kini yang karyanya pernah penulis baca. Ulama pertama[4] berkata: “Mereka (wanita) paling siap mempelajari agama, memiliki akhlak yang baik dan berbuat kebajikan. Mereka paling siap mendengar dan mengikuti asalkan saja mereka menemukan pembimbing, laki-laki maupun wanita, yang bijaksana dan saleh serta dapat menunjukkan kebenaran dan dengan kebenaran itu dia melakukan perubahanperubahan terhadap wanita.” Sementara ulama kedua[5] berkata: “Ketika saya bergelut dengan tugas memberikan fatwa melalui radio dan televisi selama bertahun-tahun, saya mendapatkan sejumlah catatan penting. Sekian ribu surat yang saya terima itu berasal dari berbagai negara dan dari berbagai kelompok manusia, yang masih remaja dan sudah tua atau dari kalangan laki-laki dan wanita. Surat-surat tersebut bersifat pribadi dan umum. Di antara catatan-catatan penting tersebut, yang pertama, adalah agama dalam masyarakat kita masih berada di garis terdepan dalam soal memberikan pengarahan dan pengaruh. Kedua, bahwa wanita secara umum lebih peduli terhadap agama dibandingkan dengan laki-laki. Tampaknya, apa yang dikaruniakan Allah kepada wanita berupa perasaan yang halus, sifat santun, dan rasa kasih sayang telah membuatnya lebih dekat kepada fitrah/naluri keagamaan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Karena itu, tidak heran jika kepedulian wanita terhadap agama lebih besar dan rasa takutnya akan ‘hisab’ yang jelek lebih kuat. Masih banyak kita lihat wanita yang sebelumnya suka buka-bukaan, kemudian sadar atas kemauan sendiri dan kembali menutup aurat serta mengikuti etika Islam, meskipun berbagai upaya dan cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk merusak mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga tidak aneh jika kita melihat banyak gadis remaja dan kaum ibu yang memakai pakaian gaya Barat modern (yang bertentangan dengan tuntunan agama), tetapi mereka tetap rajin melakukan shalat, puasa, haji, umrah, dan rukun-rukun Islam lainnya. Artinya adalah bahwa benih-benih agama yang ada di dalam dada mereka belumlah mati. Rasa keterpautan dan perhatian pada agama, meskipun sedikit, masih hidup sehingga membuatnya tetap konsisten, tumbuh dan berkembang, kemudian berbuah dan menghasilkan dalam waktu dekat dengan izin Tuhannya. Dengan demikian, dia dapat bebas dari bayang-bayang kehancuran yang senantiasa menghantui hidupnya.”
Tidak heran jika kedua orang ulama yang mulia itu berkata demikian sebab nash-nash petunjuk Nabi saw. membuktikan apa yang mereka katakan itu. Sebagai contoh adalah Aisyah r.a.. Dia senang dan mendambakan sekali agar dirinya boleh ikut berjihad, sehingga dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal, apakah kami boleh ikut berjihad?” (HR Bukhari)[6] Selain itu ada Ummu Haram yang ingin mati syahid bersama pasukan marinir. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, tolonglah doakan semoga Allah menjadikanku bersama mereka.” Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.” (HR Bukhari)[7] Lihat pula seorang wanita yang bekerja dengan tangannya sendiri, kemudian bersedekah dengan hasil usahanya itu. “Adalah Zainab binti Jahasy orang yang paling takwa kepada Allah, paling suka menyambung silaturrahim, paling banyak bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk melakukan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia dapat bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.” (HR Muslim)[8]
Ada pula sejumlah wanita yang meminta dan mengharapkan diberi kesempatan yang lebih luas lagi untuk menimba ilmu pengetahuan dari Nabi saw. Sejumlah wanita berkata kepada Nabi saw.: “Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki dalam merebut kesempatanmu. Karena itu tolonglah engkau sediakan harimu untuk kami.” (HR Bukhari dan Muslim)[9] Ada lagi sejumlah wanita yang bersedekah dan berkorban lebih banyak daripada kaum laki-laki. Rasulullah saw. bersabda:
“Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah dari kalangan wanita.” (HR Muslim)[10]
Sebelum masuk Islam, wanita Quraisy adalah orang yang sangat lembut hatinya dan sangat senang mendengarkan Kalamullah. “Dari Aisyah r.a. dikatakan bahwa Abu Bakar membangun sebuah masjid di pekarangan rumahnya. Dia melaksanakan shalat dan membaca Al Qur’an di masjid tersebut. Lalu datang berduyun-duyun ke tempat itu wanita-wanita Quraisy bersama anak-anak mereka karena mereka kagum dengan apa yang dibaca Abu Bakar dan mereka memperhatikan Abu Bakar. Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut dan berkata: “Kami khawatir ia memperdaya istri dan anak-anak kami.” (HR Bukhari)[11]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut. Artinya mereka mengkhawatirkan orang-orang kafir karena mereka mengetahui kelembutan hati para istri dan pemuda-pemuda mereka yang mengkhianatinya cenderung pada agama Islam. “[12]
Masih berkaitan dengan masalah motivasi, perhatian penulis terhadap gagasan ini semakin bertambah setiap membaca tulisan dan artikel atau mendengarkan ceramah tentang wanita dalam Islam. Pendapat saya sering berbenturan dengan pendapat para ulama yang mulia, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yang tidak sejalan dengan apa yang terdapat dalam buku-buku Sunnah yang berisi nash-nash sahih dan tegas (sharih).
Saya akan mengemukakan dua contoh saja mengenai pendapat ulama terdahulu. Sebuah riwayat yang datang dari Ikrimah dan Asy Sya’bi dalam kitab Ath Thabari mengatakan tentang diharamkannya paman dan bibi melihat perhiasan wanita kemenakannya. Dalam membahas masalah ini mereka disamakan dengan kalangan asing (ajnabi). Hadits ini dikutip turun-temurun oleh para penulis umumnya dan mufassir (ahli tafsir) khususnya selama berabad-abad hingga sekarang ini, tanpa meneliti matan riwayat tersebut atau sejauh mana sejalannya dengan Sunnah, juga tanpa memperhatikan apa yang menyebabkan datangnya riwayat ini.
Dari segi matan, ada hadits –yang berfungsi untuk menjelaskan Kitabullah– yang menyebutkan bahwa paman dan bibi sama haknya dengan mahram-mahram lain sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut:
“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-lakiyang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …” (An Nuur: 31)
Hadits yang dimaksud adalah hadits Aisyah r.a. berikut ini:
“Aflah, saudara Abul Qu’ais, minta izin (untuk bertemu denganku) setelah diturunkannya ayat hijab. Aku berkata: ‘Aku tidak bisa memberi izin kepadanya sampai aku minta izin pada Nabi saw. tentang dia. Sesungguhnya saudaranya Abul Qu’ais bukanlah dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais.’ Kemudian Nabi saw. datang kepadaku, lalu aku katakan padanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara Abul Qu’ais minta izin untuk bertemu denganku. Tetapi aku enggan memberikan izin kepadanya sebelum aku minta izin terlebih dahulu kepadamu.’ Lalu Rasulullah saw. berkata: ‘Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak mengizinkan masuk pamanmu sendiri?’ Aku jawab: ‘Wahai Rasulullah, lelaki itu, bukan dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais. ‘Lantas Rasulullah saw. bersabda: ‘Izinkanlah dia masuk, sebab dia itu adalah pamanmu, dan hal itu tidak jadi masalah bagimu.'” (HR Bukhari dan Muslim)[13]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dengan mengetengahkan hadits ini, seolah-olah Bukhari ingin menjawab pendapat orang yang tidak senang ketika seorang wanita melepaskan kerudungnya di depan paman atau saudara laki-laki dari ibu (khal). Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thabari melalui Daud bin Abu Hindun dari Ikrimah dan asy-Sya’bi. Kepada mereka berdua ada yang bertanya: “Mengapa tidak disebutkan paman dan saudara laki-laki dari ibu (khal) dalam ayat tersebut?” Kedua ulama ini menjawab: “Sebab paman dan khal bisa menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya.” Karena itulah Ikrimah dan asy-Sya’bi tidak senang jika seorang perempuan melepaskan kerudungnya di hadapan paman atau khalnya. Hadits Aisyah tentang kisah Aflah di atas dapat menjawab pendapat Ikrimah dan asy-Sya’bi ini. Inilah di antara ketelitian yang terdapat dalam bab-bab Shahih Bukhari.”[14]
Al Hafizh ibnu Hajar juga berkata: “Kalau ada yang bertanya, mengapa dalam ayat tersebut tidak disebutkan paman dan khal?” Jawabannya: “Penyebutan paman dan khal tersebut cukup dalam bentuk isyarat saja. Sebab paman sama kedudukannya dengan bapak dan khal sama kedudukannya dengan ibu.” Adapula yang mengatakan karena paman dan khal dapat menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah dan asy-Sya’bi. Tetapi pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama.[15]
Sementara itu, asy-Syaukani berkata: “Tidak disebutkan paman dan khal karena kedudukan mereka sama dengan kedua orang tua.”[16] Sedangkan pelarangan lebih disebabkan oleh kekhawatiran paman dan khal akan menceritakan kondisi keponakannya kepada anak laki-lakinya untuk kemudian menjodohkan mereka. Kalau kita pikirkan secara cermat, alasannya terasa lemah sekali. Sebab atas dasar motivasi apa paman dan khal menceritakan keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya –kalau hal itu benar-benar mereka lakukan– selain mendorong mereka untuk kawin? Jika memang itu yang dikhawatirkan, mengapa larangan itu hanya berlaku untuk paman dan khal dari pihak bapak, sementara bibi dari ayah dan ibu tidak? Bahkan, mengapa paman dan khal dari pihak bapak termasuk ke dalam larangan sementara perempuan lain yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali tidak dilarang? Kami kira orang yang memiliki hubungan darah pasti memiliki lebih besar kepeduliannya dalam menjaga kehormatan kaum keluarganya. Mengapa berprasangka buruk semacam itu? Mengapa harus berperasaan yang bukan-bukan terhadap kaum keluarga? Selain itu, mengapa harus menyalahi dalil aqli dan naqli? Rasa hormat macam apa lagi yang masih tersisa dalam hati seorang keponakan terhadap paman dan bibinya jika dia sudah khawatir bahwa paman dan bibinya itu akan menghancurkan kehormatannya?
Dalam satu referensi dari abad kelima yang mengulas hadits Aisyah berbunyi:
“Mereka (kaum wanita) pulang dari menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. dan mereka berselubung dengan kerudung. Mereka tidak bisa dikenali karena sangat gelapnya malam hari.”
disebutkan hal berikut ini:
“Yang lazim, Nabi saw. menunggu hari agak terang (untuk melakukan shalat subuh). Kalau pada suatu waktu sudah tetap waktu melakukannya ketika hari masih gelap disebabkan alasan bepergian (safar). Atau mungkin hal itu dilakukan ketika ikutnya kaum wanita melaksanakan shalat berjamaah. Tapi kemudian hal ini sudah dinasakh dengan keluarnya perintah supaya kaum wanita menetap di rumah.”[17]
Hal itu berarti bahwa kalimat [kalimat Arab] telah menasakh sabda nabi saw. yang berbunyi [kalimat Arab]. Sedangkan wanita-wanita muslimin tetap saja menghadiri shalat jamaah di masjid setelah turunnya ayat ini sampai wafatnya Rasulullah saw. Dalil-dalil mengenai masalah ini banyak sekali, dan insya Allah akan saya sebutkan dalam pembahasan selanjutnya.
Contoh-contoh yang terjadi pada zaman sekarang pun cukup banyak. Untuk itu, akan saya sebutkan sebagiannya tanpa menyebutkan nama pengarang atau penulisnya, agar tulisan ini tidak merusak nama para tokoh dan ulama terpandang. Kepada mereka saya pernah belajar; saya pun tetap menghormati dan merasa bangga terhadap mereka. Tujuan saya menjelaskan masalah ini adalah untuk membuktikan bahwa setiap manusia, betapapun tinggi kedudukannya, dapat dipegang ucapannya bisa juga ditinggal. Sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Karena itulah kita diharuskan kembali kepada Sunnah Nabi saw. Hanya dengan Sunnah beliau kita memperoleh petunjuk dan dengan Sunnahnya pula kita mengoreksi kesalahankesalahan para tokoh.
Seorang pengarang ternama, ketika menjawab pendapat orang yang memperbolehkan wanita membuka wajah berkata: “Sebelum mengatasi masalah hijab (maksudnya memperbolehkan wanita membuka wajah) Anda harus menghimpun kekuatan dan kekuasaan yang dapat melindas setiap kejahatan yang muncul, sehingga apabila ada dalam masyarakat dua mata yang melotot ke arah seorang perempuan yang keluar dari rumahnya dengan wajah terbuka, maka hendaknya pada waktu yang sama sudah ada tujuh puluh tangan yang siap mencongkel kedua bola mata itu dari tempatnya.”
Bayangkan, betapa dahsyatnya ancaman itu jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika beliau melihat seorang pemuda yang memandang seorang gadis remaja, kemudian pemuda itu mengulangi lagi pandangannya!
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “… ketika dalam perjalanan, Rasulullah saw. melewati beberapa orang wanita yang sedang menunggang unta. Lalu Al Fadhal memandangi mereka. Rasulullah saw. segera meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal, lalu Al Fadhal memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Al Fadhal kembali memandangi wanita-wanita itu. Dari arah lain Rasulullah saw. kembali meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal sehingga Al Fadhal mengalihkan pandangannya.” (HR Muslim)[18]
Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa. Lantas Al Fadhal memandang wanita itu dan dia kagum terhadap kecantikannya. Nabi saw. menoleh dan pada saat itu Al Fadhal masih memandangi wanita itu. Nabi saw. segera memegang leher Al Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak melihat lagi ke arah wanita itu.” (HR Bukhari dan Muslim)[19]
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap Fadhal bin Abbas ketika dia mengulangi pandangannya? Bukankah Rasulullah saw. hanya memutar wajah Fadhal ke arah yang lain? Ketika itu Fadhal masih remaja belia. Dia adalah anak paman Rasulullah saw. Rasulullah saw. berjalan ditemani Fadhal, bahkan Fadhal berboncengan bersama Rasulullah saw. di atas unta. Rasulullah saw. tidak pernah menghukum dengan mencongkel matanya atau memberinya pelajaran dengan satu atau beberapa kali pukulan.
Seorang ulama terkenal berkata: “Telah tetap bahwa muka bukanlah aurat yang wajib ditutup. Namun demikian kita harus mengaitkan masalah ini dengan perhiasan yang tidak berada di muka dan kedua telapak tangan yang merupakan bagian dari kecantikan.” Padahal pengarang tersebut, pada beberapa lembar sebelum pernyataanya, telah mengemukakan beberapa hadits sahih yang menerangkan bolehnya terlihat beberapa jenis perhiasan seperti celak di kedua mata dan inai/pacar pada kedua telapak tangan.
Seorang dosen berkata: “Islam memandang ikhtilat (perbauran antara laki-laki dan wanita) sebagai bahaya besar dan cara mengatasinya hanyalah dengan perkawinan. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah masyarakat perseorangan, bukan masyarakat bersama dan kami tegaskan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat tunggal, bukan masyarakat pasangan. Kaum laki-laki mempunyai masyarakatnya tersendiri, begitu juga kaum wanita. Islam memang membolehkan wanita menghadiri shalat ‘id, shalat jamaah, dan ikut pergi berperang dalam keadaan sangat mendesak. Akan tetapi, hal itu sampai di batas ini saja.”
Dari pendapat dosen tersebut, penulis berharap –jika yang dimaksudkannya adalah menentang ikhtilath yang urakan dan tidak mengindahkan ketentuan agama saja– agar dia menjelaskan bahwa Islam membolehkan wanita terlibat dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam batas-batas serta aturan-aturan yang menjamin murni dan benarnya partisipasi wanita, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya. Hal itulah yang tercantum di dalam banyak nash Sunnah yang sebagiannya sudah disebutkan dalam pembukaan buku ini. Diperkirakan, terdapat lebih dari 300 buah nash dengan sumber kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang menerangkan keterlibatan kaum wanita dalam bebagai bidang kehidupan bersamaan dengan kehadiran kaum laki-laki.”[20]
Seorang pengarang pernah mengemukakan hadits berikut ini: “Rasulullah saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah r:a.: ‘Apa yang terbaik untuk wanita?’ Fathimah menjawab: ‘Jika wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya.’ Nabi saw. merangkul putrinya seraya berkata: ‘Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain.’ Pengarang tersebut berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang empat. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan dan sahih.”‘ Pengarang tersebut mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya wanita menetap di rumah.
Namun, hadits tersebut lemah sekali. Meskipun seringkali disampaikan oleh para khatib serta sering ditemukan dalam lembaran-lembaran buku dan majalah, kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku perawi yang empat itu. Perawi hadits ini sebenarnya adalah Al Bazzar, dan ini pun masih dipertikaikan para ulama. Al Hafizh Al Haitsami mengatakan dalam bukunya Majma’uz Zawa’id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan di antara sanadnya ada orang yang tidak saya kenal.”[21] Sementara Al Hafizh Al ‘Iraqi berkata ketika mengeluarkan hadits ini dalam kitab Ihya’ Ulumiddin: “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab Al Ifrad dari hadits Ali dengan sanad yang lemah.”[22]
Demikian jika kita melihat hadits tersebut dari segi sanad. Adapun dari segi matan (isi), hadits tersebut jelas sekali bertentangan dengan manhaj (pola) yang dicontohkan oleh sahabiyah pada zaman Nabi saw. Ketika itu mereka berperan aktif dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam berbagai kesempatan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Seorang pengarang berkata: “Al Haitsami mengemukakan beberapa hadits dalam kitab Majma’uz Zawa’id yang secara keseluruhan derajatnya lemah. Akan tetapi karena terkumpul banyak maka statusnya naik menjadi hasan li ghairihi (hadits dhaif yang naik tingkatnya menjadi hasan karena diperkuat oleh hadits lain yang sama maksudnya). Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa hanya wanita-wanita tua yang ikut shalat bersama Rasulullah saw., sementara yang muda tidak.”
Demikianlah, mereka berpegang pada hadits-hadits lemah untuk menguatkan pendapat yang ingin menjauhkan wanita muda dari masjid. Sebaliknya, hadits-hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menegaskan kehadiran wanita-wanita remaja di masjid, seperti Asma binti Abu Bakar, Atikah binti Zaid (istri Umar bin Khattab) Fatimah binti Qais, Ummul Fadhal, Zainab (istri Ibnu Mas’ud), ar-Ruba’i binti Mu’awwidz, dan banyak lagi yang lainnya.”[23]
Dalam sebuah majalah Islam terdapat pertanyaan pembaca: “Kami adalah sekelompok mahasiswa muslim yang berdomisili di salah satu negara Eropa. Kami berusaha melaksanakan syariat Islam terhadap diri kami sedapat mungkin. Di antara kami ada yang sudah menikah. Istrinya memakai hijab seperti yang dianjurkan agama. Akan tetapi dia merasa sendiri dan terasing, sebab di sini tidak ada wanita lain yang memakai hijab atau yang dapat berbahasa Arab. Pertanyaan kami adalah sejauh mana istri kawan kami itu boleh berbaur –didampingi suaminya tentunya dan bukan berkhalwat– dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya.” Pertanyaan itu dijawab oleh seorang dosen sebagai berikut: “Ikhtilath (berbaurnya laki-laki dengan wanita) pada dasarnya dilarang oleh Islam karena sabda Nabi saw. mengatakan:
“Ingat, kaum laki-laki tidak dibenarkan masuk/bertemu dengan kaum wanita. Tetapi diperbolehkan sebagai pengecualian dalam keadaan terpaksa menurut syariat. Tetapi hanya dalam batas terpaksa. “
Bayangkan, fatwanya pertama kali menetapkan dengan tegas bahwa Islam melarang ikhtilath antara laki-laki dan wanita, tetapi kemudian memperbolehkannya dalam keadaan terpaksa. Padahal Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan bahwa pertemuan antara laki-laki dan wanita –yang mereka namakan ikhtilath– pada dasarnya boleh-boleh saja. Sunnah Nabi saw. telah menetapkan keikutsertaan seorang wanita bersama suaminya dalam menerima dan melayani tamu di samping pertemuan wanita dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Jika Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menetapkan aturan tentang keterlibatan wanita agar segala sesuatunya berjalan dengan baik dan benar, Dia juga telah membuat ketentuan dan aturan mengenai perkawinan, makan, minum, atau jual beli agar semuanya berjalan dengan baik dan benar pula. Adapun hadits yang dikemukakan oleh dosen kita yang mengeluarkan fatwa tersebut maksudnya adalah larangan bertemu dengan wanita dalam bentuk berkhalwat.[24]
Inilah beberapa buah contoh yang sering dibicarakan oleh para ulama dan penulis yang didorong oleh keinginan untuk menjelaskan hukum-hukum agama. Selain itu, ada lagi contoh lain dari para penulis yang kebarat-baratan dan membuka front permusuhan terhadap agama. Dengan gigihnya mereka melecehkan hukum-hukum agama atau yang mereka anggap sebagai hukum agama, padahal yang mereka duga itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Teman saya bercerita bahwa setiap dia mengemukakan pandangannya untuk menjelaskan hukum agama yang berkaitan dengan salah satu kasus sosial atau politik, teman lainnya –seorang dosen di sebuah universitas terkenal– berkata: “Inilah sudut pandang Anda sebagai akibat dari latar belakang keilmuan dan pendalaman Anda terhadap pemikiran-pemikiran Barat modern. Dalam hal ini tidak ada penggambaran tentang hakikat hukum agama sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, atau buku-buku fiqih dengan dalil. Banyak sekali ulama Islam yang mengatakan sesuatu berbeda sekali dengan apa yang Anda katakan itu.”
[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.
[2] Bukhari, Kitab: Perbuatan-perbuatan zalim, Bab: Tolonglah saudaramu baik yang menganiaya ataupun yang teraniaya, jilid 6, hlm. 23.
[3] Bukhari, Kitab: Paksaan, Bab: Sumpah seseorang kepada temannya karena takut dibunuh atau seumpamanya, jilid 15, hlm. 358. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Membantu saudara yang menganiaya atau teraniaya, jilid 8, hlm. 19.
[4] Dia adalah Syekh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, Kepala pengadilan agama dan Kantor Urusan Agama Qatar. Ucapan tersebut kami kutip dari desertasi beliau yang berjudul Al-Akhlaq al-Hamidah li al-Mar’ah Mu’ashirah.
[5] Dr. Yusuf Qardhawi. Ucapan ini dikutip dari: Mukadimah buku beliau yang berjudul Fatawa Mu’asshirah.
[6] Shahih Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Keutamaan Jihad, jilid 6, hlm. 344.
[7] Ibid.
[8] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Aisyah r.a. jilid 7, hlm. 136.
[9] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Apakah untuk kaum wanita disediakan waktu khusus untuk belajar? jilid 1, hlm. 206. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan dan etika, Bab: Keutamaan orang yang kematian anak lalu ia merasa sedih karenanya, jilid 8, hlm. 39.
[10]Muslim, Kitab: Dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.
[11]Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Hijrah Nabi saw. dan para sahabat beliau ke Madinah jilid 8, hlm. 233.
[12] Fathul Bari, jilid 8, hlm. 233.
[13] Bukhari, Kitab: Tafsir surat al-Ahzab, Bab: Ayat 54-55 jilid 10, hlm. 151. Muslim, Kitab: Persusuan, Bab: Keharaman persusuan dari jalur lelaki, jilid 4, hlm. 163.
[14] Fathul Bari, jilid 10, hlm. 151.
[15] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 258.
[16]Fathul Qadir, jind 4, hlm. 298.
[17] Al-Mabsuth, ash-Sarakhsi, jilid 1, hlm. 145-146.
[18] Muslim, Kitab: Haji, Bab: Haji Nabi saw., jilid 4, hlm. 42.
[19] Bukhari, Kitab: Mohon izin, Bab: Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberikan salam kepada penghuninya,” Jilid 13, hlm. 245. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Menghajikan orang yang tidak mampu disebabkan sakit-sakitan terus atau tua renta dan semisalnya, jilid 4, hlm. 10.
[20] Lihat pasal mengenai keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki.
[21] Majma’ az-Zawaid, Kitab: Nikah, Bab: Apa yang baik bagi wanita. jilid 4, hlm. 255.
[22] Ihya’ Ulumiddin, Kitab: Nikah, Bab III mengenai adab bergaul dan bagaimana cara lelaki berlindung dari bahaya cemburu.
[23] Lihat pasal keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki. Tentang keterlibatan wanita di masjid.
[24] Pembicaraan mengenai hadits ini terdapat dalam pasal selanjutnya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-17 Pengantar Studi Ilmu Hadits
Segala Puji hanya bagi Allah, kita memuji, meminta tolong, memohon ampun, dan berlindung pada-Nya dari keburukan diri kita dan kejahatan amal kita. Barang siapa yang diberi hidayah oleh Allah maka dialah orang yang mendapat petunjuk. Dan barang siapa yang disesatkan oleh-Nya maka tidak ada yang akan menjadi penolong dan penuntunnya. Kita bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan ita bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Wa ba’du…
Berikut ini adalah beberapa tema sederhana yang berkaitan dengan sejarah As Sunnah dan Ilmu-ilmu Hadits. Saya ketengahkan untuk para pengkaji dengan metode yang mudah agar dapat dijadikan pegangan bagi penuntun mereka dalam mengkaji As Sunnah, serta membaca apa yang dipersembahkan oleh para ulama terpercaya, baik berupa kaidah, prinsip,metode yang menggambarkan metodologi riset ilmiah di kalangan kaum muslimin secara benar. (Dalam metodologi itu) menjadi jelas bahwa sebuah nash tidak dapat dijadikan pegangan hingga para perawinya diteliti. Derajat masing-masing mereka diketahui baik dari segi kelurusan pribadinya (‘adalah) dan kekuatan hafalannya (dhabth). Demikian pula kejelasan persambungan sanad dan tidak adanya unsur syadz dan illat di dalamnya. Bila nash itu telah “selamat” maka langkah selanjutnya adalah memahami makna dan menggali hukum yang dapat disimpulkan dengan cara yang telah ditetapkan.
Hanya kepada Allah saya memohon untuk menunjukkan pada kita jalan yang lurus.
Manna’ bin Khalil Al Qaththan
Profesor dan pembimbing pascasarjana
di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-17 Menentukan Halal-Haram Semata-mata Hak Allah
Dasar kedua: Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawinya. Hak tersebut semata-mata ditangan Allah.
Bukan pastor, bukan pendeta, bukan raja dan bukan sultan yang berhak menentukan halal-haram. Barangsiapa bersikap demikian, berarti telah melanggar batas dan menentang hak Allah dalam menetapkan perundang-undangan untuk ummat manusia. Dan barangsiapa yang menerima serta mengikuti sikap tersebut, berarti dia telah menjadikan mereka itu sebagai sekutu Allah, sedang pengikutnya disebut “musyrik”.
Firman Allah:
“Apakah mereka itu mempunyai sekutu yang mengadakan agama untuk mereka, sesuatu yang tidak diizinkan Allah?” (Asy Syura’: 21)
Al Quran telah mengecap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah memberikan kekuasaan kepada para pastor dan pendeta untuk menetapkan halal dan haram, dengan firmannya sebagai berikut:
“Mereka itu telah menjadikan para pastor dan pendetanya sebagai tuhan selain Allah; dan begitu juga Isa bin Maryam (telah dituhankan), padahal mereka tidak diperintah melainkan supaya hanya berbakti kepada Allah Tuhan yang Esa, tiada Tuhan melainkan Dia, maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sekutukan.” (At Taubah: 31)
‘Adi bin Hatim pada suatu ketika pernah datang ke tempat Rasulullah –pada waktu itu dia lebih dekat pada Nasrani sebelum ia masuk Islam– setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah Sesungguhnya mereka itu tidak menyembah para pastor dan pendeta itu.
Maka jawab Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Betul! Tetapi mereka (para pastor dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
“Memang mereka (ahli kitab) itu tidak menyernbah pendeta dan pastor, tetapi apabila pendeta dan pastor itu menghalalkan sesuatu, mereka pun ikut menghalalkan juga; dan apabila pendeta dan pastor itu mengharamkan sesuatu, mereka pun ikut mengharamkan juga.”
Orang-orang Nasrani tetap beranggapan, bahwa Isa al-Masih telah memberikan kepada murid-muridnya –ketika beliau naik ke langit– suatu penyerahan (mandat) untuk menetapkan halal dan haram dengan sesuka hatinya. Hal ini tersebut dalam Injil Matius 18:18 yang berbunyi sebagai berikut: “Sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itulah terikat kelak di sorga; dan barang apa yang kamu lepas di atas bumi, itupun terlepas kelak di surga.”
Al Quran telah mengecap juga kepada orang-orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa izin Allah, dengan kata-katanya sebagai berikut:
“Katakanlah! Apakah kamu menyetahui apa-apa yang Allah telah turunkan untuk kamu daripada rezeki, kemudian dijadikan sebagian daripadanya itu, haram dan halal; katakanlah apakah Allah telah memberi izin kepadamu, ataukah memang kamu hendak berdusta atas (nama) Allah?”(Yunus: 59)
Dan firman Allah juga:
“Dan jangan kamu berani mengatakan terhadap apa yang dikatakan oleh lidah-lidah kamu dengan dusta; bahwa ini halal dan ini haram, supaya kamu berbuat dusta atas (nama) Allah, sesungguhnya orang-orang yang berani berbuat dusta atas (nama) Allah tidak akan dapat bahagia.” (An Nahl: 116)
Dari beberapa ayat dan Hadis seperti yang tersebut di atas, para ahli fiqih mengetahui dengan pasti, bahwa hanya Allahlah yang berhak menentukan halal dan haram, baik dalam kitabNya (Al Quran) ataupun melalui lidah RasulNya (Sunnah). Tugas mereka tidak lebih, hanya menerangkan hukum Allah tentang halal dan haram itu. Seperti firmanNya:
“Sungguh Allah telah menerangkan kepada kamu apa yang Ia haramkan atas kamu.” (Al An’am: 119)
Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan hukum syara’ ini boleh dan ini tidak boleh. Mereka, dalam kedudukannya sebagai imam ataupun mujtahid, pada menghindar dari fatwa, satu sama lain berusaha untuk tidak jatuh kepada kesalahan dalam menentukan halal dan haram (mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram).
Imam Syafi’i dalam Al Umm[1]meriwayatkan, bahwa Qadhi Abu Yusuf, murid Abu Hanifah pernah mengatakan: “Saya jumpai guru-guru kami dari para ahli ilmu, bahwa mereka itu tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat dalam Al Quran dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.
Kata Imam Syafi’i selanjutnya, Ibnu Saib menceriterakan kepadaku dari Ar Rabi’ bin Khaitsam –dia termasuk salah seorang tabi’in yang besar– dia pernah berkata sebagai berikut: “Hati-hatilah kamu terhadap seorang laki-laki yang berkata: Sesungguhnya Allah telah menghalalkan ini atau meridhainya, kemudian Allah berkata kepadanya: Aku tidak menghalalkan ini dan tidak meridhainya. Atau dia juga berkata: Sesungguhnya Allah mengharamkan ini kemudian Allah akan berkata: “Dusta engkau, Aku samasekali tidak pernah mengharamkan dan tidak melarang dia.”
Imam Syafi’i juga pernah berkata: Sebagian kawan-kawanku pernah menceriterakan dari Ibrahim an-Nakha’i –salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari Kufah– dia pernah menceriterakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka itu apabila berfatwa tentang sesuatu atau melarang sesuatu, mereka berkata: Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun yang kalau kita katakan: Ini adalah halal dan ini haram, betapakah besarnya persoalan ini!
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari salafus saleh yang kemudian diambil juga oleh Imam Syafi’i dan diakuinya juga. Hal ini sama juga dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Muflih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram, kecuali setelah diketahuinya dengan pasti.”[2]
Kami dapati juga imam Ahmad, misalnya, kalau beliau ditanya tentang sesuatu persoalan, maka ia menjawab: Aku tidak menyukainya, atau hal itu tidak menyenangkan aku, atau saya tidak senang atau saya tidak menganggap dia itu baik.
Cara seperti ini dilakukan juga oleh imam-imam yang lain seperti Imam Malik, Abu Hanifah dan lain-lain.[3]
[1] Al Umm 7: 317
[2] Ini dapat diperkuat dengan riwayat-riwayat para sahabat, bahwa mereka itu tidak meninggalkan khamar (arak) secara keseluruhannya setelah ayat al-Baqarah 219 itu turun, karena ayat ini dalam anggapan mereka tidak qath’i (positif) mengharamkan arak, sehingga ayat al-Maidah itu turun, baru mereka menjauhi seluruhnya.
[3] Kiranya ahli-ahli taqlid itu mengerti, jangan cepat-cepat mengatakan ini “haram” yang tanpa dalil atau yang mendekati kepada dalil.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-18 Ahdaful Musyarakah
Sejak awal, musyarakah kita—keterlibatan kita dalam pemerintahan—sama sekali bukan ditujukan untuk kemenangan zhahir saja yang cenderung diisi dengan al kibr dan al kibriya’, merasa besar dan sombong.
Kita bermusyarakah untuk mencapai kemenangan sejati, yang didefinisikan oleh Imam Ahmad ibnu Hanbal:
ما لازم الحق قلوبنا
Kemenangan sejati yang paling mendasar dan substansial adalah jika kebenaran tetap bersemayam di hati kita. Tidak terkontaminasi oleh racun-racun kehidupan, tidak tergoda oleh iming-iming apapun bentuknya, yang membuat hati kita diisi oleh nilai-nilai lain selain nilai kebenaran yang bersumber dari Allah SWT.
Kemenangan sejati juga adalah jika kita berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam diri kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di dalam keluarga kita. Berhasil menegakkan kedaulatan Allah di rumah kita, di bangsa kita dan di negeri kita. Sehingga orientasi hidup bangsa kita adalah mardhatillah, ridha Allah semata.
Oleh karena itu pertama-tama yang harus kita pastikan adalah ahdaful musyarakah (tujuan-tujuan musyarakah) kita. Jangan sampai berpesong sedikitpun.
Al Musyarakah lit Tauhiid wal Binaa’ ( المشاركة للتوحيد والبناء )
Musyarakah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkontribusi untuk membangun bangsa dan negara ini sehingga mencapai kesejahteraan, kejayaan serta kedamaian dengan bangsa-bangsa lain dalam pergaulan internasional. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Persatuan dan kesatuan bangsa ini jangan sampai dirongrong, dirusak, dicerai-beraikan oleh agenda-agenda yang diprogram dari luar yang menghendaki perpecahan. Kita harus menjadi junudullah (prajurit-prajurit Allah) terdepan dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dan negeri ini. Karena negeri ini adalah anugerah besar dari Allah—ba’da al-iman, setelah iman—yang harus kita syukuri dengan memberdayakan, menjayakan dan mengunggulkannya. Sehingga mampu memberi kontribusi positif dalam pergaulan antar bangsa dalam kehidupan global.
Al Musyarakah lit Taqwiyah wat Tatsbit ( المشاركة للتقوية والتثبيت )
Selain mempersatukan dan membangun, berdaya kohesif dan menjadi penerus pembangunan bangsa dan negara ini, musyarokah kita juga harus berkontribusi dalam mewujudkan negara yang kuat dan kokoh. Jangan menjadi negeri yang dilecehkan dan dideskreditkan tetangga-tetangganya. Jangan menjadi negara dan bangsa yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain, bahkan menjadi beban dalam pergaulan internasional.
Untuk menjadi faktor taqwiyah wa tatsbit, memperkuat dan mengokohkan kehidupan berbangsa dan bernegara ini, modalnya hanya satu: bersyukur! Negeri ini menghendaki para kader, pemimpin, pejuang, dan mujahid yang pandai bersyukur. Allah sudah memberikan banyak sekali karunia-Nya kepada negeri ini. Namun banyak potensi yang belum terolah, sehingga terbengkalai dan mubadzir. Bahkan banyak potensi yang diekploitasi oleh kekuatan-kekuatan asing. Ini karena kelemahan dan kebodohan kita, terjebak oleh kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, sehingga kekayaan yang diberikan oleh Allah ini tergadaikan kepada negeri asing dengan amat sangat murah.
Kita harus waspada dan berani mengevaluasi kebijakan-kebijakan lama yang menyiksa bangsa ini. Berani mengevaluasi seluruh produk-produk konstitusi, perundang-undangan, perda-perda, perjanjian-perjanjian dengan luar negeri yang melemahkan bangsa ini, yang menjadikan bangsa ini terpuruk. Kekayaan melimpah ruah, bukan dinikmati oleh rakyat. Tapi hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu. Bahkan mengalir setiap hari ke negeri-negeri asing. Bukan dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi kerjasama yang timpang yang mengandung unsur pelecehan, penipuan, dan konspirasi kepada bangsa ini. Semua ini harus dihentikan.
Al Musyarakah lit Taghyiir wat Tajdiid ( المشاركة للتغيير و التجديد )
Kita tidak ingin bangsa ini statis, jumud dan mandeg. Oleh karena itu tujuan musyarokah kita yang ketiga adalah al musyarakah lit taghyiir wat tajdiid. Musyarokah kita, kontribusi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah melakukan perubahan dan pembaharuan.
Setiap hari Allah SWT memberikan pelajaran kepada kita bagaimana ciptaan-ciptaannya selalu berubah dan memperbaharui diri. Selalu tumbuh dan berkembang. Lahirnya seorang anak dimulai dengan jeritan tangis yang merupakan symbol kehidupan dan mulai berfungsinya organ-organ utama tubuh, terutama paru-paru dan jantung. Mula-mula matapun tidak bisa melihat, tulang-tulangnya lembek dan lemah. Tapi dari hari ke hari kita lihat matanya semakin berbinar terang. Pertama-tama yang ia tahu hanya ibunya. Kemudian akhirnya mulai bisa tahu ayahnya. Berkembang mulai bisa membedakan warna dan ukuran-ukuran. Bahkan membedakan manfaat-manfaat. Dan mulai bisa membedakan mana yang berbahaya dan mana yang tidak.
Kita lihat pertumbuhan biji-bijian. Biji-biji mulai terbelah merekah, memunculkan tumbuhan kecil. Lalu akarnya menghunjam ke tanah secara bertahap. Sementara batang pohonnya mulai tumbuh berkembang. Berdahan rindang, berdaun hijau, akhirnya berbuah menjadi bermanfaat. Seluruhnya adalah merupakan at-taghyiir wat tajdiid.
Daun-daun yang sudah tua, menguning dan rontok. Tumbuhlah daun-daun muda berkembang menghijau. At taghyiir wat tajdiid adalah sunnatullah. Kalau bangsa ini tidak mau berubah, statis, dan mandeg, berarti bangsa ini melawan sunnatullah. Kita kader-kader dakwah harus mendorong agar bangsa ini mengikuti sunnatullah. Mengikuti fitrahnya yaitu fitrah perubahan dan pembaharuan.
Semuanya harus berubah, mustahil tidak berubah. Jika tidak mau berubah, dia akan menjadi korban perubahan. Akan digilas oleh perubahan. Makanya kalau kita tidak mau menjadi korban perubahan, kita harus menjadi pelopor perubahan dan pembaharuan.
Semangat perubahan dan pembaharuan adalah bagian penting dari gerakan dakwah. Dari sejak awal dalam manhaj takwiniyah kita tekankan bahwa harakatud dakwah (gerakan dakwah) adalah harakatut taghyiir (gerakan perubahan) dan harakatut tajdiid (gerakan pembaharuan). Kader-kader dakwah harus menjadi :
رُوْحٌ جَدِيْدَةٌ تَسْرِي فِي جَسَدِ الأُمَّةِ
Menjadi jiwa, semangat, moral baru, dan kekuatan baru yang mengalir di tubuh umat ini. Kita harus menjadi innovator perubahan dan pembaharuan di segala sector kehidupan. Jangan sampai bangsa ini tertinggal akibat segan berubah karena malas. Atau bahkan takut berubah, akibat mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadi atau kepentingan-kepentingan kelompok/golongan. Karena perubahan dan pembaharuan berarti dinamisasi. Perubahan dan pembaharuan berarti repositioning segenap potensi bangsa.
Dengan musyarokah ini kita melakukan redinamisasi repositioning kita; politik, social, financial, budaya, sains dan teknologi. Kita harus mencapai posisi-posisi baru yang lebih maju, berdaya guna, dan berdaya saing. Juga lebih memberikan manfaat, bukan saja kepada bangsa ini, tapi juga bermanfaat kepada kemanusiaan. Karena bangsa muslim ini mengemban misi utama rahmatan lil’alamin.
Al Musyarakah lil Ishlah wal Ihsan ( المشاركة للإصلاح والإحسان )
Karena kita mengemban misi rahmatan lil’alamin, maka musyarokah pun tujuannya adalah berkontribusi untuk selalu ishlah (melakukan reformasi). Ishlah berarti perbaikan dan selalu mengajak damai.
Musyarokah lil ishlah wal ihsan baru bisa kita gulirkan, kalau kita professional. Mempunyai kafaah muntijah (kesalehan kompetensi dan kemampuan produktif ) dan kafaah ijaabiyah (potensi dan kompentensi yang positif).
Kader-kader kita harus menjadi kader-kader unggulan di tengah-tengah pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tafawwuq ma’nawiy berbasiskan tafawwuq iimaniiy, keunggulan moral berbasiskan keunggulan iman. Tafawwuq fikri berbasiskan tafawwuq ‘ilmi, keunggulan idealisme berdasarkan keunggulan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Begitu juga tafawwuq ‘amaliy berdasarkan tafawwuq manhajiy, keunggulan dalam aktivitas berdasarkan keunggulan metode kerja. Sehingga seluruh lapisan masyarakat mendapatkan sentuhan ishlah wal ihsan dari kita. Seluruh lapisan masyarakat, segenap komponen bangsa, lintas partai, lintas ormas, lintas agama, lintas keyakinan, lintas suku, lintas pulau-pulau yang bertebaran beribu-ribu ini merasakan khuthuwat ishlahiyah dan khuthuwaat ihsaniyah kita.
Al Musyarokah lit Taqwiim wat Tasdiid ( المشاركة للتقويم والتسديد )
Musyarokah kita bertujuan untuk berkontribusi dalam meluruskan dan mengakuratkan tujuan hidup dan perjuangan bangsa ini. Agar bangsa ini tidak menyimpang dari tujuan utamanya.
Allah memerintahkan kepada kita agar kita lurus, sesuai dengan fitrah diciptakannya.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ (الروم : ٣٠)
Tidak ada bangsa atau umat atau bahkan makhluk yang bisa hidup baik, tenang, tentram dan sejahtera kecuali harus lurus dalam fitrahnya. Nilai-nilai fitrah ini adalah nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Al-Qur’an mengokohkannya dengan nilai-nilai syar’iyyah.
Sebagai kader dakwah kita harus selalu waspada terhadap kemungkinan berbagai penyimpangan, penyimpangan diri dan penyimpangan di tengah-tengah umat dan bangsa ini. Kita harus menjadi unsur muqawwim (yang meluruskan) wat tasdiid (mengarahkan) agar bangsa ini jangan disorientasi.
Seluruh kader dakwah ini harus berusaha dan mampu mengkonsolidasi, mengkoordinasi, dan memobilisasi seluruh potensi positif konstruktif di dalam bangsa ini. Siapapun mereka, partai apapun mereka, ormas apapun mereka dan agama apapun mereka, suku bangsa apapun mereka. Penghuni pulau manapun mereka. Kita harus mampu melihat potensi positif dan konstruktif untuk membangun bangsa ini mencapai kesejahteraan, kedamaian dan kejayaannya.
Selain itu kita harus selalu berupaya untuk mempersempit ruang gerak, perilaku, dan peran potensi negative destruktif. Agar kehidupan berbangsa dan bernegara ini tidak terprovokasi, terpecah belah, terlemahkan, terkecoh , tergadaikan, bahkan terjual oleh potensi negative destruktif itu. Sehingga kehidupan bangsa kita tetap bersatu, damai, tentram dan bersemangat untuk kerja keras mencapai tujuan-tujuan nasional, yaitu menjadi bangsa dan Negara yang diridhai oleh Allah SWT.
Sejak awal, ikhwan dan akhwat digembleng diantaranya untuk misi amar ma’ruf nahi munkar. Dalam musyarakah lit taqwiim wat tasdiid inilah peran amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dimanapun antum berada. Apakah di lembaga legislative, lembaga eksekutif atau yudikatif. Dalam mengelola jama’ah, kehidupan bermasyarakat, lembaga-lembaga social, pendidikan, kebudayaan, dan perekonomian. Tetap taqwim dan tasdiid adalah merupakan refleksi dari misi amar ma’ruf nahi munkar kita.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-19 Imajinasi
“Seluruh lembah, gunung, dan gurun yang pernah kulewati, pasti akan selalu kuingat, sekaligus kubayangkan segenap strategi yang akan kugunakan, jika suatu saat aku berperang di tempat itu.”
Itulah ungkapan Khajid bin Walid tatkala ia mengenang strategi kardus yang digunakannya dalam Perang Yarmuk. Itulah kemenangan perang, sekaligus prestasi militer paling prestisius yang pernah dicapai Khalid. Itu pulalah pembuktian paling nyata dari gelar yang diberikan Rasulullah saw kepadanya sebagai Pedang Allah yang Selalu Terhunus.
Jadi, segalanya bermula dari imajinasi. Ini bukan hanya ada dalam dunia kepahlawanan militer, melainkan merata dalam semua bidang kepahlawanan. Temuan-temuan ilmiah selalu didahului oleh imajinasi: jauh sebelum dilakukannya pengujian di laboratorium; jauh sebelum adanya perumusan teori. Maka, fiksi-fiksi ilmiah selalu menemukan konteksnya di sini: bahwa mercusuar imajinasi telah menyorot seluruh wilayah kemungkinan dan apa yang harus dilakukan kemudian adalah tinggal membuktikannya.
Studi-studi futurologi juga menemukan konteksnya di sini. Memang, selalu harus ada bantuan data-data pendahuluan. Namun, data-data itu hanyalah bagian dari sebuah dunia yang telah terbentuk dalam ruang imajinasi.
Para pemimpin bisnis dan politik serta tokoh-tokoh pergerakan dunia juga menemukan kekuatan mereka dari sini. Bahwasanya apa yang sekarang kita sebut visi dan kreativitas adalah ujung dari pangkal yang kita sebut imajinasi. Bacalah biografi Bill Gates atau Ciputra, maka Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah biografi John F. Kennedy atau Soekarno, maka Anda juga akan menemukan seorang pengkhayal. Bacalah pula biografi Sayyid Quthb, maka sekali lagi Anda akan menemukan seorang pengkhayal. Dalam dunia pemikiran, kebudayaan, dan kesenian, imajinasi bahkan menjadi tulang punggung yang menyangga kreativitas para pahlawan di bidang ini.
Kekuatan imajinasi sesungguhnya terletak pada beberapa titik. Pertama, pada wilayah kemungkinan yang tidak terbatas, yang terangkai dalam ruang imajinasi. Itu membantu kita untuk berpikir holistik dan komprehensif, menyusun peta keinginan, dan menentukan pilihan-pilihan tindakan yang sangat luas. Kedua, optimisme yang selalu lahir dari luasnya ruang gerak dalam wilayah kemungkinan dan banyaknya pilihan tindakan dalam segala situasi. Ketiga, imajinasi membimbing kita bertindak secara terencana oleh karena ia mcnjelaskan ruang dan memberi arah bagi apa yang mungkin kita lakukan.
Akan tetapi, imajinasi tentu saja bukan mukjizat. Harus ada kekuatan lain yang menyertainya agar ia efektif. Yang jelas, jika Anda mau belajar menjadi ‘pengkhayal ulung’, barangkali Anda telah memiliki sebagian dari potensi ledakan kepahlawanan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-19 Merumuskan Kandungan Terminologi
Syarat Pemahaman Bersama dan Dialog [1]
Dialog ini berkisar tentang tujuan-tujuan umum syari’ah: sebuah telaah baru. Satu tawaran baru peninjauan ulang terhadap tujuan-tujuan umum syari’ah dengan pertimbangan bahwa kajian para ulama klasik di bidang Ushul Fiqih telah membatasi tujuan-tujuan syari’ah Islam hanya ada lima tujuan umum (al-Maqasid al-Kulliyah al-Khams li as-Syari’ah) yaitu: melindungi jiwa, agama, akal, kehormatan dan harta. Apa yang ditawarkan oleh Dr. Nashr –setelah mengkaji ulang terhadap teks-teks agama tidak dengan menambahkan tujuan dan prinsip-prinsip umum baru pada kelima tujuan ini — seperti halnya yang ditawarkan oleh Syeikh Thahir bin Asyur ketika menambahkan tujuan kebebasan (al-Hurriyyah), melainkan ia menawarkan penggantian dengan “tiga prinsip umum” saja, yaitu akal (aql), kebebasan (al-Hurriyah), dan keadilan (al-Adalah), sebagai satu kesatuan konsep-konsep yang saling berkaitan erat, dari satu sisi, dan ia mencakup kelima tujuan syari’ah yang diletakkan oleh para ulama ushul fiqih dari sisi yang lain. Sebab kelima tujuan syari’ah yang diletakkan oleh mereka itu — dimata Dr. Nashr — bukanlah prinsip prinsip umun (al-mabadi’ al-kulliyah) melainkan menurutnya bersifat partikular (juz’i) sebab melindungi jiwa, akal, agama, kehormatan, dan harta, tampak merupakan partikular jika dilihat dari ketiga prinsip umum yang ditawarkan Dr. Nashr. Oleh sebab itu, kelima tujuan syari’ah yang ada dapat dimasukkan kedalam ketiga prinsip tersebut sebagai partikular kedalam prinsip umum.
Jika urgensi masalah dan kisaran topik pembicaraan di antara obyek-obyek pemikiran Islam menuntut penanganan dialog rasional yang sehat seputar permasalahan-permasalahan yang ada, maka penulis lebih memilih — untuk metode dialog — dengan kerangka pemikiran yang bertolak dari beberapa catatan:
Catatan pertama, yang berkaitan dengan hal-hal yang dipicu oleh perbincangan ini, dan berbagai tulisan dalam kehidupan pemikiran modern — berupa kenyataan bahwa kita menghadapi kekacauan pengertian terminologi-terminologi yang ditimbulkan oleh interaksi dengan peradaban barat. Dalam terminologi — satu wadah — pada saat dialog antara pemilik “terminologi asli secara turun-temurun” dan pemilik “terminologi asing” dilakukan, kita berada di hadapan konsep-konsep yang berbeda dan bahkan seringkali kontradiktif, dikemas dan disajikan dalam satu wadah. Terminologi ini merupakan masalah yang membuat banyak dialog kita menjadi dialog-dialog serampangan tanpa kita sadari, bahkan tanpa ujung dari para pelaku yang terlibat dalam dialog itu. Oleh karenanya, kita dituntut terlebih dahulu memberi batasan dan merumuskan konsep-konsep serta pengertian yang kita maksud dalam penggunaan terminologi ketika sedang mengadakan dialog. Kita menggunakan terminologi-terminologi yang pengertiannya mewakili wilayah-wilayah dialog dan kadang-kadang wilayah konflik. Sebagai contoh:
1. Dr. Nashr menawarkan prinsip akal atau daya nalar untuk menjadi salah satu dari tiga prinsip umum dan tujuan syari’ah. Disana tidak ada seorang Muslim.
Apakah akal adalah organ anatomis yang gerakannya menghasilkan buah pikiran sebagaimana yang dipahami oleh penganut materialisme? Ataukah ia “inti murni” yang bersifat abstrak sebagaimana yang dipahami oleh sebagian besar filosuf klasik? Ataukah ia adalah potensi rabbaniah yang lembut yang berkaitan dengan hati, esensi terdalam dari diri manusia? Sehingga sesuai dengan pembatasan pengertian akal, terbatas pula pengertian intelektualitas dan daya nalar. Sebab disana ada intelektualitas pencerahan Barat yang memiliki moto: “Tidak ada otoritas terhadap akal kecuali otoritas akal itu sendiri.” Dengan demikian intelektualitas Barat menolak otoritas wahyu terhadap intelektualitas manusia, disamping memandang terhadap akal dan empirisme sebagai jalan pengetahuan yang dapat diandalkan kebenarannya dan patut dihormati. Sementara disana juga terdapat intelektualitas berwawasan iman yang tumbuh dalam ilmu Tauhid — teologi Islam — untuk menegaskan kebenaran agama dan tidak untuk menentangnya. Intelektualitas inilah yang menggabungkan antara kebenaran tekstual (an-naql) dengan akal (‘aql) dan akal tunduk pada teks agama, dengan keyakinan bahwa intelektualitas manusia mempunyai keterbatasan daya jangkau dan pengetahuan yang diperolehnya bersifat nisbi (relative). Sedangkan kebenaran tekstual (an-naql) adalah berita dari yang Maha Memiliki pengetahuan mutlak dan universal, di mana akal saja tidak dapat menjangkaunya. Intelektualitas imaniah ini, setelah “wahyu” dipadukan dengan “alam” ciptaan-Nya dalam sumber pengetahuan, menjadikan jalan pengetahuan ada empat petunjuk, yaitu: akal, teks agama (nash), pengalaman indrawi, dan intuisi.
Maka jalan pengetahuan tidak hanya berhenti pada akal dan pengalaman empiris saja, sebagaimana intelektualitas yang diciptakan oleh akal pencerahan Barat: mundane dan materialistis. Lalu akal yang mana dan intelektualitas yang mana yang dibicarakan? Apakah intelektualitas yang menyingkirkan syari’ah dan akal yang mengabdi untuk akal itu sendiri, ataukah intelektualitas yang memadukan antara syari’ah dan hikmah — menurut ungkapan Ibnu Rusyd — intelektualitas yang dimiliki Imam Ghazali yang telah mencapai posisi puncak yang diungkapkan dengan kata-katanya: “Sesungguhnya Ahli Sunnah telah membuktikan bahwa tidak ada pertentangan antara aturan tekstual dan kebenaran akal. Mereka memahami bahwa orang yang beranggapan adanya keharusan bersikap jumud pada yang ada secara buta serta mengikuti hal-hal yang bersifat lahiriah saja, adalah karena lemah akalnya dan tumpul mata hatinya. Barangsiapa memasuki olah akal hingga melanggar ketentuan-ketentuan syari’ah, maka mereka melakukan itu karena keburukan mata hati mereka. Kecenderungan golongan yang pertama berlebihan dalam memandang kecil peran akal, sedangkan golongan kedua berlebihan dalam memandang besar peran akal, keduanya jauh dari sikap teliti dan hati-hati. Perumpamaan akal adalah laksana mata hati yang terhindar dari berbagai cacat dan keburukan, dan perumpamaan al-Qur’an (wahyu) adalah laksana matahari yang cahayanya tersebar ke segala arah. Orang yang berpaling dari akal dan cukup dengan cahaya al-Qur’an ibarat orang yang menatap sinar Matahari yang membuat dia menutup kelopak matanya, maka tidak ada bedanya antara dia dan orang buta. Akal yang berpadu dengan syara’ adalah cahaya di atas cahaya.” [2]
Jadi, tentang akal yang mana dan intelektualitas yang mana kita berbicara? Yang pertama kali dituntut adalah perumusan muatan terminologi, agar kita mengetahui, apakah intelektualitas ini adalah hal-hal yang dimaksud dalam filsafat- filsafat yang berdiri di atas puing-puing syari’ah? Ataukah ia adalah tujuan dan prinsip-prinsip umum syari’ah Islam?
2. Pembicaraan Dr. Nashr tentang kebebasan (al Hurriyyah) yang dipandang sebagai prinsip umum kedua dalam tujuan syari’ah — tidak ada perselisihan pendapat tentang prinsip ini — bahkan sebagaimana disinggung terdahulu. Syaikh Thahir bin Asyur telah menambahkan “tujuan kebebasan” kedalam lima tujuan syari’ah yang ada, akan tetapi disana masih tetap dibutuhkan untuk merumuskan apa yang dimaksudkan dengan muatan dan pengertian “kebebasan.”
Jika kata “kebebasan” adalah lawan dari “penghambaan” (‘ubudiyyah), maka di sini harus ada pembatasan: kebebasan siapa? Dalam menghadapkan penghambaan kepada siapa? Bagi orang mukmin, penghambaan dengan penuh kerendahan kepada Allah merupakan puncak kebebasan. Kebebasan dalam pengertian ini bertolak belakang dengan yang dipahami oleh para penganut filsafat materialisme. Manusia mukmin tidak memandang hak-hak Allah dalam sikap ‘iffah (menahan diri dari hal-hal yang tidak halal) adanya ikatan-ikatan yang mengurangi kebebasannya, sedangkan orang yang tidak beriman memandang dalam sikap ‘iffah sebagai penghambaan, lalu mereka mengangkat slogan kebebasan seksual sebagaimana yang terjadi di sebagian masyarakat modern.
Sementara orang beriman memandang terhadap hawa nafsu dan kecenderungan pada hal-hal yang diharamkan sebagai ikatan terhadap kebebasan dan penghambaan terhadap akal dan jiwanya. Sebaliknya orang yang tidak beriman memandangnya sebagai pencapaian berbagai kebebasan manusia yang dicapai melalui partai
partai dan diperjuangkan melalui berbagai revolusi. Muslim memandang kebebasannya sebagai kebebasan manusia yang mendapat tugas khilafah dari Allah dalam memakmurkan bumi, yaitu kebebasan yang dikendalikan dan dibatasi dengan batasan-batasan Allah. Hak-hak asasi manusia ini juga dibatasi dengan hak-hak Allah yang mewakili butir-butir akad dan janji kekhalifahan manusia. Sedangkan manusia yang menganut faham materialisme memandang kebebasan manusia sebagai “penguasa alam”, maka tidak ada pembatasan dan tidak ada ikatan terhadap kebebasannya kecuali batas-batas kebebasan dan memilih, seperti halnya tidak ada otoritas terhadap akalnya kecuali otoritas milik akalnya itu sendiri. Manusia Muslim di pihak lain, sebagai khalifah Allah adalah “tuan di muka bumi” bukan “tuan pemilik bumi” yang menurut ungkapan Muhammad Abduh: “Ia adalah seorang hamba Allah dan tuan segala sesuatu setelah Dia.”
Jadi, masalahnya bukanlah kesepakatan untuk mengadopsi terminologi kebebasan dan menolak terminologi penghambaan, melainkan masalahnya adalah perumusan dan pembatasan kandungan pengertian terminologi tersebut agar kita tidak hidup dalam bayangan mitos satu umat yang mempunyai satu kebudayaan tertentu tetapi dalam kenyataan kita adalah dua umat dan dua kebudayaan.
Catatan kedua, sebagaimana dikatakan Dr. Nashr bahwa akal adalah pusat skema (masyru’) Islam. Padahal yang benar bahwa akal dalam skema Islam — yang merupakan salah satu dari empat petunjuk yang ada — adalah jalan menuju pengetahuan dalam Islam: akal, wahyu, pengalaman indrawi (empiris), dan intuisi. Inilah yang membuatnya menjadi akal yang beriman, sebab tidak hanya akal sendiri yang menghasilkan pengetahuan, melainkan satu bagian dari keseluruhan yang menghasilkan pengetahuan dalam teori pengetahuan Islam.
Sedangkan pusat skema Islam adalah:
- tauhid dzat ilahiah tentang dzat, sifat, penciptaan, perbuatan, pengurusan, pemeliharaan dan lain sebagainya;
- amanat kekhalifahan llahi kepada manusia dalam memakmurkan bumi.
Inilah konsep Islam yang universal yang mencakup skema (masyru’) Islam dalam hubungan antara Sang Pencipta, alam dan manusia: Allah Yang Maha Esa dan alam ciptaan-Nya ini dijalankan melalui hukum sebab musabab (sunnatullah fi al-kaun) yang mana hukum sebab musabab (causal law) ini juga adalah ciptaan-Nya yang lain. Dan manusia, sebagai pengemban amanat khilafah dari Allah, telah disediakan baginya alam ini dan dibuat tunduk kepadanya agar membantu melaksanakan amanat kekhalifahan dalam memakmurkan bumi sesuai dengan akad perjanjian kekhalifahan, yaitu hal yang memberi setiap pengertian terminologi — di antaranya intelektualitas, kebebasan dan keadilan — karakter Islam yang berbeda dengan teori-teori yang ada dalam berbagai filsafat serta pemikiran lain. Inilah fokus skema Islam dan proses konsep Islam dimana akal adalah salah satu di antara petunjuk-petunjuk (hidayah) yang ada, bukan fokus skema itu sendiri.
Catatan ketiga, sebagaimana dikatakan Dr.Nashr bahwa hukum sejarah adalah hukum-hukum yang merupakan aturan-aturan umum yang diungkapkan oleh al-Qur’an dengan terminologi sunnatullah yang tidak ditemukan penggantinya. Dari sini lalu muncul pertanyaan: Jika al-Qur’an menamakan hukum-hukum dan aturan-aturan itu dengan sunnatullah mengapa lalu diganti dengan istilah hukum-hukum sejarah? Hukum-hukum itu dalam al-Qur’an dinisbahkan secara posesif (idhafah) kepada pelakunya, sebagaimana ditemukan dalam berbagai ayat berikut:
“Sebagaimana sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang terdahulu sebelum kamu, dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. ” (Al Ahzab: 62)
“Itulah sunnah Allah yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan diwaktu itu binasalah orang-orang kafir.” (Al Mu’min: 85)
“Maka sekali-kali tidak pula akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.” (Faathir: 43)
Yang mengherankan, mengapa kata sunnah itu dinisbahkan secara posesif kepada sejarah, tidak kepada Allah? Padahal, sejarah adalah kata keterangan dari sunnah itu, tempat dan konteksnya, bukan pelaku hukum-hukum dan aturan-aturan (sunnah) itu.
Ini satu problem dalam pengungkapan, yang seringkali tidak dimaksudkan, tetapi menimbulkan masalah kerancuan akibat dari adanya pemahaman-pemahaman materialistik yang masuk kedalam kebudayaan imaniah Islam, seperti ungkapan: “Materi tidak dapat habis dan tidak dapat diperbarui.” Sementara orang-orang Mesir kuno membuat konsep tauhid sebelum mereka mengenal agama-agama. Padahal iman mengajarkan kepada kita bahwa kemanusiaan telah dimulai dengan nubuwwah dan tauhid, dan begitu seterusnya. Manusia dalam pandangan Islam membuat sejarah sesuai dengan sunnatullah. Seandainya hukum-hukum dan aturan-aturan Allah yang tidak dapat diganti itu adalah hukum sejarah, maka tentu bukanlah kapasitas manusia untuk membuat sejarah ini, sebab ia akan menjadi hamba bagi hukum-hukum sejarah yang tidak mungkin dapat ia ubah dan ia ganti.
Catatan keempat, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Nashr bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap aqidah dan agama kita dari metodologi ilmu-ilmu humanoria yang canggih, melainkan yang patut dikhawatirkan adalah kemandegan (jumud) dan taklid yang merupakan benteng pertahanan dalam lembaga-lembaga tradisional. Menurut hemat penulis, bahwa kekhawatiran itu sepatutnya dari taklid dan jumud, dari warna dan sumbernya:
- Taklid kepada pengalaman para pendahulu kita dan metodologi mereka dan berhenti hanya sampai disana.
- Taklid kepada pengalaman peradaban orang lain; metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan dan konsep-konsep filsafat yang ada pada peradaban lain; kejumudan dan berhenti padanya.
Langkah awal yang harus disepakati; atau membuang titik perbedaan didalamnya dengan mendialogkannya adalah bahwa:
- Kita mempunyai peradaban yang berbeda dengan memberi batasan domain perbedaannya, karakternya, rambu-rambunya, yaitu domain dan rambu-rambu — kerangka dasar peradaban Islam — yang merupakan identitas yang menjaga keutuhan peradaban itu serta menjamin keislamannya dalam rentang waktu dan perbedaan tempat.
- Perbedaan sifat peradaban ini menjadi standar penerimaan atau penolakan dari tradisi pemikiran Islam dan dari tradisi pemikiran peradaban lain.
- Pembaruan adalah sunnah dan aturan abadi, yang mana “Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun seorang mujaddid (pembaru) yang memperbarui urusan agamanya.” (Abu Daud)
Ijtihad merupakan kewajiban abadi: tajdid dan ijtihad, dan cara untuk mengembangkan keselarasan pemikiran Islam yang unik dari dalam. Bahwa warna tajdid ini — pengembangan dari dalam keserasian — berbeda dan bertolak belakang dengan kejumudan pada tradisi para pendahulu kita, berbeda dan bertolak belakang dengan inovasi yang menolak pilar-pilar substansial dan menyingkirkan dasar-dasar, dan sumber-sumber syari’ah. Jadi yang disebut modern bukanlah modernitas menurut epistemologi Barat, melainkan modern dalam arti interaksi kita dengan masa sekarang tetapi tidak mencampakkan identitas yang kita miliki: modernitas yang bersumber dari epistemologi Islam yang berbeda dengan pohon filsafat Barat.
Terminologi tentang kemajuan mempunyai banyak pengertian, dan di sisi lain peradaban mempunyai pandangan yang berbeda. Pandangan Islam tentang kemajuan (progress), berbeda dengan pandangan sufisme (mysticism) yang berupaya mencapai kefanaan makhluk dalam diri al-Khaliq dan berbeda pula dengan pandangan paham materialisme yang menempatkan manusia di atas arsy Tuhan. Oleh sebab itu, tugas skema Islam bukan “menumpang wadah” tanpa mempertimbangkan substansi, melainkan kebangkitan untuk mengarah pada satu peradaban sendiri yang menjadi model dimana manusia benar-benar melaksanakan fungsi sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Jika problema paling parah yang dihadapi sekarang oleh umat Islam adalah kemiskinan di bidang kreatifitas ilmiah dan ketenggelaman pada tradisi taklid, maka kreatifitas ilmiah ini akan tetap tidak muncul dalam kehidupan selagi masih belum disepakati bahwa umat Islam adalah pemilik satu peradaban yang memiliki karakter tersendiri. Jika tidak demikian halnya, maka apa kepentingan kaum Muslimin pada penemuan dan kreatifitas ilmiah itu sementara “model yang ditawarkan” telah siap dikemas dan disajikan dari pihak lain?!
Catatan kelima, adalah tentang klaim Dr. Nashr bahwa ketiga prinsip umum yang ia tawarkan untuk dijadikan tujuan-tujuan syari’ah yaitu: intelektualitas, kebebasan, dan keadilan yang ia pandang sebagai prinsip-prinsip umum. Sedangkan kelima prinsip umum yang dirumuskan oleh para ulama klasik mengenai tujuan-tujuan syari’ah dan menurut syaikh Thahir bin Asyur ada enam setelah menambah dengan satu prinsip lagi yaitu: memelihara agama, akal, jiwa, kehormatan, harta, dan kebebasan, ini semua dipandang sebagai prinsip parsial (juz’iyyah) bukan general (kulliyyah) dan dapat dimasukkan kedalam sub prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Dr. Nashr.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah benar demikian? Ataukah sebaliknya yang benar? Jika ditelaah, tujuan-tujuan syari’ah sebagaimana dirumuskan oleh para ulama ushul fiqh dan jika kita mencurahkan daya pemikiran kita pada dimensi-dimensinya yang sebenarnya, yang merupakan dimensi yang pintu dan medannya terbuka di hadapan ijtihad Islam, maka kita akan berada pada satu pola universal yang mencakup pilar-pilar substantif dan keharusan komunitas manusia, yang mana tanpa pilar dan keharusan tersebut peradaban dan ‘umran umat manusia tidak akan tegak pada jalan fitrah yang suci.
Asas memelihara jiwa manusia, yang merupakan salah satu tujuan syari’ah kedua, adalah ungkapan tentang esensi kemanusiaan manusia yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain ketika diberi beban taklif (amanat syari’ah) secara opsional yang mengacu pada tanggungjawab, hisab (perhitungan amal) dan balasan baik buruk (jaza’).
Asas memelihara kebebasan (hurriyyah), yang merupakan tujuan ketiga yang ditambahkan oleh Syaikh Thahir, merupakan ungkapan tentang amanat yang dipikul oleh manusia dalam fungsinya sebagai khalifah, setelah semua makhluk Allah enggan memikulnya. Dalam kerangka dan batas- batas kebebasan itu tercermin visi Islam yang dikemukakan oleh konsep tentang kekhalifahan dan tugas khalifah manusia sebagai makhluk pilihan.
Asas memelihara kehormatan dan keturunan, yang merupakan tujuan keempat adalah ungkapan tentang pilar bangunan keluarga, yaitu komponen pokok dalam wujud bangsa dan ummat. Asas memelihara harta, yang merupakan tujuan kelima, adalah ungkapan tentang pilar kesejahteraan umat manusia dan keadilan sosial serta perhiasan kehidupan duniawi dengan pencapaian ‘umran materiil kehidupan ini.
Asas memelihara agama, yang merupakan tujuan keenam, adalah ungkapan tentang kendali setiap pilar peradaban manusia dengan acuan-acuan ilahiah yang dapat menjamin kelangsungan ‘umran ini –kemajuan dan perkembangan. Dengan ruh ilahiah ini identitasnya tetap terpelihara meskipun menghadapi perubahan zaman dan tempat. Inilah peradaban manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, bukan peradaban manusia yang membangkang terhadap Tuhannya.
Demikian kedudukan tujuan syari’ah dari sisi ‘umran manusia yang merupakan prinsip-prinsip umum yang bijak, pilar-pilar dan keharusan. Jika dicermati ketiga prinsip yang ditawarkan oleh Dr. Nashr, dimana tawaran tersebut benar-benar telah dicakup dalam keenam prinsip yang telah dirumuskan oleh para ulama ushul, maka dimanakah hal baru yang ditawarkan melalui telaah baru terhadap nash-nash agama, dengan metodologi baru, yang menurutnya diabaikan oleh para ulama klasik yang dimata Dr. Nashr mereka hanya mengacu pada isyarat-isyarat linguistik?
Asas intelektualitas yang ditawarkan oleh Dr. Nashr posisinya yang wajar dalam prinsip umum ada pada asas: tujuan memelihara akal. Begitu pula asas keadilan — sebagai satu jalan memecahkan masalah sosial — masuk kedalam prinsip umum: tujuan memelihara harta. Sedangkan asas kebebasan yang merupakan satu asas berdiri sendiri yang ditambahkan oleh Syaikh Thahir bin Asyur, disana tidak detemukan hal baru yang dipetik dari “telaah baru” yang dilakukan oleh Dr. Nashr dalam bidang ini. Jika prinsip “memelihara agama” dipandang sebagai prinsip parsial bukan general, lalu dimana letak sifat keuniversalan agama itu jika tidak pada sifat abadi dan cakupan wilayahnya yang menyeluruh?!
Umumnya dialog-dialog kita merupakan “korban” yang mengecewakan dari anarki yang sudah lumrah dalam muatan-muatan berbagai “terminologi”. Oleh karena itu, agar kita dapat memahami pihak lain, disamping untuk menentukan wilayah-wilayah kesepakatan dan wilayah-wilayah perbedaan, kita harus memulai merumuskan dan menentukan muatan dan pengertian berbagai terminologi tersebut. Wallahu a ‘lam.
[1] Judul makalah yang ditulis Dr. Nashr Abu Hamid Yazid (tokoh sekuler Mesir). Kajian ini dimuat dalam majalah Al Arabi; edisi Juli 1994, yang merupakan satu model pembahasan kandungan terminologi agar di sana ada dialog obyektif dan serius antara aliran-aliran pemikiran modern.pun berakal sehat yang menentang keharusan menggunakan akal dan daya nalar. Para ulama klasik yang dikritik oleh Dr. Nashr telah menjadikan “memelihara akal” sebagai saIah satu dari lima prinsip dan keharusan serta tujuan umum syari’ah, lebih dari seribu tahun yang lalu. Akan tetapi akal yang mana? lntelektualitas yang mana? Inilah yang menjadi permasalahan, yang perlu dijelaskan agar kita mempunyai posisi dan pegangan yang jelas dalam merumuskan kandungan pengertian dan konsep terminologi.
[2] Al Iqtishad fi Al l’tiqad, hal: 302, cetakan al Mathba’ah At Tijariyyah, Kairo, tt.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-19 Merindukan Keteladanan Para Pemimpin
Di antara krisis yang tengah terjadi saat ini di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia adalah krisis keteladanan. Menjadi sesuatu yang sangat paradoks, bahwa para pemimpin dan elit bangsa ‘berbusa-busa’ berbicara tentang ideologi negara, tentang falsafah hidup bangsa, tentang moral dan seterusnya, namun menampilkan sisi-sisi yang tidak mencerminkan keteladanan dalam kehidupan.
Dalam konteks keteladanan pemimpin, Kouzes dan Posner (2007) menyatakan ada lima praktik keteladanan, yaitu mencontohkan cara (Model the Way), menginspirasi visi bersama (Inspire a Shared Vision), menantang proses (Challenge the Process), memampukan orang lain untuk bertindak (Enable Others to Act), dan menyemangati jiwa (Encourage the Heart).[1]
Dalam kaitannya dengan model the way Kouzes dan Posner berpandangan bahwa memimpin berarti bahwa anda harus menjadi contoh yang baik, dan mewujudkan apa yang anda katakan. Gelar yang dimiliki seseorang merupakan pemberian, akan tetapi kehormatan hanya dapat dicapai melalui tingkah laku seseorang.
Kouzes dan Posner mengatakan bahwa perbuatan pemimpin jauh lebih penting dari perkataannya. Pemimpin harus menunjukkan contoh terlebih dahulu dalam tindakan sehari-hari dan mempertunjukkan komitmen yang mendalam atas apa yang diyakininya. “Kepemimpinan contoh” sangat cocok diterapkan dalam kehidupan masyarakat yang memerlukan keteladanan.[2]
Para pejabat pemerintahan pusat dan daerah bertanggung jawab untuk menciptakan keteladanan moral yang positif, karena masyarakat sangat terpengaruh oleh perilaku pejabat. Jika pejabat korup, maka masyarakat mudah meniru dan menjadikannya sebagai legitimasi. Jika pejabat melanggar aturan, akan membuat masyarakat mencontoh pelanggaran tersebut. Semua pejabat pemeritahan harus memiliki standar moral yang membuat bisa dijadikan teladan bagi seluruh warga masyarakat.
Secara tradisional, pemimpin di Jepang memilih harakiri atau bunuh diri jika terlanjur melakukan tindak kesalahan. Hal ini adalah contoh tanggung jawab keteladanan yang sangat besar dalam diri para pemimpin. Tentu saja tidak untuk ditiru di Indonesia dalam hal bunuh dirinya, namun diteladani dalam perasaan tanggung jawabnya. Hal ini bisa dikuatkan melalui kode etik pejabat pemerintahan dan ditindaklanjuti dengan penegakan disiplin kerja dengan reward and punishment yang ketat. Pemberian sanksi administratif terhadap pelanggaran moral juga diperlukan dalam upaya menegakkan keteladanan.
Teladan yang pernah dipraktikkan oleh Benjamin Franklin mungkin bisa menjadi salah satu inspirasi bagi setiap individu yang mau berkehendak baik untuk memperbaiki keadaan di negeri ini.[3] Ternyata kedisplinan adalah kunci membentuk keteladanan dalam diri setiap orang. Para tokoh agama, tokoh masyarakat, pemimpin negara, elit politik, dan seluruh komponen bangsa, harus memulai melakukan latihan disiplin untuk membentuk keteladanan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Benjamin Franklin melatih 13 kecakapan diri. Ia mempraktikkan kesederhanaan dengan tidak makan dan minum terlalu banyak. Praktik diam dengan berbicara hanya tentang yang bermanfaat bagi orang lain, tidak omong kosong. Tertib dan teratur untuk melatih diri terbiasa meletakkan hal dan barang pada kedudukan dan tempatnya masing-masing, serta membagi waktu untuk semua urusannya. Ia melatih keteguhan hati dalam melaksanakan apa yang semestinya dilakukan dan telah diputuskan.
Praktik hemat diwujudkan dengan tidak mengeluarkan biaya selain untuk hal-hal yang baik bagi orang lain dan diri sendiri. Ia rajin dengan tidak membiarkan waktunya kosong, menggunakan waktunya dengan mengerjakan hal-hal yang berguna. Sikap jujur dilatihnya dengan tidak melakukan tipu muslihat yang menyakitkan hati, berpikir bersih dan jernih serta berbicara tentang yang benar saja. Keutamaan keadilan dibangunnya dengan tidak menyalahkan orang lain dengan melakukan sesuatu yang tidak adil atau dengan melakukan hal-hal yang merupakan kewajibannya.
Sikap moderat dilatihnya dengan menghindari sikap hal-hal yang ekstrem, dan selalu bersabar terhadap hal-hal yang kurang adil atas dirinya. Ia melatih kebersihan diri dengan tidak mentolerir hal-hal yang tidak bersih dalam badan, pakaian atau rumah. Praktik ketenangan diri direalisasikannya dengan tidak gugup atas hal-hal remeh atau kejadian buruk yang biasa atau tak terhindarkan. Ia meraih kemurnian dengan menggunakan seks hanya untuk kesehatan atau keturunan, tidak berlebihan sehingga bisa merusak reputasi diri sendiri dan ketenangan orang lain. Ia rendah hati terhadap siapa pun, entah kaya atau miskin, pejabat atau rakya biasa.
Ketigabelas pelajaran Franklin tersebut membuat dia berhasil memajukan negara AS. Ia menjadi teladan yang patut disegani di negerinya.
[1] J.M. Kouzes dan B.Z. Posner, The Leadership Challenge, 4th Ed, John Wiley & Sons Inc, San Francisco, 2007.
[2] ibid
[3] Pormadi Simbolon, Disiplin dan Keteladanan Membangun Bangsa, www.pormadi.wordpress.com 29 Maret 2007.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-19 Pengantar Penghimpun Capita Selecta
Capita Selecta, adalah nama buku yang memuat kumpulan karangan-karangan Saudara M. Natsir, yang diterbitkan pertama kali oleh penerbit U. B. ,.Ideal di Djakarta. Dua jilid yang diterbitkan oleh penerbit tersebut, memuat 23 karangan.
Dalam pada itu, masih banyak lagi karangan-karangan Saudara M. Natsir, yang baik dibukukan. Antara tahun 1936—1941, Saudara M. Natsir menulis tidak kurang dari 90 karangan. Tapi tidak mudah untuk mengumpulkan karangan-karangan itu kembali. Dari beberapa teman-teman di Sumatera Tengah dan di Bandung, kami banyak dapat pertolongan. Begitu juga dari Perusahaan Lembaga Kebudayaan Indonesia di Jakarta, banyak kami mendapat bantuan. Kepada semuanya, kami ucapkan banyak-banyak terimakasih.
Buku ini memuat 52 karangan, dari karangan-karangan yang banyak itu. Selebihnya, karena merupakan karangan bersambung, mungkin akan diterbitkan juga nanti.
Seperti pembaca dapat menyaksikan sendiri, karangan-karangan ini ditulis antara 13 sampai 18 tahun yang lampau. Meskipun demikian, ia tetap masih aktuil, nilainya tidak dimakan masa. Walaupun oleh karangan-karangan ini tidak lagi zaman sekarang yang dihadapinya dengan lansung, tetapi ia tetap berharga untuk dibaca dan dipahamkan. Dalam pada itu jangan dilupakan bahwa tulisan-tulisan tersebut, ditulis dibawah tekanan duri-duri-pers yang begitu banyak, mulai dari masa ranjau-ranjau pers biasa sampai kepada masa “pers-breidel” dan masa “Staat van Beleg”. Sebab itu tepat kalau dikatakan bahwa selain dari pada mempunyai nilai2 biasa, tulisan-tulisan ini juga membawa kita membaca sejarah, membaca suara dan semangat~zaman di waktu itu.
Supaya lebih memudahkan, susunannya dibagi atas rubrik-rubrik. Karangan dalam satu-satu rubrik umumnya disusun kronologis. Masa ditulis dapat dilihat dibawah masing-masing kepala karangan.
Suatu hal yang tegas, ialah dasar dan ruh dari karangan-karangan ini; soal manapun yang diuraikan, dasar dan ruhnya hanyalah satu, yakni mengemukakan dengan cara hujah yang tersendiri, langsung atau tidak langsung, akan ketinggian dasar dan ajaran* Islam dan bahwa Islam itu adalah suatu aturan-hidup untuk segala pencintakemanusiaan dan pencinta-Tuhan. Islam, menurut keyakinan M. Natsir, wajib jadi kriterium bagi hidup seorang Muslim, dan tak mungkin Islam itu dijadikan obyek untuk di-kriterium-kan kepada yang lain.
Ada baiknya dimaklumi, lebih-lebih berkenaan dengan rubrik “Ketatanegaraan”, bahwa seharusnyalah dibaca dengan berurutan, karena ia ditulis menurut peristiwa dan gelombang-masa diwaktu itu, yang menyebabkan hampir selalu ada hubungan antara karangan yang satu dengan yang lain. Ya, … .malah tak berapa buah diantara karangan-karangan ini sebenarnya, yang berdiri sendiri-sendiri.
Kepada Saudara Z. A. Ahmad dan Saudara Hamka, yang telah memberi kata-sambutan atas isi dan usaha mengumpulkan karangan-karangan ini kami ucapkan banyak-banyak terima kasih. Memang keduanya berhak memberi pertimbangan demikian.
Moga-moga ada faedahnya usaha kami menghimpunkan ini.
Jakarta, Oktober 1954
D. P. Sati Alimin
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-19 Pengertian Hadits Nabawi
Perhatian Terhadap Hadits
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah Al Quran dan Hadits Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa sallam.
Allah telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang selalu menjaga Al Quran hadits Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap Al Quran dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian lagi memprioritaskan perhatiannya untuk menjaga hadits Nabi dan ilmu, mereka itu adalah para ahli hadits.
Para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in sangat perhatian untuk menjaga hadits-hadits Nabi dan periwayatannnya dari generasi ke generasi yang lain, karena mempunyai pengaruh yang besar terhadap agama. Mereka selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah sebagaimana firman Allah,
“Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian.” (QS Al Ahzab:21)
Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi dan dilarang untuk mengerjakan semua larangan beliau,
“Dan ambillah apa yang datang kepadamu dari Rasul dan tinggalkan apa yang dilarang untukmu.”(QS Al Hasyr: 7)
Keteladanan mereka pada Rasulullah sangat luar biasa sehingga tidak pernah bertanya sebab atau musabab dari perbuatan beliau.
Diriwayatkan Al Bukhari dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga cincin dari emas. Kemudian Nabi membuangnya dan bersabda, “Aku tidak akan mengenakannya untuk selama-lamanya,” maka mereka pun membuang cincin tersebut.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah. Selama beliau menetapkan mereka mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya.”[1]
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk mendengarkan, menghafal, dan menyampaikan hadits beliau.
Dari Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar hadits dari kami lalu menghafal hingga menyampaikannya. Berapa banyak orang yang membawa ilmu lalu menyampaikannya kepada orang yang lebih faham daripadanya, dan berapa banyak membawa ilmu namun tidak mengerti.’”[2]
Dari Abdullah bin Mas’ud berkata Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semoga Allah memberikan cahaya pada wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami, lalu menyampaikannnya seperti yang ia dengar. Berapa banyak orang yang menyampaikan lebih memelihara daripada orang-orang yang mendengar.”[3]
Maka periwayatan hadits masih tetap menjadi suatu kemuliaan bagi para sahabat dan para pendahulu kita demi menjaga warisan Nabi, “Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap pendahulu, mereka menolak penyelewengan orang yang melampaui batas, anutan orang-orang yang batil, dan penakwilan orang-orang yang bodoh.”[4]
Dari Jabir, bahwasanya ia pernah pergi ke Syam untuk meriwayatkan satu hadits dari Abdullah bin Unai .[5] Dan Abu Ayyub berangkat dari Madinah menuju Mesir hanya untuk meriwayatkan sebuah hadits dari Uqbah bin Amir.[6]
Para tabi’in dan para pengikutnya tidak kalah tamaknya dalam mencari hadits dari pada sahabat. Mereka mengikuti jejak dan langkah para sahabat. Majelis mereka dipenuhi dengan hadits Rasulullah. Mereka rela menanggung kesusahan dan kesulitan, serta menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkannya. Said bin Al Musayyib, salah satu tabi’in senior berkata, “Untuk mendapatkan satu hadits, aku rela menempuh beberapa hari perjalanan siang dan malam.”[7]
Amir Asy Sya’bi, berangkat ke Makkah untuk mendapatkan tiga hadits yang pernah diceritakan kepadanya denagn harapan dapat bertemu dengan salah satu sahabat, lalu bertanya tentang hadits-hadits tersebut.
Asy Sya’bi menceritakan sebuah hadits kepada seseorang lalu berkata kepadanya, “Aku berikan ini kepadamu secara cuma-cuma, yang pernah didapatkan dengan menempuh perjalanan ke Madinah.”
Seperti inilah perhatian para salaf terhadap sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
[1] Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqalani: 1/321, cet. Salafiyah
[2] HR Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits ini hasan.”
[3] HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad Darimi, dan Ahmad, Tirmidzi berkata, “Ini hadits hasan shahih.”
[4] Diriwayatkan oleh Al Uqaili, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Abdil Barr
[5] Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Al Ilmi wa Fadllihi
[7] Diriwayatkan oleh Ar Ramahurmuzi dalam Al Muhadits Al Fashil, dan diriwayatkan pula Ibnu Abdul Barr
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-20 Generasi Qurani: Generasi Yang Unik
Terdapat fakta sejarah yang patut menjadi renungan bagi para pengemban dakwah Islam di mana saja dan pada zaman siapa saja. Dan sudah selayaknya peristiwa tersebut dipedomani, karena hal itu mempunyai efek yang signifikan berkenaan dengan manhaj dan orientasi dakwah.
Dakwah Islam telah melahirkan sekelompok generasi manusia –yakni generasi shahabat ridhwanullah ‘alaihim- menjelma menjadi generasi yang sangat istimewa dalam sejarah Islam khususnya, dan sepanjang sejarah manusia pada umumnya. Namun selanjutnya, dakwah tersebut tidak melahirkan kembali generasi ini pada kali yang lain. Ya, begitulah, terdapat pengistimewaan bagi generasi tersebut sepanjang perjalanan sejarah. Karena, memang belum pernah terjadi –sama sekali- afiliasi masif dalam jumlah besar sedemikian rupa, di satu tempat, sebagaimana yang telah terjadi pada periode awal perjalanan dakwah Islam.
Sebuah fakta mencengangkan yang benar-benar terjadi, dan mempunyai hikmah yang patut menjadi renungan. Semoga kita mendapat bimbingan-Nya untuk menyibak rahasia dibaliknya.
Sejatinya Al Quranul Karim, yang menjadi pedoman utama dakwah ini, telah ada di hadapan kita. Begitu pula sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah saw yang aplikatif, serta keteladanan hidup beliau yang mulia, semuanya telah tersaji di hadapan kita. Pun tak ketinggalan, untuk dakwah tersebut, telah dihadirkan keteladanan “generasi pelopor” yang tak akan terulang lagi dalam sejarah. Bukankah yang telah hilang hanyalah pribadi Rasulullah saw? Lantas, apakah yang demikian ini adalah misteri?
Apabila eksistensi pribadi Rasulullah saw merupakan sebuah keniscayaan bagi keberlangsungan dan efektivitas dakwah tersebut, tentunya Allah tidaklah menjadikannya sebagai seruan bagi manusia secara keseluruhan. Dan Allah juga tidak akan melegimitasinya sebagai risalah paripurna. Lagi pula, Allah tentu tidak akan mempercayakan dakwah ini untuk menangani urusan manusia di muka bumi hingga akhir zaman.
Akan tetapi Allah swt telah menjamin keterpeliharaan Al Quran. Allah Maha Tahu bahwa dakwah ini akan tetap survive meski sepeninggal Rasulullah saw, dan ia senantiasa berdaya guna. Dus, Allah memilih dakwah ini di sisi-Nya setelah risalah berlangsung selama 23 tahun. Kemudian, Allah hendak mengekalkan agama-Nya hingga akhir zaman. Oleh karena itu, “kepergian” sosok pribadi Rasulullah saw tidak berarti menegaskan fakta di atas, dan tidak pula bersangkut paut dengannya.
—
Akan lebih baik bila kita menyelami peristiwa yang lain, agar kita bisa merenungkan referensi yang menjadi sumber inspirasi generasi garda depan, karena bisa jadi kita jumpai sesuatu yang telah berubah; dan kemudian kita bisa merenungkan manhaj yang mereka pelajari, sebab bisa saja ada sesuatu yang telah berubah di dalamnya.
Referensi utama yang diadopsi generassi pelopor adalah Al Quran, hanya Al Quran semata. Adapun sabda-sabda dan petunjuk Rasulullah saw hanyalah merupakan satu dari beberapa konsekuensi yang bersumber dari Al Quran. Salah satu contoh, ketika Aisyah radhiyallah ‘anha ditanya tentang akhlaq Rasulullah saw,, ia menjawab, “Akhlaq beliau adalah Al Quran.” (HR. An Nasa’i)
Adalah Al Quran satu-satunya sumber referensi yang mereka adopsi. Mereka beradaptasi dengannya dan mengambil pelajaran darinya. Belum pernah terjadi kondisi yang demikian, karena pada waktu itu umat manusia belum memiliki peradaban dan kebudayaan, tidak pula keilmuan, karya-karya tulis, dan kajian-kajian?! Sekali-kali tidak! Kala itu, telah ada peradaban dan kebudayaan Romawi, juga buku-buku dan undang-undang mereka, yang sampai saat kini masih menjadi acuan dan dikembangkan oleh Bangsa Eropa. Di sisi lain, terdapat pula sisa-sisa peradaban, rasionalitas, filsafat, dan kesenian Yunani, di mana menjadi sumber inspirasi pemikiran Barat hingga sekarang. Di tempat lain, terdapat pula peradaban Persia, berikut kesenian, kesusastraan, mitologi, kepercayaan-kepercayaan, dan sistem pemerintahannya. Selain itu, masih terdapat beberapa peradaban lain yang jauh dan yang dekat (dari dunia Arab), misalnya: peradaban India, peradaban China, dan lain sebagainya.
Pada waktu itu, dua peradaban –Romawi dan Persia- mengapit Jazirah Arab di sebelah utara dan sebelah selatan, sementara Judaisme dan agama Kristen masih berpengaruh di tengah-tengah jazirah. Terdorong kebutuhan terhadap peradaban dan kebudayaan yang universal maka generasi shahabat tidak hanya membatasi diri berpegang teguh pada Kitabullah semata, pada saat perintisannya. Demikian ini dilakukan semata-mata demi sebuah planning yang matang dan sistem yang rapi. Sehingga, Rasulullah saw marah ketika tatkala beliau melihat di tangan Umar radhiyallahu ‘anhu terdapat lembaran yang berisikan ayat Taurat. “Demi Allah, sesungguhnya andai saja Musa masih hidup di belakang kalian, pastilah tak ada yang dilakukannya kecuali ia akan mengikuti (ajaran)ku!” tandas beliau. [Diriwayatkan oleh Al Hafizh Abu Ya’la dari Hammad bin Asy Sya’bi dari Jabir]
Bila demikian, berarti telah ada tuntunan dari baginda Rasulullah saw agar cukup merujuk pada Al Quran –yang selama ini mereka tekuni- selama masa-masa perintisan. Dengan merujuk pada Kitabullah semata, jiwa mereka mampu menyatu semata-mata dengan Al Quran, dan raga mereka berkomitmen menjalankan manhaj Al Quran. Sebab itulah, Rasulullah saw marah ketika melihat Umar bin Khattab ra hendak mengambil dari referensi lainnya.
Rasulullah juga ingin membentuk sebuah generasi yang tulus hatinya, jernih akkalnya, orisinal konsepsinya, dan bersih kesadarannya, serta komposisinya bebas dari pengaruh apapun selain konsepsi Ilahi yang terkandung dalam Al Quran semata. Walhasil, jadilah mereka memiliki karakteristik yang “unik-istimewa”.
Namun, lihatlah apa yang terjadi di kemudian hari! Berbagai referensi berakulturasi! Beberapa generasi penerus menyisipkan –ke dalam referensi yang mereka adopsi- ajaran filsafat dan ilmu logika Yunani, mitos-mitos dan pandangan Persia, isra’iliyyat Yahudi, dan teologi Nasrani, serta beberapa peradaban dan kebudayaan yang rendah. Semuanya berakulturasi dengan penafsiran Al Quran dan ilmu kalam, sebagaimana yang terjadi dengan kajian fiqih dan ushul fiqih. Kemudian, kitab-kitab referensi “yang telah terkontaminasi” tersebut dikaji dan dipelajari oleh generasi-generasi selanjutnya. Maka dari itu, jelaslah, tidak ada yang menyamai generasi pelopor di atas.
Tak diragukan lagi bahwa akulturasi berbagai referensi pada kali yang pertama tersebut menjadi faktor utama dari sekian faktor yang memunculkan perbedaan yang kontras antara generasi-generasi penerus di satu sisi dan generasi pelopor yang unik-istimewa di sisi lain.
Selain faktor perbedaan karakteristik sumber rujukan, terdapat pula faktor penting lainnya, yakni ketidaksamaan “metode pembelajaran” (learning method) dari metode yang ditempuh oleh generasi pelopor. Generasi ini tidaklah mengkaji Al Quran dengan berorientasikan tradisi dan publikasi, serta tidak pula untuk tujuan hobi dan mencari keuntungan. Tak seorang pun shahabat mempelajari Al Quran untuk memperkaya perbendaharaan tradisi semata, tidak pula hanya bertujuan menggabungkan dalil-dalil ilmiah dan fiqhiyah pada konklusi Al Quran yang disimpulkan berdasarkan pendapat pribadinya. Akan tetapi, para shahabat mempelajari Al Quran untuk mendalami firman Allah, berkenaan dengan masalah pribadi dan persoalan bersama –yang mereka terlibat di dalamnya- serta kondisi lingkungan yang menjadi ajang aktivitas mereka. Mereka mengkaji firman-Nya untuk dipraktikkan seketika mendengarnya, sebagaimana pasukan di medan perang menerima “instruksi harian” untuk dikerjakan seketika itu.
Maka dari itu, tak ada seorang pun shahabat meminta banyak-banyak penyampaian Al Quran pada satu majelis. Karena, ia merasa yang demikian itu hanya akan memperbanyak kewajiban-kewajiban dan aturan-aturan agama yang membebani pundaknya. Karena itu, ia merasa cukup dengan sepuluh ayat untuk sementara waktu sampai ia telah menghafalnya dan mengamalkannya, sebagaimana informasi yang disebutkan dalam hadist Ibnu Mas’ud ra.
Kesadaran itulah, yakni kesadaran mempelajari untuk mengamalkan, yang telah membukakan bagi mereka –lantaran Al Quran- pintu-pintu kekayaan dan cakrawala pengetahuan. Semua itu tidak akan terbuka bagi mereka seandainya sejak semula, dalam mempelajari Al Quran, mereka berorientasikan sense penelitian, akademik, dan publikasi. Kemudian, mereka menganggap sepele pengamalannya dan menganggap enteng aturan-aturan agama; mencampuradukkan Al Quran dengan ambisi pribadi; membelokkan (makna) Al Quran sejalan dengan aturan yang berlaku agar sesuai dengan hawa nafsu dan kehidupan mereka, dan sejalan dengan dinamika kebudayaan yang belum tentu diterima oleh akal sehat dan tidak pula terabadikan dalam lembaran-lembaran kitab suci. Bukankah kebudayaan selalu dinamis seiring tilas-tilas dan peristiwa-peristiwa yang mengubah catatan sejarah kehidupan?!
Sejatinya, Al Quran tidak akan membeberkan rahasia-rahasianya kecuali terhadap pribadi yang bisa diterimanya karena memiliki sebuah mentalitas, yakni mentalitas intelektual yang berinisiatif pada pengamalan. Al Quran tidaklah hadir sebagai kitab yang memperkaya akal, tidak pula rujukan sastra dan seni, apalagi kitab dongeng dan sejarah, meskipun semua itu tercakup di dalamnya. Akan tetapi, Al Quran turun untuk menjadi “jalan hidup” (way of life) dan sebagai petunjuk Ilahi (divine guidline) yang suci. Dan Allah swt mempersiapkan mereka dengan bekal manhaj ini secara bertahap; Allah membacakan bagian demi bagiannya, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al Isra’ [17] : 106)
Al Quran ini tidaklah turun sekaligus dalam satu waktu, akan tetapi ia diturunkan menurut kadar kebutuhan saat itu; sesuai dengan perkembangan pemikiran dan penalaran yang sedang berlangsung; seiring dengan dinamika masyarakat dan kehidupan secara umum; dan untuk menjawab problematika sosial yang sedang dihadapi komunitas umat islam dalam kehidupan yang dijalaninya. Pada waktu itu, turunlah satu atau beberapa ayat, dalam kondisi tertentu dan berkenaan dengan peristiwa tertentu.
Al Quran berdialektika dengan manusia tentang apa yang terbersit dalam benak mereka, menjelaskan kepada mereka duduk perkara yang mereka hadapi, memikirkan cara penyelesaian masalah mereka, mengoreksi kekeliruan sense dan langkah mereka, dan mempertautkan segala yang mereka hadapi kepada Allah, Tuhan mereka, serta mengenalkan Allah –kepada mereka- dengan sifat-sifat-Nya yang mempengaruhi alam semesta. Sehingga, mereka pun seketika itu menyadari bahwa mereka hidup berdampingan dengan alam metafisik, di bawah pengawasan Allah, berada dalam kekuasaan-Nya. Dari sini, mereka akhirnya mampu menyesuaikan diri, dalam kehidupan mereka, dengan manhaj Ilahi yang lurus tersebut.
Manhaj pembelajaran yang berorientasi pada implementasi dan praktik itulah buah karya generasi pelopor. Sementara manhaj pembelajaran yang berorientasi pada tugas akademik dan pengetahuan adalah manhaj yang diprakarsai generasi-generasi setelahnya. Tentunya, dengan demikian, faktor yang kedua ini juga menjadi faktor penting yang membedakan semua generasi dengan generasi shahabat yang istimewa nan tiada duanya.
—
Selanjutnya, terdapat faktor ketiga yang patut untuk kita camkan dan renungkan.
Seseorang tatkala masuk Islam, berarti harus menanggalkan kesesatannya, yakni semua yang dilakukannya semasa jahiliyah. Ia merasa, pada saat memilih Islam, ia sedang memulai “komitmen baru” yang benar-benar terbebas dari kehidupan yang dilakoninya pada masa jahiliyah. Dari sini, ia akan meragukan (kebenaran) segala ritual yang ditunaikannya semasa jahiliyahnya seperti keadaan orang yang sedang ragu, bimbang, cemas dan takut, seraya menganggap semua itu adalah perbuatan keji yang tidak baik dalam pandangan Islam.
Bermula dari persepsi ini, ia pun mempelajari ajaran yang baru, yakni cahaya petunjuk Islam. Apabila suatu ketika ia dikuasai hawa nafsunya; atau suatu saat, tradisi (masa lalunya) menarik perhatiannya; atau andaikata ia tak kuasa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam suatu ketika, seketika itu ia akan merasa berdosa dan berbuat salah. Dalam relung jiwanya, ia menyadari perlu menyucikan jiwanya dari hal-hal yang mengotori jiwanya, lantas sekali lagi mencoba kembali menyesuaikan diri sejalan dengan petunjuk Al Quran.
Sudah semestinya, terdapat pemisahan kesadaran (‘uzlah syu’uriyyah) secara penuh antara masa silam seorang muslim dalam kejahiliyahan dan masa kininya dalam keislamannya; dari pemisahan ini, berkembanglah pemisahan sepenuhnya –dalam ritualnya, misalnya sembahyang, bersama komunitas jahiliyah- dari berbagai hubungan dan keterikatan sosial. Dengan begitu, akhirnya, ia pun bisa melepaskan diri dari kungkungan jahiliyah, dan kemudian mengikatkan diri dengan lingkungan yang Islami. Lain masalahnya, jikalau ia menjalin interaksi dengan sebagian kalangan musyrik dalam bidang perniagaan dan kerja sama sehari-hari. Karena, pemisahan kesadaran merupakan satu hal tersendiri, dan kerja sama sehari-hari merupakan satu hal yang lain.
Kemudian, harus ada pembebasan diri dari pengaruh lingkungan, tradisi, konsepsi, adat-istiadat, dan ikatan-ikatan jahiliyah. Hal ini merupakan konsekuensi transformasi akidah dari syirik (politeisme) menuju tauhid; dan transformasi ideologi tentang kehidupan dan eksistensi diri, dari tren jahiliyah menuju mainstream Islam. Kondisi ini kemudian berkembang dari Ma’idah sekumpulan orang menjadi komunitas baru yang Islami, dengan pedoman yang baru. Komunitas dan pedoman ini kemudian menghadirkan secara totalitas, baik loyalitas, ketaatan, dan kepasrahan diri.
Tak pelak lagi, faktor yang ketiga ini pun menjadi titik kontras. Ia menjadi titik permulaan sejarah kehidupan yang baru, yakni sejarah yang –secara cepat- bebas dari segala himpitan tradisi-tradisi yang diciptakan oleh masyarakat jahiliyah, dan dari semua paham dan nilai yang berlaku di dalamnya. Di sana, seorang muslim hanya menjumpai penderitaan dan bencana. Akan tetapi, dalam dirinya, ia telah meneguhkan dan menyempurnakan tekadnya, dan tidak akan goyah oleh himpitan ideologi jahiliyah, tidak juga oleh taklid-taklid masyarakat jahiliyah.
Kita sekarang berada dalam suatu kejahiliyahan sebagaimana jahiliyah yang sekurun dengan Islam, atau malah lebih mengenaskan. Semua yang ada di sekeliling kita adalah jahiliyah. Konsepsi dan akidah manusia, adat-istiadat dan tradisi mereka, sumber-sumber kebudayaan mereka, kesenian dan kesusastraan mereka, hukum dan undang-undang mereka, bahkan banyak hal yang kita anggap sebagai budaya Islam, referensi Islam, filsafat dan pemikiran Islam, semuanya juga merupakan produk jahiliyah tersebut.
Sebab itulah nilai-nilai Islam tidak bisa konsisten tertanam dalam sanubari kita; konsepsi Islam tidak bisa terjabarkan jelas dalam alam pikiran kita; dan karenanya, di lingkungan kita, tidak bisa berkembang generasi –dalam jumlah besar- seperti halnya generasi yang dilahirkan Islam pertama kali.
Jika demikian, dalam manhaj haraki Islam, mau tak mau kita harus membebaskan diri –dalam masa persiapan dan formulasi- dari semua jenis pengaruh jahiliyah yang selama ini kita tiru dan adopsi. Sudah semestinya kita kembali berpijak pada referensi murni yang dipedomani oleh generasi shahabat, yakni referensi yang dijamin tak terkontaminasi oleh noda sedikitpun. Kita kembali kepadanya sembari membangun –dari referensi tersebut- konsepsi kita tentang segala realitas kekinian dan kemanusiaan, serta semua interelasi antara dua realitas tadi di satu sisi dan wujud Yang Maha Sempurna nan Maha Benar, yakni keberadaan Allah swt, di sisi lain. Dari sinilah kita membangun konsepsi kita tentang kehidupan, juga tentang nilai-nilai, etika-etika, dan manhaj-manhaj kita, dalam bidang hukum, politik, ekonomi, dan segala bidang yang menunjang kehidupan.
Ketika kita kembali berpijak pada Al Quran, merupakan suatu keharusan, kita memulai lagi dengan kesadaran “mempelajari untuk melaksanakan dan mengamalkan”, bukannya dengan kesadaran “akademik dan mencari profit”.
Kita kembali kepadanya, supaya kita menelisik apa yang dikehendakinya atas keberadaan dan orientasi hidup kita. Di jalan ini, akan kita jumpai –di dalam Al Quran- keindahan artistik, kisah-kisah fantastik, “adegan-adegan” hari Kiamat, juga retorika yang impresif, dan segala hal yang ingin ditelisik oleh para akademisi dan kaum oportunis. Kita akan menggapai semuanya, namun dengan catatan, itu bukanlah tujuan utama kita. Karena, tujuan utama kita adalah mengetahui apa yang dikehendaki Al Quran untuk kita lakukan; apakah konsepsi menyeluruh yang diinginkan Al Quran dari kita; bagaimanakah Al Quran menghendaki kesadaran kita terhadap Allah swt; dan bagaimanakah Al Quran menghendaki akhlaq, sikap, dan tatanan kehidupan kita sehari-hari?!
Untuk itu, kita harus melepaskan diri dari himpitan komunitas jahiliyah, juga konsepsi, tradisi, dan tatanan sosial yang berbau jahiliyah, lebih-lebih di dalam jiwa kita. Kita tidak perlu berbaur dengan realitas masyarakat jahiliyah ini, juga tidak perlu menyatakan loyalitas kepada mereka. Karena, mereka dengan karakteristiknya –yakni karakteristik jahiliyah- tidak layak untuk “bergandengan tangan” dengan kita. Yang penting adalah, kita harus memperbaiki diri kita lebih dahulu sebelum kita memperbaiki masyarakat kemudian.
Selanjutnya, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mereformasi realitas masyarakat tersebut. Kita harus mereformasi realitas jahiliyah mulai dari akarnya. Realitas inilah yang senantiasa berbenturan secara fundamental dengan manhaj dan konsepsi Islam, serta menghalangi kita –sekuat tenaga- dari kehidupan semestinya seperti yang dikehendaki manhaj Ilahi.
Langkah pertama dalam meniti jalan kita adalah menaklukkan masyarakat jahiliyah berikut nilai-nilai dan konsepsi-konsepsinya; dan jangan sampai kita menyelaraskan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi kita, sedikit atau banyak, agar sejalan dengan mereka di “jalan tengah”. Sekali-kali tidak! Karena sejatinya kita dan mereka berada di jalan yang berbeda. Maka, apabila kita menyertai mereka selangkah saja, berarti kita telah kehilangan seluruh manhaj kita dan juga kehilangan jalan kita.
Dalam merealisasikan langkah di atas kita akan menjumpai rintangan dan hambatan. Langkah tersebut mengharuskan kita mendedikasikan pengorbanan yang tak ternilai. Namun, kita tak punya pilihan lain ketika kita bertekad menapaki jalan generasi utama, generasi yang telah Allah tetapkan baginya manhaj Ilahi, dan menolongnya mengalahkan manhaj jahiliyah.
Alangkah lebih baik, bila kita senantiasa memahami keistimewaan manhaj kita, hal ihwal posisi kita, dan karakteristik jalan yang mau tak mau kita tempuh untuk keluar dari kejahiliyahan, sebagaimana yang dilakukan generasi spesial yang tiada duanya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-20 Pengantar Ilmu Ushul Fiqih
Segala puji bagi Allah, kepadaNya kami mohon pertolongan dan ampunan serta bertaubat. Kami mohon pelindungan kepadaNya dari segala nafsu dan perbuatan yang jahat. Barangsiapa yang diberi petunjuk olehNya maka tiadak akan ada yang menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan maka tidak ada yang mampu memberinya petunjuk. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad yang diutus sebagai rahmat untuk sekalian alam dan yang membimbing umat ke jalan yang lurus. Begitu juga kepada para keluarga dan shahabatnya, serta orang yang mengikuti jejaknya sampai akhir zaman.
Ilmu Ushul Fiqih adalah suatu ilmu yang menguraikan tentang metode yang dipakai para imam nujtahid dalam menggali dan menetapkan hukum syar’i dari nash. Dan berdassarkan nash pula mereka mengambil illat yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum syar’i, sebagaimana dijelaskan dan diisyaratkan oleh Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Dalam hal ini, Ilmu Ushul Fiqih berarti suatu kumpulan kaidah metodologis dan menjelaskan bagi seorang faqih bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu bisa bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh yang secara lahir bertentangan atau berbeda konteksnya, dan bisa bersifat maknawiyah, seperti mengambil dan menggeneralisasikan suatu illat dari nash serta cara yang paling tepat untuk penetapannya. Begitulah kandungan Ilmu Ushul Fikih yang menguraikan dasar-dasar serta metode penetapan hukum taklif yang bersifat praktis yang menjadi pedoman bagi para faqih dan mujtahid, sehingga dia akan menempuh jalan yang tepat dalam beristinbath (mengambil hukum).
Karena itulah Ilmu Ushul Fiqih merupakan aspek penting yang mempunyai pengaruh paling besar dalam pembentukan pemikiran fiqih. Dengan mengkaji ilmu ini, seseorang akan mengetahui metode-metode yang dipakai oleh para imam mujtahid dalam mengambil hukum yang kita warisi selama ini. Terutama dari segi yang lebih produktif bila ingin mengembangkan hukum-hukum yang telah diwarisi itu, meski tidak sepadan, maka Ilmu Ushul Fiqih itu akan menerangi jalan untuk berijtihad. Dengan begitu, seseorang akan tahu tanda-tanda dalam menetapkan hukum syara’ dan tidak menyimpang dari jalan yang benar, disamping ia juga akan selalu mampu mengembangkan ilmu syar’i dalam memberi jawaban terhadap segala persoalan yang muncul dalam setiap masa. Artinya Ilmu Ushul Fiqih merupakan hal yang harus diketahui oleh orang yang ingin mengenali fikih hasil ulama terdahulu, juga bagi orang yang ingin mencari jawaban hukum syar’i terhadap persoalan yang muncul pada setiap saat.
Tak heran bila setiap fakultas hukum, baik dulu mauoun sekarang, pasti menaruh perhatian yang besar terhadap ilk mereka bertanggungjawab untuk menerapkan hukum syar’i dalam masyarakat, baik yang berkaitan dengan masalah publik maupun perdata. Untuk menunaikan tugas tersebut, seseorang harus mengetahui sumber-sumber hukum syar’i dan metode-metode penetapan yang dipakai oleh ulama terdahulu, untuk kemudian mampu memilih metode yang paling tepat sebagai dasar dalam penetapan hukum, dengan tidak menyimpang dari tujuan syariat Islam serta tidak melampaui batas-batasnya.
“Barangsiapa melampaui batas-batas Allah, maka sesungguhnya ia telah menzhalimi dirinya.”
Ilmu Ushul Fiqih bukan hanya berguna bagi mahasiswa fakultas hukum untuk memahami syariah saja, tetapi juga sangat berguna untuk memahami undang-undang secara tepat. Dengan ilmu ini, ia akan tahu tentang dilalah (pengertian) setiap lafazh yang ada pada nash, baik secara manthuq (tekstual) maupun mafhum (kontekstual), juga akan mampu membuat batasan bagaimana menetapkan suatu pengertian yang tepat ketika berhadapan dengan lafazh lain yang secara lahir atau tersamar mempunyai persesuaian maupun perbedaan. Setiap penafsir undang-undang pasti memerlukan semua hal tersebut, yang berarti memerlukan Ilmu Ushul Fiqh. Sebagaimana masalah qiyas (analogi), yang dalam Ushul Fiqh telah diterangkan secara tepat macam-macamnya, prosedur penerapannya, kriteria ‘illat dan cara mengetahui sifat-sifat yang bisa dipakai sebagai ‘illat dan sebagainya.
Sebagaimana pada setiap undang-undang ada ketentuan kasasi (naik banding), maka Ilmu Ushul Fiqih juga mengungkapkan kondisi-kondisi perkecualian yang dinyatakan sebagai jalan untuk mewujudkan tujuan yang prinsip bagi undang-undang itu. Kondisi perkecualian semacam itu dapat dilihat secara terinsi dalam bab Istihsan.
Sebagai kesimpulan, bahwa Ilmu Ushul Fiqih merupakan pedoman yang tepat untuk memahami teks-teks perundang-undangan. Di satu pihak, ilmu itu sendiri sangat dalam dan rumit yang bisa menjadi metode dan acuan bagi seorang ahli hukum, dan di pihak lain akan dapat melatih dan mengembangkan kemampuannya dalam menerapkan dan menegakkan hukum.
Akhirnya, hanya kepada Allah jua kami mohon pertolonga, semoga upaya ini mampu memberi sumbangan bagi para mahasiswa, pengkaji, dan ahli hukum dalam memahami dan menetapkan hukum dengan tepat, dan mampu mengatasi berbagai kendala yang ada. Dialah tempat memohon dan sebaik-baik pembimbing dan penolong.
Kairo, 13 Shafar 1377 H/8 September 1958 M
Muhammad Abu Zahrah
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-20 Pengantar Studi Ilmu-ilmu Al Quran
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Rasulullah Shallallahu Alalihi wa Sallam, keluarga, para sahabat, para dai yang menyeru orang lain dengan seruannya, serta mereka yang berpedoman dengan hidayah-Nya.
Kitab yang berada di tangan pembaca ini, “Mabahits fi ‘Ulumul Al-Qur’an” adalah terbitan pertama sebagai respon terhadap sebagian saudara-saudara kita untuk menyuguhkan pembahasan ringkas tentang pentingnya studi ilmu Al-Qur’an, yang mana para pemuda muslim kita yang tidak memiliki spesialisasi dalam studi keislaman dapat dengan mudah mendapat pengetahuan dan rujukan yang cukup penting darinya. Sungguh pun kitab ini sangat ringkas, cetakan pertamanya telah terjual habis, hal yang tidak saya bayangkan sebelumnya.
Kemudian, saya merasa sangat perlu untuk menerbitkannya kali kedua, lalu saya teliti kembali. Cukup besar motivasi saya untuk memperjelas bagian-bagian sub babnya, juga menambah beberapa tema lain yang berkait. Maka terbitlah cetakan kedua dengan pembahasan yang cukup memadai dan padat dengan merangkum secara ringkas kajian-kajian Ulumul Qur’an yang pernah ditulis, baik yang klasik maupun kontemporer. Belum lagi sampai satu tahun, cetakan kedua buku ini juga habis.
Permintaan tetap mengalir dari kalangan tokoh-tokoh tsaqafah Islamiyah dan berbagai lembaga pendidikan yang memiliki keprihatinan terhadap kajian ilmi-ilmu Al-Qur’an, untuk mencetak ulang buku ini, kali ini yang ketujuh. Dalam terbitan ini, saya tidak banyak menambah seperti sebelumnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar buku ini bermanfaat, dan kita pun mendapat taufik-Nya.
Manna’ Khalil Al Qaththan
Dosen Pembimbing Pasca Sarjana
Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-20 Sepatah Kata Capita Selecta
Sudah menjadi rahasia umum bahwa penulis yang dahulu memakai nama “A. Muchlis”, ialah sdr M. Natsir (Mohammad Natsir), yang sekarang menjadi Ketua Umum partai politik Islam Masjumi, dan pernah menjadi Perdana Menteri pada mula terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1950. Dia menulis pada 15 atau 16 tahun yang lewat di dalam majalah yang dahulu kami pimpin di Medan, “Pandji Islam” dan juga di dalam majalah “Pedoman Masjarakat“.
Tulisannya yang berisi dan mendalam dengan susunan yang berirama dan menarik hati, sangatlah memikat perhatian para pembaca. Bukan saja karena kata-katanya yang terpilih, yang disusun menurut caranya yang tersendiri itu, melainkan lebih utama lagi karena isinya yang “bernas” mengenai soal-soal sosial, ekonomi, dan politik yang menjadi kebutuhan bangsa kita pada waktu itu. Semuanya dijiwainya dengan semangat dan ideologi Islam yang menjadi pegangan hidupnya.
Dia tampil ke depan. Dia mengetahui betul kapan dia harus berteriak memberi komando untuk memimpin perjuangan bangsanya, dan dia tahu pula kapan masanya dia berkelakar dan bergembira untuk menghibur, membangkit semangat baru bagi perjuangan.
Dengan lain perkataan, dia tahu waktunya untuk membunyikan terompet dengan genderang perang, jika ia hendak menghadapi lawan yang menentang cita-cita Islam, baik terhadap bangsa penjajah maupun terhadap bangsa sendiri yang belum menginsafi akan ideologi Islam itu. Tetapi nanti tepat pada saatnya pula dia bersenandung dengan irama yang beralun kegembiraan untuk menggembirakan hati pejuang-pejuang Kemerdekaan.
Bukankah pada masa itu, tahun 1939 dan selanjutnya adalah tahun-tahun persiapan dan latihan untuk menghadapi suatu revolusi besar Kemerdekaan Indonesia, yang meletus emam tahun kemudiannya?
Tangkisannya menghadapi tindakan licik dari penjajah dan suara benggolan-benggolan kapitalis asing di Dewan Rakyat, begitu pula terhadap beberapa pemimpin Indonesia yang tidak mengerti akan ideologi Islam, dicoretkannya dengan cara tersendiri, yang berirama dan bersemangat dalam segala tulisan-tulisannya.
Di alam segala tulisan-tulisan tersebut, sekalipun merupakan polemik yang setajam-tajamnya, belumlah pernah ia mempergunakan perkataan yang mengurangkan nilai “jiwa-besar”nya. Bahkan, semakin tajam soal yang dipolemikkan, semakin bertambah teranglah cita-cita besar yang terkandung di dalam dirinya. Dari itu, tidak saya ragu bahwa pada suatu saat Saudara M. Natsir atau penulis A. Muchlis ini akan maju ke depan untuk memimpin umat bangsanya.
Dia datang pada saatnya yang tepat. Di dalam rangkaian pemimpin-pemimpin Islam Indonesia yang dipelopori oleh H. O. S. Tjokroaminoto dan H. A. Salim, dia merupakan mata rantai yang sambung- bersambung untuk melaksanakan ideologi Islam. Dan didalam perjuangan Kemerdekaan ini, ia menempati suatu lowongan yang tertentu. Jika 15 tahun yang lalu, ia memberi komando dengan tulisan, maka sejak zaman Kemerdekaan, ia lansung terjun ke tengah medan jihad bersama kawan-kawan yang se-ideologi ataupun tidak, mengantarkan Bangsa dan Negara ketempat yang layak, dan sesuai sebagai Negara merdeka dan berdaulat.
Tulisan-tulisan A. Muchlis pada 15 tahun yang lampau itu masih tetap merupakan pimpinan yang berjiwa bagi angkatan yang sekarang. Masing-masing pembacanya masih senantiasa merindukan dan mengharapkannya yang sebagai irama suling perindu menawan hati atau sebagai terompet yang memanggil kepada jihad yang suci.
Dengan ini, saya menyambut kumpulan tulisan A. Muchlis, yang dahulu dimuat dalam majalah-majalah yang saya pimpin “Pandji Islam” dan “Al Manar”.
Saya hargai usaha penghimpunan dan mudah-mudahan usahanya yang baik ini mencapai maksudnya. Dan saya mendoakan, moga-moga kumpulan karangan A. Muchlis ini dapat semakin mengenalkan orang kepada cita-cita tinggi yang terkandung di dalam dirinya saudara M. Natsir.
Wassalam,
Jakarta, akhir Nop. 1954
Z. A. Ahmad
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-20 Ulumul Qur’an dan Sejarah Perkembangannya
Al Qur’an adalah mukjizat Islam yang abadi di mana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkannya kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, demi membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya ilahi, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah menyampaikannya kepada para sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat meraka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah.
Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, bahwa ketika turun ayat,
ﺂلَّذِﯾنَءَ١ﻣنُوْ١وَلَمْﯾَلْبِﺴوْٓ١إِﯾمٓنَﮫﻢبِﻆُلْﻢٍٲُوْﻟٓءِكَ لَﻬُمُ آﻸَمَنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan merekalah orang-orang yang mendapat hidayah” (Al An’am:82).
Orang-orang yang merasa keberatan dengan ayat tersebut. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah mana ada orang yang tidak menzhalimi dirinya?” Beliau menjawab, “Pemahamannya tidak seperti yang kalian maksudkan, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang saleh kepada anaknya”.
ٳِنَّ آلثِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمُ
“Sesungguhnya syirik itu adalah kezhaliman yang besar” (Luqman:13).
Adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, memberi tafsiran kepada mereka tentang beberapa ayat. Imam Muslim dan lainnya mengeluarkan hadits yang diriwayatkandari Uqbah bin Amir, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah membaca di atas mimbar,
وَأَعِدُّواْلَهُمْ مَّاآسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّۃ﴿اﻷﻧﻔال:٦٠
“Dan persiapkanlah segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan untuk menghadapi mereka….” (Al Anfal:60)
Lalu, Beliau bersabda,
ٲَﻻَٳِنَّ اﻟْقُوَّۃَ اﻟرَّﻣْﻲُ
“Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan (al quwwah) tersebut adalah memanah”. (Al Hadits)[1]
Para sahabat sangat bersemangat untuk mendapatkan pengajaran Al Qur’an Al Karim dari Rasulullah. Mereka ingin menghafal dan memahaminya. Bagi mereka, ini merupakan sesuatu kehormatan.
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki di antara kami yang apabila membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran, ia begitu antusias”. (HR Ahmad)
Seiring dengan itu, mereka juga bersungguh-sungguh mengamalkannya dan menegakkan hukum-hukumnya.
Abu Abdirrahman As Sulami meriwayatkan, bahwa orang-orang yang biasa membaca Al Qur’an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud, serta yang lainnya; apabila mereka belajar spuluh ayat dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka enggan melewatinya sebelum memahami dan mengamalkannya. Mereka mengatakan, “Kami mempelajari Al Qur’an, ilmu dan amal sekaligus.”[2]
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak mengijinkan mereka menulis apa pun selain Al Qur’an, sebab ditakutkan dapat tercampur aduk dengan yang lain.
Muslim meriwayatkan dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
ﻻَتَکْتُبُواعَنِّي وَﻣنْکَتَبَ عَنِّي غَيْرَالْقُرْآنِ فَﻠْﯿَﻤْﺣُﻪُوَﺣَدِّثُواعَنِّي وَﻻَﺣَرَجَ وَمَنْ کَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًافَلْيَتَبَوَّأْمَقْعَدَہُمِنَ النَّارِ
“Janganlah sekali-kali menulis apa pun dariku. Barangsiapa menulis sesuatu selain Al Qur’an dariku maka hapuslah. Sampaikanlah haditsku, tidak masalah. Namun, barangsiapa mendustakan aku dengan sengaja, maka nerakalah tempatnya”.
Sekalipun Rasulullah pernah mengijinkan sebagian sahabatnya setelah itu untuk menulis hadits, sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan Al Qur’an masih tetap bersandar pada riwayat, yaitu melalui talqin.[3] Demikianlah yang terjadi masa Rasul, masa Khalifah Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu Anhuma.
Lalu, pada masa Khalifah Utsman[4]Radhiyallahu Anhu, sesuai dengan tuntutan kondisi -seperti yang akan dijelaskan kemudian[5]membuat suatu terobosan ijtihad mulia, yaitu demi menyatukan kaum muslimin dengan pedoman satu mushaf yang kemudia diberi nama mushaf Al Imam. Selanjutnya, mushaf tersebut dikirim ke berbagai negeri saat itu. Adapun tulisan huruf-hurufnya disebut rasm Utsmani, yang dikaitkan dengan nama Khalifah Utsman. Langkah ini adalah awal munculnya ilmu penulisan rasm Al Qur’an.
Kemudian, Khalifah Ali Radhiyallahu Anhu menyuruh Abul Aswad Ad-Duali untuk menggagas kaedah nahwu, demi menjaga adanya kekeliruan dalam pengucapan dan untuk lebih memantapkan bagi pembacaan Al Qur’an. Hal ini dianggap sebagai cikal bakal dari munculnya ilmu i’rab Al Qur’an.
Para sahabat pun meneruskan tradisi memahami makna-makna Al Qur’an dan tafsirnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing; baik kemampuan yang berbeda dalam memahami maupun intensitas dalam kedekatannya dengan Rasulullah. Selanjutnya, dalam kondisi demikianlah murid-murid para sahabat dari kalangan tabi’in mengambil ilmu dari mereka.
Di antara para mufassir terpopular di kalangan sahabat Nabi adalah; empat khalifah, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Cukup banyak riwayat-riwayat tentang tafsir yang diriwayatkan dari beberapa sahabat semisal; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab. Dan biasanya apa yang diriwayatkan dari meraka tidaklah selalu mengandung tafsir Al Qur’an secara utuh, tetapi masih berkisar tentang makna-makna beberapa ayat, serta penjelasan ayat yang masih samar dan global.
Adapun dari kalangan tabi’in, tidak sedikit yang menimba ilmu dari sahabat dan kemudian melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Di antara murid-murid Ibnu Abbas yang cukup termasyhur adalah Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al Yamani, dan Atha’ bin Abi Rabah.
Murid Ubay bin Ka’ab yang terpopular di Madinah adalah Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi.
Di Irak terdapat beberapa murid Abdullah bin Mas’ud yang juga terkenal sebagai mufassir. Meraka yaiti; Alqamah bin Qais, Masruq bin Al Ajda’, Aswad bin Yazid, Amir Asy Sya’bi, Hasan Al Bashri, dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.
Adapun jenis ilmu yang diriwayatkan dari mereka itu mencakup; ilmu tafsir, ilmu gharib Al Qur’an, ilmu asbab an nuzul, ilmu Makkiyah-Madaniyah, dan ilmu-ilmu nasikh-mansukh. Tetapi, semua ini diriwayatkan dengan cara talqin (belajar langsung dari guru).
Abad kedua hijriyah adalah masa kodifikasi. Mula-mula kodifikasi hadits dengan metode penggunaan bab-bab yang kurang sistematik. Semuanya mencakup segala yang berkaitan dengan tafsir. Sebagian ulama menyatukan tafsir yang diriwayatkan tanpa melihat apakah itu bersal dari Nabi, sahabat atau tabi’in.
Tokoh-tokoh yang melakukan kodifikasi itu diantaranya Yazid bin Harun As-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin Al Hajjaj (wafar 160 H), Waki’ bin Jarrah(wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H), dan Abdul Razzaq bin Hammam (wafat 211 H). Kesemua ulama itu pada dasarnya termasuk ulama hadits. Hingga sekarang kita belum menemui penjelasan-penjelasan tafsir mereka dalam berbagai kitab.
Pada masa selanjutnya, sekelompok ulama melakukan penafsiran secara komprehensif terhadap Al Qur’an sesuai tertibnya ayat yang ada dalam mushaf. Di antara mereka yang terkenal adalah Ibnu Jabir Ath Thabari (wafat 310 H).
Demikianlah, pertama kali tafsir dilakukan dengan metode dari mulut ke mulut dan periwayatan, lalu melalui proses kodifikasi, tapi masih masuk dalam bab-bab hadits. Lalu pada tahap berikutnya dikodifikasikan secara mandiri. Kemudian muncul tafsir bil ma’tsur (yang menggunakan dalil-dalil Al Qur’an, hadits Nabi, serta perkataan para sahabat, dan salafush shalih), dan tafsir bir ra’yi (yang menggunakan akal atau pendapat pribadi).
Dalam bidang ilmu tafsir muncul karya-karya tematik yang berkaitan dengan tafsir Al Qur’an yang cukup penting bagi seorang mufassir.
Ali bin Al Madini, guru imam Al Bukhari (wafat 234 H), menulis tentang asbab an nuzul. Abu Ubaid Al Qasim bin Sallam (wafat 224 H) melahirkan karya tentang nasikh-mansukh dan masalah qiraat.
Ibnu Qutaibah (wafat 275 H) menulis masalah problema Al Qur’an (Musykil Al Qur’an). Mereka itu merupakan para ulama abad ketiga Hijriah.
Pada abad keempat Hijriah, juga tidak sedikit yang menulis tentang masalah terkait; Muhammad bin Khalaf bin Al Marzuban (wafat 309 H), menulis sebuah kitab “Al Hawi fi ‘Ulumi Al Qur’an,” Abu Bakar Muhammad bin Al Qasim Al Ambari (wafat 309 H) menulis kitab “Ulum Al Qur’an” Abu Bakar As-Sijistani (wafat 388 H) karyanya adalah “Gharib Al Qur’an,” dan Muhammad bin Ali Al Afudi (wafat 388 H) menulis kitab “Al Istighna’ fi ‘Ulum Al Qur’an.”
Kemudian banyak karya-karya ulama yang muncul melanjutkan pengkajian dalam disiplin ulumul Qur’an. Abu Bakar Al Baqillani (wafat 403 H) menulis kitab “I’jaz fi ‘Ulum Qur’an”, Ali bin Ibrahim bin Said Al Hufi (wafat 430 H) memunculkan kitab “I’rab Al Qur’an” Al Mawardi (wafat 450 H) menulis tentang “Amtsal Al Qur’an”, Izzuddin bin Abdissalam (wafat 660 H) menulis “Fi Majaz Al Qur’an” dan ‘Alamuddin As Sakhawi (wafat 751 H) menulis “Ilmu Al Qira’at”. Tak ketinggalan, Ibnul Qayyim (wafat 751 H) melahirkan kitab “Aqsam Al Qur’an”. Inilah sejumlah karya ulama yang telah mengkaji ilmu-ilmu Al Qur’an yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
Karya-karya ulama itu telah dirangkum dalam satu karya besar sebagaimana yang disinyalir oleh Az Zarqani dalam kitabnya “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”[7] bahwa di dalam Dar Al Kutub Al Mishriyah ada sebuah kitab karya Ali bin Ibrahim bin Said, terkenal dengan sebutan Al Hufi. Nama kitab tersebut “Al Burhan fi ‘Ulumi Al Qur’an”, terdiri dari 30 jilid. Di dalamnya terdapat 15 jilid yang mana di sana penulisnya menyebut ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan tertib mushaf yang mencakup pembahasan ulumul Qur’an. Di satu sisi penulis memberikan tajuk yang terkait dengan masalah i’rab, pembahasan di dalamnya menyangkut tentang gramatika (nahwu) dan kebahasan. Dalam masalah makna dan tafsir, ia menjelaskan dengan metode tafsir bil ma’tsur dan ma’qul. Kemudian ia membahas masalah Al waqf dan at tamam, terkadang ia membahas masalah qiraat ini di dalam topik tersendiri. Di sisi lain ia juga membicarakan tentang masalah hukum yang diistinbathkan dari ayat-ayat yang dijelaskannya.
Dengan metodologi semacam ini, Al Hufi bisa dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan kodifikasi ilmu-ilmu Al Qur’an, walaupun kodifikasi ini termasuk dalam model yang khusus, sebagaimana telah disebutkan.
Lalu, Ibnul Jauzi (wafat 597) mengikuti jejak Al Hufi. Ia menulis kitab “Funun Al Afnan fi ‘Aja’ibi ‘Ulum Al Qur’an.[8] Badruddin Az Zarkasyi (wafat 794 H) menulis “Al Burhan fi ‘Ulum Al Qur’an.”[9]Jalaluddin Al Balqini (wafat 824 H) menulis “Mawaqi’Al ‘Ulum min Mawaqi’ An-Nujum,” menambahi sedikit kitab Az Zarkasyi. Kemudian, Jalaluddin As Suyuthi (wafat 911 H) dengan kitabnya yang cukup terkenal yaitu “Al Itqan fi ‘Ulum Al Qur’an.”
Dalam konteks modern, studi ilmu-ulmu Al Qur;an tetap tidak kalah menarik dengan ilmu-ilmu yang lain. Orang-orang yang berkompeten dengan gerakan pemikiran Islam terus berupaya menemukan rumusan kajian-kajian Al Qur’an yang relevan dengan perkembangan zaman, seperti kitab “I’jaz Al Qur’an” karya Musthafa Shadiq Ar Rafi’i, kitab saya sendiri, “At Tashwir Al Fanni fi Al Qur’an, “Masyahid Al Qiyamah fi Al Qur’an” karya Sayyid Quthb, “Tarjamah Al Qur’an” karya Syaikh Muhammad Musthafa Al Maraghi, termasuk pembahasan tentang buku tersebut oleh Muhibbuddin Al Khatib, “Mas’alatu Tarjamah Al Qur’an” oleh Musthafa Shabri, “An-naba’ Al’Azhim” karya DR. Muhammad Abdullah Darraz dan buku pengantar tafsir “Mahasin At-Ta’wil” yang ditulis oleh Muhammad Jamaluddin Al Qasimi.
Juga, Syaikh Thahir Al Jazairi menulis satu buku “At-Tibyan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Ali Salamah menerbitkan “Manhaj Al Furqan fi ‘Ulum Al Qur’an”, Syaikh Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani sendiri menulis “Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an”, kemudian Syaikh Ahmad Ahmad Ali memunculkan buku “Mudzakkirah fi ‘Ulum Al Qur’an”. Buku ini dijadikan buku pegangan di fakultas tempat dia mengajar, pada jurusan Dakwah dan Bimbingan (Qism Ad Da’wah wal Irsyad). Yang terakhir adalah karya Ustadz Ahmad Muhammad Jamal.
Inilah beberapa kajian yang dikenal sebagai studi ilmu-ilmu Al Qur’an. Sekarang, kita beralih kepada definisi singkat tentang ulumul Qur’an.
‘Ulum adalah bentuk plural dari ‘ilm. ‘Ilm sendiri maknanya Al fahmu wa Al idrak (pemahaman dan pengetahuan). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmuah.
Dan yang dimaksud dengan ‘Ulum Al Qur’an, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian Al Qur’an seperti; pembahasan tentang asbab an-nuzul, pengumpulan Al Qur’an dan Penyusunannya, masalah Makkiyah dan Madaniyah, nasikh dan munsukh, muhkam dan mutasyabihat dan lain-lain.
Kadang-kadang Ulumul Qur’an ini juga disebut sebagai ushul at-tafsir (dasar-dasa/prinspi-prinsip penafsiran), karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan Al Qur’an.[10]
[1] Penulis tidak mentakhrij hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ad-Darimi, dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu Anhu
[2] HR. Abdul Razaq dengan lafazh yang semakna. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Syakir
[3] Talqin disini, maksudnya yaitu belajar Al Qur’an langsung dari seorang Syaikh yang mempunyai sanad bersambung kepada Nabi. (Edt.)
[4] Al Qur’an pertama kali dikumpulkan adalah pada masa Abu Bakar paska peperangan Yamamah sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan yang akan datang
[5] Lihat dalam pembahasan pengumpulan Al Qur’an pada masa Utsman.
[6] Muqaddimah Ibnu Taimiyah fi Ushuli At-Tafsir /15
[7] Lihat Manahil Al ‘Irfan fi ‘Ulum Al Qur’an, I/27 dan seterusnya
[8] Skripnya yang belum diterbitkan masih ada, tapi tidak lagi sempurna. Terdapat di perpustakaan Timuriah.
[9] Yang kemudian di edit dan dieterbitkan oleh Muhammad Abu Al Fadhl Ibrahim, ada 4 jilid
[10] Kami kira cukup dengan pemaparan historis di atas termasuk dengan pendefinisiannya secara global tentang Ulumul Qur’an yang dikenal sebagai satu disiplin ilmu.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-21 Kata Sambutan Capita Selecta
Pada akhir tahun 1929 terbit di Bandung majalah Pembela Islam. Di dalamnya menulis Saudara-saudara alm. Sebirin, Fachruddin Al Kahiri, dan M. Natsir sebagai pengisi tajuk-rencana. M. Natsir (Mohammad Natsir) mengemukakan sikap dan pendirian Islam sebagai asas untuk memperjuangkan Kemerdekaan. Berangsur-angsur mulai jelas perbedaan pandangan-hidup antara nasional, yang berjuang karena kemerdekaan itu an sich dengan pandangan-hidup mestinya seorang Muslim.
Ir. Soekarno, yang menjadi pelopor gerakan nasional ketika itu, menyemboyankan: “Berjuanglah mencapai Kemerdekaan Indonesia dengan dasar nasionalisme! Adapun agama adalah pilihan dan tanggung-jawab masing-masing diri!”
M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan-hidup yang meliputi soal2 politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Baginya, Islam itu ialah sumber segala perjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap macam penjajahan: eksploitasi manusia atas manusia; pembantrasan kebodohan, kejahilan, pendewaan, dan juga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Nasionalisme hanyalah suatu langkah, suatu alat yang sudah semestinya di dalam menuju kesatuan besar, persaudaraan manusia di bawah lindungan dan keridhaan Ilahi. Sebab itu, Islam itu adalah primair, —* demikian pandangan M. Natsir.
Bertahun-tahun ideologi yang dijelaskan M. Natsir itu tinggal dalam bundelan Pembela Islam saja, sebab M. Natsir tidak masuk partai politik. Baru pada tahun 1939, ia masuk Partai Islam Indonesia. M. Natsir senang sekali duduk di meja tulisnya seorang diri, menulis untuk menyatakan fikiran-fikirannya dengan bebas dan merdeka, seperti juga dikelas di depan murid-muridnya. Ia menjauhi arena gembar-gembor; dalam tulisan-tulisannya hal itu dapat diperhatikan.
Sebab itu, dengan girang saya sambut, usaha mengumpulkan buah fikiran M. Natsir ini. Penting dan berguna bagi pemuda-pemuda kita angkatan baru, lebih-lebih bagi angkatan baru Pemuda Islam.
Lain dari pada itu, ada lagi yang utama, yakni: Sesudah selesai perjuangan merebut Kemerdekaan ini, kita masuk ke taraf baru, yaitu memikirkan nilai-nilai ideologi yang akan disumbangkan dalam pembinaan Dunia Baru. Kaum Muslimin sedunianya yakin, bahwa mereka termasuk tenaga yang besar-besar di masa sekarang, seperti Khawaya Kamaluddin, Maulana Muhd. AH, Iqbal, Hasan Al Banna, Ayatullah Al Kasyani, dan lain-lain, telah menjelaskan dan mengemukakah fungsi-fungsi masyarakat dan kepercayaan dari segi Islam, dalam menghadapi dunia sekarang, justru dalam masa dua blok besar yang berbeda dasar perjuangannya itu berhadapan dewasa ini. Maka fikiran M. Natsir ini, dapatlah diartikan fikiran Muslimn Indonesia dan sudah pada tempatnya pula kita kemukakan.
Berdasar kepada yang saya terangkan diatas ini, saya menganjurkan agar kumpulan karangan ini disalin kebahasa Arab atau bahasa Inggris.
Inilah sambutan saya dan moga-moga berhasil anjuran saya itu.
Jakarta, akhir Nop. 1954
Hadji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-21 Pengantar: Mungkinkah Syiah-Sunni Bersatu
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba’du.
Seruan kepada taqrib (pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyah dan Ibadiyah yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Dan shahibul fadhilah, penulis besar Islam Sayid Muhibbuddin Al Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari sarana taqrib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqrib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqrib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.
Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Jeddah, 14 Rajab 1380 H
Muhammad Nashif
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-12 Mereka Yang Telah Pergi (1)
Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, serta siapa saja yang menyerukan dakwahnya hingga hari kiamat.
Sungguh saya mendapat kehormatan saat diminta memberi pengantar buku yang sangat menarik, yang disusun oleh seorang dai, murabbi, guru besar, dan mantan Wakil Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami di Makkah Al Mukaramah, Al Ustadz Abdullah Al ‘Aqil.
Buku ini berisi biografi, aktivitas, sifat, dan ucapan beberapa putra-putra terbaik Islam, baik di dunia Arab maupun lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai warisan monumental, kerja-kerja mulia, serta sikap-sikap kepahlawanan di medan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Mereka telah memberikan pengorbanan dengan sesuatu yang paling berharga yang dimiliki untuk memagari agama dan membela tanah air. Mereka mencurahkan segenap tenaga, waktu, dan kekayaan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Padahal, dalam waktu yang bersamaan, para penjajah tengah menyerang negara-negara Islam, menjarah kekayaanya, menguras perbendaharaan yang ada di dalamnya, memenjarakan dan membantai penduduknya. Oleh karena itu, orang-orang seperti mereka adalah para perintis umat di medan jihad dan kebangkitan.
Guru besar Abdullah Al ‘Aqil telah dikenal oleh para aktivis perjuangan dan dakwah Islam. Ia dilahirkan tahun 1930-an dan memulai studinya di Iraq. Pada akhir tahun 1940-an, berangkat ke Mesir untuk meneruskan studi di Fakultas Syariah Universitas Al Azhar. Beliau menamatkan studinya di Al Azhar tahun 1954, kemudian singgah di Arab Saudi. Selanjutnya ke Iraq untuk menjadi guru sekolah swasta An Najah di Az Zubair. Beberapa tahun berikutnya beliau berangkat ke Kuwait untuk memegang jabatan-jabatan penting. Jabatan terakhir beliau adalah Konsultan Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait. Namun, tahun 1986 beliau meninggalkan Kuwait menuju Arab Saudi untuk menjabat Wakil Sekretaris Jenderal Rabithah Alam Islami dan Sekretaris Jenderal Majelis Tinggi Urusan Masjid. Tahun-tahun selanjutnya, waktu beliau banyak dihabiskan pada bidang penulisan dan penerbitan.
Ketika studi di Mesir, permulaan tahun 1950-an, ia berhasil menyegarkan kehausannya untuk mengenal para ulama pergerakan, dai, mujtahid, penguasa yang ikhlas, dan para pemimpin pergerakan kemerdekaan yang menjadikan Mesir sebagai tempat perlindungan dan titik tolak membebaskan bangsa mereka dari cengkeraman penjajah. Ia selalu menghadiri majelis-majelis mereka, mengkaji sikap-sikap dan pendapat-pendapatnya, mengambil manfaat dari ilmu dan sifat wara’ mereka, serta mereguk pendidikan dari mata air keimanan, kesadaran politik, kedalaman pemikiran, dan keluasan dakwah.
Maka tidak mengherankan kalau figur-figur agung dan tokoh-tokoh bersih itu masih diingatnya, meskipun sudah berpisah selama puluhan tahun. Kecintaaannya yang tulus dalam menulis biografi mereka dapat Anda rasakan dalam setiap baris kalimat, bahkan dalam setiap kata dalam buku yang disajikan dengan gaya bahasa menawan, kata-kata mudah dicerna, makna mendalam, dan pemaparan yang sangat menarik ini.
Sungguh Ustadz Al ‘Aqil sangat dekat dengan tokoh-tokoh yang ditulisnya. Ia merasakan pengaruh mereka dari dekat dan mengikuti ceramah-ceramah, seminar-seminar, kajian-kajian, pertemuan-pertemuan, atau perkemahan-perkemahan bernuansa keimanan mereka. Karena itu, penulisannya tergolong penulisan seorang pakar yang benar-benar mengenal tokoh.
Buku ini memuat biografi lebih dari tujuh puluh tokoh terkemuka dari dua puluh negara Arab dan lainnya, yang hidup pada abad XIV H atau XX M. Saya kira penulis masih memiliki stok pengalaman dan pengetahuan yang melimpah tentang penulisan serupa yang sama-sama kita rindukan.
Saya pribadi belum mengenal tokoh-tokoh dalam buku ini, meskipun saya seorang wartawan. Maka, bagaimana dengan masyarakat Muslim pada umumnya? Padahal mereka disuguhi berbagai media massa yang memuat kehidupan para bintang film, pemain sepakbola, tokoh politik, serta para pejabat yang diangkat sebagai idola dan panutan kawula muda. Akibatnya, tiada tempat bagi para pembaharu, dai, atau mujahid yang telah mengorbankan ruhnya untuk membela agama dan umatnya.
Dari sini, tampaklah pentingnya upaya yang dilakukan tokoh-tokoh agung melalui majalah Al Mujtama’. Upaya ini membimbing generasi muda Islam untuk mengenal sejarah mereka secara benar, sehingga mereka bertambah yakin bahwa sejarah telah mempersembahkan manusia-manusia agung yang telah berkorban tanpa mengharapkan balasan, kecuali keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan pahala di akhirat.
Agar tidak panjang kata, saya persilakan pembaca menghirup wanginya bunga yang akan membuatnya bahagia, sebagaimana saya berbahagia saat membacanya. Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang dengan nikmatnya segala kebaikan terlaksana.
Kairo, Maret 2000
Badr Muhammad Badr
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-22 Mereka Yang Telah Pergi (2)
Kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam untuk junjungan kita Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti petunjukkanya.
Buku ini merupakan kumpulan dari makalah-makalah yang dimuat majalah Al Mujtama’ Kuwait selama beberapa edisi.
Makalah ini berisi sekilas tentang tokoh-tokoh pergerakan Islam kontemporer. Para tokoh yang memikul tugas dakwah Islam, para mujahid yang telah memenuhi janjinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka benar-benar menjadi teladan dalam penerapan Islam di berbagai daerah seantero dunia Islam, mereka juga mewakili tipe masyarakat yang berbeda-beda.
Yang saya lakukan inni hanyalah sebagian dari wujud pemenuhan hak saudara-saudaraku yang mulia, salah satu kewajiban dalam dakwah, dan mengenalkan generasi yang menjadi figur unik di masa kontemporer. Mereka adalah tokoh yang telah mengimplementasikan nilai-nilai kepahlawanan tertinggi dan menyuguhkan Islam kepada dunia melalui perkataan, aktivitas, dan perilaku mereka sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.
Mereka adalah perpanjangan tangan generasi pertama yang lebih dahulu meniti jalan keimanan dan kepemimpinan (generasi shahabat radhiallahu anhum). Sebab mereka wujud dari ajaran Islam yang berjalan di tengah-tengah kehidupan manusia yang sarat dengan aneka ragam pemikiran, aliran, dan ideologi yang benar-benar jauh dari manhaj Islam. Juga bergumul dengan kehidupan masyarakat yang mengekor pada Barat maupun Timur, serta taklid buta pada penjajah dan boneka-bonekanya.
Para tokoh ulama, dai, dan mujahid dalam buku ini adalah orang-orang yang shabar menghadapi berbagai kesulitan hidup, berjihad dan membela agama Islam, tegar dalam menghadapi kekuatan batil dan kesewenang-wenangan, menganggap rendah segala perhiasan dan daya tarik dunia, membebaskan keimanannya dari hal-hal yang dapat tersungkur dalam pelukan dunia, menggantungkan cita-cita dan harapannya di langit, serta mengutamakan apa yang di sisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada yang berada di sisi manusia.
Mereka adalah arsitek kehidupan mulia bersama agama ini. Di antara mereka ada yang berperan sebagai profesor piawai, pendidik yang utama, dai yang pembaharu, mujahid yang syahid (mati dalam memperjuangkan agama Allah subhanahu wa ta’ala), pedagang yang jujur, wartawan yang cendekia, pemikir yang cemerlang, penyair yang membawa misi kebenaran, sastrawan yang mempunyai tujuan jelas, ahli ekonomi yang benar-benar pakar, dan orang-orang yang dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala termasuk orang-orang yang berlomba dalam kebaikan.
Mereka adalah gambaran konkret agama yang agung ini. Mereka telah membayar mahal kesabaran dan ketegaran pada manhaj, membawa keprihatinan umat dan berusaha mewujudkan impian-impiannya, dan memberikan teladan terindah untuk generasi masa depan, baik dalam dakwah, jihad, tarbiyah, dan upaya membangkitkan umat. Targetnya ialah Islam masuk ke dalam setiap rumah.
Saya melaksanakan fardhu kifayah ini dalam rangka memenuhi hak putra-putra terbaik umat ini, mengabadikan biografi mereka yang harum, merekam kemuliaan sifat yang ditulis dengan jihad dan darah, serta kezuhudan dan keberanian mereka. Dengan begitu, generasi kita menyadari bahwa dirinya adalah kelanjutan dari generasi yang diberkahi.
Para aktivis dakwah yang mulia itu telah berpulang ke rahmatullah dan menyerahkan estafeta perjuangan kepada kita. Maka kewajiban kita adalah menyerahkannya kepada generasi mendatang yang kita banggakan seerta menjadi tumpuan harapan. Sebab merekalah yang akan memikul amanah dakwah dan menegakkan kalimah Allah di muka bumi.
Manhaj penulisan buku ini adalah, “Saya tidak menuliskan kecuali tokoh-tokoh yang pernah kutemui.” Ini adalah manhaj yang digunakan oleh Imam Al Bukhari. Para tokoh itu harus sudah meninggal dunia, sebab yang masih hidup tidak dapat dijamin selamat dari fitnah. Mereka adalah aktivis pergerakan dan dai Islam, sebab ilmu tanpa amal dan ilmu tanpa didakwahkan tidak akan bermanfaat. Kita tidak membutuhkan kamus-kamus pergerakan, tetapi membutuhkan orang-orang yang hidup bersama Islam, menerapkannya dalam kehidupan, dan syahid karena memperjuangkannya.
Penulisan buku ini tidak memperhatikan urutan. Didahulukan atau diakhirkan tidak memiliki konotasi tertentu. Juga tidak ada maksud tertentu ketika sebagian biografi menghabiskan beberapa halaman, sedang yang lain menghabiskan puluhan halaman. Itu semua berdasarkan masa kebersamaan penulis dengan tokoh, serta kuat tidaknya ingatan dan rujukan tentang hal tersebut.
Figur-figur teladan yang saya muat dalam buku ini adalah sebaik-baik panutan setelah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, sahabatnya, para tabi’in, dan salafush shalih.
Sebagian saudaraku di bumi Kinanah (Mesir) telah terburu-buru mencetak tulisan-tulisan ini sebelum saya teliti dan saya perbaiki. Padahal tulisan ini berasal dari ingatan, sehingga saya perlu meminta pembaca untuk memberikan catatan atau komentar perbaikan sebelum naik cetak. Namun, apa yang ditakdirkan Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi. Apapun upaya mereka adalah upaya terpuji yang harus disyukuri.
Buku yang pembaca nikmati ini adalah hasil revisi dan perbaikan. Meski demikian, saya tetap mengharapkan para pembaca tetap memberikan komentar atau kritikan, agar dapat memberikan kemanfaatan pada edisi berikutnya.
Meski hampir keseluruhan buku ini bertumpu pada ingatan dan pengalaman, tapi penulis tetap merujuk pada beberapa kitab, majalah, dan surat kabar yang menyebutkan sebagian sisi kehidupan tokoh yang dibicarakan.
Allah mengetahui bahwa saya berhutang jasa terhadap tokoh-tokoh dalam buku ini. Saya berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka, sebagaimana berdoa untuk diriku sendiri. Semoga Allah mengampuni segala yang aku lakukan dan yang aku tunda, yang aku rahasiakan, dan yang aku umumkan. Dia lebih mengetahui diriku daripada aku sendiri. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengumpulkan aku bersama mereka dalam surga bersama para nabi, shidiqin, syuhada, dan shalihin. Dia adalah Dzat Yang Mahakuasa, dan segala puji hanya untuknya.
Al faqir ilallah,
Abdullah ‘Aqil Sulaiman Al ‘Aqil
Riyadh 1421 H/2000 M
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-22 Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyah, Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka.
Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar –suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Shalahuddin Al Ayubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat.
Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah.[1]
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak.
Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan – bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu.
Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi” , cet Percetakan Al Muniriyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-23 Syubhat Mimpi
Buku-buku motivasi dan pengembangan kepribadian selalu mendoktrin kita: Mulailah dari mimpi, karena kebesaran selalu bermula dari sana. Kalimat itu telah menjadi sebuah ’sabda’ yang diriwayatkan oleh para motivator dan inovator dalam berbagai pelatihan manajemen, mereka seperti menemukan sumber energi bagi kemajuan mereka.
Adakah yang salah dengan kalimat itu? Tidak juga! Akan tetapi, kalimat itu menyimpan sebuah ’syubhat’ dan itulah masalahnya. Mimpi adalah kata yang menyederhanakan rumusan dari segenap keinginan-keinginan kita, cita-cita yang ingin kita raih dalam hidup, atau visi dan misi. Anggaplah ia seperti sebuah maket, maka ia adalah miniatur kehidupan yang ingin Anda ciptakan.
Kekuatan mimpi terletak pada kejelasannya. Sebuah keinginan yang tervisualisasi dengan jelas dalam benak kita akan menjelma menjadi kekuatan motivasi yang dahsyat.
Kemauan dan tekad menemukan akarnya pada mimpi kita. Apakah artinya kemauan dan tekad bagi diri kita? Dialah energi jiwa kita yang memberi kita kekuatan bekerja dan mencipta.
Ulama-ulama kita mungkin tidak terlalu setuju menggunakan kata mimpi. Mereka menggunakan kata “mutsul’uiya” yang mungkin dapat diartikan sebagai cita-cita luhur dan tertinggi dalam hidup. Itulah yang kemudian melahirkan “hamm“, sejenis kegelisahan jiwa, yang selanjutnya membentuk “irodah” (kemauan) dan “azam” (tekad).
Nah, dimanakah letak syubhat itu? Syubhat itu bernama “angan-angan”. Garis batas antara mimpi dan angan-angan terlalu tipis, karena itulah ia menjadi syubhat.
Mimpi mempunyai basis rasionalitas, struktur dan susunan yang solid, terbangun dari proses perenungan yang panjang dan mendalam, terbentuk melalui pengalaman-pengalaman hidup yang terhayati dalam jiwa dan terolah dalam pikiran. Karena faktor-faktor pembentuk mimpi ini begitu kuat mengakar dalam kepribadian kita, maka mimpi biasanya tervisualisasi secara sangat jelas, sejelas maket bangunan bagi seorang insinyur.
Angan-angan tidak mempunyai basis rasionalitas, dan karenanya tidak terstruktur dan tidak tersusun secara solid, lebih banyak lahir dari sikap melankolik, sering merupakan sebentuk pelarian dari dunia nyata, sering juga merupakan cara menghibur diri dari kegagalan hidup. Angan-angan seringkali lebih mirip dengan “mimpi-bangun”; sejenis mimpi yang seakan-akan teriihat dalam keadaan bangun.
Mimpi bersifat realistis, tetapi angan-angan tidak terbangun dari realitas. Mimpi adalah cara membangun sebuah realitas, angan-angan adalah cara memanipulasi realitas. Akan tetapi, baik para pemimpin maupun mereka yang suka berangan-angan, biasanya mempunyai penampakan tradisi yang sama: mereka sama-sama gemar mengkhayal. Dunia khayalan adalah dunia para pahlawan: dari sanalah mereka merumuskan mimpi, tetapi tidak berangan-angan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-23 Syaikh Umar At Tilmisani
Mursyid III Ikhwanul Muslimin, 1322-1406 H/1904-1986M
Syaikh Umar Tilmisani adalah salah seorang dari tokoh-tokoh dai dan murabbi. Nama lengkapnya Ustadz Umar Abdul Fattah bin Abdul Qadir Musthafa Tilmisani. Beliau pernah menjabat sebagai Mursyid ‘Amm Ikhwanul Muslimin setelah wafatnya Mursyidul ‘Amm kedua, Hasan Al Hudhaibi, pada bulan November 1973.
Tempat, Tanggal Lahir dan Masa Kecil Syaikh Umar Tilmisani.
Garis keturunan Syaikh Umar Tilmisani berasal dari Tilmisan, Al Jazair. Beliau dilahirkan di kota Cairo pada tahun 1322 H/1904, di Jalan Hausy Qadam, Al Ghauriyah. Ayah dan kakeknya pedagang kain dan batu permata. Kakek Syaikh Umar Tilmisani seorang salafi yang banyak mencetak buku karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Karena itu, beliau tumbuh dan besar di lingkungan yang jauh dari bid’ah.
Syaikh Umar Tilmisani mengikuti Sekolah Dasar di sekolah yang dikelola oleh yayasan sosial tingkat menengah dan atas di Madrasah Ilhamiyah, kemudian masuk Fakultas Hukum.
Pada Tahun 1933, Syaikh Umar Tilmisani tamat dri Fakultas Hukum, kemudian menirikan kantor pengacara di Syabin Al Qanathir dan bergabung dengan jamaah Ikhwanul Muslimin.
Syaikh Umar Tilmisani pengacara pertama yang bergabung dengan Ikhwan, mewakafkan pemikiran, dan potensi untuk membelanya. Beliau termasuk orang dekat Imam Asy Syahid Hasan Al Banna. Beliau sering menyertai Al Banna dalam beberapa lawatan, baik di dalam mahupun di luar Mesir. Bahkan, Al Banna sering meminta bantuannya dalam menyelesaikan beberapa masalah.
Syaikh Umar Tilmisani menikah saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Isterinya wafat pada bulan Agustus 1979, setelah menyertainya selama setengah abad lebih. Dari pernikahan ini mereka dikurniakan empat orang anak : Abid, Abdul Fattah, dan dua orang puteri.
Kesibukan Syaikh Umar Tilmisani sebagai pengacara tidak membuatnya lupa memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan. Beliau banyak menelaah berbagai-bagai ilmu, seperti tafsir, hadits, fiqh, sirah, tarikh, dan biografi para tokoh.
Syaikh Umar Tilmisani selalu mengikuti perkembangan berbagai-bagai konspirasi musuh Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau rajin mewaspadai, mengkaji, menentukan sikap, menentang konspirasi dengan bijaksana dan nasihat yang baik, membantah tuduhan-tuduhan, mementahkan ungkapan-ungkapan, dan mengikis syubhat-syubhat yang dibuatnya, dengan kepercayaan diri orang mukmin yang tahu ketinggian nilai agamanya kehinaan selain Islam. Sebab, tiada penolong setelah Allah ta’ala dan tiada agama yang diridhai Allah selain Islam.
Saya mengenal Syeikh Umar Tilmisani pada tahun 1949, ketika saya baru pertama kali tiba di Mesir untuk meneruskan pengajian di perguruan tinggi. Ketika itu ada pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh ikhwan, setelah syahidnya Imam Hasan Al Banna dan sebelum terpilihnya Mursyid ‘Am Kedua, Hasan Al Hudhaibi. Saat itu kami mendengar kajian dan nasihat mereka. Dari situ, kami kehalusan budi bahasa (sopan santun), tawaddhuk, murah senyum, serta kasih sayangnya pada apara anggota Ikhwan, terutama generasi muda yang sangat ambisius bercita-cita tinggi memetik buah sebelum panen dan membalas perlakuan musuh sebanding dengan perlakuannya terhadap jamaah.
Komitmen Diri Syaikh Umar Tilmisani.
Syaikh Umar Tilmisani meninggalkan kesan positif pada orang-orang yang mengenal atau berhubungan dengannya. Beliau dikurniai kejernihan hati, kebersihan jiwa, kehalusan ucapan, keluwesan ungkapan yang keluar dari lisan, keindahan pemaparan, teknik berdebat, dan berdialog yang sangat baik.
Syaikh Umar Tilmisani menceritakan komitmen dirinya, “Kekerasan dan ambisi untuk mengalahkan orang lain tidak pernah menemukan jalan untuk masuk ke dalam akhlakku. Karena itu, saya tidak bermusuhan dengan siapa pun, kecuali dalam rangka membela kebenaran, atau mengajak menerapkan Kitab Allah Ta ‘ala. Kalaupun ada permusuhan, maka itu berasal dari pihak mereka, bukan dariku. Saya menyumpah diriku untuk tidak menyakiti seorang pun dengan kata-kata kasar, meskipun saya tidak setuju dengan kebijakannya, atau bahkan ia menyakitiku. Karena itu, tidak pernah terjadi permusuhan antara diriku dengan seseorang karena masalah pribadi.”
Tidak berlebihan kalau saya simpulkan bahawa siapa pun yang keluar dari majlisnya, pasti mengagumi, menghormati, dan mencintai dai unik yang menjadi murid Imam Hasan Al Banna ini, lulus dari madrasahnya, dan bergabung dengan jamaahnya sebagai dai yang tulus dan ikhlas.
Akhlak dan Sifat Syaikh Umar Tilmisani
Syaikh Umar Tilmisani sangat pemalu, seperti diketahui orang-orang yang melihatnya dari dekat.
Orang yang sering duduk dan berdialog dengan Syaikh Umar Tilmisani merasakan bahwa keras dan lamanya ujian yang beliau alami di penjara, malah mensterilkan dirinya, hingga tiada tempat di dalam dirinya selain kebenaran. Ia mendekam di balik jeruji besi selama hampir dua puluh tahun. Beliau masuk penjara pada tahun 1948. Masuk lagi pada tahun 1954. Penguasa Mesir memenjarakannya untuk ketiga kalinya tahun 1981. Namun, ujian-ujian itu tidak mempengaruhi dirinya, dan justru menambah ketegasan dan ketegarannya.
Dalam wawancara dengan majalah Al- Yamamah Arab Saudi, edisi 14 Januari 1982, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Tabiat yang membesarkanku membuatku benci kekerasan, apa pun bentuknya. Ini bukan hanya sekadar sikap politik, tapi sikap pribadi yang terkait langsung dengan struktur keberadaanku. Bahkan, andai dizalimi, saya tidak akan menggunakan kekerasan. Mungkin, saya menggunakan kekuatan untuk mengadakan perubahan, tapi tidak untuk kekerasan.”
Surat untuk Presiden
Di surat terbuka untuk Presiden Mesir yang dimuat surat khabar Asy-Sya’b Al- Qahiriyahn, edisi 14 Maret 1986, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Wahai yang mulia Presiden, yang terpenting bagi kami, kaum muslimin Mesir, adalah menjadi bangsa yang aman, stabil, dan tenang di bawah naungan syariat Allah Ta’ala. Sebab kemaslahatan umat ini terletak pada penerapan syariat-Nya. Tidak berlebihan bila saya katakan, bahawa penerapan syariat Allah Ta’ala di Mesir akan menjadi pembuka kebaikan bagi seluruh wilayahnya. Dengan itulah, penguasa dan seluruh rakyat mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.”
Nasihat-nasihat Syaikh Umar Tilmisani
Di untaian nasihat yang disampaikan di depan generasi muda, dai Ikhwan, dan lainnya, Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Tantangan yang dialami dai sangat berat dan sulit. Kekuatan materi berada di tangan musuh-musuh Islam yang bersatu untuk memerangi umat Islam, meskipun mereka memiliki kepentingan berbeda. Jamaah Ikhwanul Muslimin sekarang menjadi sasaran tembak mereka.
Saya tidak meremehkan kekuatan personil, juga tidak meminta dai selalu membisu, berzikir dengan menggerakkan leher ke kanan dan ke kiri, memukulkan telapak tangan, dan berpangku tangan, karena itu semua bencana yang membahayakan dan mematikan.
Sesungguhnya, yang saya inginkan ialah berpegang teguh dengan wahyu Allah Ta’ala, berjihad dengan kalimat yang benar, tidak menghiraukan gangguan, menjadikan diri sebagai teladan dalam kepahlawanan, bersikap ksatria, tegar, dan yakin bahwa Allah Ta’ala pasti menguji hamba-bamba-Nya dengan rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan, agar dapat diketahui siapa yang tulus dan siapa yang munafik. Aspek-aspek inilah yang merupakan faktor-faktor penyebab kemenangan. Kisah-kisah di dalam Al-Qur’an merupakan argumen paling baik dalam masalah ini.
Semangat pemuda yang diiringi pemahaman mendalam tidak memerlukan banyak eksperimen. Tapi sangat memerlukan kesabaran, kekuatan dan komitmen pada aturan-aturan Al Qur’anul Karim, dan telaah sirah generasi pendahulu yang telah menerapkannya di setiap aktivititas mereka. Itu penting, agar Allah Ta’ala mengaruniakan kemenangan, kemuliaan, dan kekuasaan yang hampir dianggap mustahil.”
Ketegaran dan Keberanian Syaikh Umar Tilmisani
Ustadz Umar Tilmisani dikenali tegas di dalam maupun di luar penjara. Beliau tidak pernah tunduk pada ancaman atau intimidasi. Beliau juga dikenali sebagai seorang yang zuhud, iffah (menjaga kehormatan, pent.), hanya takut kepada Allah Ta’ala, dan mengharapkan keridhaan-Nya.
Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Saya tidak pernah takut kepada siapa pun selama hidupku, kecuali kepada Allah Ta’ala. Tidak ada yang dapat menghalangiku mengucapkan kebenaran yang saya yakini, meskipun orang lain merasa berat dan saya mendapat kesusahan kerananya. Saya katakan apa yang ku yakini dengan tenang, mantap, dan sopan, agar tidak menyakiti pendengar atau melukai perasaannya. Saya juga berusaha menjauhi kata-kata yang mungkin tidak disukai lawan bicaraku. Dengan cara seperti itu, saya mendapatkan ketenangan jiwa. Andai cara ini tidak dapat merekrut banyak kawan, maka minimal menjagaku dari kejahatan lawan.”
Sikap tulus, ucapan apa adanya, serius bekerja, berani menghadapi persoalan, tegar, dan teguh menghadapi tantangan dari dalam maupun dari luar adalah ciri khas Ustadz Umar Tilmisani.
Dalam dialog terbuka di kota Isma’iliyah yang dihadiri Ustadz Umar Tilmisani dan disiarkan secara langsung di radio dan televisi, Presiden Anwar Sadat menuduh Jamaah Ikhwanul Muslimin sebagai dalang fitnah sekretariat. Anwar Sadat juga melontarkan tuduhan palsu lainnya kepada Ikhwan. Tidak ada pilihan bagi Ustadz Tilmisani kecuali berdiri
menjawab tuduhan Anwar Sadat, “Siapa pun yang berlaku zalim kepadaku, maka biasanya saya laporkan (adukan) kepada Anda. Karena Anda rujukan tertinggi – setelah Allah Ta’ala— buat orang-orang yang mengadu. Sekarang, kezaliman itu datang dari Anda, kerana itu saya adukan Anda kepada Allah Ta’ala.”
Mendengar itu semua, Anwar Sadat terkejut dan gementar, kemudian meminta agar Ustadz Umar Tilmisani menarik kembali pengaduannya. Ustadz Tilmisani menjawab dengan tegas, sopan, dan menegaskan, “Saya tidak mengadukan Anda kepada pihak yang zalim, tapi kepada Zat Yang Maha Adil. Dialah yang mengetahui segala yang saya katakan!”
Gaya Hidup Syaikh Umar Tilmisani
Gaya menawan saat dialog yang mewarnai setiap tindakan Syaikh Umar Tilmisani bukanlah tindakan yang dibuat-buat. Itulah ciri khas yang melekat pada ucapan, perilaku, akhlak, dan interaksinya; baik dengan individu, jamaah, pemimpin, penguasa, dan mayoritas manusia, tanpa membeda-bedakan orang kecil atau orang besar, orang miskin atau orang kaya. Syaikh Umar Tilmisani sangat meyakini prinsip Ikhwanul Muslimin yang diambil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan konsesus ulama salaf.
Jamaah Syaikh Umar Tilmisani
Syaikh Umar Tilmisani berpendapat, Jamaah Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Islam yang tulus dan murni.
Syaikh Umar Tilmisani berkata, “Orang yang mencermati langkah-langkah Ikhwanul Muslimin, semenjak lahir tahun 1347 H./I928 hingga hari ini, tidak menemukan sesuatu pun kecuali serangkaian pengorbanan berkesinambungan untuk menegakkan aqidah, potensi optimal yang produktif di semua sektor kegiatan sosial, upaya pengokohan ikatan persaudaraan antar berbagai bangsa muslim, dan usaha menyebarkan perdamaian di seluruh negara.
Ikhwanul Muslimin diperangi berbagai aliran; baik lokal maupun internasional. Meskipun demikian, Ikhwanul Muslimin tidak pernah sekali pun berusaha menyebarkan fitnah, memecah belah persatuan, menghancurkan lembaga-lembaga lain, berdemo secara anarkis, atau meneriakkan yel-yel untuk menjatuhkan seseorang.”
Ciri khas lain Syaikh Umar Tilmisani ialah menyejukkan, aktivitasnya membangun dan dasar interaksinya kesetiaan, meski terhadap orang yang tidak pernah mau sepakat, bahkan memerangi Ikhwanul Muslimin.
Syaikh Umar Tilmisani berwasiat, “Muslim tidak mengenal istilah agama milik Allah Ta’ala dan tanah air milik semua orang.” Setiap muslim meyakini segala yang ada di alam ini milik Allah Ta’ala semata. Siapa yang berusaha mengubah makna ini merupakan penipu yang ingin merampas sumber kekuatan negara, agar mudah dicaplok.
Orang muslim tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Mereka yakin sepenuhnya pemerintah tidak mempunyai hak bersama Allah Ta’ala. Sebab apabila diyakini pemerintah mempunyai hak bersama Allah Ta ‘ala, maka pemerintah menjadi sekutu bagi-Nya. Sedang muslim tidak mengakui kemusyrikan dalam bentuk apa pun.”
Sifat Zuhud, Tawadhu, dan Sederhana Syaikh Umar Tilmisani
Ustadz Umar Tilmisani adalah dai, murabi, dan pemimpin yang hidup secara tulus dengan Allah Ta‘ala, berjuang untuk menegakkan agama-Nya, aktif dalam dunia dakwah, bersabar, selalu meningkatkan kesabaran, berjaga, berjihad, berpegang teguh pada tali agama Allah Ta’ala yang kokoh, dan bekerja sama dengan mujahid yang tulus, baik ketika menjadi perajurit atau pemimpin, di penjara atau di luar penjara.
Beliau tidak pernah mengubah sikap, plinplan, menyimpang, tamak terhadap keindahan dunia dan gemerlap jabatan. Beliau meninggalkan kehidupan yang penuh dengan bunga-bunga dunia, untuk menghadap Allah Ta ‘ala.
Beliau tinggal di apartmen yang sangat sederhana dan hidup apa adanya, tanpa memaksakan diri. Saya trenyuh mengunjunginya hingga air mataku ingin keluar membasahi pipi, tapi saya berusaha menahannya kerana khawatir beliau tahu. Apalah artinya kita bila dibandingkan dengan orang-orang yang telah dibebaskan imannya dari penyakit cinta dunia, dan mengorbankan apa saja untuk memperjuangkan agama!
Apartmen Syaikh Umar Tilmisani berada di gang sempit Komplek Al-Mulaiji Asy-Sya’biyah AI-Qadimah, wilayah Ath-Thahir Kairo. Tangga menuju ke kediamannya sudah tua dan usang, dan perabotnya sangat sederhana. Padahal beliau berasal dari keluarga yang kaya-raya dan berstatus tinggi. Ini semua mencerminkan kezuhudan, kesederhanaan, dan ketawadhuannya.
Syaikh Umar Tilmisani dicintai pemuka masyarakat Mesir di semua lapisan. Orang-orang Qibthi juga mencintai dan menghormatinya. Bahkan ahli kerajaan pun amat menyeganinya dan mengakui sifat-sifat mulianya.
Seluruh anggota Ikhwanul Muslimin menganggapnya sebagai contoh teladan, berlomba untuk menimba ilmunya, dan berebut untuk melaksanakan instruksinya. Ini karena cinta kepada Allah Ta‘ala merupakan landasan interaksi mereka, penerapan syariatNya merupakan target mereka, dan keridhaanNya tujuan mereka.
Kunjungan Syaikh Umar Tilmisani ke berbagai-bagai negara Islam; baik Arab maupun non-Arab, dan kaum muslimin di tempat pengasingan, adalah pelipur lara luka-luka umat, sekaligus bimbingan untuk kaum muslimin dalam melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk agama, umat, dan tanah air mereka.
Seluruh kajian, ceramah, dialog, nasihat, bimbingan, dan ucapan Syaikh Umar Tilmisani memberi motivasi kepada umat, terutama para pemuda, intelektual, dan golongan ulama, agar memikul tanggungjawab dan menunaikan peran dalam mengembalikan kejayaan Islam, sesuai dengan posisi dan bakat masing-masing. Inilah tugas dai di setiap masa dan tempat, sebab inilah risalah yang dibawa oleh para rasul yang diwariskan kepada ulama, aktivis pergerakan, dai yang tulus, dan kaum mukminin yang ikhlas.
Karya-Karya Syaikh Umar Tilmisani
Ustadz Umar Tilmisani menyumbangkan hazanah pemikiran Islam dengan beberapa karya tulisan dalam beberapa tema. Yang paling terkenal antara lain :
- Syahidul Mihrab ‘Umar Ibnu Al-Khathab.
- Al Khuruj Minal Ma’zaqil Islamir Rahin.
- Al Islamu wal Hukumatud Diniyah.
- Al Islamu wal Hayah.
- Araa Fid Din Was Siyasah.
- Al Mulhimul Mauhub Hasanul Banna; Ustadzul Jil.
- Haula Risalah (Nahwan Nur).
- Dzikrayat La Mudzakkirat.
- Al Islam wa Nazhratuhus Samiyab Lil Mar’ah.
- Ba’dhu Ma ‘Allamanil Ikhwanul Muslimun.
- Qalan Nasu Walam Aqulfi Hukmi ‘Abdin Nasir.
- Ayyam Ma’as Sadat.
- Min Fiqhil I’lamil Islami.
- Min Sifatil ‘Abidin.
- Ya Hukkamal Muslimin, Ala Takhafunallah?.
- Fi Riyadhit Tauhid.
- La Nakhafus Salam, Walakin.
Ditambah karya tulis berupa prakata redaksi didalam majalah Ad-Dakwah Al-Qahiriyah, makalah tentang persoalan Islam yang dimuat dalam berbagai majalah dan surat kabar, ceramah di seminar; baik di negara-negara Arab, Islam, maupun Barat, kajian, dan bimbingan yang disampaikan dalam acara-acara Ikhwan.
Komentar Umum tentang Syaikh Umar Tilmisani
Dalam bukunya, ‘Umar Tilmisani Al Mursyid Ats Tsalis Lil Ikhwan Al Muslimun, Ustadz Muhammad Said Abdur Rahim menyatakan, “Thaghut (penguasa zalim; Abdun Naser) meninggal dunia, lalu para tahanan yang meringkuk di dalam penjara selama bertahun-tahun dikeluarkan, Ujian menempa, mengokohkan jiwa, dan menguatkan tekad mereka. Fisik mereka memang menjadi lemah, tetapi ruh mereka semakin rindu kepada apa yang ada di sisi Allah Ta‘ala dan menganggap dunia tidak ada artinya. Bahkan, ketakutan hilang dari hati mereka.
Mereka keluar dari penjara menjadi manusia yang tegar dan kokoh, laksana gunung. Sebab, di penjara mereka menghafal AI-Qur’anul Karim dan menimba ilmu. Dalam penjara, mereka berjaya menundukkan syahwat dan mengenal watak asli manusia. Sungguh, penjara menjadi madrasah dan guru yang memberi lebih banyak kepada mereka, daripada yang diminta dari mereka.
Di antara orang yang keluar dari penjara ialah Ustadz Umar Tilmisani. Allah Ta‘ala menyiapkannya memimpin Jamaah pada fase itu. Beliau merupakan pemimpin yang sanggup menahkodai bahtera yang sedang mengharungi gempuran badai samudra dengan bijaksana, sabar, tenang, dan lembut disertai keteguhan iman dan semangat membaja.
Pada zaman kepimpinan Syaikh Umar Tilmisani, dakwah berkembang pesat melebihi masa-masa sebelumnya. Para pemuda antusias kepada Islam, hingga semangat keislaman menjadi warna dominan di berbagai kampus dan asosiasi, bahkan di Mesir secara keseluruhannya. Beliau mampu menahkodai bahtera secara piawai, tangkas, dan profesional. Dan hasilnya, bahtera dapat melintasi berbagai-bagai perangkap dan gelombang bahaya, hingga akhirnya tiba di pantai yang aman.
Umar Tilmisani —rahimahullah- mengalami berbagai ujian dan menghabiskan sekitar dua puluh tahun umurnya di penjara. Beliau tabah dan sabar menghadapi penyiksaan dari penjaga penjara. Meskipun mendapat siksaan keras dan perlakuan kasar dari penjaga penjara, lisannya tidak pernah bosan berzikir kepada Allah Ta‘ala dan mengajak saudara-saudaranya bersabar dan tegar. Bahkan, lisannya tidak pernah mengucapkan kata-kata keji kepada penjaga penjara dan orang-orang yang menzaliminya. Beliau menyerahkan urusan mereka kepada Allah Ta‘ala karena Dialah sebaik-baik pihak yang diserahi.”
Kembali ke Rahmatullah
Ustadz Umar Tilmisani pulang ke rahmatullah pada hari Rabu, 13 Ramadhan 1406, bertepatan dengan tanggal 22 Mei 1986 di rumah sakit, kerana menderita sakit, dalam usia hampir 82 tahun.
Syaikh Umar Tilmisani dishalatkan di Masjid Jami’ Umar Mukarram, Kairo, dengan dihadiri pelayat yang jumlahnya mendekati seperempat juta manusia. Bahkan ada yang mengatakan setengah juta manusia dari penduduk Mesir dan utusan yang datang dari luar Mesir. Alhamdulillah, Allah Ta’ala memberikan kesempatan padaku untuk ikut melayat beliau bersama beberapa Ikhwan dari negara-negara Arab.
Inilah biografi ringkas Ustadz Umar Tilmisani, Mursyid ‘Amm Ketiga Ikhwanul Muslimin, Semoga Allah Ta ‘ala menerima dan memasukkannya ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang shalih, serta menyertakan kita bersama mereka di sisi-Nya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-24 Definisi Ilmu Ushul Fiqh
Ushul fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi etimologi, ushul fiqh terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilaih. Menurut aslinya kalimat tersebut bukan merupakan nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mudhaf dan mudhaf ilaih mempunyai pengertian sendiri-sendiri. Untuk itu, sebelum memberikan defenisi ushul fiqh, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian lafazh “ushul” (yang menjadi mudhaf) dan lafazh “fiqh” (yang menjadi mudhaf ilaih).
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah yang berbunyi: “Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun” (QS. An Nisa: 78)
Juga sabda Rasulullah yang berbunyi:
مَنْ يُرِدِ اللّٰهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْنِ
“Barangsiapa dikehendaki Allah sebagai orang baik, pasti Allah akan memahamkannya dalam persoalan agama.”
Demikian pua firman Allah dalam surat Al A’raf yang berbunyi:
“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al A’raf: 179)
Sedangkan pengertian fiqh menurut terminologi para fuqaha’ (ahli fiqh) adalah tidak jauh dari pengertian fiqh menurut etimologi. Hanya saja pengertian fiqh menurut terminologi lebih khusus dari etimologi. Fiqh menurut terminologi adalah “Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, yang diambil dari dalil-dalil yang terinci (mendetail)”.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pembahasan ilmu fiqh itu ada 2 macam, yaitu:
- Pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ mengeanai perbuatan manusia yang praktis. Oleh karena itu, hukum-hukum mengenai i’tiqad (keyakinan) seperti ke-Esa-an Allah, terutama para rasul, serta penyampaian risalah Allah oleh para rasul, keyakinan tentang hari kiamat dan hal-hal yang terjadi pada saat itu, kesemuanya tidak termasuk di dalam pengertian fiqh menurut istilah.
- Pengetahuan tentang dalil-dalil yang terinci (mendetail) pada setiap permasalahan. Seperti bila dikatakan, membeli secara berpesan, itu harus menyerahkan uangnya terlebih dahulu pada waktu akad, maka ia disertai dalilnya dari Al Qur’an. Jika dikatakan, bahwa setiap penambahan dari harta pokok itu disebut riba, maka hal itu disertain dalilnya dari Al Quran yang berbunyi:
“Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiyaya” (QS. Al Baqarah: 279)
Bila dikatakan, bahwa memakan harta benda orang lain dengan cara yang tidak sah itu haram, maka disebutkan pula dalilnya dari Al Qur’an yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil. (QS. Al Baqarah: 188)
Dari sini dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu fiqh adalah hukum yang terinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, makruh atau wajib beserta dalilnya masing-masing.
Adapun pengertian ‘ashl’ (jamaknya: ‘ushul’) menurut etimologi adalah dasar (fundamen) yang diatasnya dibangun sesuatu. Pengertian ini sama dengan pengertian ushul secara terminologi, karena ushul fiqh menurut terminologi adalah “dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu fiqh”.
Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam di dalam Tahrir memberikan defenisi ushul fiqh: “ushul fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk menggali hukum-hukum fiqh”. Atau dengan kata lain, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang cara (methode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dari dalil-dalil syar’i. Sebagai contoh, ushul fiqh mnenetapkan, bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib, dan larangan (nahi) menunjukkan hukum haram.
Jika seorang ahli fiqh akan menetapkan hukumnya shalat, apakah wajib atau tidak, maka ia akan mengemukakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surat Ar Rum 31, Al Mujadalah 13 dan Al Muzammil 20 yang berbunyi :
“Dirikan shalat.”
Bila ia akan mengemukakan hukumnya ibadah haji, maka ia mengemukakan sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berbunyi:
اِنَّ اللّٰهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحَجُّوْا
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ibadah haji atas kamu sekalian, maka tunaikanlah ibadah haji tersebut.”
Demikian juga bila ingin mengetahui hukumnya meminum khamar (minuman yang memabukkan), maka ia akan mengemukakan firman Allah yang berbunyi:
“Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90)
Perintah untuk menjauhi berarti larangan untuk mendekatinya. Dan tidak ada bentuk larangan yang lebih kongkrit dari larangan tersebut.
Dari contoh tersebut, jelaslah perbedaan antara fiqh dan ushul fiqh, bahwa ushul fiqh merupakan metode (cara) yang harus ditempuh oleh ahli fiqh (faqih) di dalam menetapkan hukum-hukum syara’ bedasarkan dalil syar’i, serta mengklasifikasikan dalil-dali tersebut bedasarkan kualitasnya. Dalil dari Al Qur’an harus didahulukan dari pada qiyas serta dalil-dalil lain yang tidak berdasarkan nash Al- Qur’an dan Hadits. Sedangkan fiqh adalah hasil hukum-hukum syar’i bedasarkan methode-methode tersebut.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-24 Pengantar Fikih Sunnah oleh Hasan Al Banna
Segala puji hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala, shalawat dan salam kita haturkan pada junjungan Nabi besar Muhammad shalallahu alaihi wa sallam beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Allah berfirman, “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At Taubah [09] :122)
Amma ba’du…
Salah satu amal pengabdian yang paling mulia kepada Allah adalah menyampaikan dakwah di jalan Allah dan menyebarkan ajaran-ajaran agama kepada manusia terutama yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat—sehingga amal ibadah yang dilakukan oleh manusia menjadi jelas. Hal tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
“Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seseorang, maka diberikan-Nya suatu kepahaman mengenai urusan agama. Sesungguhnya pengetahuan diraih hanya dengan belajar. Dan para anbiya’ (utusan Allah) tidak mewariskan suatu dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang mendapatkan pengetahuan tersebut, maka sungguh dia mendapatkan suatu kebaikan.”
Adapun cara yang terbaik dan bermanfaat dalam menyampaikan fikih Islam pada masyarakat umum terutama mengenai hukum ibadah, yaitu dengan cara menjauhkan pengunaan istilah-istilah yang rumit dan mengunakan dalil-dalil Al Qur’an dan hadits dalam penyampaiannya sehingga menjadikannya mudah untuk dicerna dan dipahami, dan juga menerangkan hikmah yang dikandung dalam amal tersebut sehingga mereka merasa damai atas apa yang telah dperbuatnya. Cara-cara tersebut merupakan kiat yang paling mudah untuk menambah pengetahuan dan penerimaan mereka atas apa yang kita sampaikan.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala, meridhai atas apa yang telah dilakukan oleh Syaikh Sayyid Sabiq di dalam buku ini yang telah memaparkan dan menjelaskan fiqih Islam dengan gaya bahasa yang begitu mudah untuk dicerna dan dipahami oleh masyarakat awam. Semoga Allah memberikan balasan atas usaha yang telah beliau lakukan dan mencatatnya sebagai amal ibadah kepada-Nya, serta menjadikan buku ini bermanfaat bagi masyarakat umum. Amiin…
Hasan Al Banna
Pendiri dan Mursyid ‘Amm (Ketua Umum) Pertama Ikhwanul Muslimin
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-24 Tema Penulisan Kebebasan Wanita
Pada dasarnya, buku ini merupakan kajian sosial yang bernuansa fiqih mengenai wanita pada zaman kerasulan. Saya mengupayakan agar buku ini memuat semua nash yang mengindikasikan wanita, dari dekat ataupun jauh, dalam hal kehidupannya, baik yang bersifat pribadi maupun umum. Selain itu juga mengindikasikan sifat hubungan sosial wanita dan keanekaragaman kegiatannya. Karena agama Islam mengatur kehidupan perseorangan –laki-laki ataupun wanita– seperti halnya mengatur tatanan masyarakat, penggabungan antara kajian sosial dan kajian fiqih serta keterkaitan kegiatan sosial dengan dalil-dalil fiqihnya akan menjadi faktor yang sangat membantu dalam penyelidikan yang menyeluruh terhadap perilaku seorang individu muslim.
Bagaimanapun, ciri-ciri kajian sosial tidak hanya berpegang pada dalil-dalil dan nash-nash yang qath’i, tetapi juga mengambil nash-nash dan dalil-dalil yang tingkatannya zhanni dengan pertimbangan bahwa penetapan realita sejarah baru bisa terlaksana jika dua dalil tersebut diambil sekaligus. Jika hukum fiqih membutuhkan dalil yang qath’i atau yang rajih untuk menetapkannya, maka dalil yang mungkin dipakai sebagai dalil sudah cukup untuk menguatkannya. Artinya suatu dalil yang dimungkinkan itu dapat dijadikan dalil pendukung bagi dalil asli yang qath’i atau rajih.
Pembaca dapat memperhatikan bahwa beberapa nash yang dijadikan dalil untuk sesuatu perkara bersifat dimungkinkan. Sementara kaidah mengatakan bahwa apabila maksud suatu nash yang dijadikan dalil bersifat dimungkinkan (muhtamal), maka hal itu tidak dapat dijadikan dalil. Karena itu, yang dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hukum hanyalah nash-nash yang dalil/maksudnya adalah yang qath’i atau rajih. Sedangkan nash-nash yang lain dari itu hanya dapat dijadikan pelengkap kajian sosial.
Sesungguhnya setiap perbuatan dari perbuatan-perbuatan orang yang mukallaf mengandung sisi substansi dan formalitas. Sisi substansial tercermin dalam berbagai bentuk penerapan yang dipengaruhi oleh lingkungan, situasi, tempat, dan waktu sehingga sisi ini sangat perlu dipahami. Sesuatu yang mubah harus senantiasa berada dalam kemubahannya; dan sesuatu yang haram, harus terus berada dalam keharamannya. Adapun bentuk-bentuk penerapan yang substantif ini, seperti yang telah kita katakan, terus berkembang. Meskipun terjadi berbagai macam perubahan, semuanya tetap berpegang pada hukum yang substantif tersebut.
Pengetahuan atas perbedaan masalah ini penting sekali dan membantu kita dalam menerima dan mengetahui bentuk-bentuk penerapan baru, misalnya dalam masalah pendidikan wanita, tugas wanita, atau kegiatannya dalam bidang sosial dan politik. Semua permasalahan itu mengandung substansi yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. yang mulia. Namun, apakah bentuk-bentuk penerapan yang berlaku pada zaman Nabi saw. mengandung pewajiban bahwa kita harus terpaku pada bentuk penerapan seperti itu dan tidak boleh melangkahinya? Ataukah kita harus mempertimbangkan faktor-faktor baru yang berpengaruh, maksudnya gejala-gejala sosial baru, lalu bentuk-bentuk penerapannya kita format ulang berdasarkan gejala-gejala baru tersebut?
Dalam hal ini, penulis sudah berusaha memantau gejala-gejala sosial baru yang berpengaruh terhadap kegiatan wanita dan hubungannya, baik dalam keluarga atau dalam bidang profesi, sosial dan politik. Begitu juga gejala-gejala yang berpengaruh terhadap pakaian wanita dan perhiasannya. Semua itu dimaskudkan agar wanita muslimah dapat menyesuaikan diri secara benar dan dapat bermasyarakat secara modern sambil tetap berpijak pada substansi yang telah digariskan agama. Dengan demikian dia senantiasa konsisten terhadap perintah Allah.
Adapun tujuan kajian sosial yang bernuansa fiqih ini –dan yang menerangkan dengan jelas sekali bagaimana keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial pada zaman kerasulan– adalah dalam rangka ikut ambil bagian memberikan gambaran agar wanita-wanita muslimah modern dapat mengikuti langkah-langkah atau aktivitas wanita-wanita zaman kerasulan dengan pedoman petunjuk Nabi saw.
Tujuan tersebut mengalihkan perhatian penulis pada sebuah masalah besar dan penting yang menuntut kerjasama serta pengorbanan kalangan ulama dan cendekiawan, yaitu masalah emansipasi atau pembebasan pemikiran muslim modern. Dalam arti membebaskannya dari belenggu raksasa, ukuran-ukuran palsu, dan pemikiran-pemikiran rusak yang telah menguasainya selama beberapa kurun waktu sehingga dia menjadi lemah dan cacat. Jika pemikiran umat Islam modern sudah bebas dari semua belenggu tersebut, segala aktivitas dan pekerjaannya senantiasa sesuai dengan pancaran hidayah Ilahi.
Pembebasan pemikiran umat Islam merupakan jalan satu- satunya menuju kebebasan yang sempurna dan murni bagi wanita dan laki-laki muslim secara sekaligus. Bahkan, hal tersebut merupakan jalan satu-satunya menuju restrukturisasi masyarakat secara keseluruhan berdasarkan sendi yang benar dan kuat. Akal atau pikiran adalah pengarah/motor bagi gerakan manusia. Jika pemikiran atau akal seseorang bebas dan mendapat petunjuk, dia akan bergerak dengan bebas ke arah yang benar berdasarkan petunjuk dan arahan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Masalah ini merupakan induk dari segala permasalahan. Setiap cacat yang terjadi akan menimbulkan kerusakan yang fatal terhadap pola berpikir seorang muslim yang pada gilirannya akan menimbulkan kerusakan umum yang meliputi semua aspek kehidupan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-24 Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih
Hubungan ilmu Ushul Fiqh dengan Fiqh adalah seperti hubungan ilmu manthiq (logika) dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berfikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kerancuan dalam berfikir. Juga seperti hubungan antara ilmu nahwu dengan bahasa Arab, dimana ilmu nahwu merupakan gramatika yang menghindarkan kesalahan seseorang di dalam menulis dan mengucapkan bahasa arab. Demikian juga ushul fiqh adalah merupakan kaidah yang memelihara fuqaha’ agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbahtkan (menggali) hukum.
Disamping itu, fungsi ushul fiqh itu sendiri adalah membedakan antara istimbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu nahwu berfungsi untuk membedakan susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Dan ilmu manthiq untuk mengetahui argumentasi yang ilmiah serta kesimpulan yang ilmiah pula.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-25 Dari Imsak Menuju Salamatush Shadr
Kita sudah banyak mendengar wejangan tentang hikmah dan fawaid (keutamaan) Ramadhan. Diantara keistimewaan-keistimewaan Ramadhan yang demikian banyak, yang paling menjadi kalimat jami’ah (kalimat umum), yang biasa didengar dimana-mana, disebutkan bahwa di bulan Ramadhan ini Allah menjanjikan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar.
Ketiganya itu adalah pahala atau medali yang akan diberikan Allah SWT kepada orang yang memenangkan Ramadhan. Kita berharap dapat meraih maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar, bukan hanya terasa sebagai janji-janji yang hangat di bulan Ramadhan, tapi insya Allah menjadi langkah-langkah yang terasa di bulan Ramadhan dan bulan-bulan sesudahnya; menjadi sikap dan perilaku yang bisa dirasakan sampai Allah mempertemukan kita kembali kepada Ramadhan berikutnya.
Kekalnya curahan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar itu sangat tergantung pada kemampuan kita merealisasikan makna kalimat Ramadhan itu sendiri, yaitu kemampuan imsak (menahan diri). Inilah sesungguhnya hal yang paling mendasar yang harus dicapai di bulan Ramadhan.
Sebagai manusia kita diberi oleh Allah SWT potensi rohani, akal, pikiran, dan jasad. Masing-masing potensi itu mempunyai thumuhat (obsesi)nya sendiri. Ada thumuhat fikriyah, ruhiyah, dan thumuhat jasadiyah, yang saling berlomba untuk mencapai yang tertinggi. Agar perlombaan—yang merupakan realitas dalam kehidupan—tidak melahirkan benturan-benturan, overleaping, bentrokan yang mengakibatkan kelumpuhan, maka kita perlu memiliki kemampuan menahan diri. Dalam realitas kehidupan yang penuh perlombaan, penuh persaingan, penuh kompetisi ini, kita harus mampu mengendalikan diri. Agar semangat kompetisi itu bisa mencapai hal-hal yang positif dan produktif yang bisa dirasakan manfaatnya oleh diri kita, keluarga, masyarakat, umat, bangsa ini, bahkan oleh kemanusiaan pada umumnya.
Kemampuan menahan diri (imsak) itulah yang membuat khutuwat (langkah-langkah) kita munazhomah (teratur), tertib, terencana, jelas arahnya, jelas targetnya, dan jelas sasarannya. Tanpa kemampuan pengendalian diri, banyak potensi berhamburan tidak terarah. Banyak potensi tidak produktif.
Pengendalian diri yang saya maksud adalah meliputi kemampuan menahan diri dalam segala sepak terjang kehidupan kita; mampu menahan diri dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, politik, social, ekonomi, dan budaya. Seluruhnya harus terkendali.
Jika kemampuan mengendalikan diri itu sudah mendominasi diri kita, Insya Allah kita akan bisa mencapai suatu kondisi yang paling mendasar dalam diri kita, yaitu salamatusshadr (kelapangan dada), karena emosi kita bisa dikendalikan. Tidak mudah berprasangka, tidak mudah menyebarkan zhan, syak, atau curiga. Tidak tertarik untuk menyebarkan fitnah, menyebarkan isu yang sarana prasarana teknologinya kini semakin canggih, misalnya melalui short message sevice (sms), melalui internet atau melalui selebaran-selebaran.
Salamatusshadr bisa dihasilkan dalam diri kita apabila masing-masing kita pandai menahan diri; tidak mudah terpancing gossip, isu, terseret pada perilaku yang merusak dan tidak bermanfaat; tidak terpancing oleh manuver-manuver yang memang sengaja dilontarkan oleh lawan-lawan Islam dan lawan-lawan dakwah.
Salamatusshadr akan memudahkan kita bergaul di masyarakat. Tanpa modal kemampuan menahan diri dan modal rahabatusshadr, salamatusshadr, pergaulan kemasyarakatan dan komunikasi social kita menjadi sempit, terbatas, terhambat, bahkan akan menghadapi berbagai benturan di sana sini.
Keberhasilan meraih kemampuan pengendalikan diri dan keberhasilan menghidupkan kondisi ruhiyah—yang disebut salamatusshadr itu—insya Allah akan menimbulkan hal yang paling positif dalam kehidupan kita yaitu munculnya rasa tanggung jawab; tanggung jawab secara pribadi atau rumah tangga; atau dalam berjama’ah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam pergaulan antar bangsa, antar umat, antar negara, antar komunitas. Dari rasa tanggung jawab inilah akan muncul rasa empati pada penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama saudara di tengah-tengah umat, atau di tengah-tengah bangsa ini, atau sesame umat dalam kerangka kehidupan di dunia ini.
Kita sebagai jama’ah dakwah yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin, tidak mungkin bisa melaksanakan misi tersebut, kalau kita tidak memiliki rasa tanggung jawab. Islam dan umatnya menuntut kader-kader dakwah untuk tampil dengan penuh rasa tanggung jawab memperjuangkan kepentingan, nasib, dan kejayaan Islam wal muslimin.
Rasa tanggung jawab itulah yang seharusnya mampu kita tampilkan di tengah-tengah musyarakah ijtimai’yah kita, yaitu dengan menjadi anggota masyarakat yang paling merasa bertanggung jawab atas qodhoyah ummat (problema umat), atas situasi kondisi kehidupan yang ada di lingkungan kita, lingkungan bertetangga, lingkungan bermasyarakat, lingkungan bernegara dan lingkungan pergaulan antar bangsa, bahkan dalam ruang lingkup yang sempit sekali pun.
Masyarakat, umat dan bangsa hanya akan menokohkan putra-putranya yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap qadhayah ummat; qadhayah Islam wal muslimin. Tanpa mampu menampilkan rasa tanggung jawab dan karya-karya yang terprogram, kita akan diabaikan oleh umat dan bangsa ini, disisihkan, tidak dipedulikan dan tidak dinilai.
Rasa tanggung jawab dalam diri kita itulah yang akan mendorong umat ini memberikan kepercayaan dan menokohkan kita untuk mengelola dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan rasa tanggung jawab kita kokohkan dakwah ini. Dengan rasa tanggung jawab kita layani umat dan bangsa ini. Dan dengan rasa tanggung jawab kita pimpin, kita bombing, kita kendalikan umat ini ke arah jalan yang ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya, jalan kebahagiaan fii dunya wal akhirat.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-25 Abdullah Qasim Ismail Al Wasyli
Dilahirkan di Zaidiah tahun 1369 H. Menimba ilmu di Mesjid Syaikh Shaim Ad Dahri secara tradisional, kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Jami’ah Islamiyah Madinah Munawarah, meraih gelar lisence tahun 1.395 H. Mengajar di lembagaJembaga ilmiah sebagai dosen, kemudian sebagai pengarah sosial, kemudian sebagai direktur beberapa perguruan dengan bendera Al Hudaidah di Yaman.
Beliau melanjutkan studi pascasarjananya di Institut Dakwah Islam bagian jurnalistik Islam.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-26 Firasat
Ketika perang dunia kedua meletus tahun 1942, Soekarno meramalkan bahwa kawasan Pasifik pasi akan menjadi medan tempur yang sengit. Semua pihak pasti lelah. Belanda dan Jepang tidak akan mampu mengurus tanah jajahannya. Dan, inilah kesempatan emas untuk merdeka. Tahun 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan Bangsa Indonesia pun menobatkannya sebagai pahlawan nasional.
Menjelang setiap momentum kepahlawanan selalu akan ada sebuah pekerjaan berat: pengambilan keputusan. Kelihatannya mudah untuk mengatakan bahwa keputusan dapat diambil secara tepat manakala ada informasi yang cukup dan akurat. Namun, itu dalam situasi normal, sedang momentum kepahlawanan biasanya justru muncul dalam situasi tidak normal. Dalam keadaan seperti ini, rasionalitas menjadi tidak mandiri. Ada kekuatan lain yang lebih menentukan: firasat. la hadir di ujung rasionalitas, dan tangannyalah yang akan mengetuk palu, setelah itu: Anda jadi pahlawan atau tidak sama sekali.
Maka, di sini tersembunyi sebuah perjudian, sebuah spekulasi: sebab firasat menyerupai usaha peramalan yang tidak mempunyai “dalil” selain dari keyakinan yang menumpuk dalam hati, kukuh, dan kuat. Dalam ruang hati itu tidak ada lagi tempat bagi keraguan, kegamangan, dan kekhawatiran. Nasib digariskan di sini, dan sejarah hanya akan memotret dan mencatatnya. Tidak lebih.
Peramalan, dalam situasi tidak normal, tentulah tidak sepenuhnya merupakan pekerjaan intuisi yang melahirkan firasat. Kecukupan dan akurasi informasi tetap akan menjadi faktor yang menentukan. Akan tetapi, ia hanya menentukan di awal peramalan, ketika seorang pahlawan sedang membangun kerangka pemahamannya tentang situasi dan masa depan. Sisanya, firasat akan menjadi referensi terakhir saat di mana seseorang harus menentukan pilihan akhir.
Maka, ketika Abu Bakar memutuskan untuk memerangi orang-orang murtad, beliau menghadapi penolakan dari semua sahabat Rasulullah saw. Dan yang paling keras menolak adalah Umar Bin Khattab. Akan tetapi, beliau tetap kukuh dengan keputusannya. Alasannya sederhana: dengan firasatnya yang tajam, gerakan murtad ini, walaupun hanya bermula dari penolakan membayar zakat, akan menjadi cikal akan lepasnya ikatan Islam, baik secara ideologi maupun struktural, yang akan sangat membahayakan.
Ketika Umar terus memintanya bersikap lebih lembut dengan alasan persatuan dan stabilitas seteiah wafatnya Rasulullah saw, beliau mengatakan. “Apakah ajaran Islam akan berkurang padahal saya masih hidup?” Maka, Umar pun terdiam, kemudian berkata, “Tampaknya Allah telah melapangkan dadanya dengan ilham tertentu.”
Ternyata Abu Bakar benar. Jazirah Arab menjadi basis kekuatan Islam seteiah itu, karena sumber keretakan internal telah dilenyapkan. Dengan demikian, firasat merupakan simpul akhir dari keseluruhan kualitas kepribadian kita, sekaligus merupakan “bantuan Allah” yang kemudian kita sebut, “taufik” (sesuatu yang membuatnya tepat).
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-26 Pengantar Syarah Ushul ‘Isyrin
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Yang Mahatinggi dibanding lawan tandingan-Nya, Yang mengetahui rahasia hati dan lahirnya. Ia telah memberikan kepada setiap diri yang diciptakan-Nya dan menunjukkan kepadanya jalan dosa dan ketakwaanya, serta mengilhamkan kepadanya berbagai manfaat dan mudaratnya. Aku memuji-Nya Swt. Atas besarnya pemberian dan kebaikan-Nya. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada Muhammad, Nabi dan Rasul-Nya, serta penutup para nabi dan rasul-Nya, kepada keluarga dan sahabatnya, dengan salam yang sebanyak-banyaknya.
Amma ba’du.
Aku benar-benar merasakan telah mendapatkan kebaikan dan kehormatan yang sangat besar dengan berafiliasi kepada Islam yang telah Allah jadikan sebagai kebenaran yang diterima disisi-Nya, meniti jalan hidup-Nya, mendakwahkannya, dan memberikan pembelaan kepadanya. Sebagaimana Tuhan telah menjadikan derajat yang setinggi-tingginya kepada mereka yang berdakwah berdasarkan argumentasi yang jelas. Oleh karena itu, barang siapa Allah berikan kepadanya taufik dan istijabah, ditulislah pahala besar bagi dai maupun mad’u-nya.
Kaum Muslimin pertama telah keluar dari Jazirah Arab sebagai dai dan pemberi petunjuk yang memberi kabar gembira dan peringatan. Allah berikan kepada mereka taufik untuk menyebarkan Islam di sebagian besar penjuru bumi. Hal itu telah terjadi dalam waktu tidak lebih dari setengah abad.
Daulah Islam telah berdiri di berbagai belahan bumi, sehingga terwujudlah Islam sebagai agama yang kuat dan menang terhadap seluruh agama sepanjang abad-abad yang lalu, betapapun banyak serangan musuh dan perang permusuhan.
Pada awal paro pertama abad ke-14 H. telah terjadi perubahan besar yang hingga hari ini masih tetap berlangsung. Yaitu pada saat banyak kelompok penganut Islam yang menyempal dari agamanya secara alamiah, kemudian diikuti dengan penyimpangan ideologis dan pemikiran. Penyebabnya adalah tidak adanya sultan dan Quran yang melindungi akidah dalam jiwa kaum Muslimin sepanjang abad-abad yang lalu.
Perubahan besar itu terjadi karena adanya intervensi asing terorganisasi yang dilakukan oleh bangsa-bangsa kafir terhadap kaum muslimin. Perang yang dilakukan terhadap umat Islam adalah perang ideologis yang dibarengi dengan perang militer dan ekonomi. Peran ideologis dan pemikiran itu lebih dahsyat pengaruhnya terhadap umat Islam.
Kaum muslimin pada abad-abad yang lalu sangat memahami bahwa Islam yang hanif adalah gambaran terpadu yang datang dari sisi Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Sayyidina Muhammad saw. telah menyampaikan Islam yang sempurna ini secara jelas dan komprehensif, meliputi segala hal. Oleh karena itu, dijelaskannyalah hukum segala hal, beliau pun mencelup mereka dengan celupan Islam, maka segalanya menjadi baik.
Perubahan besar telah terjadi dalam kehidupan kaum Muslimin pada awal abad keempat belas ini. Moral masyarakat telah berubah, kekuasaan hukum Allah di muka bumi berubah,, selanjutnya sistem dan perundang-undangan buatan manusialah yang menguasai masyarakat Islam. Pada saat itulah, umat Islam dilanda kemiskinan dan ketelantaran. Eksistensi ideologis umat Islam pun roboh.
Seorang individu Muslim walaupun telah melihat ke segala arah namun ia tidak mendapati selain peradaban materialis sekuler yang dikendalikan oleh Barat kapitalis atau Timur ateis sosialis. Saat itu, pribadi Muslim dapat menyaksikan gerakan-gerakan dan berbagai revolusi yang semuanya adalah perubahan. Semuanya diberitakan sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan akidah, akhlak, maupun kemanusiaan sama sekali. Semua itu adalah gerakan-gerakan nasionalisme sempit, patriotisme, kebangsaan, sosialisme, komunisme, dan lain-lain. Semuanya haus darah, nyawa, pelecehan kehormatan, penganiyaan, dan berbagai bentuk pelampiasan dendam lainnya. Gerakan-gerakan menyimpang ini berkisar pada satu jalur yang diinginkan, yaitu untuk menambah penderitaan serta pembantaian umat manusia yang sangat mengerikan.
Umat Islam sangat membutuhkan suatu pedoman yang dapat menjamin keamanan, keimanan, dan menghilangkan derita juga kesengsaraan. Semua ini tidak mungkin akan terpenuhi kecuali dengan agama yang diridhai oleh Tuhan semesta alam sebagai cahaya dan petunjuk ini. Tuhan kita Swt mengatakan, “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan kalian (Muhammad dan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang-benderang (Al-Quran). Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh dengan-Nya, maka Ia akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan karunia dari-Nya. Dan menunjukkan mereka jalan yang lurus kepada-Nya.” (An Nisa’: 174-175).
Kembali kepada pedoman Allah Swt. Itulah sebenarnya kemenangan dan keselamatan dari segala penderitaan dan kesengsaraan yang membinasakan selama ini.
Allah telah menghendaki agar pada akhir abad keempat belas berdiri gerakan Ikhwanul Muslimim. Pada bulan Dzulqa’dah tahun 1347 H di kota Ismailiah, Mesir, telah berdiri jamaah Ikhwanul Muslimin di rumah pendiri jamaah itu sekaligus mursyid’am-nya yang pertama, Imam Hasan bin Ahmad bin Abdur Rahman Al Banna. Pada pertemuan itu orang-orang yang hadir melakukan baiat (janji prasetia) untuk menghidupkan sunnah sayyidil mursalin dengan membangkitkan perhatian kaum Muslimin agar mereka bekerja berjuang di jalan Allah dan meninggikan kalimatullah.
Saat itu, sejak Hasan Al Banna mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin, membina para anggotanya dengan pembinaan, penataan, kekuatan, dan persiapan, sehingga jadilah sebuah pergerakan yang meliputi wilayah Mesir seluruhnya. Telah bergabung ke barisannya berbagai lapisan masyarakat dengan segala potensi dan profesinya. Demikian itu setelah mereka melihat kebersihan dakwah dan keluhuran tujuannya.
Di samping itu juga karena mereka melihat bahwa dalam gerakan itu tersimpan harapan yang mereka dambakan untuk mengembalikan umat Islam kepada kebesaran, kejayaan dan keagungannya. Ketika iman yang agung itu merasakan bahwa dakwahnya menyebar luas di tengah umat, khususnya di kalangan pemuda, maka mulailah beliau menuangkan suatu pedoman yang akan mereka ikuti dan jalan yang akan mereka lalui, agar mereka melangkah atas dasar petunjuk dan kejelesan. Karena itulah, beliau menuangkan sebuah risalah yang diberinya nama Risalatut Ta’alim yang termuat dalam arkanul baiat untuk memperjuangkan Islam. Beliau sebutkan bahwa rukun baiat yang pertama adalah al fahm (pemahaman) yang termuat dalam dua puluh prinsip yang tidak lain adalah objek pembahasan syarah (ulasan, uraian) ini.
Risalah yang sangat besar manfaatnya dan penuh dengan ilmu ini masih saja menjadi rujukan bagi para dai, masing-masing sesuai dengan tingkat pemahaman dan penguasaanya. Sebagian kecil di antara mereka melakukan syarah, seleksi, dan perujukan dari segi pemantapan dalil, penjelasan dari aspek bahasa dan penguraian apa saja berdasarkan fiqih, serta mengembalikan semua itu kepada dasar-dasar dalil dalam syariat Islam: Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, ijmak, dan qiyas jaliy.
Demikian itulah syarah saudara Allamah Abdullah bin Qasim Al Wasyli dalam bukunya An Nahjul Mubin fi Syarh Al Ushul Al ‘Isyrin ini. Ia adalah sebuah syarah yang sangat bermanfaat karena telah memberikan sentuhan sempurna lagi memuaskan terhadap prinsip-prinsip luhur yang oleh penulisnya, Imam Hasan Al-Banna, dikatakan,
“Inilah risalahku kepada ikhwan mujahidin dari kalangan Ikhwanul Muslimin yang yakin dengan keluhuran dakwah dan kesucian fikrah mereka, bertekad untuk hidup dengannya, atau mati di jalannya. Kepada mereka saja kata-kata pendek ini aku tujukan. Ia bukanlah pelajaran-pelajaran untuk dihafalkan, ia adalah instruksi-instruksi yang harus dilaksanakan. Karena itu, marilah bekerja wahai Ikhwan yang jujur.
“Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. Kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan nyata, kemudian Ia akan mengabarkan kepada kamu apa saya yang dahulu kamu lakukan.'” (At Taubah: 105)
Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang harus lurus, maka ikutilah ia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu akan menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah yang Allah wasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa. (Al An’am: 153)
Adapun selain mereka ada pelajaran, ceramah, buku, makalah, acara seremonial, dan kegiatan formal. Masing-masing sudah ada arahan yang harus dikerjakannya, karena itu berlomba-lombalah kalian melakukan berbagai kebaikan, dan masing-masing telah Allah janjikan kepadanya surga.”
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Hasan Al Banna
(Majmu’atur Rasail Imam Hasan Al-Banna, h.055 cet Muassasah Islamiah, Beirut)
Demikianlah pengantar penerbitan Risalah Ta’alim Imam Al Banna rahimahullah. Dengan menelaah pengantar beliau rahimahullah, Anda mendapati bahwa beliau menghendekai risalah ini untuk dilaksanakan dan diamalkan. Ia bukanlah wacana ilmiah atau ensiklopedia yang sekadar ditempatkan oleh seorang muslim di rak-rak perpustakaannya. Ia adalah instruksi-instruksi yang harus dilakukan dengan sangat detail dan akurat, karena ia adalah intisari pemikiran, fiqih, berbagai arus pemikiran dan ideologis yang ada dizamannya. Ialah yang beliau rahimahullah mengatakan tentangnya, “Kami menginginkan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim, masyarakat Islam, pemerintahan Islam, dan negara yang dipimpin oleh negara-negara Islam lagi mewadahi seluruh kaum Muslimin, mengembalikan kebesarannya, meraih kembali tanah mereka yang hilang serta negeri dan tanah air mereka yang terampas, dan seterusnya. (Dari risalah “Al-Ikhwanul Muslimun di Bawah Panji Quran”.Lihat Majmua’atur Rasail h.192)
Ketika beliau mengucapkan pernyataan ini, Mesir dan banyak negeri lainnya sedang berada di bawah penindasan dan kesewenang-wenangan negara-negara besar seperti Inggris, Amerika, dan Perancis. Mereka bergerak mengejar dai berpengalaman lagi sukses ini. Mereka mengeluarkan sebuah keputusan yang ditujukan kepada pemerintah Naqrasyi di Mesir agar segera membubarkan jamaah Ikhwanul Muslimin. Terjadilah apa yang terjadi, sebagaiman tertera dalam buku-buku terkenal.
Umat Islam benar-benar sangat perlu menelusuri jejak pahlawan-pahlawannya dan tokoh-tokoh yang berpengaruh kuat dalam kehidupannya, terutama mereka yang berperan dalam bidang keyakinan keagamaan dan perjuangan menghidupkan kejahatan politik yang merupakan pilar kehidupan mereka. Para pendahulu kita yang saleh telah mencatat dalam buku-buku besar tentang kehidupan tokoh-tokoh ulama dan pendahulu mereka yang saleh.
Barangkali Imam Hasan Al Banna termasuk tokoh terbesar abad kedua puluh ini, namun apa yang saya baca dan saya ketahui tentang dirinya masih sangat terbatas. Kita sangat membutuhkan kajiah ilmiah yang mendalam dan terperinci yang membicarakan tentang pribadi unik ini dari berbagai sisinya. Tentang keluarganya, reputasi keilmuan, dan kedudukan sosialnya. Di samping itu juga tentang peninggalan-peninggalan besarnya sebelum beliau meninggal, kemudian tentang murid-muridnya yang tersebar di seluruh penjuru bumi. Kita sangat merindukan tulisan-tulisan khusus tentang pribadi ini secara ilmiah yang menjelaskan tentang dirinya dari berbagai sisi. Kematian di jalan allah telah menjemputnya pada usia yang masih sangat muda sehingga masih banyak potensinya yang tak terjemahkan. Meskipun demikian dalam tulisan-tulisannya ia tampak sebagai pribadi yang unik, luar biasa. Di dalam dirinya tersimpan sifat-sifat seorang mujtahid dengan kemurnian pikiran dan kejelasannya dalam memandang bebagai persolan. Pada waktu yang sama ia juga seorang yang diperangi dengan dahsyat. Ia telah terbunuh dan hanya dikuburkan oleh kaum perempuan bersama empat orang laki-laki saja, sementara pengikutnya sekarang berjuta-juta orang, tersebar di seluruh wilayah Mesir dan di negara-negara lainnya, khususnya negara-negara Asia, Afrika dan Eropa.
Dakwah imam yang satu ini tidak terbatas sebagai dakwah lokal dengan batas-batas territorial negara yang sempit. Dakwahnya telah menjadi dakwah semestawi yang meliputi dunia Islam seluruhnya, membangkitkan jiwa kebesaran, kemuliaan, dan ketakwaan dalam jiwa kaum Muslimin. Hari ini ia membangkitkan sehingga tidak akan tidur lagi setelah itu; ia memerdekakan sehingga tidak ada lagi perbudakan; ia adalah ilmu pengetahuan sehingga tidak ada lagi kebodohan sepeninggalnya.
Ia telah hidup dengan kehidupan orang asing di tengah para pemimpin Mesir. Demikian itu disebabkan karena perbedaan sifat dan karakternya. Ketika ia syahid, terjadi suatu peristiwa yang sangat menakjubkan, yaitu yang menshalatkannya di masjid hanya ayahnya yang sudah renta, tenang, dan berwibawa bahkan mengusung jenazahnya pun hanya perempuan-perempuan kerabat keluarganya. Tak seorang pun di antara pengikutnya yang laki-laki mengiringi kepergiannya, padahal jumlah mereka kala itu sudah ribuan. Penyebabnya sangat sederhana, yaitu keputusan otoriter dan lalim Raja Faruq, penguasa Mesir pada waktu itu menangkap pengikut-pengikutnya, mengasingkan, dan memenjarakan mereka. Akhirnya balasan yang diterima penguasa yang zalim ini sangat setimpal. Faruq, raja Mesir itu meninggal dan hanya dikuburkan oleh beberapa gelintir orang yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menguburkannya, dan jadilah Faruq seperti itu. Mahasuci Allah, seakan-akan dunia ini adalah negeri pembalasan.
Sepertinya aku melihat Imam Hasan Al Banna sebagaimana sebuat atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. berikut, “Ilmu ini akan diemban oleh setiap generasi akhir yang adil-adil, yang menghindarkannya dari penyimpangan orang-orang yang berlebihan, penjiplakan orang-orang yang batil, dan penafsiran orang-orang yang bodoh (HR. Baihaqi)
Semoga allah merahmati Imam Hasan Bin Ahmad bin Abdurrahman Al Banna dan memberikan balasan yang baik berkenaan dengan risalahnya yang unik lagi lengkap, dua puluh prinsip. Semoga allah memberikan balasan yang baik atau usaha keras saudara yang terhormat, Abdullah bin Qasim Al Wasyli, yang telah mensyarah ensiklopedia yang sangat bermanfaat ini, dan semoga menjadi seluruh amalnya hanya untuk mencari ridha-Nya
Wa akhiru da’wana anilhamdu lillaahi rabil’alamin.
13 Rajab 1409
Ditulis oleh yang mengharap ampunan Tuhannya,
Maasyraf Abdul Karim Al Mahrabi
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-27 Mukadimah Syarah Ushul ‘Isyrin
Segala puji bagi Allah, kita mohon pertolongan dan petunjuk kepada-Nya. Aku bersaksii bahwa tiada Tuhan selain allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya , dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Ia telah mengutusnya dengan petunjuk dan dinul haq. Tleah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan mengabdi kepadaTuhannya hingga hingga datangnya kematian kepadanya. Semoga Allah memberikan salawat dan salam-Nya kepda juga kepada para sahabat yang setia meniti jejaknya, menempuh jalannya, dan tidak menyimpang sedikitpun dari jalannya yang lurus. Demikian pula kepada para tabiin dan generasi yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya hingga hari pembalasan.
Amma ba’du.
Ini bukanlah syarah yang panjang membosankan, namun juga tidak telalu pendek dan mengurangi makna bagi dua pulah prinsip pemahaman, rukun pertama arkanul baiat amal islami yang oleh Imam Syahid Hasan Al Banna dimasukannya ke dalam risalahnya yang berjudul Risalatut Ta’alima, khusus untuk bagi ikhwan yang aktif berjihad dan meyakini dakwah dan keluhuran tujuannya, serta jujur dalam berafiliasi kepadanya. Sehingga mereka pun menghibahkan jiwa mereka –hidup maupun mati- kepdanya dalam rangka mencari ridha Allah Swt. Bukan yang lain.
Meskipun Imam Syahid mengkhususkan risalahnya kepada kelompok manusia itu, namun ajaran-ajaran, kewajiban, dan nasihat-nasihat yang terkandung di dalamnya tidak khusus hanya untuk mereka saja. Ia berlaku umum bagi setiap orang yang hendak menempuh jalan Nabi Muhammad Saw. Dan menapaki jejaknya.
Katakanlah, “Inilah jalanku, aku berdakwah kepada Allah berdasarargumentasi yang jelas, aku dan orang-orang yang mengikutiku….” (Yusuf: 108)
Hal itu karena semua yang diserukannya adalah kebenaran, sedangkan kebenaran tidak terbatas hanya untuk orang perorang sana, dan tidak khusus untuk orang tertentu saja, Ia dibuat untuk diperebutkan oelh orang-orang yang serius berusaha. Manusia terbagi menjadi tiga kelompok: ada yang selalu terdepan, ada yang sedang(pertengahan), ada pula yang menzalim dirinya sendiri.
Karena itu saya ucapkan selamat bagi mereka yang segeramengerjakan kebaikan, dan kegembiraan semoga diberikan kepada mereka yang terdepan. Semoga orang-orang pertengahan tetap diterima dan ampunan pun diberikan kepada mereka yangmenzalimi diri. Sesungguhnya Allah Maha Pengampuan lagi Maha Penyayang.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-28 Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Amma ba’du.
Buku yang ada di tangan Anda ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama menjelaskan karakter-karakter yang harus dimiliki oleh seorang muslim agar benar-benar menjadi muslim sejati. Pada bagian ini, kami menerangkan syarat-syarat yang harus ditunaikan oleh setiap orang yang memeluk agama (Islam) ini.
Sungguh banyak orang penganut Islam sebatas identitas diri atau menganut Islam karena lahir dari orang tua yang Muslim. Sebenarnya kedua model Muslim di atas sama-sama tidak mengerti, apa arti keberadaannya sebagai Muslim. Mereka tidak tahu konsekuensi yang harus ditanggung ketika menyatakan diri sebagai Muslim, sehingga wajar jika Anda melihat mereka berada di suatu wilayah kehidupan yang jauh dari Islam yang sebenarnya.
Target yang ingin kami capai pada buku ini adalah menjawab semua pertanyaan seperti di atas sekaligus menjelaskan apa yang dituntut oleh Islam dari setiap pemeluknya. Hal ini ditujukan agar keberadaannya sebagai Muslim menjadi lurus dan murni, sehingga ia benar-benar menjadi Muslim sejati.
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.” (Al Hajj: 78)
Sedangkan pada bagian kedua buku ini, kami menjelaskan kewajiban berjuang menegakkan Islam dan bergabung dengan gerakan Islam (Harakah Islamiyah). Selain itu, kami juga menerangkan karakteristik gerakan Islam, lengkap dengan segenap tujuan, sarana, filosofi, cara kerja, dan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap orang yang bergabung dengannya.
Harus kami jelaskan di sini bahwa seluruh peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia Islam pada umumnya, dan di wilayah negara-negara Arab khususnya, mengungkapkan suatu kenyataan yang sangat besar. Kenyataan bahwa umat Islam saat ini mengalami “kekosongan luar biasa” pada berbagai aspek kehidupan.
Di masa lalu, umat ini melewati masa-masa sulit. Banyak institusi dan sistem terpuruk. Banyak gerakan dan organisasi yang pudar ketika harus menghadapi berbagai tantangan modern. Mereka terpuruk karena pada dasarnya tidak memiliki faktor-faktor yang dapat mempertahankan keberadaan dan menjamin kelangsungannya.
Sebab lain keterpurukannya adalah karena mereka hanya mengusung slogan-slogan kosong dan palsu dan tidak memiliki nilai dan substansi. Mereka juga terpuruk karena tidak orisinal. Maksudnya, tidak mencerminkan identitas umat yang sebenarnya. Mereka membawa nilai-nilai asing, dibuat-buat, dan diimpor. Sama seperti sepatu dan barang-bbarang yang diimpor dari luar negeri.
Karena sebab0sebab di atas, mereka tidak bisa bertahan lama. Kepalsuannya segera terbongkar, dan kelamahan-kelemahannya segera tersingkap. Oleh sebab itu, wajar jika kemudian semua lapisan masyarakat membutuhkannya karena merasakan sesuatu yang asing dan tidak cocok dengan prinsip dan aqidahnya.
Permasalahan mereka ibarat ginjal atau jantung yang dicangkok di dalam tubuh manusia. Kalaupun proses pencangkokan berhasil, maka tidak akan bertahan lama. Itu pun disertai rasa sakit dan penderitaan yang tidak ringan karena tubuhnya segera lemah lalu mati.
Itulah kondisi konkret yang dialami umat Islam saat mulai sadar kalau dirinya begitu lemah dan sakit. Dia tidak sanggup memikirkan apa yang harus dilakukan, sehingga tanpa ragu mengimpor berbagai nilai dan sistem positif (produk Barat) yang dianggap baik. Padahal, sistem itu mengandung hal-hal yang berpotensi membawa kebinasaan dan kehancuran. Juga memuat unsur-unsur kekacauan dan kerusakan, serta faktor-faktor yang mendorong pada tindakan mengabaikan dan menelantarkan!
Pada fase pertama, umat Islam mengadopsi peradaban Barat dan ideologi kapitalisme. Hasilnya, virus kanker menggerogoti tubuh umat pada setiap sendi kehidupannya, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Virus-virus kanker merusak jati dirinya, mengacaukan pikirannya, merusak moralnya, dan terakhir menggiringnya ke altar kekalahan pertama begitu mengenaskan, yaitu kekalahan pada tahun 1948.
Meskipun kekalahan tersebut menyisakan pengalaman pahit dan penderitaan yang tak terperi, namun umat tetap terbelenggu dalam ketidak pastian dan kekacauan. Umat tetap tidak mampu mengendalikan emosi, terpengaruh oleh slogan-slogan palsu dan penampilan luar yang menggiurkan. Inilah yang membuatnya untuk kali kedua, ketiga, dan keempat menelan kekalahan yang sama berkali-kali. Sistem liberal, revolusi, dan komunis (yang kemudian dianutnya) tidak bearti apa-apa. Bahkan hubungan dengan dengan berbagai rezim pun tidak mampu menghindarkannya dari bahaya.
Jika kekalahan pada tahun 1948 adalah akibat dari sikap umat Islam yang mengekor pada ideologo imperialisme Barat, maka kekalahan pada 1967 terjadi karena mereka mengadopsi ideologi kaum proletariat kiri.
Dengan tergopoh-gopoh, umat Islam keluar dari gelombang peristiwa dan pengalaman hidupnya sambil membawa beban penderitaan yang berat dan luka yang menyakitkan. Putus sudah harapannya dari orang-orang yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. Dan goyahlah kepercayaan yang selama ini diberikan kepada para pemimpin, pengusasa, organisasi, dan partai yang ada.
Apakah setelah mengalamai semua itu, umat benar-benar bangun? Apakah benturan yang begitu dahsyat dan pengalaman yang begitu pahit benar-benar berhasil membuatnya sadar? Apakah umat sadar bahwa kekuatan-kekuatan global, seluruhnya, bersatu padu untuk menghancurkannya? Apakah umat tahu bahwa timur dan barat, kiri dan kanan, memusuhi, membenci, dan menunggu kesempatan yang tepat untuk menghabisinya?
Sungguh sangat sesat jika ada yang berpikir bahwa umat harus mengekor kepada saah satu pihak. Artinya, jika tidak ke kanan, berarti harus berpihak ke kiri. Jika tidak komunis, maka harus kapitalis?!
Umat Islam harus sadar bahwa mereka memiliki jati diri yang independen dan istimewa. Tidak cenderung pada ideologi kanan atupun kiri. Jati diri yang orisinal. Karakteristik dan rambu-rambunya diadopsi dari ajaran Islam, agama, dan risalah fitrah. Berdasarkan keistimewaan dan orisinalitas inilah, ideologi Islam tetap berada di garis depan kemajuan pemikiran dan politik global.
Umat Islam harus sadar bahwa kekosongan besar (al faragh al kabir) yang dialaminya saat ini tidak mungkin diisi oleh kebijakan-kebijakan Gedung Putih Amerika Serikat. Tidak pula oleh program-progam yang digodok di Kremlin Uni Soviet. Kekosongan ini tidak bisa diisi oleh ide-ide pemikiran Karl Marx dan Lenin, atau oleh gagasan-gagasan Guevera dan Ho Chi Min.
Kekosongan itu hanya bisa diisi oleh Islam yang terimplementasikan dalam aqidah, sistem moral, dan aturan. Semua permasalahan di atas membawa gerakan Islam pada sebuah tanggungjawab sejarah yang sangat krusial. Tanggungjawab yang menuntut aktualisasi iman dan kemauan untuk berbuat . Apakah dai-dai Ilsam sudah menyadari tanggung jawab mereka?
Abu Bilal Fathi Yakan
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-28 Urgensi Risalah Ta’alim
Risalah Ta’alim, risalah yang berukuran kecil, tipis, sederhana, dengan bahasa yang mudah dan enak dibaca itu membuat banyak ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang apabila dijabarkan akan menghabiskan berjilid-jilid besar kitab syarah. Betapapun sederhannya namun ia memberikan kepada seorang Muslim (khususnya aktivis dakwah) gambaran yang lengkap mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh seorang Muslim yang komitmen dengan agamanya, dai yang tulus, dan mujahid yang sebenarnya.
Ia sebagaimana digambarkan oleh dai kondang Said Hawwa termasuk peninggalan Imam Al Banna yang paling matang dan dapat dikatakan sebagai akhir dari ijtihad-ijtihad pemikiran dan amaliah yang merupakan general check-up gerak sejarah, realitas kaum Muslimin, dan pemahaman yang mendetail terhadap nash-nash[1]
Risalatut Ta’alim terdiri dari dua bagian:
Bagian pertama, sepuluh arkanul baiat, yaitu baiat untuk memperjuangkan Islam. Ia menjelaskan tentan hal-hal yang dimaksud dari masing-masing rukun dan berbagai konsekuensi komitmen masing-masing rukun itu, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang harus direalisasikan dalam realitas perjuangan Islam, memperbaiki pribadi, masyarakat, atau pemerintahan, dan istiqamah di atas agama Allah Swt. yang sempurna. Di samping itu, ia juga membeberkan sarana dan metode yang digunakan untuk meralisasikan tujuan-tujuan utama setiap Muslim yang selalu diserukan, bahwa Allah adalah tujuannya, Rasul adalah qudwahnya, jihad adalah jalannya, dan mati di jalan Allah adalah cita-cita yang tertinggi.
Bagian kedua, memuat sejumlah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap orang yang meyakini rukun-rukun tersebut dan berusaha merelisasikannya, serta berbagai nilai dan hakikat yang akan Al Quran dan Sunnah yang mengharuskan setiap Muslim dengan hak-hak tersebut, baik secara wajib, sunah, maupun sekadar anjuran. Ia, tidak diragukan lagi merupakan penyempurnaan kepribadian Islam yang ideal.
[1] Fi Afaqi At Ta’alim, h.5
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-29 Posisi Ushul ‘Isyrin dalam Risalah Ta’alim
Dua puluh prinsip pemahaman yang hendak kami jelaskan dalam syarah ini termasuk tema terpenting risalah ini. Bahkan ia adalah yang paling urgen, karena ia meletakkan fondasi utama yang mendasari selruuh rukun perjuangan Islam yang benar yaitu pemahaman. Allah Swt. telah memerintahkan agar hamba-hamba-Nya menyandang sifat paham sebelum mereka mengenalnya, dalam firman-Nya, maka ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah (Muhammad:19). Surat pertama yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad Saw. diawali dengan ajakan menyandang sifat paham terlebih dahulu. Yaitu dalam firman-Nya, Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan (Al ‘Alaq:1).a
Di kalangan penganut Islam telah benar-benar dipahami bahwa ilmu leibh diutamakan disbanding dengan amal. Amal apa pun yang dikerjakan tanpa didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan petunjuk dari Allah Swt. maka ia tertolak. Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak didasarkan kepada perintah kami, maka amalan itu tertolak. (Mutafaq alaih)[1]
Pendasaran pada ilmu dan pengaturan amal berdasar pemahaman yang jelas, tidak termasuk bid’ah dalam agama ini.
Jika Anda telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa Imam Syahid Al Banna rahimahullah telah mendapatkan taufik yang sebaik-baiknya untuk meuangkan prinsip-prinsip tersebut di abad ini. Sebagaimana para mujtahidin sebelumnya juga telah mendapatkan taufik untuk meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan, problem, dan amal-amal yang sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Serta kemaslahatan untuk melindungi Islam dan pemahaman yang sahih terhadap sumber-sumber hukum dan perundang-undangan sepanjang sejarah, sejak masa sahabat, para tabi’in, hingga zaman kita sekarang. Perbuatan ini tidak termasuk bid’ah dalam Islam. Ia justru merupakan salah satu uhal yang Allah gunakan untuk melindungi agama ini, agar ia tetap eksis hingga Allah Swt. mewarisi bumi ini berikut siapa saja yang ada di dalamnya.
Allah telah melindungi agama-Nya dengan cara melindungi sumber-sumber hukum dan perundang-undangannya (Al Quran dan Sunah), agar tidak tersentuh oleh perubahan maupun penggantian. Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Quran itu dan Kami-lah yang melindunginya. (Al Hijr:9)
Disamping itu, juga dengan cara memelihara dan milindungi suatu jenis dari makhluk-Nya yang tetap ada dengan adanya agama ini dan di setiap zaman, hingga Allah mewarisi bumi ini berikut apa saja yang ada di atasnya, yang Allah berikan pemahaman yang benar terhadap sumber-sumber tersebut dan berusaha keras untuk menerapkannya hingga mereka menjadi hujah atas hamba-Nya, sebagai petunjuk riil bagi setiap bangsa bahwa Islam selalu layak dan cocok untuk setiap waktu dan tempat, serta sebagai agama yang diridhai di sisi Tuhan semesta alam hingga hari pembalasan.
Kelompok ini adalah pembela kebenaran yang tidak terpengaruh oleh orang-orang yang menetangnya hingga hari kiamat, sebagaimana disebtukan dalam sejumlah riwayat. Kelompok inilah yang diserahi amah untuk menetapkan pedoman pemahaman yang benar terhadap sumber-sumber hukum itu, jalan serta amal sesuai dengan tuntutan hal-hal yang diperintahkan dan ditunjukkan oleh sumber-sumber tersebut.
Berikut ini adalah contoh-contoh yang menjelaskan bahwa amal ini telah dilakukan oleh generasi-generasi pertama dan ditempuh oleh orang-orang besar, kemudian diikuti oelh generasi berikutnya. Khususnya ketika cabang-cabang pemikiran semakin banyak, hawa nafsu semakin dominan, kepentingan mengendalikan perbuatan manusia di tengaah umat ini fdam masyarakat pun tenggelam dlam gelombang fitnah. Pada saat seperti itu, munculullah di tengah umat ini orang yang membingmbing, mengabari petunjuk, dan membuatkan prinsip-prinsip bagi mereka, hingga mereka kembali kepada pedoman yang dipegang teguh oleh generasi pertama dahulu. Sebagai contohnya telah timbul kekhawatiran jika pembacaaan Al Quran dan penerapannya tidak seperti pembacaan dan penerapannya pada saat diturunkan kepada Nabi Muhammas Saw. dan diterima oleh para sahabatnya. Untuk itu Allah menyiapkan orang-orang dari kelompk qura dan hufazh untuk membuat kaidah –kaidah dalam masalah ini, agar masyarakat tidak berbeda-beda pandangan tentangnya hingga mereka binasa karenanya merupakan dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang harus dipegang teguh dalam masalah ini.
Pemikiran dan pemahaman seputar penafsiran Al Quran dan makna yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya telah bercabang dan berbeda-beda. Oleh karena itu, Allah menyiapkan orang yang memuat standard an patokan bagi ilmu ini (ilmu tafsir) tentang dasar-dasar untuk menafsirkan dna mengungkapkan makna-maknanya dengan ilmu lain yang mereka sebut sebagai ushulut tafsir. Hawa nafsu dan fanatisme juga teleah maminkan peran besar dalam pengaburan Sunah dan masuknya unsure-unsur lain. Untuk itu Allah menyiapkan orang-orang yang melayani Sunah dan membersihkannya dari unsure-unsur lain, berupa dusta dan pemalsuan. Mereka kemudian membuat kaidah-kaidah yang hingga saat ini para cendikianwan dunia tidak mampu membuat hal yang semacamnya. Mereka menamakan ilmu ini dengan ilmu “Rijaal wa Mushatalahul Hadits”
Terjadi perbedaan pemahaman dalam menggali hukum-hukum syar’I dari Al Quran dan Sunah sehingga sangat jauh dari kebenaran menuruti hawa nafsu dan emosi. Sehingga Allah menyiapkan orang-orang mujtahid yang tulus. Mereka membuat kaidah-kaidah untuk memahami dan mengambil istimbath yang harus dipegang teguh oleh mujtahid yang hendak mempelajari Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Saw. untuk menggali hukum-hukum syar’i. Mereka menamakan ilmu ini dengan Ushul Fiqh.
Keyakinan juga bercabang-cabang akibat ilmu kalam dan filsafat. Oleh karena itu, Allah menyiapkan orang-orang tetentu untuk mengendalikan supaya cabang itu tidak semakin banyak, yaitu dengan keyakinan ahlusunah wal jamaah, mengembalikan keyakinan-keyakinan mereka kepada dasarnya, dan membatasi mereka pada nash serta tidak melanggarnya.
Telah lahir berbagai propaganda yang memecah-belah umat sebagaimana disinyalir oleh Rasulullah Saw. menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu.[2]
Golongan yang satu inilah yang selalu berada di atas kebenaran, setiap waktu dan setiap tempat membuat prinsip-prinsip amaliah untuk mengendalikan langkah dan mengarahkan perjalanan, serta memutuskan berdasar Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya Saw. Hal ini terepresantasikan pada para mujtahidin yang telah Rasulullah sebutkan dalam sabdanya, Sesungguhnya Allah benar-benar akan mengutus di awal tiap-tiap abad orang yang memperbarui untuk umat ini urusan agamnya.[3]
Oleh karena itu, pada setiap abada ada seorang mujtahid yang meletakkan dasar-dasr pemahaman amal islami dan dakwah di masa hidupnya. Di tangannya, tewujudlah banyak kebaikan bagi umat Islam, yang paling menonjol adalah mendekatkan pemahaman, menyatukan perjuangan, dan menyatukan pemikiran agar semua pihak mengarah pada satu hal penting yang diserang oleh musuhnya, sehingga mereka pun selamat dari berbagai ancaman lain yang menimpa mereka selama ini.
[1] Shahih Bukhari 3/241 dan Shahih Muslim 3/1344 dengan lafadz Muslim.
[2] Lihat Jami’ul Usul 10/33. Al Mahsyi mengatakan bahwa diriwayatkan oleh Abu Daud no.4596 tentang Sunnah dan Turmudzi no.242 tentang Iman. Turmudzi mengatakan, “Hadits Abu Hurairah ini hasan shahih.”
[3] Diriwayatkan oleh Abu Daud, Hakim, dan Baihaqi tentang makrifat dari Abu Hurairah r.a. Imam Suyuthi memberikan predikat sahhih dalam Jami’nya. Al Jami’ Ash Shaghir, 72
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-29 Taqiyah dalam Agama Syi’ah
Permasalahan Taqiyah
Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyah.[1] Taqiyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.
Di antaranya hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya: “At Taqiyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyah jilid: 2 hal: 219).
Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat: “Bertaqiyah wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan shalat.”
Ia juga berkata: “Bertaqiyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At Taqiyah, terbitan Iran tahun: 1374 H).
[1] At Taqiyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India).
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-29 Mengharamkan yang Halal dan Menghalalkan yang Haram Sama dengan Syirik
Kalau Islam mencela sikap orang-orang yang suka menentukan haram dan halal itu semua, maka dia juga telah memberikan suatu kekhususan kepada mereka yang suka mengharamkan itu dengan suatu beban yang sangat berat, karena memandang, bahwa hal ini akan merupakan suatu pengungkungan dan penyempitan bagi manusia terhadap sesuatu yang sebenarnya oleh Allah diberi keleluasaan. Di samping hal tersebut memang karena ada beberapa pengaruh yang ditimbulkan oleh sebagian ahli agama yang berlebihan.
Nabi Muhammad sendiri telah berusaha untuk memberantas perasaan berlebihan ini dengan segala senjata yang mungkin. Di antaranya ialah dengan mencela dan melaknat orang-orang yang suka berlebih-lebihan tersebut, yaitu sebagaimana sabdanya:
“Ingatlah! Mudah-mudahan binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan itu.” (3 kali). (Riwayat Muslim dan lain-lain)
Dan tentang sifat risalahnya itu beliau tegaskan:
“Saya diutus dengan membawa suatu agama yang toleran.” (Riwayat Ahmad)
Yakni suatu agama yang teguh dalam beraqidah dan tauhid, serta toleran (lapang) dalam hal pekerjaan dan perundang-undangan. Lawan daripada dua sifat ini ialah syirik dan mengharamkan yang halal. Kedua sifat yang akhir ini oleh Rasulullah s.a.w. dalam Hadits Qudsinya dikatakan, firman Allah:
“Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya.” (Riwayat Muslim)
Oleh karena itu, mengharamkan sesuatu yang halal dapat dipersamakan dengan syirik. Dan justru itu pula Al Quran menentang keras terhadap sikap orang-orang musyrik Arab terhadap sekutu-sekutu dan berhala mereka, dan tentang sikap mereka yang berani mengharamkan atas diri mereka terhadap makanan dan binatang yang baik-baik, padahal Allah tidak mengizinkannya. Diantaranya mereka telah mengharamkan bahirah (unta betina yang sudah melahirkan anak kelima), saibah (unta betina yang dinazarkan untuk berhala), washilah (kambing yang telah beranak tujuh) dan ham (Unta yang sudah membuntingi sepuluh kali; untuk ini dikhususkan buat berhala).
Orang-orang Arab di zaman Jahiliah beranggapan, kalau seekor unta betina beranak sudah lima kali sedang anak yang kelima itu jantan, maka unta tersebut kemudian telinganya dibelah dan tidak boleh dinaiki. Mereka peruntukkan buat berhalanya. Karena itu tidak dipotong, tidak dibebani muatan dan tidak dipakai untuk menarik air. Mereka namakan unta tersebut al-Bahirah yakni unta yang dibelah telinganya.
Dan kalau ada seseorang datang dari bepergian, atau sembuh dari sakit dan sebagainya dia juga memberikan tanda kepada seekor untanya persis seperti apa yang diperbuat terhadap bahirah itu. Unta tersebut mereka namakan saibah.
Kemudian kalau ada seekor kambing melahirkan anak betina, maka anaknya itu untuk yang mempunyai; tetapi kalau anaknya itu jantan, diperuntukkan buat berhalanya. Dan jika melahirkan anak jantan dan betina, maka mereka katakan: Dia telah sampai kepada saudaranya; oleh karena itu yang jantan tidak disembelih karena diperuntukkan buat berhalanya. Kambing seperti ini disebut washilah.
Dan jika seekor binatang telah membuntingi anak-anaknya, maka mereka katakan: Dia sudah dapat melindungi punggungnya. Yakni binatang tersebut tidak dinaiki, tidak dibebani muatan dan sebagainya. Binatang seperti ini disebut Al Haami.
Penafsiran dan penjelasan terhadap keempat macam binatang ini banyak sekali, juga berkisar dalam masalah tersebut
Al Quran bersikap keras terhadap sikap pengharaman ini, dan tidak menganggap sebagai suatu alasan karena taqlid kepada nenek-moyangnya dalam kesesatan ini. Firman Allah:
“Allah tidak menjadikan (mengharamkan) bahirah, saibah, washilah dan ham, tetapi orang-orang kafirlah yang berbuat dusta atas (nama) Allah, dan kebanyakan mereka itu tidak mau berfikir. Dan apabila dikatakan kepada mereka: Mari kepada apa yang telah diturunkan Allah dan kepada Rasul, maka mereka menjawab: Kami cukup menirukan apa yang kami jumpai pada nenek-nenek moyang kami; apakah (mereka tetap akan mengikutinya) sekalipun nenek-nenek moyangnya itu tidak berpengetahuan sedikitpun dan tidak terpimpin?” (Al Maidah : 103-104)
Dalam surah Al An’am ada semacam munaqasyah (diskusi) mendetail terhadap prasangka mereka yang telah mengharamkan beberapa binatang, seperti: unta, sapi, kambing biri-biri dan kambing kacangan.
Al Quran membawakan diskusi tersebut dengan suatu gaya bahasa yang cukup dapat mematikan, akan tetapi dapat membangkitkan juga.
Kata Al Quran:
“Ada delapan macam binatang; dari kambing biri-biri ada dua, dan dari kambing kacangan ada dua pula; katakanlah (Muhammad): Apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, atau kedua-duanya yang betina ataukah semua yang dikandung dalam kandungan yang betina kedua-duanya? (Cobalah) beri penjelasan aku dengan suatu dalil, jika kamu orang-orang yang benar! Begitu juga dari unta ada dua macam,- dan dari sapi ada dua macam juga; katakanlah (Muhammad!) apakah kedua-duanya yang jantan itu yang diharamkan, ataukah kedua-duanya yang betina?” (Al An’am: 143-144)
Di surah Al A’raf pun ada juga munaqasyah tersebut dengan suatu penegasan keingkaran Allah terhadap orang-orang yang suka mengharamkan dengan semaunya sendiri itu; di samping Allah menjelaskan juga beberapa pokok binatang yang diharamkan untuk selamanya. Ayat itu berbunyi sebagai berikut:
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (Al A’raf: 32-33)
Seluruh munaqasyah ini terdapat pada surah-surah Makiyyah yang diturunkan demi mengkukuhkan aqidah dan tauhid serta ketentuan di akhirat kelak. Ini membuktikan, bahwa persoalan tersebut, dalam pandangan al-Quran, bukan termasuk dalam kategori cabang atau bagian, tetapi termasuk masalah-masalah pokok dan kulli.
Di Madinah timbul di kalangan pribadi-pribadi kaum muslimin ada orang-orang yang cenderung untuk berbuat keterlaluan, melebih-lebihkan dan mengharamkan dirinya dalam hal-hal yang baik. Untuk itulah maka Allah menurunkan ayat-ayat muhkamah (hukum) untuk menegakkan mereka dalam batas-batas ketentuan Allah dan mengernbalikan mereka ke jalan yang lempang.
Di antara ayat-ayat itu berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman: Janganlah kamu mengharamkan yang baik-baik (dari) apa yang Allah telah halalkan buat kamu, dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang suka melewati batas. Dan makanlah sebagian rezeki yang Allah berikan kepadamu dengan halal dan baik, dan takutlah kamu kepada Allah zat yang kamu beriman dengannya.” (Al Maidah: 87-88)
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-29 20 Tips Mengatur Diri Sendiri
1. Tunaikanlah hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mohonlah pertolongan kepada-Nya dalam setiap permasalahan hidup yang menimpa diri Anda.
“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mahan per-talangan.” (Al Fatihah ayat 5).
Apabila manusia mau memperbaiki hubungannya dengan Tuhannya, maka Allah akan memberikan kebaikan dalam setiap permasalahan hidupnya. Apabila manusia mau mengingat Tuhannya ketika dalam keadaan senang, maka Allah akan mengingatnya pada waktu dia susah. “Ingatlah Allah maka Dia akan mengingatmu.” Orang yang mengabaikan dan tidak memenuhi hak-hak Tuhannya maka ia akan lebih mengabaikan hal-hal lainnya.
“Mereka melupakan Allah laiu Allah pun melupakan mereka.”
Ada orang yang mengatakan: “Dalam hati ada sesuatu yang sifatnya tidak teratur, dan ketidakteraturan itu tidak dapat disatukan kecuali dengan meng-hadap kepada Allah. Dalam hati ada suatu kesedihan yang tidak bisa di-hilangkan kecuali dengan cinta kepada Allah. Di dalam hati ada kesedihan yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan senang karena mengetahui Allah dan bermu’amalah (interaksi) dengan-Nya dengan ikhlas.
Dalam hati terdapat kegelisahan yang tidak dapat ditenangkan kecuali dengan segera lari menghadap kepada-Nya. Dalam hati terdapat suatu kebutuhan yang tidak dapat ditutup kecuali dengan cinta kepada Allah, taubat kepada-Nya, selalu mengingat-Nya, dan memurnikan ibadah dengan sebenar-benamya kepada-Nya. Walaupun dunia dan seluruh isinya diberikan kepadanya, hal itu tidak akan dapat menutup kebutuhan tersebut selamanya.”
Jadilah Anda orang yang selalu bersama Allah, maka Allah akan selalu bersama Anda, dan ketika itu Allah tidak akan menggagalkan usaha Anda. Insya Allah.
2. Penuhilah pikiran Anda dengan ke-optimisan dan mengharap kesuksesan dengan seizin Allah. Selalulah merasa gembira dan dapat menguasai pikiran dan perasaan Anda. “Berialah kabar gembira dan janganlah membuat mereka lari dan jera.”
3. Biasakan diri membuat tujuan yang tinggi dan jelas pada setiap aktifitas.
4. Usahakan untuk selalu membuat rencana dalam segala macam permasalahan hidup, dan sebisa mungkin jauhilah terjadinya kekacauan dan langkah tanpa rencana dalam setiap pekerjaan. Susunlah usaha Anda dengan teratur dan arahkan pada tujuan yang jelas dan tertentu. Hindarilah kekacauan dalam menempuh perjalanan menggapai tujuan.
5. Usahakan agar rencana-rencana untuk mencapai tujuan itu berupa aktifitas yang dapat diraba (dapat dilakukan) dan jelas. Hindari perilaku menunda-nunda pekerjaan dan berbuat yang tidak benar.
6. Waspadalah agar waktu Anda tidak terbuang percuma tanpa suatu aktifitas, karena berarti Anda kehilangan hidup. Berusahalah setiap hari untuk terus maju menuju tujuan-tujuan Anda, walaupun hanya satu langkah saja. Barangsiapa yang berjalan pada jalannya maka ia akan sampai.
7. Aturlah segala urusan Anda, dengan cara menulis janji-janji Anda, selalu menepatinya dan terbiasa menjaganya. Demikian juga dalam mengatur dan menata segala hal yang ada di rumah, di kantor, di mobil dan lainnya dengan cara yang sama agar mempermudah Anda dalam berinteraksi dengannya.
8. Lawanlah bila nafsu berusaha untuk memalingkan diri Anda dari pekerjaan yang baik dan penting pada kesenangan dan terus menerus bermain.
9. Jangan lupa memperhatikan pekerjaan pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu. Oleh karena itu, janganlah membuang waktu untuk sesuatu yang tidak berguna, tetapi dahulukan pekerjaan yang lebih penting lalu kerjakan yang di bawahnya.
10. Tumbuhkan prinsip segera dan bergegas melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Sesuatu yang telah lewat selamanya tidak akan kembali lagi. Kehidupan ini adalah perlombaan dan waktunya sangat pendek bila Anda pergunakan untuk menunggu, menangguhkan atau menunda-nunda sesuatu.
11. Bila Anda melihat ada kebiasaan buruk dan dapat memalingkan Anda untuk terus maju mencapai tujuan, obatilah kebiasaan itu dan gantilah dengan yang lebih baik. Jangan memiliki kebiasaan yang dapat menguasai diri Anda kecuali kebiasaan yang benar dan bermanfaat. Kebiasaan adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa mengerahkan pikiran dengan sungguh sungguh atau upaya fisik. Kebiasaan dapat diusahakan, dan karena itu memiliki kemungkinan untuk diubah dan diganti bila diperlukan, walaupun pada awalnya terasa sulit. Barangsiapa yang membiasakan diri berbuat kebaikan, beraktifitas dan berproduksi maka ia akan terbiasa dengannya. Barangsiapa yang membiasakan diri berbuat ke-rusakan di muka bumi, berbuat yang tidak baik dan bermalas-malasan maka ia akan terbiasa dengan hal tersebut.
12. Jadikanlah nilai-nilai dan dasar-dasar keyakinan di atas segala tawaran, dan jadikan sebagai petunjuk pada setiap kegiatan hidup Anda. Bila tidak demikian, kita berlindung kepada Allah-maka Anda adalah orang pertama yang mengejek diri Anda sendiri walaupun orang lain menghormati dan menyanjung diri Anda.
13. Biasakan diri Anda untuk selalu mencari kebenaran. Hindarilah kemunafikan dalam segala bentuk dan rupanya. Berbicaralah dengan kalimat yang terang, dengan penuh sopan santun, lembut dan jujur. Tumbuhkan kemampuan untuk memutuskan sesuatu ketika jalan terpecah menjadi dua antara kebenaran dan kebatilan.
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar ayat 10).
15. Janganlah kepribadian Anda seperti kaca transparan, yang mudah sekah tersingkap sesuatu di baliknya dan diketahui hakikatnya oleh orang yang hanya lewat jalan. Dalam kehidupan ini banyak orang yang ingin ikut campur masalah orang lain dan datang dalam permasalahan tersebut tanpa diundang, bahkan ada yang lebih buruk lagi. Oleh karena itu buatlah pintu yang kuat dan penjaga yang dapat dipercaya yang dapat dijadikan temp at berkonsultasi dalam segala permasalahan Anda, yang dapat dibuka pada waktu yang tepat sesuai kebutuhan untuk orang yang memang ahli dalam masalah tersebut, dan dapat ditutup ketika perlu ditutup.
Perlu ada latihan untuk menjaga perasaan diri dan tidak mudah lepas menampakkan sesuatu bila hal tersebut tidak baik. Anda bisa menjaganya dengan ketenangan Anda, dan mengikat hati ketika berhadapan dengan sikap yang dapat mengobarkan dan menggerakkannya. Pilihlah kalimat-kalimat dalam berbicara dengan meminta pertolongan pada ketenangan dan ikatan hati tersebut. Ringkasnya, hendaknya ungkapan kata-kata Anda tidak menampakkan kobaran hati Anda.
16. Jadikan Nabi Muhammad saw. sebagai teladan dan contoh yang paling tinggi, sebab beliau adalah orang yang telah sampai pada derajat manusia paling sempuma. Bila Anda mencari pemecahan masalah kehidupan sehari-hari Anda, Anda dapat mencarinya dalam sejarah perjalanan Nabi Muhammad saw. yang cemerlang. Hal ini menuntut Anda untuk selalu mempelajari dan mengkaji per-jalanan hidup beliau.
17. Persenjatai selalu diri Anda dengan semangat humor dan keceriaan, tetapi jangan terlalu tenggelam dan berlebih-lebihan. Bila permasalahan Anda telah gelap gulita, tersenyumlah kepadanya: karena bersedih dan mengerutkan dahl dapat menghancurkan jiwa, meletih-kan tubuh dan mengacaukan pikiran.
18. Hindarilah hayalan-hayalan dan angan angan yang tidak terkendali dan melayang-layang ke langit, juga hendanlah pesimistis yang melampaui batas yang dapat menghancurkan cita-cita. Jadilah orang yang berada di tengah tengah antara dua hal tersebut, gabungkan antara hayalan dan kenyataan.
Kekanglah lompatan hati dengan pan-dangan akal. Nyalakan cahaya akal dengan lidah api hati. Biasakan agar hayalan-hayalan itu sesuai dengan hakikat dan realita, dan ungkaplah hakikat dengan berdasar hayalan-hayalan yang elok dan berkilau.
19. Jangan tenggelam pada hal-hal yang sifatnya pelengkap (sekunder atau lux), sebab bisa-bisa Anda akan hancur dalam kemewahan. Akan tetapi, berbekallah dengan perhiasan yang mencukupi perjalanan Anda menuju tujuan. Jangan memberi beban yang terlalu berat pada bahu Anda. “Jangan hidup terlalu mewah, sesungguhnya kenikmatan itu tidak akan kekal.” Orang yang menjadi tawanan kesenangan (syahwat) dan kenikmatan maka ia akan kesulitan meninggalkannya, lalu ia akan menjadi lembek dan lemah.
20. Terakhir, ketahuilah bahwa setiap manusia memiliki kekurangan (kelemahan) dan kelebihan (kekuatan). Setiap orang adalah yang lebih mengetahui hakikat dirinya, selama ia tidak sombong atau bersikap bodoh. Orang yang berakal dan diberi petunjuk adalah orang yang mengarahkan hidup, pekerjaan dan spesialisasinya pada sesuatu yang memiliki kekuatan pad a dirinya, dan ia akan menjauhkan diri dan hidupnya dari titik-titik kelemahan.
Banyak sekali mutiara yang menyilaukan pandangan dengan cahaya yang jernih dan cantik, tapi ia merendahkan diri dengan bertempat di gua-gua di dasar lautan yang gelap. Banyak sekali bunga yang setia menempel pada batangnya di padang pasir, menebarkan bau harumnya bersama dengan bertebarannya debu di padang sahara. Seandainya kedua hal tersebut ditemukan dan diketahui orang, maka keadaan mereka berdua akan lain sekali.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-30 Saya Harus Mengislamkan Akidah Saya
Bagian pertama buku yang berjudul Apa Artinya Saya Mengaku Muslim ini memaparkan karakteristik terpenting yang harus ada pada diri seseorang agar ia menjadi Muslim sejati.
Pengakuan sebagai Muslim bukanlah klaim terhadap pewarisan, bukan klaim terhadap suatu identitas, juga bukan klaim terhadap suatu penampilan lahir, melainkan pengakuan untuk menjadi penganut Islam, berkomitmen kepada Islam, dan beradaptasi dengan Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Berikut ini akan kami jelaskan secara ringkas karakteristik paling menonjol yang harus ada pada diri seorang muslim agar pengakuannya sebagaimana penganut agama ini merupakan pengakuan yang benar dan jujur.
Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. (Al-Haj: 78)
Adapun karakteristik yang harus dimiliki agar menjadi seorang Muslim sejati adalah sebagai berikut.
Pertama: Saya Harus Mengislamkan Akidah Saya
Syarat pertama pengakuan sebagai Muslim dan sebagai pemeluk agama ini adalah hendaknya akidah selaras dengan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Ia harus mengimani apa yang diimani oleh kaum Muslimin pertama, para salafusaleh, dan para imam yang telah diakui kebaikan, kesalehan, ketakwaan, dan pemahaman mereka yang lurus mengenai agama Allah Azza wa Jalla.
Untuk mengislamkan akidah saya, maka konsekuensinya adalah sebagai berikut :
- Saya harus meyakini bahwa pencipta ala mini adalah Allah Yang Hakim (Maha Bijaksana), Qadir (Maha Kuasa), Alim (Maha Tahu), dan Qayum (Selalu Mengurus Makhluknya) dengan bukti adanya keindahan, kesempurnaan, keserasian, dan ketergantungan sebagiannya kepada sebagian yang mustahil ia bisa bertahan dan terus ada yanpa dikendalikan oleh Tuhan Al-Aliy ) Yang Mahatinggi) dan Al-Qadir (Mahakuasa) ini.
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan. (Al Anbiya’: 22)
- Saya harus mengimani bahwa Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta) tidak menciptakan alam semesta ini secara sia-sia, karena tidak mungkin terjadi Dzat yang menyandang sifat kesempurnaan itu berbuat sia-sia dalam apa yang diciptakan-Nya. Namun, adalah mustahil untuk memahami kehendak Allah terhadap penciptaan ini secara perinci, kecuali melalui informasi dari Rasulullah Saw. dan wahyu.
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Mahatinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Tuhan (Yang memounyai) ‘Arsy yang mulia (Al-Mukminun: 115-116).
- Saya harus meyakini bahwa Allah Swt. Telah mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab untuk mengenalkan manusia kepada pengetahuan tentang Dia, tujuan penciptaan mereka, awal kejadian mereka, dan tempat kembali mereka. Yang terakhir diantara Rasul mulia tersebut adalah Muhammad Saw. yang telah dikuatkan oleh Allah Swt. dengan Al-Quranul Karim yang merupakan “Mukjizat Abadi”.
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul di tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghul itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. (an-Nahl: 36)
- Saya harus meyakini bahwa tujuan keberadaan manusia ini adalah mengenal Allah Swt. (sebagaimana yang telah Ia sifatkan bagi Diri-Nya), menaati-Nya, dan beribadah kepada-Nya.
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezki, Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kukuh. (Adz-Dzariat: 56-58)
- Saya harus meyakini bahwa balasan bagi orang mukmin yang taat adalah surge, sedangkan balasan bagi orang kafir yang bermaksiat adalah neraka.
Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka. (Asy-Syura: 7)
- Saya harus meyakini bahwa manusia melaksanakan kebajikan dan kejahatan dengan ikhtiar dan kehendaknya, akan tetapi ia tidak bisa melaksanakan kebaikan kecuali dengan taufik dan pertolongan Allah. Ia tidak melaksanakan kejahatan semata-mata karena paksaan dari Allah, akan tetapi dalam kerangka izin dan kehendak-Nya.
Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy-Syams: 7-10)
- Saya harus meyakini bahwa menetapkan syariat merupakan hak Allah yang tidak boleh dilanggar. Seorang ulama Muslim boleh beritjihad dalam menyimpulkan hokum dalam kerangka apa yang disyariatkan oleh Allah.
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakal dan kepada-Nya-lah aku kembali. (Asy-Syura: 10)
- Saya harus mengetahui nama-nama dan sifat-sifat Allah yang selaras dengan keagungan-Nya. Diriwayatkan dari Abu Huraira r.a. yang berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama –seratus kurang satu- tidak seorangpun menghafalnya kecuali ia masuk surge. Dia witir dan mencintai apa yang witir (ganjil) (HR. Bukhari Muslim)
- Saya harus bertafakur (merenungkan) mengenai ciptaan Allah, bukan mengenai Dzat-Nya, sebagai pelaksanaan sabda Rasulullah Saw.
Berpikirlah tentang ciptaan Allah, tetapi jangan berpikir tentang Allah, karena kalian tidak mungkin mengenal dengan sebenar-benar pengetahuan mengenai-Nya. (HR Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dan Al Ashbahani dalam At Targhib wa At Tarhib)
- Sifat-sifat Allah Swt. telah banyak diisyaratkan oleh ayat Alquranul Karim dan merupakan sifat yang dituntut oleh kesempurnaan uluhiyah (ketuhanan). Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan sifat Baqa’ (Kekal) dan Qadim (Terdahulu) bagi Allah Swt. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa Allah berbeda dari semua huwadits (makhluk-makhluk-Nya). Ada ayat yang mengisyaratkan kemahasucian-Nya dari anak, bapak, serupaan, dan setaraan. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan sifat Qayum (selalu mengurusi makhluk) Allah Swt. serta tidak perlunya Ia kepada makhluk-Nya, sedangkan mereka membutuhkan-Nya. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan keesaan Allah dalam Dzat, sifat-sifat, perbuatan-perbuatan, dan tindakan-tindakan-Nya. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan qudrah (kekuasaan) dan keagungan Allah. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan keluasan ilmu Allah Swt. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan tentang kehendak Allah dan bahwa kehendak ini di atas semua kehendak. Ada ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa Allah bersifat Mahahidup. Ada pula ayat-ayat yang mengisyaratkan bahwa sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan Allah Swt. tidak terbatas, dan subtansinya tidak bisa dipahami oleh akal manusia. Mahasuci Allah, kita tidak bisa menghitung pujian untuk-Nya seperti pujian yang Ia tujukan untuk diri-Nya sendiri. (Al-‘Aqaid, tulisan Al Imam Asy-Syahid (Hasan Al Banna) dan Al Qadhaya Al-Kuliyah lil I’tiqad, tulisan Abdul Khaliq.)Saya harus meyakini bahwa pendapat para salaf lebih utama untuk diikuti, khususnya dalam persoalan takwil dan ta’thil, serta menyerahkan pengetahuan mengenai makna-makna ini kepada Allah Swt. Juga bahwa berbagai takwil yang dikemukakan oleh orang-orang belakangan (khalaf) tidak harus dijatuhkannya vonis kafir atau fasik bagi mereka, dan tidak perlu menjadikan perselisihan panjang antara satu pihak dengan pihak lainnya sebagaimana terjadi pada masa dahulu maupun sekarang.
- Saya harus beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sebagai bentuk sambutan kita terhadap seruan Allah untuk mengikuti risalah dan para rasul, yang menyerukan untuk beribadah hanya kepada-Nya dan tidak tunduk kepada selain-Nya.
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu.” (An-Nahl: 36)
- Saya takut kepada-Nya dan tidak takut kepada selain-Nya. Rasa takutku kepada-Nya harus mendorongku untuk menjauhi apa yang dimurkai serta diharamkan-Nya.
Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan. (An-Nur: 52)
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya, yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar (Al-Mulk: 12)
- Saya harus mengingat-Nya dan senantiasa mengingat-Nya. Diamku harus merupakan kegiatan berpikir dan bicaraku merupalan zikir.Dzikrullah Swt. merupakan penawaran jiwa yang paling kuatdan merupakan senjata yang paling tajam dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, kesusahan-kesusahan hidup, dan bencana-bencananya. Inilah yang dibutuhkan oleh semua manusia pada hari ini, Mahabenar Allah yang telah berfirman,
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram. (Ar Ra’ad: 28)
Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapatkan petunjuk. (Az Zukhruf: 36-37)
Dr. Brill telah mengakui hal itu, ketika ia mengatakan, “Seorang agamis sejati tidak akan pernah menderita sakit jiwa sama sekali.” Dale Carnegie, seorang psikolog, mengatakan, “Para dokter jiwa mengetahui bahwa keimanannyang kuat dan keteguhan memegang ajaran agama memberikan jaminan untuk mengatasi kerisauan dan kegelisahan serta menyembuhkan berbagai macam penyakit.”
- Saya harus mencintai Allah dengan kecintaan yang menjadikan hatiku senantiasa merindukan keagungan-Nya, tertambat kepada-Nya, sehingga mendorongku untuk senantiasa menambah kebaikan, berkorban, dan berjihad di jalan-Nya selama-lamanya. Cinta saya tidak boleh dihalangi oleh kecintaan kepada kekayaan dunia atau keluarga, sebagai pelaksanaan dari firman-Nya,
Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (At-Taubah: 24)
Juga karena saya sangat ingin memperoleh manisnya iman yang telah diisyaratkan oleh “Rasul Agung Saw.” dengan sabda beliau,
Ada tiga hal, siapa yang pada dirinya ada ketiga hal itu maka ia pasti mendapatkan kemanisan iman: hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang lain; hendaklah ia mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaklah ia membenci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana ia tidak suka untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
- Saya harus bertawakal kepada Allah dalam segala keadaan dan menggantungkan diri kepada-Nya dalam segala urusan.
Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. (Ath-Thalaq: 3)
Ia juga merupakan salah satu hal paling indah yang telah dipesan oleh Rasul Saw. kepada kita,
Jagalah Allah, niscaya Ia menjagamu; jagalah Allah, niscaya kamu mendapati-Nya di hadapanmu; jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah; dan jika kamu meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis Allah untukmu; dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan suatu mudarat kepadamu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan mudarat apapun kepadamu kecuali dengan apa yang telah ditulis Allah akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering. (HR. Tirmidzi)
- Saya harus bersyukur kepada Allah Swt. atas segala nikmat-Nya yang tak terhingga serta segala karunia dan rahmat-Nya yang tak terhitung. Syukur adalah salah satu sifat santun seseorang kepada Tuhan yang telah memberikan nikmat, kebaikan, dan karunia.
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia member kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. (An-Nahl: 78)
Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan darinya biji-bijian, maka darinya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air. Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? (Yasin: 34-35)
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang bersyukur untuk memberikan tambahan nikmat, sebagaimana Ia telah mengancam orang-orang ingkar untuk memberikan tambahan kerugian.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
- Saya harus beristigfar memohon ampunan Allah dan senantiasa beristigfar. Istigfar merupakan kafarah (hal yang menghapus dosa), memperbarui tobat dan iman, dan menumbuhkan perasaan tenang dan tenteram.
Dan barang siapa mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa’: 110)
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya dirinya sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka. (Ali Imran: 135-136)
- Saya harus menyadari muraqabah (pengawasan) Allah Swt. baik dalam keadaan sendiri maupun berada di tengah-tengah manusia, dengan senantiasa mengingat firman Allah Swt.
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempat. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenanm. Dan tiadan(pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al Mujadilah: 7)
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-30 Pengantar Fikih Sunnah Edisi Terjemah
Bismillahir rahmaanir rahiim. Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Fiqih adalah sekumpulan hukum yang dipahami dari dalil-dalil. Adalah hak kita untuk selalu bertanya apa dalil yang melandasi suatu kesimpulan fiqih. Memahami masalah fiqih dengan mengetahui dalil yang menjadi landasannya menjadikan kita tenang dalam beragama, terutama dalam beribadah. Kita lebih merasa mengikuti petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Buku Fiqih Sunah yang dikarang pada tahun 1356 H atau 1946 M merupakan buku fiqih sederhana yang memakai metode “Fiqih dalil”. Setiap permasalahan fiqih akan disertai dalil baik dari Al Qur’an, As Sunnah, Al Ijma’ atau dalil-dalil fiqih yang lain seperti Al Qiyas, Qaul Shahabi dan lainnya.
Walaupun sederhana buku ini mencakup berbagai masalah fiqih yang biasa kita hadapi dalam keseharian. Mungkin tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa dengan membaca buku Fiqih Sunah kebutuhan kita tentang fiqih sudah terpenuhi.
Di samping itu, masalah-masalah fiqih dalam buku ini dipaparkan dengan gaya bahasa yang mudah dicerna dan lengkap. Lebih dari itu, sang penulis berusaha untuk tidak mengangkat perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama. Namun, jika situasi mengharuskan, maka Sayyid Sabiq mengemukakannya dengan sekilas.
Fiqih Sunah diterbitkan judul perjudul, tidak diterbitkan dalam bentuk buku tiga jilid sekaligus. Sejak mulai diterbitkan, buku ini tidak mengalami revisi. Sayyid sabiq meninggal tanggal 23 Zulqa’dah 1420 H atau 27 Februari 2000 M tidak pernah menarik pendapat-pendapatnya dalam buku ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang Fiqih Sunah tidak menemukan dalil yang mengharuskan beliau untuk menarik pendapatnya dan menggantikannya.
Sambutan masyarakat Indonesia terhadap buku ini sangat mengembirakan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya usaha penerjemahan yang dilakukan oleh berbagai penerbit yang berbeda-beda dengan tim penerjemah yang berbeda pula.
Perhatian ulama terhadap buku ini cukup besar. Beberapa kritik pun dilontarkan. Di antara kritik terhadap buku ini adalah “buku ini tidak bermadzhab.” Namun, sesungguhnya, buku ini tidak bisa dikatakan tidak bermadzhab karena buku ini tidak menyerang mazhab dan tidak menyatakan setuju dengan mazhab.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, seorang Muhaddits yang terkenal, mengkritik buku ini dengan mengarang buku dengan judul Tamamul Minnah bit Ta’liq Ala Fiqhis Sunnah. Inti dari kritikan beliau tercakup dalam dua hal:
Pertama, berkenaan dengan hadits yang ia pakai berasal dari buku para ulama terdahulu. Ia tidak berusaha untuk men-tahqiq dan memilahnya karena berprinsip pada kaidah “Setiap ilmu yang diambil dari ahlinya bisa diterima”. Syaikh Al Albani berbeda pendapat dengan Syaikh Sayyid Sabiq dalam hadits tentang kewajiban zakat perdagangan. Menurut Syaikh Al Albani hadits tersebut dhaif.
Kedua, perbedaan sumber fiqih antara keduanya. Syaikh Al Albani cenderung mengikuti makna tersurat (zhahiru an nash) dari teks hukum, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq lebih dekat pada maqashid nash (tujuan makna nash -red). Syaikh Al Albani tidak segan berbeda pendapat dengan jumhur ulama terdahulu, seperti dalam pengharaman emas bagi wanita, sedangkan Syaikh Sayyid Sabiq biasanya menghormati pendapat jumhur ulama.
Berbeda pendapat dalam fiqih suatu hal yang wajar. Mengumpulkan umat dalam satu fiqih merupakan suatu hal yang mustahil. Solusi dari ini semua adalah saling menghormati dalam hal perbedaan pendapat dalam fiqih selama ada dalil yang dipegang. Imam Malik beberapa abad yang lalu sudah memahami hal ini. Beliau pernah menolak keinginan Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memaksa umat untuk berpegang pada satu madzhab, menghapus madzhab fiqih yang lain dan menjadikan mazhab Malik dan kitab Al Muwaththa’ sebagai satu-satunya madzhab dan satu-satunya kitab fiqih.
Hal ini disebabkan karena ruang lingkup fiqih adalah masalah-masalah ijtihad. Tidak ada kepastian kebenaran dalam masalah-masalah ijtihad. Ijtihad seorang mujtahid bukanlah suatu kebenaran (al haq) yang mutlak. Oleh karena itu, dalam wacana ijtihad yang dipakai bukan kalimat al haq dan al bathil. Namun ash shawab dan al khata’.
“Seorang Hakim apabila menghukumi sesuatu dan berijtihad kemudian tepat, maka ia mendapatkan dua pahala, kalau salah mendapat satu pahala.” (Sunan At Tirmidzi)
Ash shawab mengandung makna tepat sasaran. Sasaran yang dimaksud adalah sesuai dengan yang Allah inginkan, sedangkan al khata’ tidak mengenai sasaran.
Para Imam Al Mujtahidin menolak kalau pendapat mereka adalah al haq yang sudah pasti, Imam Abu Hanifah pernah ditanya, “Apakah hasil ijtihadmu ini sebuah kebenaran yang sudah pasti dan tidak ada keraguan di dalamnya?”
Al Imam Al Mukhlis menjawab, “Saya tidak tahu, mungkin saja kebatilan yang tidak diragukan lagi.”
Secara jujur kita mengatakan bahwa buku Fiqih Sunnah bukanlah buku fiqih yang paling benar. Mungkin saja terdapat kekeliruan di dalamnya. Apabila kita mendapatkan dalil yang lebih kuat atau mendapatkan hadits yang dipakai lemah, maka kita berhak untuk tidak mengambil pendapat tersebut. Sebab, niat syiar kita dalam fiqih adalah
“Hai orang-orang yg beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama.”
(An Nisa’ : 59)
Wallahu ‘Alam.
DR. Mohamad Taufik Hulaimi, M.A. M.Ed.
sumber: hasanalbanna.id
2012-01-30 Celaan Terhadap Al Quran
Sampai pun Al Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thabarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhawi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhawi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Makna judul buku ini: “Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja” -pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.
Buku karya At Thabarsi ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.
Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”, pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:
يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى ال (*) صراط المستقيم …إلخ
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst.”[2]
Demikianlah surat Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah “Al Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama’ah- adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.
Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udi -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Abduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thabarsi dalam bukunya: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al Mashahif” (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.
Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shahih Bukhari” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:
“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”
Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ).
Teks Lengkap Surat Al Wilayah
Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:
يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم #
نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم
جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في
جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما
خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك
وعلي من الشاهدين#
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
Al Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thabarsi untuk menuliskan bukunya yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”[3]
Apapun perihalnya, bukan hanya An Nuri At Thabarsi pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun Najasi pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya”, dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasi hal: 284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”, dan ia juga dipuji oleh sayid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus Syi’ah” jilid 1/237, dan juga Al Kasy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.
Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?
Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thabarsi dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.
Dengan demikian, ada dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!!”
Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:
وجعلنا عليا صهرك
“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”
Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat Alam Nasyrah. Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat ح Alam Nasyrah adalah surat Makkiyah (Surat Makkiyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam masih berada di kota Makkah dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam kala itu ialah Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dari atas mimbar masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu ‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Thalib kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam . (Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada menantunya Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. -pent)
Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:
لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها
“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.” (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghabah 1/749 & 1458 -pent).
Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib At Thabarsi -salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj” menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:
“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)
Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik[4] telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?
Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.
Dan tatkala pertama kali buku “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab” terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam – sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul Jinan.”
Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shahih Bukhari menurut mereka, yaitu buku “Al Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Thalib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al Kafi” ini –yang kedudukannya bagaikan Shahih Bukhari menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.
Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir Al Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).
Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shadiq rahimahullah ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shahih Bukhari mereka “Al Kafi” hal: 57, edisi 1278 H Iran: “Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As Shadiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al Quran kalian.”
Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi’ah.
Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca “Al Fishal Fi Al Milal wa An Nihal” karya Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.
Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al Imamiyah Al Itsna ‘Asyariyah yang dikenal juga dengan Al Ja’fariyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam jejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu- merupakan pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para khalifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!
[2] Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
[3] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thahrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashanif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thabaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nuri At Thabarsy: “Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”
[4] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thabarsi dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini Anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thabarsi penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02
2012-02-01 Menumbuhkan Kemampuan Menguasai Masyarakat
Penguasaan masyarakat akan sangat tergantung pada tumbuhnya lima jenis kader dakwah sebagai berikut,
Pertama, al khatib al jamahiriy, tumbuhnya para khutaba yang bersemangat, yaitu mereka yang mampu menyampaikan pesan-pesan Islam dengan jelas dan terang, penuh gairah dan dinamika. Para khatib bersemangat muda yang menyampaikan hikmah (pengetahuan) orang-orang tua yang penuh pengalaman (hikmatus syuyukh fi hamasatus syabab). Bukan semangat orang tua dengan pengetahuan pemuda yang cetek.
Para khutaba ini hendaknya mampu melakukan tahridh (pengerahan massa) dan menumbuhkan tahmis (semangat) berdasarkan iman dan pengetahuan bukan emosi dan kebencian.
Kedua, al faqih asy sya’biy, orang-orang faqih di tengah masyarakat, yaitu para ulama yang takut pada Allah dan hidup di tengah-tengah masyarakat, memberikan bimbingan dan fatwa-fatwa yang lurus dan benar tentang masalah yang dihadapi masyarakat. Menjadi pendidik dan tempat bertanya yang tidak menimbulkan keraguan dan perpecahan. Selalu menghidupkan toleransi antar mazhab (fiqh) yang menjadi titik temu yang mempersatukan ummat. Dari itu ia senantiasa dicintai, didukung dan dibela oleh masyarakatnya. Khotib jamahiriy menjadi pendorong masyarakat ke jalan Alloh sedang faqih sya’biy membimbing masyarakat dalam jalan Alloh. Dia bukan faqih jetset yang memberi fatwa berdasarkan order, tetapi benar-benar menyuarakan pimpinan Allah dan RasulNya.
Ketiga, al amal atau at ta’awuni al khairiy, aktifitas kejama’ahan sosial. Tujuan utama dari aktifitas ini adalah memfungsikan masjid-masjid sesuai dengan bimbingan Rasululloh. Untuk itu harus dibuat kerjasama sosial dengan berbagai lapisan masyarakat untuk mendekatkan ummat pada masjid. Sasaran program ini adalah ta’zizud da’iyah, memperkuat para da’i sebagai pelopor di berbagai bidang. Para da’i kita hendaknya disokong sepenuhnya agar mampu menyantuni massa umat sehingga ia memiliki gengsi dan prestise yang tinggi yang membuat umat ikut pada arahannya. Biasanya masyarakat kita sangat patuh bila dakwah dimulai dengan santunan yang memperhatikan kebutuhan mereka.
Keempat, masyru’ al iqtishodis sya’biy, menumbuhkan ekonomi masyarakat kecil. Harakah dakwah harus turut meningkatkan taraf ekonomi umat Islam yang pada umumnya masih sangat lemah. Usaha-usaha ekonomi hendaknya usaha yang ringan, mudah dijangkau dan memasyarakat. Berbagai klub, perhimpunan atau organisasi ekonomi kecil perlu ditumbuhkan dan dibimbing oleh para da’i yang sekaligus menjadi pembimbing rohani mereka. Sasaran program ini adalah agar masyarakat pendukung da’wah dapat iktifa’ dzati (berdikari) di satu sisi dan di sisi lain bisa mengendalikan laju ekonomi secara keseluruhan.
Kelima, al i’lam as sya’biy, penerangan yang memasyarakat. Potensi i’lam hendaknya tumbuh dari orang-orang yang memahami aqidah, fikrah dan manhaj serta mundhabith (disiplin) kebijaksanaan jama’ah, agar pembentukan ra’yul ‘aam (opini umum) sesuai dengan rancangan da’wah. Sebab bidang ini merupakan titik rawan amni suatu gerakan da’wah. Pers yang ditumbuhkan dari dalam adalah pers yang murah dan mudah dibaca oleh masyarakat. Bukan penampilan elite yang membuat umat enggan membacanya atau menyedot potensi harakah dalam mengerjakannya. Yang penting bukan nama besar tetapi kemampuan menyebar dan meluas dengan cepat dalam berbagai bentuknya yang ringan; buletin, brosur, maklumat, majalah, koran dan aneka bentuk lainnya yang murah dan terjangkau, menyebar dari berbagai sumber dan dikerjakan cukup oleh setiap rumah tangga.
Selain itu perlu juga menyokong pers umat Islam yang telah ada agar memiliki ruh dan fikrah Islami. Para pakar jama’ah dakwah hendaknya menyumbangkan tulisan-tulisan bermutu pada pers yang dimiliki umat Islam. Bila perlu kita mampu menumbuhkan pers kaum muslimin menjadi pers harakah. Yaitu pers yang dikendalikan oleh personil harakah kita.
Dalam i’lam sya’bi perlu pula dimunculkan pendidikan Islam melalui radio-radio, televisi dan sebagainya. Tentu melalui thariqah yang mungkin bisa ditempuh dengan tidak meninggalkan unsur-unsur syar’i dalam penyajiannya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-01 Ath Thariqah Al Hashafiyah
Di sebuah masjid kecil saya melihat Al Ikhwan Al Hashafiyah (para pengikut tarekat Hashafiyah) melakukan dzikir setiap malam usai shalat ‘isya. Saya sendiri secara tekun menghadiri kajian Syaikh Zahran rahimahullah, antara maghrib dan isya’. Saya sungguh dibuat terpesona oleh halaqah dzikir dengan suaranya yang teratur, nasyid-nya yang bagus, dan semangat ruhiyah yang menggelora. Saya juga terpikat oleh toleransi dan sikap rendah hati orang-orang yang berdzikir, yang terdiri dari para sesepuh yang mulia dan para pemuda yang shalih. Mereka begitu toleran dan rendah hati menghadapi anak-anak kecil yang ikut meramaikan majelis mereka untuk berdzikir. Akhirnya, saya pun ikut bergabung bersama mereka. Hubungan saya dengan para pemuda Al Ikhwan Al Hashafiyah pun terjalin dengan eratnya.
Tiga dari kalangan senior mereka adalah Syaikh Syalbi Ar Rijal, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, dan Syaikh Sayyid Utsman. Sedangkan dari kalangan pemuda, yang kurang lebih seusia dengan saya, adalah Shawi Afandi Ash Shawi, Abdul Muta’al Afandi Sankal, Muhammad Afandi Ad Dimyati, dan lain-lain. Di arena yang penuh berkah inilah untuk pertama kali saya bertemu dengan Ustadz Ahmad As Sukri –dikemudian hari menjadi wakil ketua Ikhwanul Muslimin-. Pertemuan ini menggoreskan kenangan yang sangat dalam pada kehidupan kami berdua.
Sejak saat itu nama Syaikh Al Hashafi (pemimpin tarekat Al Hashafiyah) terus menggiang di telingaku. Beliau meninggalkan pengaruh yang demikian dalam pada jiwaku. Kerinduan untuk dapat melihat Syaikh, duduk mendampinginya, dan mengambil manfaat darinya, terus mewarnai pikiran saya dari waktu ke waktu. Saya mulai tekun mengamalkan wirid Al Wazhifah Az Zuruqiyah pada pagi dan sore hari. Yang lebih menambah ketakjuban saya, ternyata Ayah telah menulis komentar singkat dengan memaparkan argumentasi yang berdasarkan hadits-hadits shahih. Risalah ini dinamakan Tanwirul Af’idah Az Zakiyah bi Adillati Adzkar Az Zuruqiyah. Wazhifah (wirid) ini tidak lebih dari ayat-ayat Al Qur’an Al Karim dan hadits-hadits Nabi mengenai doa-doa pagi dan petang yang ditulis dalam kitab-kitab Sunah (buku-buku hadits). Tidak ada tambahan ucapan-ucapan asing sama sekali, tidak juga ungkapan filsafat, atau kata-kata yang mirip mantera. Semua berupa doa.
Ketika itu saya mendapatkan kitab Al Manhaj Ash Shafi fi Manaqib Hasanain Al Hashafi. Hasanain Al Hasyafi adalah syaikh pertama tarekat ini dan ayah dari syaikh tarekat yang sekarang, yaitu yang mulia Syaikh Abdul Wahhab Al Hashafi – semoga Allah berkenan memanjangkan umurnya dan menjadikannya bermanfaat-. Syaikh Hasanain Al Hashafi sudah meninggal dan saya belum pernah melihatnya. Beliau meninggal pada hari Kamis, 17 Jumadil Akhir 1382 H. Ketika itu saya baru berusia empat tahun. Saya tidak sempat berkumpul dengan beliau, karena beliau sering pergi ke berbagai daerah. Akhirnya saya hanya dapat mengenal beliau melalui buku tentang riwayat hidup beliau.
Saya pun menjadi tahu bahwa beliau adalah salah seorang ulama Azhari (alumni Al Azhar, pent) yang telah mendalami fiqih menurut Madzhab Al Imam Syafi’i serta mendalami ilmu – ilmu agama secara luas. Beliau menimba tarekat dari para syaikh di masa itu. Beliau adalah seorang yang sangat taat, selalu bersungguh-sungguh, serta tekun dalam ibadah dan dzikir. Sampai – sampai beliau menunaikan haji tidak hanya sekali, dan beliau menunaikan umroh setiap kali berhaji. Ini lebih sering beliau lakukan dari pada sekedar melakukan umroh saja. Orang-orang yang dekat dengan beliau berkomentar, “Kami tidak pernah melihat orang yang lebih kuat dalam menaati Allah, menunaikan kewajiban-kewajiban dan memelihara sunah-sunah melebihi beliau rahimahullah. Ini diistiqomahi oleh beliau hingga hari-hari akhir kehidupannya yang sudah cukup tua (lebih dari enam puluh lima tahun). Beliau menyeru kepada Allah dengan menggunakan cara ahli tarekat, tetapi tetap berada dalam ‘cahaya’ serta berdasarkan kaidah-kaidah yang benar dan lurus. Dakwah beliau dibangun di atas fondasi ilmu, ibadah, ketaatan, dan dzikir. Beliau memerangi berbagai bid’ah dan khurafat yang merajalela di tengah pengikut tarekat; membela Kitab dan Sunah dalam kondisi apapun; memelihara ilmu dan berbagai ta’wil yang merusak; beramar ma’ruf nahi mungkar; serta menyampaikan nasihat kapan dan di mana saja berada, sehingga beliau berhasil mengubah banyak hal yang diyakini bertentangan dengan Kitab dan Sunah, yang banyak dijadikan pegangan oleh syaikh pengikut beliau”.
Hal yang sangat melekat dalam jiwa saya dari riwayat hidup beliau adalah ketegasan beliau dalam beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam melaksanakan hal ini, beliau tidak pernah merasa takut terhadap celaan orang. Beliau tidak pernah meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun terhadap pembesar atau penguasa.
Sebagai salah satu contoh, beliau pernah mengunjungi Rayyadh Pasha yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri. Dalam waktu yang bersamaan salah seorang ulama juga mengunjungi Rayyadh Pasha. Ulama ini mengucapkan salam kepada Rayyadh Pasha dengan membungkukkan badan hingga hampir seperti ruku’. Melihat hal itu, Syaikh langsung berdiri dengan marah dan menampar pipinya serta membentak dengan keras,”Hai lelaki, berdiri kau! Ruku’ itu tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah. Jangan hinakan agama dan ilmu sehingga Allah nanti akan menghinakan kalian!” Ulama tersebut maupun Pasha tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak menghukumnya.
Saat itu pula, salah seorang bangsawan Pasha lainnya – yang juga seorang teman Rayyadh Pasha – datang berkunjung. Ia mengenakan cincin emas dan memegang tongkat yang pegangannya terbuat dari emas pula. Syaikh kemudian menoleh kepadanya seraya berkata, “Apa-apaan ini? Menggunakan emas untuk perhiasan seperti ini adalah haram bagi laki-laki, sekalipun ia halal bagi wanita. Berikan saja keduanya kepada istri-istrimu. Janganlah menyelisihi perintah Rasulullah saw.!” Ia hendak membantah, namun akhirnya Rayyadh Pasha melerai keduanya. Meski demikian Syaikh tetap berpendirian bahwa orang itu harus melepas pegangan tongkat dan cincin emas itu sehingga tidak ada lagi kemungkaran.
Suatu ketika beliau menghadiri pertemuan yang diadakan oleh Gubernur Taufiq Pasha bersama para ulama. Beliau mengucapkan salam kepada Gubernur dengan suara yang cukup dapat didengar, namun Gubernur hanya membalas dengan isyarat tangan saja. Maka beliau akhirnya dengan tegas mengatakan kepadanya, “Membalas salam itu paling tidak harus sama atau lebih baik lagi. Maka katakanlah,’Wa’alaikumussalaam wa rahmatullahi wa barakatuh’. Menjawab salam hanya dengan isyarat tidaklah dibenarkan.” Sang Gubernur pun tidak punya pilihan lain kecuali harus menjawab salam Syaikh dengan lafal yang diperintahkan oleh Syaikh tersebut, bahkan ia memuji pendirian Syaikh dan sikap istiqomahnya pada agama.
Suatu ketika beliau mengunjungi salah seorang murid beliau yang menjadi pekerja bangunan. Beliau melihat sebuah patung yang terbuat dari gypsum (batu kapur) di atas meja pekerja itu. Beliau kemudian bertanya, “Apa ini, hai Fulan?”, “Ini adalah patung yang kami butuhkan dalam pekerjaan kami.” jawabnya. Beliau lalu mengatakan, “Itu haram hukumnnya.” Beliau kemudian mengambil patung itu dan mematahkan lehernya. Pada waktu yang sama, seorang Inspektur Inggris masuk ke ruangan dan melihat kejadian itu. Sang Inspektur meminta keterangan Syaikh mengenai tindakan tersebut. Syaikh lalu memberikan jawaban dan penjelasan yang bijak dan memahamkan sang Inspektur bahwa Islam datang untuk menegakkan tauhid yang murni dan mematikan paham paganisme dalam segala bentuknya. Oleh karena itulah Islam mengharamkan patung, karena keberadaannya dapat membuka jalan bagi praktek penyembahan. Penjelasan yang bijak ini membuat sang Inspektur merasa senang, padahal sebelumnya ia menyangka bahwa Islam berisi kebodohan yang berasal dari paganisme. Ia akhirnya mengucapkan salam kepada Syaikh serta memberi pujian kepadanya.
Suatu ketika beliau mengunjungi Masjid Al Husain dengan diikuti oleh sebagian muridnya. Beliau berhenti sejenak di kuburan untuk memanjatkan doa mat’sur (ada riwayatnya dari Rasulullah saw.) “Assalaamu’ala ahlid diyar minal mu’minin…” Salah seorang pengikut berkata kepada beliau, “Wahai Syaikh, mohonkanlah pada Tuan Husain agar berkenan meridhaiku.” Mendengar permintaan ini beliau menatapnya dengan murka seraya berkata, “Yang dapat meridhai kami, meridhaimu, dan meridhainya hanya Allah.” Usai melakukan ziarah itu, beliau menjelaskan kepada para muridnya mengenai hukum dan etika berziarah, menerangkan kepada mereka tentang perbedaaan antara ziarah kubur yang bid’ah dan ziarah kubur yang syar’i (dibenarkan secara syariat).
Ayah pernah bercerita kepada saya bahwa ia pernah berkumpul dengan Syaikh Al Hashafi rahimahullah di rumah salah seorang pembesar kota Mahmudia, yaitu Hasan Bek Abu Sayyid Hasan rahimahullah bersama para muridnya. Seorang pelayan wanita yang sudah cukup dewasa keluar untuk menghidangkan kopi kepada Syaikh, sementara kedua tangannya –mulai dari siku hingga ujung jari- dan kepalanya terbuka. Syaikh melihatnya dengan murka dan langsung memerintahkannya dengan tegas agar segera pergi dari ruangan itu untuk mengenakan penutup atau hijab. Syaikh enggan meminum kopi. Setelah itu Syaikh pun menyampaikan ajaran mengenai wajibnya menyembunyikan anak-anak wanita, sekalipun ia adalah pembantu, dan agar jangan sampai ada laki-laki asing yang melihat mereka.
Mengenai hal semacam itu beliau mempunyai banyak pengalaman dan memang demikianlah yang selalu beliau lakukan. Aspek inilah yang melahirkan perasaan kagum luar biasa dalam jiwa saya. Para murid beliau sering membicarakan tentang karamah (kekeramatan) Syaikh yang terlihat nyata, namun saya sendiri tidak pernah mendapati karamah yang mereka maksudkan itu. Yang kami dapati pada diri beliau adalah sudut-sudut amaliah seperti di atas. Saya sendiri meyakini bahwa karamah paling agung yang diberikan oleh Allah swt kepada beliau adalah taufiq dan hidayah-Nya untuk menyebarkan dakwah Islam berdasarkan fondasi-fondasi yang lurus dan benar, rasa benci kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt, dan senantiasa beramar ma’ruf nahi mungkar. Semua itu saya rasakan ketika usia saya belum lebih dari dua belas tahun.
Yang semakin membuat ikatan saya bertambah kuat dengan Syaikh yang mulia ini rahimahullah adalah pada waktu setelah berulang-ulang saya membaca buku Al Manhal. Saya bermimpi pergi ke kuburan kota. Saya melihat sebuah kuburan besar yang bergerak-gerak dan semakin menjadi-jadi hingga akhirnya terbuka. Darinya keluar api yang menjulang sampai menyentuh awan di langit, lalu perlahan membentuk seorang lelaki yang tinggi dan wajahnya mengerikan. Orang-orang pun berdatangan dari berbagai penjuru lalu mengelilinginya. Lelaki itu kemudian berteriak dan mengatakan kepada mereka, ”Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah menghalalkan segala yang pernah diharamkan-Nya atas kalian, maka berbuatlah sesuka kalian.” Saya pun lalu berteriak lantang di hadapannya, “Engkau dusta!” Setelah itu saya menatap wajah orang-orang yang berkumpul sembari berkata, ”Wahai manusia, ini adalah iblis terlaknat yang datang untuk menguji kalian berkenaan dengan urusan agama kalian dan untuk membisik-bisikkan kejahatan kepada kalian. Karena itu, janganlah kalian dengarkan perkataannya.” Ia marah besar seraya berkata kepadaku, ”Mari kita beradu cepat dihadapan orang-orang ini. Jika engkau dapat mengalahkan saya dan dapat kembali kepada mereka sedangkan saya tidak dapat menangkapmu, engkau berarti benar.” Saya pun menerima tantangan itu. Alhasil, saya berhasil melampauinya dengan kecepatan yang luar biasa jauh di depannya. Padahal langkah saya sangat kecil jika dibandingkan dengan langkahnya. Sebelum ia dapat menangkap saya, Syaikh rahimahullah muncul secara tiba-tiba lalu menggandeng tangan saya ke sebelah kirinya. Dengan mengangkat tangan kanan, ia terus berjalan ke hadapan siluman ini dan dengan berteriak beliau berkata kepadanya,”Enyahlah kamu, wahai terlaknat!” Akhirnya ia pun meninggalkan tempat dan hilang lenyap. Setelah itu Syaikh menyusul pergi. Saya kembali ke kerumunan orang dan saya berkata kepada mereka, “Tahukah kalian bagaimana si terlaknat itu menyesatkan kalian dari perintah-perintah Allah?” Seketika itu saya terbangun. Tiba-tiba saya telah diharu biru perasaan rindu kepadanya. Saya lalu menunggu-nunggu kehadiran As Sayyid Abdul Wahhab Al Hashafi, putra Syaikh Al Hashafi rahimahullah, lantaran saya ingin sekali dapat melihatnya dan segera mengambil amalan tarekat darinya. Akan tetapi dalam kesempatan itu beliau tidak hadir.
Saya diingatkan kembali oleh kisah di suatu kuburan dengan saudara kami, Syaikh Muhammad Abu Syausyah, seorang pedagang di kota Mahmudia. Ia banyak memberikan tarbiyah ruhiyah kepada kami. Ia pernah mengumpulkan kami yang berjumlah sekitar sepuluh orang, untuk dibawa ke kuburan. Kami berziarah kubur dan duduk di masjid Syaikh An-Najili. Di sana kami membaca wirid (wazhifah). Selanjutnya Syaikh Muhammad Abu Syausyah menceritakan kisah orang-orang shalih dan perilaku hidup mereka kepada kami, kisah yang dapat melunakkan hati dan memberi berbagai hikmah dan pelajaran. Setelah itu beliau memperlihatkan kuburan yang terbuka kepada kami, serta mengingatkan kami bahwa suatu saat nanti kita akan masuk ke dalamnya. Beliau bahkan sempat menyuruh salah seorang di antara kami agar masuk ke liang kubur dan berbaring sebentar untuk mengingatkan diri bahwa itulah tempat kembali, selain juga agar kami menyadari kegelapan di alam kubur. Akhirnya ia pun menangis dan kami menangis pula menyertainya. Setelah itu kami memperbarui tobat dengan penuh kekhusyu’an, semangat, penyesalan, dan tekad. Banyak di antara kami ketika itu yang saling mengikatkan gelang di pergelangan masing-masing yang terbuat dari benang tebal yang dinamakan dubarah dengan maksud agar gelang ini menjadi kenang-kenangan taubat. Kami mendapatkan pesan bahwa jika salah seorang diantara kami berhasrat melakukan maksiat atau terkalahkan oleh setan, hendaklah ia segera memegang gelang ini dan mengingat kembali bahwa ia dahulu telah bertaubat kepada Allah, serta telah berjanji akan menaati-Nya dan meninggalkan maksiat kepada-Nya. Dari nasihat ini, kami mendapat faedah yang cukup banyak. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada beliau.
Hatiku benar-benar telah terpaut dengan Syaikh rahimahullah ini, hingga saya sekolah di Madrasah Mu’alimin Al Awwaliyah di Damanhur. Di sanalah terletak makam beliau dan bangunan masjidnya yang belum lagi selesai dibangun ketika itu. Namun tidak lama kemudian berhasil juga diselesaikan. Saya cukup tekun mengunjunginya, bahkan hampir setiap hari. Saya bersahabat dengan ikhwan-ikhwan Hashafiyah di Damanhur. Saya juga tekun datang ke masjid At Taubah setiap malam. Saya menanyakan siapa yang menjadi ketua ikhwan-ikhwan di sini. Ternyata ia adalah seorang lelaki shalih yang bertaqwa, Syaikh Basyuni, yang juga seorang pedagang. Saya memohon kepadanya agar ia mengizinkanku berbai’at kepadanya. Ia pun menyanggupi. Ia berjanji kepadaku bahwa ia akan membawa diriku ke hadapan As Sayyid Abdul Wahhab apabila nanti beliau sudah datang.
Hingga saat ini saya belum pernah berbai’at resmi kepada seorangpun dalam jamaah tarekat. Saya hanyalah salah satu dari muhibbun, menurut istilah mereka.
Akhirnya As-Sayyid Abdul Wahhab tiba di Damanhur dan para ikhwan pun memberitahuku soal kedatangan beliau. Saya gembira sekali dengan berita ini. Saya menghadap Syaikh Basyuni dan memohon agar dapat berguru kepada Syaikh. Ia pun mengabulkan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 4 Ramadhan 1341 H, usai shalat ashar. Apabila saya tidak salah ingat, peristiwa itu bertepatan dengan hari Ahad yang pada hari itulah saya mengambil tarekat Hashafiyah Syadziliyah dari beliau dan beliau mengizinkanku untuk melaksanakan daur dan wazhifah (wirid) tarekat tersebut.
Semoga Allah berkenan memberikan balasan sebaik-baiknya kepada beliau atas kebaikan yang telah diberikan kepada kami. Saya beruntung sekali karena dapat berdampingan dengan beliau. Tidak ada yang kuketahui soal agama dan tarekat beliau selain kebaikan adanya. Sifat-sifat kebaikan yang melekat pada diri pribadi beliau merupakan keistimewaan beliau. Sifat-sifat yang kami maksudkan adalah hatinya bersih dari memiliki harta yang ada di tangan orang lain, serius dalam segala hal, dan tidak pernah menggunakan waktu kecuali dalam rangka menuntut ilmu, berdzikir, atau melakukan ibadah yang lain, entah ketika sedang sendirian maupun ketika sedang bersama para pengikutnya. Beliau juga selalu memberikan pengarahan yang baik kepada para pengikutnya serta mengajak mereka untuk senantiasa berukhuwah, menuntut ilmu dan meningkatkan ketaatan kepada Allah.
Kiranya saya perlu menyebutkan salah satu diantara cara beliau yang bijaksana dalam men-tarbiyah. Beliau sama sekali tidak pernah memperkenankan para pengikutnya untuk memperbanyak debat dalam masalah-masalah khilafiyah dan mutasyabihat, atau menyitir pendapat kaum atheis, zindiq, maupun misionaris. Beliau menyarankan kepada mereka, ”Adakan hal semacam ini di majelis-majelis khusus kalian, di mana kalian sendiri bisa saling mempelajari dan mendiskusikannya. Adapun kepada masyarakat, hendaklah kalian berbicara dengan pengertian-pengertian yang secara nyata dapat memberikan pengaruh kepada mereka untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah. Karena kadang-kadang ada syubhat yang menimpa sebagian dari mereka, sementara mereka tidak tahu bagaimana harus mengatasinya, sehingga aqidahnya menjadi kacau tanpa tahu sebabnya; dan berarti kalianlah yang menjadi penyebabnya.”
Di antara kata-kata beliau yang masih terus saya ingat adalah apa yang disampaikan kepada saya dan Ustadz Ahmad As-Sukri dalam suatu majelis. Ungkapannya kurang lebih sebagai berikut: ”Sesungguhnya saya melihat suatu tanda bahwa Allah swt akan menggabungkan hati manusia dengan kalian, dan menghimpunkan banyak orang dengan kalian. Ketahuilah bahwa Allah akan menanyai kalian tentang waktu-waktu yang digunakan oleh orang-orang itu. Sudahkan kalian memberi sesuatu yang bermanfaat kepada mereka pada waktu-waktu itu, sehingga mereka memperoleh pahala, demikian juga kalian? Ataukah kalian justru membiarkan waktu itu sia-sia sehingga mereka hanya akan memperoleh siksa, demikian juga kalian?”
Demikian arahan beliau yang semuanya selalu diarahkan kepada kebaikan; dan yang saya tahu dalam diri beliau yang ada hanyalah kebaikan. Kami tidak menyatakan sesuatu kecuali yang kami ketahui dan kami tidak mengetahui hal yang ghaib.
Disela-sela kesibukan, saat di Mahmudia, kami mendirikan sebuah asosiasi yang bervisi ishlah (perbaikan), yakni Jam’iyatul Hashafiyah Al-Khairiyah. Ahmad Afandi As-Sukri, seorang pedagang di kota Mahmudia, terpilih sebagai ketuanya, sedangkan saya terpilih sebagai sekretarisnya. Asosiasi ini menitikberatkan kerjanya pada dua bidang penting.
Pertama, menyerbarkan seruan untuk berakhlak mulia, serta memberantas berbagai kemungkaran dan hal-hal haram yang telah merajalela seperti khamr, judi, dan berbagai tradisi bid’ah yang berkaitan dengan upacara pemakaman.
Kedua, membendung gerak misionaris yang dilakukan oleh penjajah Inggris yang telah menetap di berbagai wilayah. Pilarnya adalah tiga orang wanita yang diketuai oleh Mrs. Weit. Ia melakukan misi pengkristenan di bawah kedok kegiatan sosial dan kesehatan, pengajaran dan keterampilan seperti jahit-menjahit, dan melalui panti-panti asuhan untuk menampung anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Asosiasi ini menjalankan perjuangan misinya yang patut disyukuri dan di kemudian hari perjuangan ini terus dilanjutkan oleh Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Hubungan kami dengan Syaikh As Sayyid Abdul Wahhab terus berlanjut dengan baik, sampai saya mendirikan Jamaah Ikhwanul Muslimin. Jamaah ini berkembang pesat. Mengenai ini, beliau mempunyai pandangan yang berbeda dengan pandangan kami. Masing-masing cenderung pada pendapatnya sendiri. Kami masih mengenang As Sayyid Abdul Wahhab – semoga Allah memberikan kebaikan kepadanya atas jasa baiknya kepada kami- dengan kenangan terindah yang pernah dialami oleh seorang murid, yang cinta dan tulus kepada gurunya, lantaran ia banyak beramal dan bertaqwa. Beliau selalu memberikan nasihat dengan tulus, serta menyampaikan petunjuk dan pengarahan dengan sebaik-baiknya.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-01 Mengapa Aku Dihukum Mati?
Kami berharap agar tak ada seorang pun yang beranggapan, bahwa dokumen yang ditulis oleh Syahidul Islam (insya Allah) Sayyid Quthb ini adalah dokumen yang lengkap dan tidak dikurangi.
Dokumen yang kami beri judul Limadza A’damuni (Mengapa Aku Dihukum Mati) ini telah berpindah-pindah melalui banyak tangan. Mulai dari tangan para penyidik— maupun-selain penyidik—yang melakukan penyiksaan terhadap Asy Syahid Sayyid Quthb dan kawan-kawannya, sampai kepada tangan-tangan para penanggung jawab (para eksekutif) pemerintah dan kaki tangan mereka.
Tidak diragukan lagi bahwa dokumen ini adalah tulisan tangan Asy Syahid Sayyid Quthb. Namun perlu dicatat, bahwa dokumen ini ditulis atas permintaan para penyidik yang menginterogasi beliau dan kawan-kawan beliau. Oleh karenanya, dokumen ini ditulis sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para penyidik atau jawaban atas lontaran pertanyaan yang bersifat umum.
Ketika majalah Al Muslimun mempublikasikan dokumen ini secara berseri—dimulai dari edisi kedua, muncul berbagai tanggapan dari orang-orang yang bersimpati terhadap Asy Syahid Sayyid Quthb. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa dokumen tersebut palsu, namun begitu, sebagian besar mereka tetaplah mengakui keaslian dokumen ini.
Adapun kini kami katakan, bahwa dokumen sekaligus kesaksian yang merupakan jawaban lengkap atas berbagai pertanyaan yang dilontarkan para penyidik ini, telah sampai kepada kami dalam bentuk tulisan tangan Asy-Syahid Sayyid Quthb. Namun perlu kami tegaskan, dokumen ini—sampai ke tangan kami—sudah dalam keadaan tidak lengkap, atau setidaknya telah dikurangi. Sebab kaki tangan penguasa thaghut berusaha menyembunyikannya di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Mereka berharap, hilangnya dokumen dan kesaksian yang tertulis dalam ‘lembaran-lembaran hitam’ tersebut dapat ‘memutihkan muka’ para penguasa tiran dan antek-anteknya, serta orang-orang yang telah diketahui terlibat dalam penyiksaan terhadap Asy-Syahid dan kawan-kawannya. Dimana tidak tersisa satu pun cara dan bentuk penyiksaan yang mereka ketahui, kecuali pasti telah mereka timpakan kepada Asy-Syahid Sayyid Quthb.
Akan tetapi, sanggupkah mereka menaklukkan hati dan jiwa beliau?
Tidak…! Sama sekali tidak!! Mereka memang berhasil menguasai fisik beliau yang fana, namun mereka takkan pernah mampu menguasai jiwa beliau selama-lamanya. Oleh karena itu, mereka menjatuhkan hukuman mati kepada beliau.
Ya … Karena itulah mereka menjatuhkan hukuman mati kepada beliau. Meskipun para ulama dan para pemuka dunia Islam telah menyerukan agar mereka mencabut hukuman mati kepada beliau.
Akan tetapi, bagaimana mungkin mereka akan mencabut hukuman mati kepada beliau? Apakah mereka akan membiarkan keadaan fisik beliau menjadi saksi atas kebiadaban mereka?
Sebelum hukuman mati dijatuhkan, para ikhwan yang bersama Asy Syahid di dalam penjara menuturkan, bahwa mereka (para penyidik-ed.) telah menyiksa beliau dengan siksaan yang sangat keras. Mereka rusak wajah dan fisik beliau, agar dengannya mereka dapat melemahkan dan menaklukkan jiwa beliau. Akan tetapi, Allah tidak menghendaki mereka dapat menguasai jiwa beliau. Bukti yang paling nyata—dari kegagalan mereka—adalah mereka menjatuhkan hukuman mati kepada sang penulis Fi Zhilalil Quranini.
Semoga rahmat Allah tercurah kepada Asy Syahid Sayyid Quthb, dan semoga Allah melipat-gandakan pahala beliau terhadap apa yang telah beliau persembahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kita akan kembali.
Hisyam dan Muhammad ‘Ali Hafizh
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Pendahuluan Adab Guru dan Murid
Warisan kenabian adalah acuan pembaruan yang benar, karena misi utama para Rasul alaihimussalam adalah tadzkir, ta’lim, dan tazkiyah. Karena itu, pewaris kenabian yang utuh adalah orang yang mampu menjaga hal-hal ini tetap utuh dan sempurna, melaksanakannya, dan menunaikan hak-hak Allah padanya. Jarang sekali tiga hal ini berhimpun pada seseorang. Ada seorang yang piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak banyak berilmu; ada seorang yang banyak berilmu tetapi tidak piawai dalam menyampaikan nasihat; ada seorang yang berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak mampu melakukan tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini maka dia telah memiliki “obat mujarab” kehidupan. Jika tidak maka proses tajdid tetap harus berlangsung di kalangan mereka yang menginginkan dan yang melaksanakannya.
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian nasihat para pemberi nasihat adalah mengingatkan (tadzkirah) kepada ayat-ayat Allah di ufuk dan di jiwa; mengingatkan kepada perbuatan dan hari-hari Allah; mengingatkan kepada berbagai hukuman dan sanksiNya; mengingatkan kepada apa yang dijanjikan, disiapkan, dan diancamkan Allah kepada orang-orang yang bermaksiat atau ta’at kepadaNya.
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian ta’lim para ulama ialah ta’lim Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan penjelasan Al Quran.
“Akan tetapi (Dia Berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Ali Imran: 79)
Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Al-Baqarah: 151)
Setiap zaman punya penyakit dan masalah tersendiri, dan sepanjang zaman juga punya penyakit dan masalah tersendiri, sedangkan seorang ‘alim yang rabbani ialah orang yang mampu mengobati penyakit-penyakit kontemporer dan penyakit-penyakit sepanjang zaman. Itulah tanda keberhasilannya dalam tazkiyah.
Semenjak abad pertama telah muncul aliran irja’ (Murji’ah), tasyayyu’ (Syi’ah), kharijiyah (Khawarij), dan i’tizal (Mu’tazilah). Inti ajaran irja’ ialah meninggalkan amal; inti tasyayyu’ ialah berlebihan dalam masalah ahlul bait Rasulullah saw; inti ajaran Khawarij ialah ketumpulan akal, terburu-buru mengkafirkan, tidak menghormati orang yang memiliki keutamaan, dan iman mereka yang tidak melampaui kerongkongan mereka; dan inti ajaran i’tizal adalah terburu-buru melakukan ta’wil yang tidak ilmiah. Aliran-aliran seperti ini dianggap sebagai penyakit sepanjang zaman yang bisa muncul terus-menerus. Demikian pula penyakit yang memiliki sifat langgeng dalam kemunculannya.
“Menjalar di antara kalian penyakit-penyakit ummat sebelum kalian yaitu dengki dan permusuhan…” (HR Ahmad dan Tirmidzi, Hadits ini Shahih)
Selain itu, setiap zaman punya penyakit tersendiri. Di antara penyakit zaman kita ialah apa yang diisyaratkan oleh beberapa nash:
“Ilmu yang pertama kali diangkat dari bumi adalah kekhusyu’an.” (HR Thabrani, hadits ini hasan)
“Tetapi kalian seperti buih banjir…dan sungguh Allah akan menanamkan wahn di hati kalian…cinta dunia dan takut mati.” (HR Abud Dawud, hadits ini hasan)
Anda lihat bahwa zaman kita sekarang ini adalah zaman dimana kekhusyu’an sangat sedikit tetapi cinta dunia dan takut mati sangat mendominasi. Karena itu, seorang ‘alim (guru atau syaikh) yang tidak berhasil menghilangkan penyakit-penyakit ini maka ia tidak banyak bisa melakukan tajdid. Seorang ‘alim harus memiliki kemampuan seperti ini sehingga para murid bisa merasakannya.
Seorang guru dan da’i harus menyelenggarakan berbagai majlis nasihat, majlis ilmu, dan majlis tazkiyah, sehingga mungkin bisa menggabungkan antara yang satu dengan yang lain, atau membuat majlis umum untuk nasihat dan majlis khusus untuk tazkiyah yang menyelenggarakan dzikir dan mudzakarah fardiyah atau jama’iyah dengan membaca sesuatu yang paling cocok dalam hal ini. Sementara itu diadakan pula majlis-majlis yang lain untuk ilmu-ilmu yang rinci seperti tilawah, tajwid, As Sunnah dan ilmu-ilmunya, tafsir, ilmu-ilmu Al Qur’an, fiqh, ushul fiqh dan lain sebagainya.
Titik awal keberhasilan amal ini adalah adab yang mengatur guru dan murid. Selagi tidak ada adab yang mengikat murid dengan gurunya maka tidak akan bisa berlanjut dalam perjalanan. Selagi guru tidak melaksanakan adab ta’lim (mengajarkan ilmu) maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia melaksanakan adab-adab tersebut. Oleh karena itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang sangat penting dalam perjalanan kepada Allah, bahkan untuk menegakkan agama dan dunia.
Gerakan da’wah yang paling berhasil dalam sejarah Islam adalah gerakan yang menekankan sejak awal pada:
- Kepercayaan (tsiqah) kepada pimpinan dan pemimpin, kepercayaan yang menumbuhkan ketaatan hati.
- Dzikir terus-menerus dan ilmu yang menyeluruh, yang diperlukan dan yang sesuai .
- Keakraban dengan lingkungan yang baik, menghadiri pertemuan-pertemuan –dzikir,ilmu dan lainnya- dan memperkuat berbagai hubungan antar-anggotanya
- Penumbuhan adab-adab hubungan yang baik antara dirinya dan manusia secara umum
- Pelaksanaan public service (Khidmah ‘aammah) dengan penuh semangat dan perhatian
Gerakan yang menghimpun nilai-nilai ini pada para pemulanya adalah gerakan yang mampu hidup dan tambah. Oleh karena itu, para ulama aktivis harus menekankan nilai-nilai ini agar bisa diserap dan dihayati oleh para pemula sejak awal.
Nuh as. menyeru kaumnya seraya berkata:
“Sembahlah Allah, bertaqwalah kepadaNya dan ta’atlah kepadaku.” (Nuh: 3)
Setiap Rasul menyeru kaumnya kepada hal yang sama.
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al Anbiya: 25)
Nabi Hud, Shalih, Syu’aib dan lainnya juga berseru “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepadaku”
Selama seorang murabbi tidak berhasil menumbuhkan keta’atan yang penuh kesadaran dari seorang murid, membiasakannya melakukan ibadah, dan merealisasikan ketaqwaannya maka sesungguhnya ia belum berbuat sesuatu. Titik awal hal ini terletak pada ihtiram (penghormatan) dan tsiqoh (kepercayaan) seorang murid kepada gurunya, dan kelayakan guru mendapatkan hal tersebut. Semua ini membuat kami harus memulai kajian di dengan Adab Guru dan Murid dari kitab Ilya’. Marilah kita ikuti keterangan Al Ghazali secara langsung.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Islam Kami
Dengarlah wahai saudaraku!
Dakwah kami adalah dakwah yang hanya dapat dilukiskan secara integral oleh kata ‘lslamiyah’. Kata (islamiyah) ini mempunyai makna yang sangat luas, tidak sebagaimana yang dipahami secara sempit oleh sebagian orang. Kami meyakini bahwa Islam adalah sebuah sistem nilai yang komprehensif, mencakup seluruh dimensi kehidupan. Dia memberi petunjuk bagi kehidupan manusia dalam semua aspeknya, dan menggariskan formulasi sistemik yang akurat tentang hal itu. la sanggup memberi solusi atas berbagai masalah vital dan kebutuhan akan berbagai tatanan untuk mengangkat harkat kehidupan manusia.
Sebagian orang memahami secara salah bahwa Islam itu terbatas pada berbagai ritual ibadah yang bersifat rohaniyah saja. Karenanya mereka hanya mengungkung diri dalam pemahaman yang sempit itu. Dan kami tidak ingin memahami Islam dengan cara yang sempit seperti itu. Kami memahami Islam secara integral, mencakup dimensi kehidupan dunia dan akhirat. Ini bukanlah klaim yang kami buat-buat. Tetapi memang itulah yang kami pahami dari Kitab Allah dan hasil napak tilas kami kepada generasi terdahulu Islam. Jika di antara pembaca ada yang ingin memahami dakwah Ikhwanul Muslimin lebih luas dari apa yang tercakup dalam kata ‘lslamiyah’, hendaklah mereka memegang Kitab Suci Al-Qur’an, membersihkan dirinya dari hawa nafsu dan berbagai ambisi, kemudian memahami ayat-ayat Qur’an sebagaimana ia adanya. Di sanalah ia akan menemukan muatan dan hakekat dakwah Ikhwanul Muslimin.
Dakwah kami memang islamiyah, dengan segala makna yang tercakup dalam kata itu. Pahamilah apa saja yang ingin anda pahami dari kata itu dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah, Sunah Rasulllah saw. dan sirah salafus shalih (jalan hidup pendahulu yang shalih) dari kaum muslimin. Kitab Allah adalah sumber dasar Islam, Sunah Rasulullah saw. adalah penjelas dari kitab tersebut, sedang sirah kaum Salaf adalah contoh aplikatif dari perintah Allah dan ajaran Islam.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Tips Persiapan Menjadi Murabbi Sukses
1. Luruskan niat Anda
“Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar (QS. 4 : 146).
Hal yang pertama harus dilakukan sebelum Anda melakukan berbagai tips murabbi sukses adalah meluruskan niat. Niat merupakan pangkal diterimanya amal. Percuma Anda beramal kalau niat tidak ikhlas. Luruskan niat Anda dalam membina sematamata karena Allah SWT (ikhlas). Semata-mata karena perintah Allah SWT. Allah memerintahkan Anda untuk menjadi da’i dan murabbi. “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah (berdakwah), mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. 41:33).
Lakukan pembinaan (memegang halaqah) karena mengharap ridho Allah SWT. Tepis jauh-jauh niat selain ikhlas, seperti niat ingin populer, ingin mendapatkan pengikut, ingin mengisi waktu luang, ingin mendapatkan ilmu, ingin dipuji oleh orang lain, apalagi ingin mendapatkan uang! Istighfarlah kepada Allah jika timbul percikan niat ke arah itu.
Bagaimana jika niat kita belum ikhlas, misalnya membina karena disuruh murabbi atau jama’ah? Apakah kita harus menghentikan amal? Jika niat belum ikhlas, lakukan terus pembinaan sambil Anda berusaha meluruskan niat. Jangan berhenti beramal gara-gara merasa niat tidak ikhlas. Hal itu merupakan godaan syetan. Berbuatlah terus sambil terus istghfar, dan berdoalah kepada Allah agar ia membantu Anda mengikhlaskan niat.
2. Jangan lupa mempersiapkan materi
“Da’i harus memiliki argumen yang kuat untuk mendukung makna yang diutarakan dan harus memperhatikan kesesuaian argumen dengan makna tersebut. Ia memiliki keluasan dalam memilih argumen, sebab ayar-ayat Al Qur’an, hadits-hadits Rasul, sirah Nabawiyah yang harum, dan sejarah Islam adalah argumen yang kuat yang dapat digunakan untuk memperkuat pembicaraan.” (Musthafa Masyhur).
Salah satu kebiasaan buruk murabbi yang sering dijumpai adalah tidak mempersiapkan materi. Mereka tampil spontan. Mungkin merasa mad’u sudah tsiqoh (percaya) dengan mereka, sehingga tidak bakalan hengkang. Padahal Shakespeare pernah mengingatkan, “Barangsiapa naik panggung tanpa persiapan, ia akan turun panggung dengan kehinaan”. Hasilnya, mad’u mungkin tidak hengkang. Tapi penyajian materi terasa hambar, monoton dan tidak aktual, karena tidak dipersiapkan sebelumnya. Akhirnya, mad’u lama kelamaan merasa bosan dan merasa tidak bertambah wawasannya. Mad’u jadi suka absen, atau paling tidak hadir tanpa antusias yang tinggi.
Karena itu, persiapkanlah materi yang akan Anda sampaikan di halaqah. Persiapkan walau hanya sebentar (10-15 menit). Idealnya, persiapan yang perlu Anda lakukan minimal 60 menit, agar Anda dapat mempersiapkan materi lebih komprehensif. Siapkan dalil naqli (dalil dari Al Qur’an dan Hadits) dan aqli (dalil secara rasional), data dan fakta terbaru, ilustrasi dan perumpamaan, contoh-contoh kasus, bahan humor, pertanyaan yang mungkin diajukan, bahasa non verbal yang perlu dilakukan, metode belajar yang cocok dan media belajar yang diperlukan. Dengan persiapan prima, niscaya Anda akan tampil di halaqah bagaikan aktor kawakan yang mampu menyedot perhatian penonton (mad’u).
3. Catat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u
“Dan hendaklah ia rapi dalam segala urusannya” (Musthafa Masyhur).
Selain mempersiapkan materi, hal yang perlu Anda persiapkan sebelum mengisi halaqah adalah mencatat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u. Misalnya, mencatat apa saja yang akan dievaluasi, apa saja informasi dan instruksi yang akan disampaikan, atau siapa yang akan Anda ajak bicara tentang sesuatu hal. Dengan mencacat, Anda akan ingat apa yang akan Anda bicarakan dengan mad’u.
Tapi jika mengandalkan ingatan, Anda akan lupa karena saking banyaknya hal yang perlu Anda sampaikan kepada mad’u. Kelupaan tersebut dapat berakibat fatal, jika yang akan Anda bicarakan adalah hal yang penting dan mendesak. Anda mungkin terpaksa membicarakannya di luar halaqah via telpon. Hasilnya, tentu tidak seefektif jika Anda sampaikan secara tatap muda di depan halaqah. Nah.. agar tidak lupa, catat apa yang akan Anda sampaikan kepada mad’u di buku atau di kertas Anda sebelum Anda mengisi halaqah.
4. Persiapkan Fisik Anda
Sesungguhnya badanmu memiliki hak atas dirimu (HR. Bukhari dan Muslim).
Lho, apa hubungannya fisik dengan murabbi? Persiapan fisik bukan berarti Anda sebagai murabbi harus gagah dan kekar seperti Ade Rai (seorang binaragawan) atau lemah gemulai seperti Cleopatra (ratu cantik dari Mesir Kuno). Tapi yang dimaksud persiapan fisik disini adalah seorang murabbi harus sehat dan segar, terutama menjelang mengisi halaqah. Jika tampang Anda lesu dan lelah saat mengisi halaqah, hal itu dapat berdampak pada suasana halaqah yang lesu seperti tampang Anda.
Kelelahan sebelum mengisi halaqah juga dapat berdampak pada munculnya rasa malas dan jenuh. Misalnya, sebelum mengisi halaqah Anda sudah terlalu letih dengan berbagai aktivitas, sehingga ketika mau halaqah tinggal capenya doang. Akhirnya, Anda jadi malas mengisi halaqah. Kemudian membuat seribu satu alasan untuk membenarkan ketidakhadiran Anda dalam halaqah. Hal ini, jika dibiasakan, tidak akan sehat bagi perkembangan halaqah Anda.
Karena itu, hindari kondisi fisik yang terlalu lelah dan letih sebelum mengisi halaqah. Caranya, dengan istirahat yang cukup (jika perlu tidur dulu). Hindari aktivitas yang terlalu padat dan melelahkan sebelum mengisi halaqah. Kalau perlu, pindahkan sebagian aktivitas Anda ke hari lain agar waktu Anda lebih luang sebelum mengisi halaqah.
Selain itu, agar jangan sering absen karena sakit, Anda perlu berolahraga secara teratur, juga istirahat yang cukup dan makan makanan bergizi.
5. Tingkatkan kepercayaan diri Anda
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. 3 : 139).
Persiapan materi dan persiapan fisik tak akan banyak berarti jika Anda minder ketika mengisi halaqah. Semua yang akan Anda sampaikan jadi buyar. Rencana Anda jadi berantakan. Memang, kepercayaan diri yang tinggi amat penting ketika kita ingin berbicara di depan banyak orang. Bahkan kepercayaan diri yang tinggi dapat menutupi kekurangan kita (seperti tidak siap materi atau kelelahan fisik).
Oleh karena itu, tingkatkan kepercayaan diri Anda, terutama sebelum mengisi halaqah. Caranya dengan banyak mengingat-ingat kelebihan dan prestasi Anda, membayangkan kesuksesan yang akan Anda dapatkan, meyakini bahwa Anda lebih baik dari yang Anda kira, dan meyakini bantuan Allah kepada orang-orang yang berdakwah.
Jika di tengah-tengah penampilan Anda mengisi halaqah muncul perasaan gugup dan minder, buang jauh-jauh pikiran itu. Yakini bahwa hal itu merupakan godaan syetan. Yakini juga bahwa orang yang ada di hadapan Anda pasti memiliki kekurangan. Bahkan kekurangannya mungkin lebih banyak dari yang Anda kira. Kalau perlu, Anda bayangkan mereka dengan hal-hal yang lucu. Misalnya, dengan memvisualisikan mereka seperti bayi-bayi yang lucu, anak-anak yang manja, remaja idiot, orang tua cerewet, kakek nenek ompong, dan lain-lain. Dengan membayangkan yang lucu, kegugupan Anda akan sirna. Kepercayaan diri Anda akan meningkat.
6. Belajarlah jadi murabbi dengan mad’u yang derajatnya lebih “rendah”
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman” (QS. 26 : 215).
Ada satu tips yang dapat dilakukan jika Anda merasa tidak PD (Percaya Diri) membina. Latihlah kepercayaan diri Anda dengan membina halaqah yang derajatnya lebih “rendah”. Misalnya, jika Anda mahasiswa dan belum PD membina mahasiswa, tangani lebih dulu anak-anak SMU. Kalau itu pun belum PD juga, cari mad’u yang lebih rendah lagi, yakni anak-anak SMP. Jika itu pun belum PD, cari mad’u anakanak SD atau TK. Tentu pada saat menangani anak SD atau TK namanya bukan lagi halaqah, tapi TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an). Nah….jika nanti sudah PD menangani mad’u yang derajatnya lebih “rendah”, baru mencoba menangani mad’u yang derajatnya “sama” (misalnya sesama mahasaiswa). Bahkan jika PD sudah prima, Anda bisa menangani mad’u yang derajatnya lebih “tinggi” daripada Anda.
Misalnya, jika Anda mahasiswa, Anda berani membina lulusan sarjana atau menangani para eksekutif. Jadi, latihlah PD Anda secara berangsur-angsur, Insya Allah Anda akan menjadi murabbi yang PD membina. Ingat! Muhammad Ali menjadi petinju besar bukan karena langsung bertanding dengan petinju kaliber dunia, tapi mulai dari menghadapi petinju kelas “kampung”. Karena itu, jika Anda kurang PD membina, carilah lebih dahulu sparring partner yang derajatnya lebih “rendah” dari Anda.
7. Siapkan materi cadangan
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. 8 : 60).
Ibarat tentara yang akan berperang membawa senjata cadangan, murabbi juga perlu demikian. Anda sebagi murabbi perlu menyiapkan materi cadangan. Mengapa? Kadangkala kondisi halaqah tidak sesuai dengan yang kita bayangkan. Misalnya, Anda berharap semua mad’u hadir tapi ternyata yang hadir hanya segelintir, sehingga Anda merasa sayang jika memberikan materi tanpa didengar oleh semua mad’u. Atau ketika Anda mengobrol dengan mad’u sebelum acara halaqah dimulai, ternyata ada masalah mendesak yang perlu segera diberikan solusi melalui taujih (pemberian materi). Atau karena sesuatu hal, waktu Anda menyampaikan materi menjadi sangat sempit.
Nah! Pada saat-saat seperti itu materi yang Anda persiapkan mungkin kurang relevan lagi untuk disampaikan, sehingga Anda perlu menyampaikan materi lain yang lebih cocok dengan perubahan situasi halaqah yang mendadak. Disinilah pentingnya Anda menyiapkan materi cadangan. Kalau bisa, materi cadangan yang dipersiapkan lebih dari satu materi. Sebaiknya juga, materi cadangan adalah materi yang singkat, praktis, dan tidak terlalu banyak menggunakan dalil atau data.
8. Simpan stock materi seperti dokumen berharga
“Begitulah hendaknya seorang akh, ia selalu rapi dalam semua urusannya, di rumah, di tempat kerja dan kantornya serta semua urusannya” (Musthafa Masyhur)
Bagaimana agar Anda menjadi murabbi yang kompeten di mata mad’u? Salah satu caranya adalah mempunyai stock (persediaan) materi yang banyak, sehingga tidak terkesan Anda “kehabisan” materi. Dengan stock materi yang banyak, Anda dapat membina mad’u selama bertahun-tahun, mungkin malah puluhan tahun (jika perlu).
Biasanya, murabbi mendapatkan materi secara estafeta dari struktur dakwah di atasnya. Nah…jika Anda mendapatkannya, simpan materi dengan baik layaknya dokumen berharga. Kalau perlu simpan di tempat khusus. Sebaiknya, stock materi disimpan dalam file-file sesuai dengan urutan pokok bahasan atau jenjang halaqah, sehingga ketika Anda membutuhkannya mudah mencarinya. Jaga agar catatan atau file materi Anda tidak rusak dan hilang. Jika ada yang meminjamnya, segera minta kembali.
Selain sebagai persiapan untuk memberikan materi kepada mad’u, stock materi juga berguna sebagai bahan referensi untuk “meramu” materi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mad’u.
9. Sabarlah terhadap proses perkembangan mad’u
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” (QS. 32 : 24).
Sebagai murabbi, Anda harus mempunyai stock (persedian) sabar yang banyak. Terutama sabar terhadap proses perkembangan mad’u. Sebab jika tidak sabar, Anda akan cepat kecewa, stres, dan uring-uringan sendiri melihat berbagai polah mad’u yang seringkali tidak sesuai dengan harapan Anda.
Ketika membina, Anda menghadapi manusia yang heterogen pemahamannya terhadap Islam. Ada yang cepat berubah (dan ini yang menggembirakan), tapi ada juga yang lambat. Kepada mad’u yang lambat ini, murabbi harus sabar menghadapinya. Jangan cepat pesimis dan putus asa. Apalagi “memecatnya” dari halaqah, karena Anda tak tahan dengan polahnya.
Dalam realitanya, Anda akan sering menjumpai mad’u yang terlihat lambat berubah. Terhadap mad’u semacam ini, Anda jangan cepat menyimpulkan bahwa ia tidak prospektif. Justru mad’u semacam ini yang seringkali lebih bertahan lama dalam halaqah dan lebih prospektif untuk dakwah di kemudian hari. Sebaliknya, mad’u yang di awal halaqah terlihat antusias dan cepat berubah, malah seringkali justru cepat juga minggat dari halaqah. Jika pun bertahan, ia lebih banyak “menyumbang” masalah daripada “menyumbang” solusi. Karena itu, sabarlah terhadap proses perkembangan mad’u. Jangan cepat menyimpulkan dan jangan cepat putus asa terhadap mad’u yang terlihat lambat berubah.
10. Beri angka 10 di dahi mad’u
“Kamu adalah umat terbaik yag dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (QS. 3 : 110) Apa maksudnya? Apakah maksudnya Anda mencoretkan angka 10 di dahi mad’u dengan spidol? Tentu saja bukan. Maksudnya, Anda selalu membayangkan mad’u dengan pandangan optimis bahwa mereka akan menjadi orang-orang besar kelak.
Anda optimis mereka akan menjadi orang-orang sukses di kemudian hari. Anda yakin mereka akan berubah lebih baik lagi. Angka 10 melambangkan optimisme Anda yang besar terhadap mereka.
Sebagai murabbi Anda harus yakin mad’u lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Anda harus optimis mereka akan berhasil dibina. Anda harus yakin mereka bukanlah sembarang orang, tapi calon pemimpin bangsa dan umat. Sikap optimisme ini akan mempengaruhi perilaku Anda ketika membina mereka. Sebab menurut pakar kepemimpinan, jika pemimpin ingin merubah orang mulailah dari perubahan paradigma terhadap orang tersebut. Jika pemimpin memiliki paradigma bahwa orang yang ia bina dapat berubah, maka orang tersebut akan berubah sesuai dengan apa yang ia persepsikan.
Sebaliknya, jika seorang pemimpin pesimis anak buahnya akan berubah menjadi lebih baik, maka seperti itulah yang akan terjadi. Karena itu, beri angka 10 pada dahi mad’u Anda, bukan angka 6. Yakin dan optimislah terhadap perubahan mad’u Anda ke arah yang lebih baik lagi, jangan pesimis dan putus asa. Pandanglah mad’u Anda bukan seperti apa adanya, tapi seperti apa seharusnya.
11. Yakin akan sukses membina
“Kami percaya bahwa tabir yang memisahkan antara kami dan keberhasilan hanyalah keputusasaan” (Hasan Al Banna).
Keberhasilan itu berawal dari pikiran. Jika kita berpikir akan gagal maka kegagalan akan datang di pelupuk mata. Sebaliknya, jika kita berpikir akan sukses maka kesuksesan akan menjelang. Rasulullah saw adalah murabbi yang yakin akan sukses membina. Ia tidak pernah merasa pesimis membina mad’unya. Sejarah mencatat Rasulullah saw berhasil mencetak orang-orang terbaik sepanjang masa. Anda bisa bayangkan, bagaimana orang buta seperti Abdullah Ummu Maktum ra, orang yang cacat seperti Abdulah bin Mas’ud ra, dan orang yang dianggap hina, seperti Bilal bin Robbah ra, dapat tumbuh berkembang menjadi orang-orang terbaik di masyarakatnya.
Semua itu tak bisa lepas dari keyakinan Nabi, sebagai murabbi, bahwa ia akan sukses membina mad’unya. Karena itu, jangan sepelekan keyakinan akan sukses sebelum Anda sukses membina. Anda perlu menanamkan keyakinan tersebut dengan kuat di hati sanubari Anda. Hilangkan keraguan-keraguan akan sukses. Semakin Anda yakin, semakin besar peluang kesuksesan Anda. Mengapa? Karena keyakinan, disadari atau tidak, mengubah sikap dan perilaku Anda. Jika Anda yakin akan sukses, maka sikap dan perilaku Anda akan mengarah kepada kesuksesan. Begitu pun sebaliknya. Jika pikiran kegagalan masuk ke dalam kepala Anda, segera buang jauh-jauh pikiran itu. Anggap itu sebagai godaan syetan yang ingin menggagalkan tekad Anda menjadi murabbi sukses. Syetan menginginkan agar umat ini tidak terbina dengan langkanya para dai dan murabbi yang sukses berdakwah.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-02 Sumber-sumber Sirah Nabawiyah
Secara umum dapat disebutkan di sini bahwa sumber dan rujukan sirah nabawiyah ada tiga: Kitab Allah, Sunnah Nabawiyah yang sahih, dan kitab-kitab sirah.
Pertama: Kitabullah (Al Quran)
Kitab Allah merupakan rujukan pertama untuk memahami sifat-sifat umum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengenal tahapan-tahapan umum sirahnya yang mulia ini. Ia mengemukakan Sirah Nabawiyah dengan menggunakan salah satu dari dua uslub berikut.
Pertama, mengemukakan sebagian kejadian dari kehidupan dan sirahnya, sepert ayat-ayat yang menjelaskan tentang Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Hunain, serta ayat-ayat yang mengisahkan perkawinan dengan Zainab binti Jahsyi.
Kedua, mengomentari kasus-kasus dan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk menjawab masalah-masalah yang timbul, mengungkapkan masalah yang belum jelas, atau untuk menarik perhatian kaum muslimin kepada pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalamnya. Semua itu berkaitan dengan salah satu aspek dari sirahnya atau permasalahannya. Dengan demikian, hal itu telah menjelaskan banyak hal dari berbagai periode kehidupannya dan beragam urusan serta aktivitasnya.
Akan tetapi, pembicaraan Al Quran tentang semua itu hanya disampaikan secara terputus-putus. Betapapun beragamnya uslub Al Quran dalam menjelaskan segi sirahnya, hal itu tidak lebih dari sekadar penjelasan secara umum dan penyajian secara global dan sekilas tentang beberapa peristiwa dan berita. Demikianlah cara Al Quran dalam menyajikan setiap kisah tentang para nabi dan umat-umat terdahulu.
Kedua: Sunnah Nabawiyah yang Shahih
Yakni apa yang terkandung di dalam kitab-kitab para imam hadits yang terkenal jujur dan amanah, seperti kitab-kitab yang enam, Muwatha’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad. Sumber kedua ini lebih luas dan lebih rinci, hanya saja belum tersusun secara urut dan sistematis dalam memberikan gambaran kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak lahir hingga wafat. Hal ini disebabkan oleh dua hal.
Pertama, sebagian besar kitab-kitab ini disusun hadits-haditsnya berdasarkan bab-bab fiqih atau sesuai dengan satuan pembahasan yang beraitan dengan syariat Islam. Karena itu, hadits-hadits yang berkaitan dengan sirahnya yang menjelaskan bagian dari kehidupannya terdapat pada berbagai tempat di antara semua bab yang ada.
Kedua, para imam hadits, khususnya penghimpun Al Kutub As Sittah, ketika menghimpun hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencatat riwayat sirahnya secara terpisah, tetapi hanya mencatat dalil-dalil syariah secara umum yang diperlukan.
Di antara keistimewaan sumber kedua ini ialah bahwa sebagian besar isinya diriwayatkan dengan sanad sahih yang bersambung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kepada para sahabat yang merupakan sumber khabar manqul, kendatipun Anda temukan beberapa riwayat dha’if yang tidak bisa dijadikan hujjah.
Ketiga: Kitab-kitab Sirah
Kajian-kajian sirah di masa lalu diambil dari riwayat-riwayat pada masa sahabat yang disampaikan secara turun-temurun tanpa ada yang memperhatikan untuk menyusun atau menghimpunnya dalam suatu kitab, kendatipun sudah ada beberapa orang yang memperhatikan secara khusus sirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan rincian-rinciannya.
Barulah pada generasi tabi’in, sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diterima dengan penuh perhatian. Banyak di antara mereka yang mulai menyusun data tentang sirah Nabawiyah yang didapatkan dari lembaran-lembaran kertas. Di antara mereka ialah Urwah bin Zubair yang meninggal pada tahun 92 Hijriah, Aban bin Utsman (105 H), Syurahbil bin Sa’ad (123 H), Wahab bin Munabbih (110 H), dan Ibnu Syihab Az Zuhri (124 H).
Akan tetapi, semua yang pernah mereka tulis ini sudah lenyap, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman.
Setelah itu, muncul generasi penyusun sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Muhammad bins Ishaq (152 H). Selanjutnya disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokoh Al Waqidi (203 H) dan Muhammad bis Sa’ad, penyusun kitab Ath Thabawat Al Kubra (130 H).
Para ulama sepakat bahwa apa yang ditulis Muhammad bin Ishaq merupakan data paling terpercaya tentang sirah Nabawiyah (pada masa itu).1 Akan tetapi, sangat disayangkan, kitabnya, Al Maghazi, termasuk kitab yang musnah pada masa itu.
Akan tetapi, alhamdulillah, sesudah Muhammad bin Ishaq muncul Abu Muhammad Abdul Malik yang terkenal dengan Ibnu Hisyam. Ia meriwayatkan sirah tersebut dengan berbagai penyempurnaan, setengah abad sesudah penyusunan kitab Ibnu Ishaq tersebut.
Kitab Sirah Nabawiyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Hisyam yang ada sekarang ini hanya merupakan duplikat dari Maghazi-nya Ibnu Ishaq.
Ibnu Khalikan berkata, “Ibnu Hisyam adalah orang yang menghimpun sirah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Al Maghazi dan As Siar karangan Ibnu Ishaq. Ia telah menyempurnakan dan meringkasnya. Kitab inilah yang ada sekarang dan yang terkenal dengan Sirah Ibnu Hisyam.2
Selanjutnya, lahirlah kitab-kitab sirah Nabawiyah. Sebagiannya menyajikan secara menyeluruh, tetapi ada pula yang memperhatikan segi-segi tertentu, seperti Al Asfahani di dalam kitabnya Dala’il An Nubuwwah, Tirmidzi di dalam kitabnya Asy Syama’il, dan Ibnu Qayyim Al Jauziah di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad.
Catatan kaki:
1) Lihat tulisan Ibnu Sayyid An Nas di dalam muqaddimah kitabnya ‘Uyun Al Atsar fi Tatsiq Ibnu Ishaq wad Difa ‘Anhu.
2) Wafayat Al A’yan, 1/29, terbitan Maimanah.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Metode Penulisan Buku Kebebasan Wanita
Metode yang dipakai dalam penulisan buku ini diawali dengan membaca secara cermat nash-nash Al Quran dan nash-nash hadits yang sahih. Mulai terbetik dalam pikiran untuk mengikuti pola seperti itu sejak saya menggali hadits-hadits sahih Muslim ketika melaksanakan proyek pengkajian Sirah Nabawiyah melalui buku-buku Sunnah seperti yang telah saya sebutkan sebelum ini. Saya memulainya dari Shahih Bukhari dengan mempelajari nash-nash yang berkaitan dengan wanita mengenai setiap aspek dari berbagai aspek kehidupannya, kemudian Shahih Muslim, dan diteruskan dengan mempelajari kitab-kitab sunnah yang banyak beredar, sehingga saya menamatkan sebanyak empat belas kitab, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa Malik, Zawa’id Shahih Ibnu Hibban, Musnad Ahmad, Mu’jam Ath Thabrani yang tebal, sedang, dan tipis, Musnad Al Bazzar, serta Musnad Abu Ya’la. Enam buku yang disebutkan terakhir penulis telaah dalam kitab Majma’uz Zawa’id Wa Manba’ul Fawa’id, yaitu satu kitab yang di dalamnya Al Hafizh Al Haitsami mengumpulkan nash-nash tambahan yang tidak terdapat dalam enam buku pertama, (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Pembacaan nash Sunnah secara cermat tidak berarti merupakan batasan cukup untuk tidak membaca nash-nash Kitabullah sebab Kalamullah Ta’ala merupakan sumber pertama yang mempunyai keagungan dan kebesaran, serta memiliki kepadatan kandungan yang membuat setiap orang tertegun untuk memikirkan makna setiap ayatnya. Setelah keseluruhan ayat tersebut saya telaah, rasanya tidak hanya cukup satu kali untuk membacanya. Karena itu, saya ulang dan ulang lagi sehingga hasilnya, alhamdulillah, cukup baik.
Tekad saya pertama kali adalah agar buku ini mencakup nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan buku-buku Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam. sebagaimana yang telah saya isyaratkan sebelumnya. Berdasarkan pemikiran itu, saya membuat beberapa pasal. Namun, kemudian saya memutuskan untuk tahap pertama ini cukup dengan nash-nash dari Kitabullah, Shahih Bukhari, dan Shahih Muslim saja, karena beberapa pertimbangan berikut:
- Faktor waktu; alangkah baiknya jika bisa segera mempersembahkan topik penting seperti ini kepada umat. Walaupun menyegera, saya ingat bahwa untuk menghasilkan karya yang memuaskan tentu dibutuhkan tenaga dan waktu yang berlipat ganda, karena sanad hadits-hadits itu pun harus diteliti.
- Faktor memberi kemudahan bagi pembaca dengan pertimbangan bahwa satu jilid untuk setiap pembahasan dari pembahasan-pembahasan yang ada dalam satu buku tentu lebih ringan daripada beberapa jilid.
- Faktor penghargaan dan kepercayaan terhadap apa yang terdapat dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kedua kitab tersebut mendapat tempat khusus dalam hati setiap insan muslim, karena keduanya mengandung hadits-hadits sahih dan tidak memuat hadits-hadits dha’if. Kedua kitab tersebut merupakan kitab paling dipercaya setelah Kitabullah. Dengan demikian, pembaca dapat meyakini sepenuhnya kesahihan nash-nash yang dimuat dalam buku ini.
Singkatnya, saya mengambil keputusan untuk menerbitkan buku ini dalam dua tahap. Tahap pertama –hasilnya seperti yang ada di tangan para pembaca sekarang– terbatas pada nash-nash tertentu yang bersumber dari Kitabullah serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Kadang-kadang pembahasan ini keluar juga dari kedua kitab sahih tersebut, tetapi dalam masalah-masalah yang sangat terbatas, misalnya jika dalil-dalil penjelasan untuk masalah tertentu tidak ditemukan di dalam kedua kitab sahih tersebut. Dan kadang-kadang saya juga menyebutkan beberapa alasan yang bersumber dari luar kedua kitab sahih tersebut dengan tujuan untuk lebih memperjelas keterangan. Bersamaan dengan itu saya upayakan sedapat mungkin untuk mengkaji pendapat-pendapat ulama yang pakar dalam bidangnya untuk mengetahui sejauh mana keabsahan sanad nash-nash yang dikutip. Saya lebih mendahulukan nash riwayat Bukhari dalam kondisi riwayat kedua imam hadits ini. Dan dalam kondisi yang terbilang jarang, penulis memilih nash riwayat Muslim karena saya lihat maksudnya yang lebih jelas. Dalam kondisi seperti ini saya tegaskan bahwa riwayat tersebut dikeluarkan oleh Muslim.
Pada tahap kedua –insya Allah– nash-nash dari Kitabullah akan mengambil porsi lebih besar dibandingkan nash-nash dari kitab-kitab Sunnah yang asli. Saya memohon kepada Allah semoga karya ini benar-benar ikhlas karena-Nya, diterima di sisi-Nya, dan bermanfaat bagi pembaca. Allah adalah sebaik-baik tempat memohon dan menyampaikan keinginan.
Konsep umum dari buku ini adalah mengetengahkan nash-nash yang dapat dijadikan dalil bagi topik-topik pembahasan sebagai mana telah saya sebutkan sebelumnya. Maksud dan tujuan nash-nash tersebut jelas sekali karena secara umum merupakan nash-nash yang bersifat praktis dan operasional sehingga kita tidak perlu bersusah payah membuang energi untuk menyimpulkan maksudnya. Setiap orang yang mempunyai sedikit latar belakang ilmu syariat pasti mampu memahami maksudnya. Meskipun demikian, kadang-kadang saya tetap berusaha menyebutkan pendapat beberapa ahli fiqih yang secara umum saya saring dari keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap Shahih Bukhari (Fathul Bari) yang benar-benar merupakan enskilopedia hadits dan fiqih. Pengutipan pendapat dan ucapan para ulama itu bertujuan untuk menetapkan bahwa dalil nash yang saya pahami dan yang merupakan dasar pengelompokan tematis bukanlah sesuatu yang aneh. Hal itu sudah biasa dilakukan oleh ulama-ulama besar sebelumnya.
Sehubungan dengan pengutipan pendapat-pendapat ulama tersebut, perlu pula dijelaskan bahwa saya hanya mengutip pendapat satu dari sekian banyak ulama untuk lebih menegaskan pendapat saya mengenai dalil suatu nash. Saya tidak mengutip pendapat semua ulama, baik yang bersifat pro ataupun kontra karena hal itu hanya akan menambah panjangnya permasalahan serta berlawanan dengan konsep penulisan yang saya pilih untuk buku ini. Bahkan tidak mustahii juga hal seperti itu menggiring saya pada konsep lain yang mengarah pada studi perbandingan terhadap pendapat-pendapat ulama, kemudian memilih mana yang lebih kuat dari pendapat-pendapat tersebut. Hal seperti itu menuntut dilakukannya kajian fiqih yang mendalam, bukan kajian sosial yang menghimpun nash-nash yang bersumber dari Kitabullah serta Shahih Bukhari dan Muslim. Barangsiapa yang ingin mengetahui lebih luas perbedaan pendapat ahli fiqih, silakan melihat kitab-kitab syarah dan buku-buku fiqih yang tebal. Kemudian perlu pula diketahui bahwa hampir tidak ditemukan suatu masalah dalam fiqih yang tidak diwarnai oleh perbedaan pendapat ulama. Soal perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah furu’ sudah merupakan perkara yang lazim dan sudah diakui. Tapi yang penting menurut konsep buku ini adalah menciptakan rasa tenteram bagi pikiran dan hati seorang muslim, yaitu dengan membaca dalil-dalil syariat dalam nashnya yang asli serta menguatkan. Pendapat yang didukung oleh nash-nash syariat adalah pendapat yang bisa dijadikan pegangan dalam kondisi terjadinya perbedaan pendapat.
Alhamdulillah, dengan mengikuti konsep ini telah berhasil diwujudkan semacam pengelompokan tematis terhadap nash-nash yang berkaitan dengan wanita dalam Al Quran serta kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Saya menganggap buku ini sebagai langkah konkret dalam dakwah ke arah pengelompokan baru terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah Nabi suhalallahu ‘alaihi wasallam. sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan umat Islam yang terus berkembang. Di antara kebutuhan tersebut adalah bidang humaniora, seperti ilmu jiwa, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik. Begitu pula halnya dengan kasus-kasus dan aneka problematika modern seperti kasus-kasus wanita, kesetiakawanan sosial, konsep pembaruan, dan perubahan. Yang lebih penting daripada semua itu adalah pola berpikir muslim. Masalah ini pantas sekali didukung dan mendapat perhatian khusus, sebab hal ini menuju karya sistematis baru yang membantu terwujudnya apa yang dinamakan ijtihad yang dibutuhkan dalam bidang fiqih dan pembaruan yang didambakan untuk kepentingan agama yang dibawa oleh Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.
Berkat karunia Allah, akhir-akhir ini, usaha pengelompokan tematis terhadap nash-nash Al Quran dan Sunnah banyak mendapat perhatian kalangan ulama. Juga merupakan karunia Allah bagi umat Islam bahwa Dia telah memberikan jaminan akan memelihara Kitab-Nya sebagaimana memelihara Sunnah Nabi-Nya yang merupakan penjelasan bagi Kitabullah yang telah dan akan terus dipelihara pada derajat yang paling tinggi sesuai dengan perlindungan yang diberikan Allah kepadanya, sebagaimana firman-Nya ini:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al Hijr: 9)
maka Sunnah dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dijaga oleh kaum muslimin dengan penuh perhatian dan mereka korbankan segala tenaga untuk menjaga kemurniannya. Allah mengaruniai mereka ilmu yang sistematis sehingga menjamin terpeliharanya keabsahan sanadnya sepanjang masa. Karunia yang diperuntukkan bagi umat Islam ini sungguh merupakan hikmah yang luar biasa dari Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Jika dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya, kitab-kitab mereka telah mengalami perubahan dan penggantian. Kemudian Sunnatullah menghendaki untuk memilih nabi baru atau menurunkan kitab baru guna meluruskan kembali ajaran-ajaran petunjuk Ilahi. Setelah umat Islam memikul misi agama penutup dan tidak ada lagi nabi setelah Muhammad suhalallahu ‘alaihi wasallam., lantas Allah memelihara pokok-pokok agama ini sehingga manusia kembali kepadanya setiap saat sampai hari kiamat. Hal itu dilakukan jika mereka berminat mengikuti petunjuk Allah yang nyata dan tidak menganggap masalah agama sebagai benda pusaka yang diwarisi secara turun- temurun oleh anak cucu dari orang tua dan nenek moyang mereka sebagaimana adanya serta iidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh umat-umat terdahulu:
“… Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22)
Saya kira, umat Islam yang menghargai sepenuhnya karunia Allah berupa pemberian jaminan pemeliharaan pokok-pokok agama mereka, pantas sekali untuk kembali setiap saat pada pokok-pokok agamanya, serta menjadikannya sebagai pedoman dan acuan hukum karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)
Saya berharap kiranya segala tenaga yang dikorbankan melalui buku ini dengan izin Allah dapat membantu umat Islam dalam mengembalikan masalah-masalah wanita pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah suhalallahu ‘alaihi wasallam.
Jika mengikuti petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam itu merupakan sesuatu yang dituntut dan keharusan dalam upaya meluruskan jalan hidup kita dalam semua aspeknya, dalam aspek keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial lebih dituntut dan diharuskan lagi mengingat petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dalam bidang ini seolah-olah mengalami sedikit perubahan yang cukup mendasar, atau bahkan cukup parah. Penerapan konkret terhadap keterlibatan wanita pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam merupakan sunnah yang pantas diikuti dan teladan indah yang patut ditiru. Ironisnya sunnah-sunnah yang sebetulnya patut ditiru dan contoh-contoh yang pantas diteladani dalam bentuk penerapan-penerapan baru, mengingat perkembangan dan pertumbuhan masyarakat serta karena dorongan dan arahan ajaran agama yang mulia, justru dalam penerapan konkretnya sekarang ini semakin lemah dan memudar, bahkan dapat dikatakan hampir sirna sama sekali. Sementara nash-nash yang bercerita tentang sunnah tersebut tinggal di dalam buku-buku agama sebagai goresan tinta belaka. Sinarnya –sebagaimana yang diinginkan oleh Pembuat syariat– sudah tidak ada. Tanda-tandanya sudah terkikis atau tertutup di hadapan akal dan hati manusia karena kabut tebal dari penafsiran dan pendapat para tokoh serta ulama. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
a. Sisa adat dan tradisi jahiliah, baik jahiliah bangsa Arab maupun jahiliah bangsa-bangsa lain yang masuk ke dalam Islam. Kemudian adat dan tradisi jahiliah yang sudah melekat di dalam otak, hati, dan perilaku mereka tetap terbawa sepanjang masa.
b. Munculnya aliran-aliran ekstremis dan sikap berlebihan di kalangan sebagian umat Islam, seperti sikap ekstrem mereka mengenai masalah mencegah keburukan terhadap godaan wanita. Saya telah menyediakan pasal khusus untuk menjelaskan sikap mereka yang berlebihan dalam menerapkan kaidah pencegahan atas keburukan (saddu dzari’ah) tersebut.[1]
c. Ijtihad-ijtihad yang salah atau marjuhah (kurang kuat) yang disampaikan oleh sebagian ulama salaf –dan sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Pengaruh ijtihad tersebut semakin besar dan dampaknya semakin jauh karena telah diwarisi secara turun-temurun selama berabad-abad akibat kejumudan dalam berpikir dan taklid buta.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmatNya kepada Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan: “Sesungguhnya tidak seorang pun dari para ulama, baik dari generasi pertama maupun yang berikutnya, kecuali mempunyai perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang tidak berlandaskan pada sunnah …. Ini adalah suatu masalah yang luas dan tidak ada tepinya. Namun demikian, hal itu tidak mengurangi martabatnya. Selain itu, kita tidak perlu mengikuti perkataan dan perbuatan mereka yang keliru tersebut. Sebab Allah subhanahu wa ta’ala sudah berfirman: ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).'”Mujahid, Al Hukum bin Utaibah, Malik, dan lainnya berkata: “Tidak seorang pun dari makhluk Allah ini kecuali ucapannya dapat dipegang dan dapat pula ditinggalkan kecuali Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam”[2]
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mencurahkan rahmat-Nya kepada Asy Syaukani yang mengatakan: “Fanatik (kepada seorang imam) dengan menjadikan setiap pendapat yang dia keluarkan dan ijtihad yang dia riwayatkan sebagai pegangan bagimu dan bagi semua hamba, maka jika kamu lakukan seperti itu, berarti kamu telah menjadikan imam itu sebagai pembuat syariat, bukan pelaksana. Atau sebagai pemberi tugas (mukallif), bukan sebagai orang yang diberi tugas (mukallaf).”[3]
Apapun kesalahan dan penyimpangannya, sungguh merupakan karunia dan rahmat Allah bagi kaum muslimin bahwa di tengah-tengah mereka masih terdapat orang-orang yang adil dan melaksanakan perintah Allah. Mengenai hal ini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Senantiasa dari umatku terdapat suatu umat yang menegakkan agama Allah, tidak akan memberi mudharat kepada mereka orang yang mengecewakan mereka atau yang menentang mereka, sehingga perkara Allah (kiamat) datang, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR Bukhari)[4]
“Ilmu (agama) ini diemban dalam setiap generasi khalaf (belakangan) oleh orang-orang adil yang menyingkirkan penyimpangan orang-orang yang berlebihan, pemalsuan orang-orang yang suka berbuat batil, dan pentakwilan orang-orang jahil.” (HR Al Baihaqqi)[5]
“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini di permulaan setiap seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR Abu Daud)[6]
d. Penelitian sanad-sanad hadits oleh Bukhari dan orang-orang yang setelahnya terjadi setelah imam yang empat membangun mahzab fiqih mereka. Oleh karena itu, para ulama mengatakan tentang keharusan mengoreksi pendapat para imam dengan hadits yang sahih. Akan tetapi, sebagian besar pengikut mereka tidak mengoreksinya dengan timbangan tersebut. Mereka telah melanggar wasiat para imam dan menyalahi ketentuan hadits.
Imam Asy Syafi’i telah berkata dengan jelas: “Diriwayatkan sebuah hadits yang isinya bahwa kaum wanita dibiarkan menghadiri dua hari raya. Kalau hal ini benar, aku pasti mengatakannya.” Mengomentari ucapan Asy Syafi’i ini, Al Baihaqqi berkata: “Hal itu benar. Hadits itu diriwayatkan oleh kedua orang Syaikh hadits –yaitu hadits Ummu Athiyyah– lalu Asy Syafi’i mengatakannya.”[7] Hadits Ummu Athiyyah tersebut berbunyi sebagai berikut: “Kami diperintahkan supaya keluar (pada hari raya), hingga kami mengeluarkan wanita haid, gadis belia, dan gadis-gadis pingitan. Adapun wanita haid, hadir bersama jamaah muslimin dan mengikuti khotbah mereka, tetapi mereka agak menjauh dari mushalla (tempat shalat).” (HR Bukhari dan Muslim)[8]
Hal-hal yang membuat saya semakin bersemangat untuk melanjutkan pekerjaan ini adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi:
“Semoga Allah memberikan cahaya bagi orang yang mendengarkan ucapanku, lalu menyampaikannya. Boleh jadi pengemban fiqih bukan ahli fiqih dan boleh jadi seorang membawa fiqih kepada orang yang lebih ahli daripadanya.” (HR Ibnu Majah)[9]
Dari penulisan buku ini saya berharap telah menyampaikan ucapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para ahli fiqih dan orang-orang yang lebih ahli dalam bidang ini. Selain itu, saya berharap semoga Allah memasukkan saya ke dalam kelompok orang-orang yang diberi kabar gembira sebagaimana dalam hadits tersebut.
Jika kita lihat orang-orang saleh dahulu kala, mereka mengembara berhari-hari dan bermalam-malam untuk memperoleh sebuah hadits. Contohnya dapat kita lihat dalam kisah Jabir bin Abdullah –salah seorang sahabat– yang melakukan perjalanan selama satu bulan ke tempat Abdullah bin Anis untuk mendapatkan sebuah hadits.[10] Juga dalam kisah Amir Asy Sya’bi –salah seorang tabi’in– yang berkata kepada seseorang dari Kabilah Khurasan setelah mengajarkan kepadanya satu hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: “Kami memberikannya padamu tanpa apa-apa, padahal dia sudah berkendaraan ke Madinah untuk mendapatkannya.”[11] Contoh lain adalah perkataan Bisir bin Ubaidillah: “Aku berkendaraan dari kota ke kota untuk mendapatkan sebuah hadits.”[12]
Saya mengharapkan cucuran rahmat Allah, semoga Dia memberikan kemudahan bagi kaum muslimin dalam membaca dan memahami hadits-hadits yang terdapat dalam buku ini karena hadits-hadits tersebut besar sekali manfaatnya dalam kehidupan mereka.
[1] Pasal selanjutnya
[2] I’lam Al Mawaqqi’in, jilid 3, hlm. 284.
[3] Adab Ath Thalab, oleh Asy Syaukani.
[4] Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Tanda-tanda kenabian, jilid 7, hlm. 445.
[5] Hadits ini terdapat dalam buku Misykat Al Mashabih, jilid 1, hlm 82, no. 248. Muhaqqiq, Syekh Nashiruddin Al Albani menyebutkan bahwa Hafizh Al Aila’iy mensahihkan beberapa jalur hadits ini.
[6] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 1870.
[7] Fathul Bari, jilid 3, hlm. 123.
[8] Bukhari, Kitab: Dua hari raya, Bab: Wanita haid menjauhi mushalla, jilid 3, hlm. 22. Muslim, Kitab: Shalat dua hari raya, Bab: Diperbolehkannya wanita pergi ke mushalla pada dua hari raya, jilid 3, hlm 20.
[9] Shahih Sunan Ibnu Majah, Mukaddimah bab: “Orang-orang yang telah mencapai ilmu”, hadits no. 187
[10] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq, Kitab: Ilmu Bab: Keluar menuntut ilmu, jilid 1, hlm. 183. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh Bukhari dalam buku Al ‘Adab Al Mufrad, sedangkan Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab musnad mereka.”
[11] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Seorang lelaki mengajar budak perempuan dan keluarganya, jilid 1, hlm. 200.
[12] Atsar ini terdapat dalam Fathul Bari. Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Diriwayatkan oleh ad-Danmi dengan sanad yang sahih”, jilid 1, hlm. 202.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Islam dan Kebudayaan
Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilisation. Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah satu kebudayaan yang lengkap. (H.A.R. Gibb, Whither Islam, pg. 12).
Demikianlah bunyi pengakuan seorang pujangga ahli tarikh, Prof. H.A.R. Gibb dalam kitabnya yang terkenal “Whither Islam.”
Satu pengakuan dari seorang yang bukan dipengaruhi oleh perasaan fanatik-agama, merdeka dari perasaan-perasaan ta’ashub dan membentangkan dengan terus terang keyakinannya, yang berdasarkan kepada penyelidikan teliti dan saksama.
Dan bersama dengan beliau itu ada berpuluh, kalau tidak akan beratus, ahli ilmu pengetahuan yang ternama dari berbagai agama, yang mengakui dan menghargai dengan cara satria, akan jasa-jasa Islam terhadap kebudayaan umumnya. Ada yang memandang dari pihak ilmu pengetahuan, ada yang menilik dari pihak falsafah, dari pihak pemerintahan, perekonomian, akhlak, dan lain-lain.
Hukum alam ini telah berlaku, baik di Barat maupun di Timur, dari bangsa Tionghoa, India, Egypte sampai kepada bangsa Chaldeers, Yunani, Rumawi, Arab, dan sampai kepada bangsa Eropah sekarang ini.
Begitulah sinar kebudayaan itu berputar dan bergilir dari satu tempat ketempat yang lain dimuka bumi kita ini, dengan tidak mempedulikan bangsa dan warna kulit, hanya menurutkan qudrat dan iradat Tuhan yang Mahakuasa dan Mahaadil.
Marilah kita tujukan pandangan dan minat kita kepada suatu kebudayaan, yang telah diizinkan oleh yang Mahakuasa mencapainya kepada suatu bangsa yang tadinya bodoh, tidak terkenal dan tiada dianggap oleh kaum dan bangsa-bangsa yang lain disekelilingnya, ialah satu kaum dari Jazirah Arab, tanah tempat pertemuan benua Eropah, Asia dan Afrika. Kaum tersebut pada satu saat bergerak menggemparkan dunia, membina satu kebudayaan yang sangat penting artinya dalam sejarah, sejak purbakala sampai sekarang.
Maka yang menjadi pokok kekuatan, sebab timbulnya kebudayan itu, ialah Agama Islam; sebab itu tepatlah kalau dinamakan dengan sebutan Kebudayaan Islam.
Sesudah kaum Muslimin memperteguh kedudukan mereka sebagai satu kaum yang diikat oleh keyakinan yang satu dan pandangan hidup yang satu pula, dan setelah mereka dapat menduduki satu tempat yang tertentu pula dalam medan percaturan dunia ketika itu, yakni setelah mereka dari tingkat kaum yang tadinya tak hentinya mendapat serangan dan tamparan dari kanan-kiri, siang dan malam mempertahankan jiwa, kemudian naik kepada derajat kaum yang dibenarkan hak berdirinya, didengar bunyi suaranya, diakui kekuasaan “dan kemegahannya oleh bangsa-bangsa yang berkuasa dibenua Afrika, Asia dan Eropah itu, maka pada saat itulah mereka mendirikan kebudayaan yang buahnya diwarisi oleh bangsa Eropah pada zaman kita ini.
Marilah kita perhatikan patokan-patokan yang dibawah ini:
- Agama Islam menghormati akal manusia dan mendudukkan akal itu pada tempat yang terhormat serta menyuruh agar manusia mempergunakan akal itu untuk menyelidiki keadaan alam.
- Agama Islam mewajibkan pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, menuntut ilmu. „Tuntutlah ilmu dari buaian sampai keliang lahad”, kata Nabi Muhammand shalallahu ‘alaihi wasallam.
- Agama Islam melarang bertaklid-buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari ibu-bapa dan nenek-moyang sekalipun. Dan janganlah engkau turut apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan atasnya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu, semuanya akan ditanya tentang itu. (QS Bani Israil: 36.)
- Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran, walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
- Agama Islam menggemarkan dan mengerahkan pemeluknya pergi meninggalkan kampung halaman berjalan kenegeri lain, memperhubungkn silaturrahim dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar rasa dan pemandangan. Wajib atas tiap-tiap Muslimin yang kuasa, pergi sekurangnya sekali seumur hidupnya mengerjakan haji. Pada saat itu terdapatlah pertemuan yang karib antara segenap bangsa dan golongan diatas dunia ini. Keadaan itu menimbulkan perhubungan persaudaraan dan perhubungan kebudayaan (akulturasi) yang sangat penting artinya untuk kemajuan tiap-tiap bangsa.
Sekian sebagai kutipan ringkas dari ajaran Agama Islam, yang menjadi sumber kekuatan, yang mendorong terbitnya satu kebudayaan, yang akan kita perbincangkan dengan ringkas dibawah ini.
Selain dari pada itu ada lagi faktor lain, yang tidak kurang menambah subur dan lekas berkembangnya kebudayaan tersebut, yakni perlindungan yang diberikan oleh Khalifah Islam kepada ahli-ahli ilmu dan ahli-ahli seni dengan tiada memandang bangsa dan agama. Dengan jalan ini dapatlah ahli ilmu dan ahli seni mewujudkan perhatian dan minat mereka, kepada ilmu dan kesenian yang mereka perdalami.
Seorang dari Khalifah yang sangat berbakti dalam mewujudkan Kebudayaan Islam itu, ialah Khalifah Al Mansur, Khalifah yang kedua dari dinasti Abbassiah. Khalifah Al Mansur adalah seorang yang saleh, kuat beragama, ahli dalam ilmu fiqh, gemar kepada ilmu pengetahuan, terutama ilmu bintang dan ilmu tabib. Ahli-ahli pengetahuan dengan tidak memandang agama, sama-sama bekerja diistananya dengan mendapat nafkah, yang bukan kecil. Antaranya ialah Maubacht, ahli astronomi orang Persia, mulanya beragama Majusi, kemudian masuk Islam dengan penyaksian baginda sendiri. Ahli ini terus-menerus tinggal diistana Khalifah dengan anak cucunya, bekerja memperdalam ilmu astronomi itu.
Melihat bagaimana besarnya minat Khalifah Al Mansur memajukan ilmu falak itu, datang ahli ilmu dari India, Persia, Rumawi berkumpul di Bagdad, bekerja dengan sungguh menuntut ilmu tersebut, dibawah perlindungan pemerintahan Islam.
Kitab-kitab lama yang sudah terbenam kedalam jurang kelupaan di negeri Rumawi, diminta oleh Khalifah Al Mansur supaya ditimbulkan kembali isinya yang berharga itu. Raja Rumawi pernah mengirimkan satu buku dari pujangga hitung Euclydes yang masyhur dan beberapa kitab-kitab physica ke Bagdad, terus diterjemahkan, dipelajari, diperluas dan diperkembangkan disana.
Dinegeri Jandisapura ada seorang tabib bangsa Siria beragama Kristen yang masyhur pada zaman itu. Khalifah Al Mansur meminta agar Georgy Bachtisyu, demikian nama ahli itu, datang ke Bagdad mengajarkan ilmu tabib. Walaupun Georgy seorang Kristen, tapi ia mendapat kehormatan dan perlakuan yang baik dari ahli Bagdad, dan selain dari gaji tetap yang diterimanya tiap bulan, ia menerima lagi hadiah 300 dinar dari Khalifah sebagai tanda kehormatan. Al Mansur telah meninggalkan buah usahanya dalam ilmu-ilmu astronomi, ilmu hitung dan ilmu tabib. Pun Khalifah yang lain seperti Khalifah Harun Al Rasyid, Al Ma’mun, mementingkan ilmu, Agama dan filsafat.
Dengan jalan begini banyaklah ilmu-ilmu yang berharga, yang hampir lenyap dari muka bumi, kembali terpelihara. Diantara kitab-kitab yang telah dipelajari, diterjemahkan dan dikomentari oleh pujangga Islam dizaman itu, dibawah lindungan Khalifah, antara lain adalah kitab ketatanegaraan dari Plato, kitab-kitab hitung dari Euclydes dan beberapa kitab-kitab astronomi dari Ptolemeus.
Malah diantara kitab-kitab itu yang sampai sekarang tidak bertemu lagi orisinilnya, hanya dapat diketahui dari terjemahan kedalam bahasa Arab, buah tangan pujangga Islam dimasa „zaman terjemah” itu.
Semasa orang di Barat mengharamkan mempergunakan penyelidikan akal, memburu dan membunuh seorang Galileo Galilei, karena ia ini pernah mengatakan bahwa bumi ini berputar, maka pada kerajaan-kerajaan Islam diwaktu itu, orang berkeyakinan bahwa memajukan ilmu dan kebudayaan umumnya, masuk dalam kewajiban pemerintahan. Pemerintah mencari, memanggil dan memperlindungi ahli ilmu dan seni dari segenap pihak dan dari bermacam-macam agama.
Sedang sebagian dari tindakan-tindakan orang agama lain, menjaga agar agama jangan rusak, ialah dengan melarang pemeluknya membaca kitab yang berisi keyakinan lain dan dengan lantas memasukkan kitab-kitab yang berbahaya itu kedalam daftar kitab-kitab yang tak boleh dibaca oleh pemeluknya, sebaliknya Khalifah Islam dizaman keemasan itu memerintahkan untuk menterjemahkan kitab-kitab dari ber-macam- macam agama dan mazhab yang ada pada masa itu, supaya dapat diketahui, dibatia, diperiksa dan diperbincangkan oleh semua ahli akal dari kaum Muslimin.
Berani menempuh ujian, tak enggan menerima kebenaran walaupun datangnya dari pihak lain, tak takut menolak kebatilan sesudah diperiksa dan diselidiki, walaupun berada pada pihak sendiri.
Demikianlah pada permulaan abad ke 8 Masehi, pada waktu bangunnya Kebudayaan Islam itu, orang Islam telah memperlihatkan kemuka bumi, bagaimana mereka telah mempunyai persediaan untuk menerima kebudayaan dari bangsa-bangsa yang terdahulu : Yunani, Persia, Rumawi, India, dan lain-lain; dan bahwa mereka mempunyai kecakapan dalam memperlindungi buah kesusastreraan lama, agar jangan hilang lenyap kedalam lembah kelupaan, hasil-hasil mana tadinya bertebaran kesana-kemari tidak dipedulikan oleh bangsa-bangsa yang telah jatuh dan ahli-ahli warisnya yang telah jatuh kedalam kemunduran dan kerusakan. Semua disimpan dengan maksud akan diberikan dan ditebarkan kembali di dunia Eropah, Afrika Utara dan Asia Barat pada masanya itu. Di tangan Islam, lahirlah kembali kebudayaan-kebudayaan yang hampir hilang dan timbullah satu ruh kebangkitan “renaissance”, yakni 600 tahun lebih dulu dari renaissance di Eropah Barat yang lahir pada abad ke 15 itu.
Apakah usaha kaum Muslimin itu hanya satu-satunya mengumpulkan yang sudah ada, dan menimbulkan apa-apa yang hampir tenggelam saja, atau adakah juga mereka itu mengadakan barang yang belum ada, meminta jalan sendiri dan menjejak yang belum ditempuh?
Jawabnya: Ada! Dan memang ada!
Setelah ulama-ulama Islam membaca dan menelaah kitab-kitab Plato, Socrates, Aristoteles, Ptolemeus dll. mereka sendiri terus membuat syarah (komentar) dan mukhtasarnya atau ringkasannya. Sesudah itu mereka mulai mengarang sendiri dan memperbincangkan masalah itu satu persatu dengan fikiran sendiri, dengan lebih mukhtara’ atau orisinil.
Maka datanglah zaman baru, yakni bukan zaman terjemah lagi, tapi zaman meneruskan penyelidikan yang ada, yang meminta jalan sendiri. Pada zaman yang kedua inilah pujangga Islam memutar otak membanting tulang, berjihad dengan segenap tenaga untuk mendirikan satu gedung kebudayaan yang kokoh, yang akan memberi manfaat yang tidak ternilai kepada dunia.
Zaman ini adalah zaman filosof Islam yang ternama, seperti filosof Ya’kub bin Ishaq bin Sabrah Al Kindi, yang terkenal dengan nama Al Kindi saja. Beliau ahli dalam ilmu tabib, falsafah, astronomi, hitung dan musik. Abu Nasr Al Farabi, ahli mantik, falsafah dan ahli musik dan orang yang pertama kali membahas masalah politik ekonomi, yang orang Barat sekarang menganggap sebagai suatu ilmu yang baru diperhatikan pada abad-abad yang akhir ini.
Zaman Abu ‘Ali Husein bin ‘ Abdullah bin Sina, yang masyhur di Eropah dengan nama Avicienna. Antara lain dari buah tangannya ialah suatu buku-standard yang bernama Asy Syifa, yakni satu Ensiklopedi dalam 19 jilid besar yang sampai sekarang disimpan dalam bibliotek Oxford University.
Zaman inilah zaman Ibn Rusyd, pujangga Islam di Andalusia, zaman Ibn Bajah yang masyhur dengan nama Avenpace, zaman Ibn Maskawaih seorang paedagog yang berjasa, zaman Al Fakhari ahli astronomi yang diakui oleh dunia astronomi sampai sekarang. Abu Al Nafas dan Ibnu Khayam, ahli hitung ternama dalam ald yabar dan trigonometri.
Dalam pekerjaan kita sehari-hari banyak perkataan yang keluar dari mulut dan kedengaran di telinga yang menjadi saksi sampai sekarang akan ketinggian Kebudayaan Islam pada zaman keemasannya itu. Umpamanya perkataan tarif berasal dari tarif, yakni bahasa Arab, wesel berasal dari wasl, perkataan magazine berasal dari makhazin, perkataan duane berasal dari diwan (kantor), cheque berasal dari sakh, dan lain-lain. Semua itu menunjukkan, bahwa dalam abad-keemasan itu Islam memegang peranan dalam dunia dagang yang memperhubungkan semua negeri sekeliling Laut Tengah dan Laut Merah, yakni dari Eropah sampai ke India terus ke Tiongkok dan Rusia (Legacy o f Islam).
Dengan perdagangan yang teratur itu mereka memajukan industri seperti industri gula di India, industri kertas di Damaskus. Dalam industri itu kaum Muslimin bekerja menyempurnakan yang ada dan merintis jalan baru, umpama membuat bermacam-macam gula (Encylopaedia Britannica art. Sugar) membuat gelas, jam, dan lain-lain
Dalam industri obat-obaan, ahli-ahli kimia Islamlah yang mula-mula membuat bermacam-macam nietrietdan chlorie, umpamanya nietrophydrochloriet. Dokter-dokter Islamlah yang mula-mula memakai chloroform dalam mengobat dan memeriksa orang sakit, yang mula-mula memakai opium pengobat orang gila dan bermacam-macam cara mengobat yang orisinil, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh dokter-dokter. Pun kalangan kaum ibu tidaklah ketinggalan menuntut ilmu kedokteran itu dan mengamalkan ilmu itu untuk keselamatan kaum ibu umumnya, umpamanya : Ukhtulhufaid bin Zuhr dan anaknya, yang keduanya menjadi dokter di istana Khalifah di Andalusia, Zainab Thabibah bani Ased, spesialis ilmu mengobat mata. Syahdah Dinuriah dan Binti Dukhain Al Lauzi Damsyiqiyah di Siria.
Sungguh suatu hal yang tidak mungkin kalau kita hendak memberi gambar dari satu kebudayaan yang begitu luas dan dalam, yang telah hidup begitu subur memberi buah yang kekal untuk manusia dari zaman kezaman dengan mengambil tempat dalam 3 atau 4 muka ini saja.
Akan tetapi disini sekedar introduksi, sebagai memanggil perhatian kaum kita, terutama pemuda-pemuda Muslimin yang masih mudabelia dan yang mempunyai ruh dan tenaga-muda, agar ingat bahwa satu tingkat tinggi telah tercapai oleh nenek-nenek mereka yang teguh memegang semua peraturan dan perintah Agama kita, Islam.
Mudah-mudahan kita semua insaf bahwa sesungguhnyalah Agama Islam itu “much more than a system of theology, it is a complete civilisation,” seperti kata Prof. Gibb di atas itu.
Telah ada satu masa, yang negeri-negeri Islam menjadi pusat kebudayaan, menjadi sentral perhatian dunia. Kalau Mekah menjadi pusatnya ibadah, tempat kaum Muslimin naik haji menunaikan rukun Islam mereka, maka Bagdad pernah jadi pusat ilmu pengetahuan, tempat ulama-ulama berkumpul dari segenap penjuru untuk menambah ilmu pengetahuan mereka, yang akan mereka tebarkan di negeri mereka masing-masing. Ibadat dan pengetahuan, kedua-duanya dipentingkan oleh Agama Islam, kedua-duanya dijunjung tinggi dan diamalkan oleh kaum Muslimin dengan ikhlas, terjauh dari pada ria dan tekebur. Sesungguhnya mereka inilah mereka yang menang.
Bilakah kembalinya masa yang demikian wahai Pemuda Islam?
Pedoman Masjarakat, Djuni 1936.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-03 Pengantar Penerjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an
Segala Puji bagi Allah yang telah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallohu alaihi wasallam beserta keluarga, para sahabat ,dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amin
Alhamdulillah. Itulah kalimat yang harus saya sampaikan setelah merampungkan terjemah Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini.
Dari sekian banyak buku yang saya terjemahkan, buku tafsir ini paling banyak memberikan kepuasan spiritual dan intelektual. Karena Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini merupkan tafsir kontemporer paling aktual dalam memberikan terapi berbagai persoalan dan mejawab berbagai tuntutan abad modern ini berdasarkan petunjuk Al Qur’an. Di antara persoalan dan tuntutan abad modern yang paling menonjol adalah persoalan seputar pemikiran, ideologi, konsepsi, pembinaan, hukum, budaya, peradaban, politik, psikologi, spiritualisme, dakwah, dan pergerakan dalam suatu rumusan kontemporer sesuai dengan tuntutan zaman. Berbegai persoalan ini, di samping persoalan-persoalan lainnya, mendapatkan perhatian yang memadai di dalam tafsir ini. Sehingga membuat tafsir ini terasa sangat aktual, apalagi gagasan-gagasan Sayyid Quthb yang tertuang di dalam tafsir ini sangat orisinal berdasarkan nash-nash Al Qur’an tanpa terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran asing. Karena Sayyid Quthb termasuk pemikir, pejuang, dan ideolog muslim yang sangat kuat meyakini keunggulan dan kemampuan Al Qur’an dalam mengatasi berbagai problematika yang dihadapi oleh ummat manusia sepanjang zaman, sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah. Karena itu, para pembaca tafsir ini, di samping akan terhindar dari inferioritas yang umumnya dialami oleh orang-orang muslimyang berfikir sekularistik dalam menghadapi pertarungan ideologi dan fisik antara pembela Islam dan pembela kekafiran.
Sebenarnya Tafsir Fi Zhilalil Qur’an ini mendapat sambutan luas di dunia Islam. Hanya saja terjemahannya ke dalam bahasa ‘ajam (non-Arab), termasuk di antaranya ke dalam bahasa Indonesia, agak terlambat. Ini mungkin karena faktor bahasanya yang memang sangat berat, karena Sayyid Quthb di samping dikenal sebagai pemikir juga dikenal sebagai seorang sastrawan, sehingga untuk menerjemahkannya memerlukan kerja keras yang melelahkan. Dan memang itulah yang saya rasakan ketika menerjemahkan tafsir ini. Sekalipun saya berusaha untuk tidak menghilangkan satu kata pun dara bahasa aslinya, tetapi saya menyadari bahwa terjemahan ini masih sangat jauh dari cita rasa bahasa aslinya. Sekalipun demikian, semoga terjemahan ini, dengan segala kekurangannya bisa membantu para pembaca untuk meningkatkan pemahaman, kecintaan, keimanan, dan komitmennya kepada Al Qur’an.
Untuk melengkapi tafsir ini, saya tambahkan dua hal:
(1) Takhrij hadits dan atsar yang termuat di dalam buku tafsir ini. Takhrij ini saya nukilkan dari buku Takhrij Ahadits wa Asar Kitab fi Zhilalil Qur’an li Sayyid Quthb yang ditulis oleh Alawi As Saqqaf terbitan Daarul Hijrah li Nasyri wa Tauzi’, Saudi Arabia cet. 1 tahun 1991. Takhrij hadits ini, dicantumkan pada catatan kaki. Untuk membedakan catatan kaki yang dibuat oleh Sayyid Quthb dan catatan kaki tambahan ini, maka diakhir setiap catatan kaki tambahan tersebut dicantumkan inisial (as) yakni Alawi As Saqqaf. Sedangkan catatan kaki yang asli dari Sayyid Quthb tidak dibubuhi tanda apa-apa.
(2) Indeks tematik –untuk memudahkan pembaca- kami cantumkan langsung pada awal buku ini. Indeks ini saya nukilkan dari buku faharis Fi Zhilalil Qur’an, Miftah Kunuz Fi Zhilalil Qur’an yang disusun oleh Muhammad Yusuf Abbas, terbitan Daarut Thaibah, Riyadh, cetakan pertama 1407H/1987M. Sedangkan indeks kata, saya buat sendiri.
Semoga tambahan ini akan membantu dan memudahkan para pembaca dalam memanfaatkan buku tafsir ini.
Semoga penerbitan tafsir ini menjadi tambahan timbangan amal kebaikan di sisi Allah, bagi penerjemah, penerbit, pembaca, dan semua pihak yang terlibat dalam penerbitan ini. Amin.
Wassalam,
Jakarta, 4 Januari 2000
Aunur Rafiq Shalih Taahmid, Lc.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Khazanah Peradaban Islam
Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister).
Cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi “dinamo”-nya, Barat bukanlah apa-apa (Montgomery Watt).
Peradaban berhutang besar pada Islam (Presiden AS, Barack Obama).
Pernyataan dari dua cendekiawan Barat dan satu dari orang nomor satu Amerika Serikat ini sengaja dikutip sekadar ingin menunjukkan, bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa lalu dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, pengaruh peradaban Islam terhadap kemajuan Barat saat ini tetaplah nyata.
Buku yang ditulis Dr. Musthafa As Siba’i ini adalah buah pengalaman beliau selama berkeliling dunia, khususnya di daratan Eropa. “Buku ini tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah Islam masa lalu yang gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas sejarah. Kalaupun secuil gambaran masa lalu peradaban Islam yang cemerlang sengaja ditampilkan di buku ini, itu tidak lain sebagai bentuk restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu amat diperlukan oleh kaum Muslim saat ini.” Begitulah penuturan penulis dalam mengawali (baca:pengantar buku) tulisannya.
Dengan itu, kaum Muslim secara sadar dan jujur akan mampu melihat kembali kebesaran peradaban Islam masa lalu sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu, selain merestrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, buku ini juga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk memproyeksi sekaligus merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekular saat ini, yang sesungguhnya mulai tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.
Sungguh benar apa yang telah disampaikan Rasulullah empat belas abad yang silam, “Rasulullah Saw ditanya, kota manakah yang dibebaskan terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma? Rasulullah menjawab, kotanya Heraklius dibebaskan lebih dahulu, yaitu Konstantinopel.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, dan Al Hakim)
September 2011
Gozali J Sudirjo
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Sekilas Tentang Hasan Al Banna
Saya mendengar tentang lelaki ini sejak sebelum beliau memindahkan dakwahnya dari Ismailia ke Kairo. Beliau seorang da’i yang sulit dicari bandingannya. Kaki beliau kokoh dalam menebarkan dakwah Islam. Saya sangat merasakan pengaruh yang positif dari beliau dalam perbaikan masyarakat. Itulah Imam Syahid Syaikh Hasan Al Banna – semoga Allah melimpahkan rahmat kepada beliau dan memasukkan beliau ke dalam syurgaNya yang luas, bersama para Nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shalih –. Saya berkenalan dengan beliau di Kairo. Saya sering menghadiri ceramah yang beliau sampaikan di kantor Ikhwanul Muslimin pertama maupun kantor kedua, setiap hari Selasa, yang akhirnya dikenal sebagai “Haditsuts Tsulatsa” atau yang beliau lebih suka menyebutnya “Atifatuts Tsulatsa”.
Hari Selasa ini, adalah hari-hari yang tersaksikan. Ribuan orang berkumpul dari berbagai penjuru Kairo, Iskandaria, sampai Aswan, bahkan dari luar Mesir. Mereka semua ingin mendengar Hasan Al Banna. Maka ia naik ke atas mimbar dengan jubah dan sorban putihnya, lalu sejenak mengitarkan pendangan kepada segenap hadirin, sebelum kemudian suara itu menggaung dengan kekuatan jiwa yang penuh dan kalimat-kalimat yang menyihir, yang segera merasuk dalam hati para pendengar. Suara itu tidak bertumpu pada retorika, juga tidak membakar emosi dengan teriakan. Suara itu sepenuhnya bertumpu pada kebenaran, membangun semangat dengan meyakinkan akal, menggelorakan jiwa dengan makna bukan dengan kata-kata, dengan ketenangan bukan dengan provokasi, dan dengan hujjah bukan dengan hasutan. Sehingga setiap orang yang pernah mendengarnya sekali, pasti akan terus mengikuti ceramah-ceramah itu secara rutin, betapapun kesibukan dan hambatannya.
Saya adalah salah seorang dari mereka yang terpesona dan antusias mendengarkan ceramah beliau, sehingga muncul keinginan pada diri saya untuk menyadurnya ke majalah “I’tisham”, meskipun pada masa itu orang-orang belum mengenal alat perekam (1940). Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk menyadurnya dengan metode yang jauh dari seni jurnalistik. Saya tidak mengerti dan tidak pernah mempelajari Stenografi dari seorangpun. Keinginan saya itu terwujud semata-mata karena ilham dan taufiq dari Allah swt agar saya berbahagia dengan terpeliharanya warisan agung ini. Semoga ia menjadi catatan amal baik saya. Maka, saya mulai mencatat ceramah hari Selasa itu sepanjang hidup Imam Syahid hingga menjelang wafatnya, rahimahullah.
Saya mempunyai suatu kebiasaan, datang ke kantor Ikhwanul Muslimin menjelang Maghrib untuk melaksanakan sholat jamaah. Suatu ketika, setelah adzan dan iqomat, Imam Syahid pernah meminta saya mengimami shalat. Saya menolak karena malu dan segan kepada beliau. Beliau akhirnya berkata, “Shalatlah dengan perintah!” Maka tidak ada pilihan lagi bagi saya kecuali melaksanakan perintah dan mengikuti keinginan beliau tersebut. Seusai shalat, saya kembali bersama para hadirin mendengarkan ceramah beliau. Di antara mereka, saya adalah satu-satunya yang mencatat ceramah itu. Meski demikian, saya tidak meminta tempat khusus untuk menulis. Saya duduk di bagian paling belakang majelis tersebut.
Ada satu paradoks yang menakjubkan, yaitu saya selalu dikejutkan oleh berakhirnya ceramah beliau. Saya dapat mengira bahwa hal yang sama dirasakan pula oleh hadirin yang lain. Itu terjadi lantaran beliau menarik perhatian para pendengar di akhir ceramah dengan gaya yang lebih memikat daripada yang digunakan beliau untuk menarik perhatian mereka di awal ceramah. Saya tidak mengetahui, apa rahasianya. Tetapi, itu merupakan salah satu kelebihan beliau yang paling menonjol. Karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja di antara hamba-hamba yang dikehendakiNya.
Pada tahun 1945, Allah telah memberikan taufiq kepada saya untuk melaksanakan kewajiban haji. Jum’iyah Syar’iyah memberikan kehormatan kepada saya untuk memimpin delegasinya. Di sana saya berjumpa dengan Imam Syahid, di Negeri Haram dan Tanah Suci. Saya mendengarkan beberapa ceramah yang disampaikan beliau di penginapan “Mesir” di Makkah bersama para pimpinan delegasi Islam, atas undangan beliau. Saya juga mendengarkan ceramah beliau di Mina, Madinah Munawarah, dan di Darul Hadits. Semuanya saya catat. Perlu saya sebutkan di sini bahwa delegasi-delegasi itu berdatangan dari berbagai penjuru: dari Indonesia, Jawa, Srilanka, India, Madagaskar, Nigeria, Kamerun, Iran, dan Afghanistan. Mereka berkenalan dan berkumpul dengan beliau. Beliau berbincang-bincang dengan setiap delegasi mengenai masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian mereka, tentang masalah dan problema yang mereka hadapi. Beliau menarik perhatian mereka, seakan-akan beliau datang dari negeri mereka, bukan mereka yang datang kepada beliau.
Karena itu wajar jika orang-orang berpandangan bahwa Hasan Al Banna merupakan figur yang unik di tengah-tengah manusia, bahkan di kalangan para pemimpin. Dengan watak dan karakternya, beliau telah mengukir sejarah dan mengubah arah perjalanannya. Beliau juga tergolong unik ketika wafat. Tidak ada yang menyalatkan beliau di masjid kecuali ayahnya. Tidak seorang pun di antara para pengikut beliau yang memenuhi dunia itu, yang berjalan di belakang keranda beliau, lantaran sebuah alasan yang sederhana, yaitu karena mereka pada masa itu sedang memenuhi penjara.
Walaupun Imam Syahid Hasan Al Banna telah meninggal dunia, tetapi pemikiran beliau tidak akan mati. Pengaruh beliau masih ada dan terus berkembang, yang berwujud generasi-generasi yang dicetak beliau “di atas “meja hidangan” Islam dengan metode modern dan terlihat dalam perkembangan gerakan Islam yang mendunia, dimana beliau merupakan figur yang pertama kali menabur benihnya. Sungguh Hasan Al Banna adalah mujadid (pembaharu) Islam di abad ke dua puluh.
Ahmad Isa ‘Asyur
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-04 Pengantar Membina Angkatan Mujahid
Al Islamu ya’lu wa la yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya). Pertanyaannya, lantas mengapa di masa sekarang kondisi umat Islam tertinggal oleh umat-umat Islam yang lain? Apakah slogan di atas sudah tidak berlaku lagi? Ataukah ajaran Islam sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman?
Jawabannya, slogan di atas masih tetap berlaku dan benar adanya. Demikian juga ajaran Islam masih tetap relevan denan perkembangan zaman dan kemodernan. Kalaupun kondisi umat Islam saat ini kurang menggembirakan, letak permasalahannya ada pada diri umat Islam itu sendiri, bukan pada Islamnya. Di satu sisi kemaksiatan dan penyimpangan telah menggerogoti kewibawaan umat, di sisi lain sebagian umat yang ingin bangkit seringkali gagal dalam memahami ruh ajaran Islam.
Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al Banna di Mesir pada tahun 1928 mencoba memberikan jawaban bagi dua permasalahan tersebut. Melalu karya tulis maupun sepak terjangnya di lapangan dakwah, Hasan Al Banna berusaha memompa semangat kebangkitan umat sekaligus menampilkan contoh sebuah gerakan dakwah yang –di samping benar dan lurus—juga produktif dan efisien. Melalui metode tarbiyah yang digulirkannya, Islam menjadi demikian mudah dipahami, ayat-ayat Al Qur’an terasa demikian hidup di hadapan pembacanya. Semua ini tidak lain karena HasanAl Banna mencoba mengembalikan pola pemahaman ajaran Islam kepada apa yang dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Disesuaikan dengan taraf pemahaman umat Islam di masa ini serta berbagai permasalahan yang meliputi mereka.
Ada banyak ulama, pakar manajemen, analis politik yang bertebaran dimana-mana juga para ahli di bidang pendidikan, tetapi umat di abad ini membutuhkan hadirnya sosok yang berpadu padanya kesemua itu. Dan Hasan Al Banna adalah salah satu representasi dari kebutuhan umat tersebut. Dia ‘alim terhadap ilmu-ilmu keislaman, wawasannya luas, ahli ibadah, orator, pekerja sosial, juga seorang pemimpin jamaah yang menampilkan perpaduan berbagai teori kepemimpinan mutakhir.
Di sisi lain, kita merasakan bahwa umat Islam kini membutuhkan sekali hadirnya sosok-sosok muslim ideal, untuk mempelopori penegakan nilai-nilai Islam di tengah-tengah mereka. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa suara dakwah menggema dimana-mana. Namun sangat disayangkan bahwa di antara suara itu banyak pula yang sumbang. Antara satu dengan yang lain tidak saling membangun dan menyempurnakan. Bahkan ada kalanya, satu suara kebenaran bergaung disusul dengan puluhan suara kedengkian. Seorang penyair Arab dengan sangat indah melukiskan:
Bila ada seribu pembangun
Satu yang meruntuhkan
Cukuplah sudah
Bagaimana dengan satu pembangun
Seribu yang meruntuhkan?
Dengan kata lain, belum banyak dijumpai lahirnya aktivis dakwah yang terprogram dan terpadu, dari suatu konsep dakwah yang integral. Akibatnya, dinamika dakwah menjadi kurang memiliki greget pengaruh dan hilang kemampuannya untuk menjadi pribadi-pribadi yang ideal tadi.
Apa keterkaitan buku ini dengan semua uraian di atas?
Membina Angkatan Mujahid, yang diterjemahkan dari judul asli: Fi Afaqit Ta’alim adalah buku karya Sa’id Hawwa yang merupakan studi atas Risalah Ta’alim yang ditulis oleh Hasan Al Banna.
Risalah Ta’alim sendiri adalah risalah yang berisi beberapa pengarahan yang ringkas dan praktis, yang ditujukan kepada para aktivis gerakan dakwah. Suatu risalah yang –meskipun ringkas—memiliki muatan pesan yang filosofis, integral, dan mendalam. Yang jika pesan-pesan itu ditanamkan di dada ku muslimin ini, niscaya akan membuahkan suatu produk kepribadian yang Islami dalam pengertian yang sesungguhnya. Sosok kepribadian yang khusyuk dalam beribadah, dinamis dan tulus dalam beraktivitas dakwah, dan senantiasa gelisah menyaksikan kemungkaran di sekitarnya. Suatu sisi kepribadian yang –sekali lagi—benar-benar dibutuhkan umat di masa kini.
Dari sinilah Sa’id Hawwa merasa perlu untuk menyusun penjelasannya. Dengan penjelasan ini generasi penerus dakwah diharapkan tertuntun dan terbimbing untuk memahami pesan-pesan Imam Syahid agar lebih mudah pula menyebarkannya kepada orang lain dan mengaktualisasikannya di tengah kehidupan bermasyarakat. Apalagi dengan hadirnya Era Reformasi ini, yang mudah-mudahan dapat mengantarkan kita kepada lahirnya masyarakat madani, setiap kita diharuskan mengokohkan eksistensi dirinya secara lebih nyata, agar suara kebenaran dan keadilan lebih nyaring terdengar.
Dalam buku ini, penulis memulai penjelasannya dengan membedah jati diri dari gerakan Jamaah Ikhwanul Muslimin itu sendiri, dengan harapan pembaca mempunyai persepsi yang sama untuk memasuki kajian Risalah Ta’lim berikutnya.
Demikianlah kurang lebih anatomi buku Membina Angkatan Mujahid yang ada di hadapan pembaca. Semoga kajian ini bisa memperkaya pemahaman kita terhadap Islam pada umumnya dan gerakan dakwah khususnya. Akhirnya, selamat membaca.
Jakarta, Mei 1999
Abu Ridho
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Al Jibtu & At Thaghut: Abu Bakar & Umar
Oleh karena itulah kaum Syi’ah senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain sahabat Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah berdusta atas nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa beliau telah membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Al Jibtu & At Thaghut.” (Al Jibtu dan At Thaghut ialah segala sesuatu yang disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama Allah. -pent).
Disebutkan dalam kitab Al Jarhu wa At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah satu disiplin ilmu hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para perawi hadits dan tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki, yaitu buku “Tanqih Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte Ja’fariyah Ayatullah Al Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al Murtadhawiyah, Najef tahun 1352 H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh besar Muhammad Idris Al Hilli pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il Ar Rijal Wa Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali bin ‘Isa, ia berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang yang memusuhi keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal lain selain sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thaghut? Maksudnya ia mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan dua pembantu kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma. Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.”
Maksudnya: cukup bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding sahabat Ali bin Abi Thalib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al Jibtu” dan “At Thaghut” senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa mereka yang disebut dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka maksudkan dari dua berhala dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thaghut” ialah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam kitab mereka yang berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab ini bagaikan kitab “Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di tengah-tengah berbagai negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy dan kedua anak wanita mereka berdua……”![1]
Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari ‘Id Terbesar
Kebencian mereka kepada tokoh yang berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil mengislamkan nenek moyang penduduknya, yaitu Sayidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu Lulu’ah Al Majusi – semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhahir -salah seorang tokoh merekameriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar, hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari sahabat Abu Bakar, Umar -semoga Allah meridhai keduanya- Shalahuddin Al Ayubi rahimahullah dan seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas tuntutan penerapan ideologi At Taqiyah dan sebatas upaya menarik simpati mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.
[1] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayid Muhsin Al Hakim At Thabathaba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayid Muhsin Al Hakim.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Sekularisme
Terminologi sekularisme diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ilmaniyah, dan tersebar luas di Mesir dan Afrika Utara. Terminologi sekularisme berasal dari bahasa Inggris: secularism yang berarti bersifat keduniaan (worldly), non-agama (irreligious), non-spiritual (un-spiritual; earthly; mundane), dari kata dasar, dunia (world), di luar agama (non-religion), non-spiritual (mundane). Lawan katanya adalah: suci (holy), yaitu bersifat keagamaan (religious), wakil dari langit (vicegerent of God), di luar alam dan hukum-hukumnya (unearthly, transcendental). Jadi sekularisme menempatkan hal-hal ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama. Pengertian demikian dari terminologi ini tumbuh di masyarakat Eropa yang mempunyai kecenderungan arah pada keduniaan dan aliran realisme dalam mengatur urusan dunia bukan dengan syari’ah Allah yang datang dari luar alam ini. Mengatur urusan hidup di dunia ini dengan aturan yang bersifat keduniaan (al ‘alamiyah atau ‘ilmaniyah).
Sekularisme sebagai pandangan manusia dalam mengatur dunia, sebagai aliran dalam referensi keduniaan untuk menangani urusan-urusan manusia, tidak mungkin dapat dipahami tanpa menelusuri perjalanan sejarah peradaban Eropa pada perkembangannya dalam kerangka peradaban Barat Kristen dengan akar-akar Helenisme Yunani di bidang filsafat, tradisi Romawi dalam bidang hukum, serta tradisi Kristen yang masuk ke dalamnya.
Agama Kristen sejak awal perkembangannya selama berabad-abad di tengah masyarakat Eropa sebagai agama bukan negara atau politik, dan sebagai satu ajaran cinta kasih yang tidak memberi manusia acuan hukum dan sistem pemerintahan. Sementara misi gerejanya khususnya di kerajaan langit tidak mempunyai urusan dengan kekuasaan di bumi dan tata aturan masyarakat manusia dalam masalah politik, ekonomi, sosial dan tidak pula dengan ilmu-ilmunya.
Selama rentang waktu berabad-abad ini hubungan yang berjalan antara gereja dan negara mengacu pada Teori Dua Pedang (Theory of the Two Swords) yaitu pedang rohani temporal (zamani) atau kekuasaan sipil milik negara. Akan tetapi ketika gereja keluar dari batas-batas misi rohani dan kerajaan langit lalu merebut kekuasaan temporal maka urusan duniapun diintervensi oleh kekuatan agama. Kemudian, sebagai akibatnya, masyarakat Eropa mengalami stagnasi dan kemunduran serta masa-masa kegelapan, dan yang berkembang kemudian pada masa itu adalah Teori Satu Pedang (Theory of One Sword), yaitu kekuasaan yang digabungkan antara otoritas agama dan kekuasaan sipil, baik berada di tangan tokoh-tokoh gereja maupun di tangan para raja atau kaisar: Atas nama agama mereka menduduki tahta kerajaan dan gereja memberkati. Sistem ini dikenal dalam sejarah Eropa dengan terminologi Hak Ketuhanan bagi Raja-Raja (Divine Right of The Kings).
Dalam menghadapi sistem ini dan kenyataan keterbelakangan peradaban yang dakibatkan oleh kondisi suram serta kesewenang-wenangan atas nama agama, muncullah pemerintahan sekular yang diletuskan oleh Renaissance Eropa yang secara terbuka menentang kekuasaan dan dominasi agama serta membangun kecenderungan sekularisme baru di atas tradisi Eropa modern yang kemudian menggeser agama dan ketuhanan untuk diganti dengan otoritas akal dan empirisme.
Paham sekularisme yang begitu garang melanda Eropa telah mengembalikan peran gereja ke batas-batas wilayahnya yang semula: Penyelamatan rohani dan kerajaan langit serta mengangkat moto: “Render unto the Caesar what the Caesar’s and to the God what the God’s.” (Serahkan apa yang menjadi hak Kaisar kepada Kaisar dan apa yang menjadi hak Tuhan kepada Tuhan), di samping menempatkan akal dan empirisme terpisah dari agama dan ketuhanan. Sebab hanya akal dan realitas empirik yang dijadikan pedoman dalam urusan peradaban manusia, yaitu membuat tirai antara langit dan bumi, dengan bertolak dari satu filosofi bahwa alam ini berdiri sendiri yang diatur oleh hukum sebab dan musabab tanpa menghajatkan adanya aturan Tuhan (Divine laws) yang turun dari balik alam indrawi ini. Jadi sekularisme dapat dipahami menjadikan acuan dalam mengurus planet ini pada manusia sendiri dan dari dalam planet ini tanpa campur tangan dari aturan samawi (Divine laws) atau wahyu yang datang dari luar planet ini.
Sekularisme Eropa pernah mengenal adanya aliran yang mempercayai Tuhan dan para filosufnya mampu mengkombinasikan antara kepercayaan pada Tuhan Pencipta alam dan sekularisme yang memandang bahwa alam ini berdiri sendiri yang mana urusan kehidupan manusia dipandang ada pada otoritas manusia yang bebas dari aturan syari’ah Tuhan. Sintesa ini mengacu pada konsep Aristoteles tentang wilayah perbuatan Ilahi. Tuhan, menurut pandangan Aristoteles, Maha Esa, Terpisah dari alam, tetapi Dia adalah Penciptanya. Dia telah menitipkan pada alam dan dunia ini hukum sebab musabab yang mengatur dengan sendirinya dan untuk dirinya bukan karena adanya sesuatu dari luar yang menimbulkan gerak padanya. Perhatian Tuhan itu bergantung pada diri-Nya dan tidak memiliki campur tangan dalam peristiwa parsial di dunia dan alam semesta.[1] Filosuf-filosuf Barat yang membuat sintesa ini di antaranya Hobbes (1588-1679), Locke (1633-1716), Leibniz (1647-1716), Rousseau (1712-1778), Lessing (1729-1817).
Alam dipandang berdiri sendiri dan diatur oleh hukum sebab musabab (causal law) yang dititipkan oleh Tuhan padanya. Hukum alam inilah sumber objek pengetahuan yang benar, yang dapat dijelaskan dengan argumen dan reasoning yang dilakukan oleh manusia melalui akal dan pengamatan empirik tanpa campur tangan dari langit. Demikian landasan sekularisme membangun “keduniaannya” pada konsep Aristoteles bagi wilayah perbuatan dzat Ilahiah, Dia hanya sebagai Pencipta, lalu setelah selesai menciptakan, perhatian-Nya tertuju hanya pada dzat diri-Nya tanpa mengurusi atau mencampuri urusan makhluk-makhluk-Nya, tidak berbeda dengan pembuat jam yang memberikan sarana dan alat-alat yang menimbulkan gerakan, tanpa harus berada dan mengurusi bagaimana jam itu berjalan setelah pembuatannya.
Trend sekularisme lebih mudah memantapkan posisinya karena terbantu oleh watak agama Kristen yang mempunyai konsep tentang hubungan antara agama dan negara: “Berikan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar.” Sementara peran agama tidak lebih dari sekedar penyelamat rohani dan kerajaan langit tanpa memberi satu aturan syari’at tentang masyarakat dan negara, yaitu masalah yang menjadikan “penjara” agama dalam gereja dan dalam hati sanubari individu satu “pemberontakan perbaikan agama”. Di samping itu faktor pendukung lain bagi tumbuh kembangnya sekularisme adalah bahwa tradisi Romawi di bidang filsafat hukum dan perundang-undangan telah menjadikan asas “manfaat” tidak dikaitkan dengan agama dan moralitasnya serta aturan-aturan transendentalnya, melainkan asas manfaat itulah yang menjadi ukuran. Oleh sebab itu, jalan menuju ke undang-undang hukum sekular terbuka luas.
Demikian sekularisme tumbuh dalam lingkungan era pencerahan Barat yang ditandai dengan pemisahan antara “langit” dari “bumi” serta pembebasan masyarakat manusia dari ikatan-ikatan dan batasan-batasan syari’at Tuhan, kemudian yang dijadikan rujukan untuk mengurus dunia ini hanyalah manusia sebagai penguasa atas lingkungan dan planetnya sendiri. Maka manusia lalu hanya tunduk pada akalnya dalam ideologi Renaissance yang mendirikan epistemologi yang memisahkan antara dua era ruh manusia: era keselamatan Tuhan (God’s salvation) bagi Thomas Aquinas dan era ensiklopedi para filosuf pencerahan (Renaissanse). Maka harapan pada kerajaan langit bergeser untuk diganti dengan era rasionalisme; sistem karunia Ilahiyah menghilang di hadapan sistem alam; dan otoritas Tuhan tunduk pada otoritas kesadaran manusia yang disebut dengan terminologi kebebasan.[2]
[1] Dr. Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Falsafah, entri: Aristoteles, hal 104-106, Beirut 1984.
[2] Emille Paula, Kebebasan dan Sekularisme (Freedom and Secularization), Paris 1987. Dikutip majalah al-Wihdah, al-Maghrib edisi Februari – Maret 1993, hal: 20-215)
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-05 Pengantar Tafsir Hasan Al Banna
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Salawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, seluruh keluarganya dan kepada para shahabatnya.
Ini merupakan salah satu pusaka, warisan intelektual dari Imam Hasan Al Banna yang sangat meonumental, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala merahmatinya. Di dalamnya beliau mengupas secara tuntas sendi-sendi agama, diantaranya berisi pembahasan tentang akidah, hadits, tafsir, pesan-pesan Al Qur,an, fikih, fatwa-fatwa, akhlak, sejarah nabi, tasawuf, logika, ceramah, dan nasihat-nasihat. Hal ini merupakan harta simpanan yang sangat berharga, khazanah intelektual Islam yang kredibel dan menjadi wacana yang sarat dengan solusi, relevan dengan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Ia laksana proyektor sejarah yang dapat menerangi jalan menuju kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, di samping itu juga menjadi perbekalan yang baik bagi para Ikhwan dan yang lainnya, termasuk para siswa dan mahasiswa yang sangat haus akan pemahaman yang benar terhadap risalah Islam yang abadi. Dan setiap persoalan di dalam ensiklopedi Islam ini memiliki dasar dan referensi yang terpercaya, yaitu Al Qur’an, As Sunnah, dan amalan as salafu ash shâlih, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa ta’ala Meridhai mereka.
Buku yang pertama di dalam ensiklopedi ini, Insya Allah akan diikuti oelh buku-buku tafsir, pesan-pesan Al Qur’an, fikih, fatwa-fatwa, akhlak, logika, dan nasehat-nasehat agama.
Di dalam buku yang pertama ini, pembahasan ilmiahnya berkisar pada âsma Al husna (nama-nama Allah yang baik). Di sini Imam Hasan Al Banna telah menjelaskan sisi-sisi persoalan yang kompleks. Dan beliau juga memaparkan pendapat-pendapat serta mengomentari para ulama salaf secara objektif dan terperinci, yaitu para salaf yang kredibel dalam bidangnya dan mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Selalu mengawasi setiap gerak dan langkah mereka. Beliau juga membahas secara detail tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al Qur’an beserta ayat-ayat yang mengisaratkan sebagian sifat-sifat yang wajib bagi Allah Swr., dan menunjukkan kesempurnaan uluhiyah-Nya. Kemudian beliau menuliskan dalil-dalil aqli dan naqli serta dalil-dalil mantik atas pengukuhan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala, di samping menolak seluruh syubhat yang ada di permasalahan tersebut.
Bahkan beliau juga menukill pendapat sebagian pakar nonmuslim seputar pembahasan tentang pengukuhan terhadap wujud dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu, beliau membahas tentang ayat-ayat dan hadits-hadits yang berhubungan dengan sifat-sifat yang secara sekilas tampak perserupaan Al Haq dengan makhluk-Nya. Kemudian, beliau juga memberi contoh dari ayat-ayat Al Qur’an dan dari sunnah-sunnah. Beliau juga menyebutkan pendapat ahlus sunnah wal jamâ’ah setelah menyebutkan pendapat-pendapat dari golongan yang lain di dalam permasalahan ini. Kemudian beliau menjelaskan madzab ulama salaf dan khalaf tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Beliau mengatakan bahwa ulama salaf—mudah-mudahan Allah meridhai mereka—memercayai pengukuhan ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana diriwayatkan, dan mereka menolak untuk menjelaskan maksudnya bagi Allah Subhanahu wa ta’ala dengan keyakinan untuk menghilangkan perserupaan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya. Kemudian beliau mentarjih (menguatkan) pendapat ulama salaf bahwa ia lebih baik untuk diikuti.
Imam Hasan Al Banna juga membahas tentang ilmu musthalah al hadîts di dalam kajian hari Selasa yang beliau sampaikan di kantor umum (Ikhwanul Muslimin). Beliau mengatakan bahwa As Sunnah pernah mengalami masa keemasan. Beliau juga menjelaskan bahwa As Sunnah adalah dasar agama Allah Subhanahu wa ta’ala yang kedua dan merupakan tafsir bagi kitab-Nya. Menurut beliau, hadits adalah sekumpulan ucapan, perbuatan atau ketetapan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga membahas tentang periode modifikasi hadits, tentang riwayat dan sanad sebagai salah satu karakteristik umat Islam. Artinya, bahwa tidak terdapat dalam sejarah umat sebelum Islam yang memerhatikan transfer informasi (riwayat hadits)nya dan koreksi atas sejarahnya seperti umat Islam. Maka, hal ini merupakan karakteristik umat Islam dan risalah penutupnya, sebagaimana telah belaiu jelaskan secara sempurna dan komprehensif di dalam pasal yang berjudul “Dalam Keluasan As Sunnah.” Sekumpulan hadits yang menyajikan beberapa contoh hal tersebut antara lain hadits niat dan penjelasannya, hadits tentang dampak penyimpangan dan kerusakannya, hadits tentang keutamaan saling mencintai di antara umat Islam dan sebab-sebab kerusakan umat, hadits tentang sebab-sebab kelemahan umat, hadits tentang keutamaan-keutamaan Al Qur’an, hadits tentang manisnya iman, hadits tentang hak seorang Muslim terhadap Muslim yang lainnya, dan hadits tentang amal yang paling mulia.
Ide dan gagasan Imam Hasan Al Banna tentang Al Qur’an dan hadits menggambarkan bahwa beliau sosok yang cerdas dengan pemikiran yang kreatif dan pemahaman yang menyeluruh. Belaiu adalah tokoh yang senantiasa berada dalam kebenaran, sebagaimana termaktub di dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrânî: “Umatku adalah umat yang diberkati, tidak diketahui apakah permulaannya yang baik ataukah akhirnya.” Dan di dalam riwayat yang lain disebutkan: “Umatku laksana hujan, tidak diketahui permulaannya yang baik ataukah yang akhirnya.”
Dan mudah-mudahan, di dalam generasi terakhir muncul seseorang yang menyelami dan mendalami bidang yang ingin dilihat oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda di dalam hadits diriwayatkan oleh Muslim, Abû Hurairah:
“Aku ingin kita melihat saudara-saudara kita.” Lantas para shahabat bertanya: “Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Beliau berkata: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, sedangkan saudara-saudaraku adalah umat yang datang setelahku dan mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku” (Hadits).
Siapakah mereka, orang-orang yang diamati oleh Nabi pilihan, Muhammad Saw., sebagai umat yang akan berada bersamanya dan beliau ingin sekali melihatnya? Tidak diragukan lagi bahwa mereka adalah karamah yang mulia yang selalu komitmen terhadap agama Islam dan kepada mukjizat Islam yang terbesar: Al Qur’an Al Karîm. Mereka memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap wahyu ini. Mereka telah menempatkan Al Qur’an di dalam hati mereka yang paling dalam, sehingga mereka dapat mempersembahkan bagi dunia masa-masa kejayaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta masa-masa keemasan pemikiran yang menjadikan Islam tersebar luas di seluruh penjuru dunia dan mengangkat Al Qur’an pada derajat yang tertinggi di hadapan semua umat. Kami menganggap bahwa Imam Hasan Al Banna adalah termasuk generasi semacam ini.
Di dalam ide dan gagasan Imam Hasan Al Banna tentang Al Qur’an dan hadits Nabi yang suci, tampak dengan jelas bahwa beliau mengajarkan kepada kita bagaimana tata cara berinteraksi dengan Al Qur’an—sebagai aturan yang abadi dan mukjizat terbesar—serta bagaimana memahami sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga telah meletakkan kepada kita dasar-dasar manhaj kembali kepada Al Qur’an di dalam kuliah yang beliau sampaikan dan juga yang telah tercatat di dalam majalah-majalah Ikhwan.
Manhaj kembali kepada Al Qur’an Al Karîm menurut beliau merupakan manhaj dan undang-undang bagi kehidupan, demikian juga sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam. Realitas yang menggambarkan marjinalisasi Al Qur’an dan As Sunnah dari kehidupan yang menjadikan kedua sumber hukum tersebut sebagai landasan utama bagi sains dan agama harus dihilangkan. Interaksi yang harmonis dengan Al Qur’an dan As Sunnah harus mampu dikembalikan kepada dunia nyata. Kondisi perseteruan antara umat Islam dan Al Qur’an mereka telah selesai. Dan Ikhwanul Muslimin telah mengibarkan panji-panji Islam dan menancapkannya supaya Al Qur’an menjadi sumber dan referensi utama bagi setiap Muslim dewasa ini, seperti realitas kehidupan salafu Ash shâlih. Sehingga, setiap Muslim diharapkan selalu kembali kepada sumber rabbani yang kekal ini, agar ia dapat mentransfer ilmu pengetahuan di dalam ide dan gagasan-gagasannya kepada setiap insan, kehidupan dan realitas di samping dapat mengemukakan ide dan gagasan-gagasannya dalam memecahkan persoalan-persoalan individu, keluarga, sosial, hubungan kenegaraan dan hubungan internasional. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an), itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia-karunia yang amat besar.” (QS Fâthir [35]: 31-32)
Kita telah belajar dari Imam Hasan Al Banna bahwa kualitas pembaca Al Qur’an harus secara berangsur-angsur menjadi lebih baik ketika berinteraksi dengan Al Qur’an. Umat Islam terdahulu telah membuktikan bahwa mereka selalu membaca Al Qur’an dan terus berusaha untuk mencapai puncaknya. Sementara kita—kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Swt.—membaca Al Qur’an dan menariknya kepada level kualitas kita. Ini adalah bentuk kezaliman bagi mukjizat alam ini. Di samping itu, kita harus memahami apa yang telah dikatakan oleh Imam Syâfi’î:
Sesungguhnya As Sunnah Nabi adalah pemahaman Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam terhadap Al Qur’an, atau inti pemahamannya terhadap Al Qur’an. Beliau selalu berinteraksi dengan Al Qur’an secara sempurna di dalam kehidupannya lahir dan batin.
Ketika wahyu turun di dalam hati penghulu para rasul dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih, berarti bahwa wahyu tersebut telah mengembalikan dan membangun sistem kehidupan umat Islam kea rah yang lebih baik serta mentarbiyah mereka dengan sebaik-baik tarbiyah. Di bawah naungan Al Qur’an, umat Islam berubah menjadi umat yang percaya kepada pentingnya syura (musyawarah). Mereka meyakini bahwa syura adalah ibadah, ketaatan dan akhlak islami yang harus dipegang teguh, di samping sebagai kewajiban yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka juga percaya bahwa amar makruf nahi munkar sangat penting. Dan dengan Al Qur’an, umat Islam selalu membenci tirani dan kesewenang-wenangan dari mana saja datangnya.
Kita menyaksikan sorang Muslim seperti Rabi’ bin ‘Âmir yang berteriak dengan suara lantang kepada panglima Persia, ketika Panglima Persia itu bertanya kepada Rabi’ bin ‘Âmir: “Tujuan apa yang ada pada diri kalian?” Rabi’ menjawab dengan mantap dan percaya diri: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada makhluk untuk menyembah Allah Subhanahu wa ta’ala semata; dari impitan dunia kepada kelapangan dunia akhirat; dan dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan Islam.” Ini adalah peradaban Al Qur’an yang telah membangkitkan kemanusiaan dan telah mengangkat umat Islam kepada level Al Qur’an yang mulia. Umar bin Khaththab pernah berkata:”Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan Islam, maka apabila kita mencari kemuliaan dari selainnya maka Allah akan merendahkan kita!”
Saya memohon kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar menerima jerih payah para Ikhwan dengan pusaka peninggalan Imam Al Banna ini. Dan mudah-mudahan setiap Muslim dan Muslimah dapat merasakan faedah dari khazanah intelektual yang mulia ini. Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Âmîn.
Muhammad Mahdi ‘Akif
Mursyid ‘Amm VII Ikhwanul Muslimin
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Kisah-kisah Shahih dalam Al Quran dan As Sunnah
Segala puji bagi Allah yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Yang menundukkan makhluk dengan kemuliaan dan hukum-Nya. Yang melunakkan hati hamba-hamba-Nya, dan menyinari mata hati mereka dengan nur-nur hidayah yang dikandung oleh kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya. Shalawat dan salam kepada makhluk-Nya yang paling mulia dan penutup Rasul-Rasul-Nya, Muhammad, yang membimbing manusia kepada Tuhan mereka, dan yang menundukkan hati mereka dengan jalan-jalan hidayah yang dia bawa kepada mereka, dan kepada keluarganya, para sahabatnya beserta orangorang yang mengambil petunjuknya dan mengikuti sunnahnya sampai hari Kiamat.
Amma ba’du.
Buku ini memaparkan mayoritas kisah-kisah dari hadits Nabi. Keutamaan kisah-kisah dari hadits nabawi berada di bawah kisah-kisah dari Al Qur’an. Jika Al Qur’an adalah kalamullah, maka mayoritas kisah-kisah hadits adalah wahyu dari Allah. Oleh karena itu, keduanya berasal dari satu sumber dan satu sasaran. Target-target dari kisah-kisah dalam hadits adalah target-target di dalam kisah Al Qur’an. Sama-sama menyuguhkan bekal untuk para dai dan orang-orang shalih, bekal rohani yang dikandung oleh kisah dan menyirami ruh, hati dan akal orang-orang yang beriman.
Kisah Al Qur’an dan hadits mengalir dalam diri manusia secara lembut dan murni. Kata-kata dan peristiwa-peristiwanya membawa segudang nasihat dan faedah untuk mengarahkan kepada jalan yang lurus dan melecut seorang mukmin untuk menjauhi dosa-dosa dan kerusakan-kerusakan.
Buku ini – seperti diisyaratkan oleh judulnya – membatasi diri pada hadits-hadits yang bersanad shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku tidak menyimpang dari dasar ini kecuali pada sedikit kisah yang mauquf kepada sahabat di mana sanadnya dari mereka adalah shahih; ada kemungkinan bahwa mereka mendengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mungkin pula mereka mengetahui dari selainnya.
Batasan buku ini hanya pada hadits-hadits shahih, tidak mengangkat hadits-hadits saqim (sakit), dhaif (lemah), bathil, dan palsu. Karena, menisbatkan hadits yang tidak bersanad shahih kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah dusta atas nama Rasulullah. Dan dusta atas nama Allah dan Rasul-Nya termasuk kejahatan besar.
Tidak boleh menyepelekan dalam menisbatkan hadits-hadits kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, terlebih jika hadits-hadits itu adalah kisah, karena kisah adalah berita-berita dan kejadian-kejadian ghaib. Kita beriman kepada ghaib yang benar. Beriman kepada sesuatu yang ghaib tanpa berdasar kepada Allah dan tidak pula dari Rasul-Nya dalam urusan-urusan yang tidak diketahui kecuali melalui wahyu, itu merupakan penyimpangan dari jalan lurus dan kesesatan dalam pemikiran. Lebih dari itu, kisah-kisah dusta yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bisa jadi di dalam lipatan-lipatannya tersimpan akidah-akidah, akhlak-akhlak dan nilai-nilai bathil yang menyusup ke dalam diri manusia dengan mudah tanpa kesulitan.
Kisah-kisah seperti ini adalah sampan yang mengasyikkan bagi orang-orang yang ingin menyesatkan kaum muslimin. Oleh karena itu, para ulama banyak memperingatkan akan bahaya kisah-kisah palsu, sebagaimana mereka juga telah memperingatkan dari tukang-tukang cerita yang tidak mengerti hadits shahih dan hadits lemah. Bahkan mereka menulis beberapa buku untuk memberi peringatan. Hal ini karena betapa berbahayanya, orang-orang yang menyulap agama menjadi dongeng-dongeng fiksi. Termasuk dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh sebagian penulis masa kini, ketika mereka merusak sirah nabawiyah (perjalanan kehidupan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Salam) dengan pemaparan berdasar pada metode dongeng khayalan. Dengan itu mereka telah banyak merusak agama kaum muslimin.
Dalam urusan takhrij hadits, aku berpijak pada takhrij sebagian ahli ilmu yang ilmunya terpercaya dalam bidang ini.
Aku tidak menyebutkan berita-berita tentang orangorang terdahulu yang bukan kisah. Banyak sekali beritaberita di dalam hadits Rabbani yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, penciptaan Malaikat, jin dan manusia, tentang para Rasul, orang-orang baik dan orang-orang jahat, akan tetapi tidak dalam bentuk kisah. Oleh karena itu, aku tidak memaparkannya lantaran tidak termasuk di dalam bingkai yang aku letakkan untuk buku ini.
Pembaca akan melihat bahwa aku menulis buku ini dengan satu metode dalam seluruh haditsnya. Setiap hadits diberi mukaddimah sebagai pengantar untuk masuk ke dalam kisah. Lalu aku memaparkan nash hadits, diikuti dengan sumber-sumber rujukan dari hadits-hadits yang kuambil. Aku pun menerangkan dan menjelaskan kosakata yang sulit. Aku juga menjelaskan hadits secara memadai dan menutup semua hadits dengan pelajaranpelajaran dan faedah-faedah yang terpetik.
Pembaca akan melihat bahwa aku tidak membiarkan pikiran melayang jauh dari nash hadits hingga pembaca mengkhayalkan peristiwa-peristiwa seperti yang diinginkannya dan menambah alur cerita baru melebihi kandung hadits, dengan alasan bahwa kita membuat riwayat atau cerita bersambung dari hadits, di mana pada kisah tersebut terdapat alur kisah yang runtut dan daya tarik lainnya.
Metode yang dianut oleh banyak penulis masa kini adalah salah besar. Mayoritas kisah hadits adalah wahyu Ilahi, tidak ada peluang untuk memberikan tambahan. Di samping itu, ia menceritakan realita seperti kejadian aslinya, bukan ucapan bikinan dan penambahan seperti yang dilakukan oleh para penulis yang membuatnya berubah menjadi ucapan bikinan. Seharusnya yang dilakukan oleh penulis adalah menarik benang merah dari nash dengan sebisa mungkin, berpijak pada metode yang diletakkan oleh para ulama dalam upaya menarik faedah-faedah, pelajaran-pelajaran dan hukum-hukum dari nash.
Mungkin pembaca mengkritik penulis karena dia tidak memasukkan kisah-kisah dari hadits dalam jumlah besar, yang angkanya bisa melebihi kandungan buku ini yaitu kisah-kisah yang terjadi dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya. Yang benar adalah bahwa kisah model begini tidak termasuk dalam kisah-kisah yang menjadi target buruanku, karena yang aku maksudkan dengan kisah-kisah dari hadits adalah kisah-kisah yang diambil dari hadits-hadits Rasul qauliyah (perkataan Rasulullah). Yaitu, kisah tentang umat-umat terdahulu yang beliau sampaikan. Semoga aku bisa menulis kisah-kisah dari hadits Nabi model lain di buku lain pula.
Di dalam buku ini, pembaca yang budiman akan mendapati kisah-kisah para Nabi dan Rasul dalam jumlah yang tidak sedikit. Walaupun Al Qur’anul Karim telah memaparkan kisah-kisah mereka dengan kaum mereka secara luas dan terperinci, namun aku juga menyebutkannya. Sebagian dari kisah yang ada tidak tercantum di dalam Al Qur’an secara mutlak, seperti kisah Yusya’ dan kisah Nabi yang membakar penghunian semut, dan sebagian lagi tertulis di dalam Al Qur’an.
Hadits-hadits digunakan sebagai penjelas, penerang dan pemerinci tentang apa yang ada di dalam Al Qur’an, seperti kisah tentang Musa dengan Khidir yang tercantum di dalam surat Al Kahfi. Karena sebagian kisah-kisah Nabi yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang aku paparkan juga dipaparkan di dalam Taurat, maka aku pun menyebutkan apa yang disinggung tentangnya di dalam Taurat, tapi bukan bermaksud mengambil ilmu darinya. Al Qur’an dan hadits adalah lebih dari cukup. Ini demi meluruskan penyelewengan dan perubahan yang menimpa kisah-kisah Nabi di dalam Taurat. Dan barangsiapa melihat berita-berita dan ajaran-ajaran Taurat dengan metode yang aku ikuti ini, maka dia akan menemukan bahwa salah satu target kisah-kisah di hadits Nabi adalah meluruskan penyimpangan dan perubahan yang terjadi di dalam Taurat.
Sungguh telah salah orang-orang yang merujuk kepada Taurat untuk mengambil ilmu darinya, lalu mereka mensejajarkannya dengan ilmu yang dituangkan oleh Al Qur’an dan hadits. Kita harus encuci buku-buku kita dari Israliyat yang ditulis oleh beberapa ahli ilmu terdahulu. Kita tidak memerlukan ilmu Bani Israil. Agama kita telah sempurna, tidak memerlukan syariat nenek moyang. Dan yang menjadi kewajiban kita adalah menjadikan Al Qur’an dan hadits-hadits Rasul kita sebagai hakim, pelurus, dan pengoreksi terhadap apa yang ada di dalam bukubuku Yahudi dan Nashrani. Al Qur’an telah jelas mengungkapkan hal ini dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Al Qur’an ini menjelaskan kepada Bani Israil sebagian besar dari (perkara-perkara) yang mereka berselisih tentangnya.” (QS An Naml: 76)
Aku berharap karya yang aku persembahkan buku ini bisa bermanfaat bagi hamba-hamba Allah. Bisa menutupi kebutuhan kepustakaan Islam, sehingga tidak perlu lagi menoleh pada kisah-kisah palsu dan dusta yang dijadikan pijakan oleh sebagian orang dan dijelaskan oleh sebagian ahli ilmu. Aku memohon kepada Allah agar memberiku niat yang ikhlas di dalamnya, memberiku pahala karenanya dengan kemurahan, kedermawanan dan rahmat-Nya, dan memberi taufik kepada para pembaca agar mereka memberikan doa yang baik untuk penulis.
Alhamdulillahi Rabbil Alamin.
Dr. Umar Sulaiman Abdullah Al Asyqar
Fakultas Syari’ah Universitas Yordania
Amman
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Al Qur’an
Di antara kemurahan Allah terhadap manusia, adalah bahwa Dia tidak saja menganugerahkan fitrah yang suci yang dapat membimbingnya kepada kebaikan, bahkan juga dari masa ke masa mengutus seorang rasul yang membawa kitab sebagai pedoman hidup dari Allah, mengajak manusia agar beribadah hanya kepada-Nya semata. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah datangnya para rasul.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Rasul-rasul (yang telah Kami utus itu), semuanya pembawa kabar gembira (kepada orang-orang yang beriman), dan pembawa peringatan (kepada orang-orang yang kafir dan yang berbuat maksiat), supaya tidak ada bagi manusia suatu hujjah (atau alasan untuk berdalih pada Hari Kiamat kelak) terhadap Allah sesudah mengutus rasul-rasul itu. Dan (ingatlah) Allah Mahakuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An Nisaa’ : 165)
Wahyu diturunkan senantiasa mengiringi manusia sesuai dengan perkembangan dan kemajuan berfikir manusia. Ia memberikan jalan keluar dari berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap kaum para Rasul. Demikianlah sehingga perkembangan itu sampai kepada masa kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam muncul di dunia ini. Maka diutuslah beliau di saat manusia lama mengalami stagnasi para rasul, demi menyempurnakan bangunan para rasul yang datang sebelumnya dengan kitab yang memuat syariat yang bersifat universal dan abadi. Beliau bersabda:
“Perumpamaan diriku dengan para Nabi sebelumku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah dengan baik dan indah, kecuali tersisa satu tempat di salah satu sudutnya yang belum terisi satu batu. Orang-orang pun mengelilinginya dan merasa takjub dibuatnya dengan berkata: ‘Seandainya bukan karena kekurangan satu batu bata ini, niscaya bangunan ini menjadi sempurna. Maka Akulah batu bata itu. Akulah penutup para Nabi.’”1)
Al-Qur’an adalah risalah Allah untuk seluruh umat manusia. Banyak dalil-dalil yang secara mutawatir diriwayatkan berkaitan dengan masalah ini, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, diantaranya,
“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Hai sekalian manusia! Sesungguhnya aku adalah pesuruh Allah kepada kamu semua, (diutus oleh Allah) yang menguasai langit dan bumi, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang menghidupkan dan mematikan.’ Oleh sebab itu, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya); ikutilah dia, supaya kamu mendapat hidayah.” (QS. Al A’raf : 158)
“Maha Berkah Tuhan yang menurunkan Al-Furqan kepada hamba–Nya (Muhammad), untuk menjadi peringatan bagi seluruh penduduk alam.” (QS Al Furqan : 1)
Nabi bersabda:
“Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedangkan saya diutus kepada seluruh manusia.”2)
Paska turunnya Al-Qur’an tidak akan ada lagi risalah. Allah berfirman:
“Bukanlah Muhammad itu bapak salah seorang laki-laki dari kalian, tetapi ia adalah Rasul Allah dan penutup semua nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab : 40)
Maka, tidaklah heran kalau Al-Qur’an dapat memenuhi segala tuntutan kemanusiaan yang berdasar pada prinsip utama agama-agama samawi.
“Allah telah menerangkan kepada kamu perkara-perkara agama yang Ia tetapkan hukumnya dan apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh, dan yang telah Kami (Allah) wahyukan kepadamu (wahai Muhammad), juga yang telah Kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi Isa, yaitu: ‘Tegakkanlah agama, dan janganlah kamu berpecah-belah atau berselisihan padanya. Berat bagi orang-orang musyrik (untuk menerima agama tauhid) yang engkau seru mereka kepadanya. Allah memilih siapa pun yang dikehendaki-Nya untuk menerima agama tauhid itu, dan memberi hidayah kepada yang kembali kepada-Nya.’” (QS. Asy-Syura : 13)
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, menantang orang-orang Arab dengan Al-Qur’an, padahal ia diturunkan dengan bahasa mereka sendiri. Mereka juga pakar tentang bahasa itu. Tetapi mereka tidak mampu untuk membuat sepertinya, atau dengan sepuluh surat yang sama dengannya, atau bahkan satu surat saja yang serupa dengan Al-Qur’an. Maka nyatalah kelemahan mereka, dan menjadi kuatlah kemukjizatan risalah Al-Qur’an.
Allah telah menetapkan untuk memelihara Al-Qur’an dengan cara penyampaian yang mutawatir sehingga tidak terjadi penyimpangan atau perubahan apapun. Diantaranya gambaran tentang Jibril yang membawanya turun:
“Ia dibawa turun oleh Malaikat Jibril yang amanah.” (QS. Asy-Syu’ara’ : 193)
Gambaran lainnya juga tentang Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar Kalamullah (yang disampaikan oleh Jibril) utusan yang mulia. Yang kuat, gagah lagi berkedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy. Yang ditaati di sana (dalam kalangan malaikat) dan dipercaya. Sebenarnya sahabat kamu (Nabi Muhammad) itu (wahai golongan yang menentang Islam), bukanlah orang gila (seperti yang kamu tuduh). Dan (Nabi Muhammad yakin bahwa yang disampaikan kepadanya ialah wahyu dari Tuhan). Sesungguhnya Nabi Muhammad telah mengenal dan melihat Jibril di kaki langit yang nyata. Tidaklah patut Nabi Muhammad seorang yang bisa dituduh dan disangka buruk, tentang penyampaiannya mengenai perkara–perkara yang gaib.” (QS. At-Takwir : 19-24)
“Bahwa sesungguhnya (yang dibacakan kepada kamu) itu ialah Al-Qur’an yang mulia, (yang senantiasa memberi ajaran dan pimpinan), yang tersimpan dalam Kitab yang terpelihara, yang tidak disentuh melainkan oleh makhluk-makhluk yang diakui bersih suci.” (QS. Al-Waqi’ah : 77-79).
Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab sebelumnya. Sebab kitab-kitab itu datang secara temporer untuk waktu tertentu. Maha Benar Allah ketika berfirman:
”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan Kami benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr : 9)
Disamping kepada manusia, Al-Qur’an juga diturunkan kepada golongan jin.
“Dan (ingatlah peristiwa) ketika satu rombongan jin datang kepadamu (wahai Muhammad) untuk mendengar Al-Qur’an; setelah mereka mendengar bacaannya, berkatalah (sebagiannya kepada yang lain): ‘Diamlah kamu dengan serius untuk mendengarnya!’ Setelah bacaan itu selesai, mereka kembali kepada kaumnya (menyiarkan ajaran Al-Qur’an itu dengan) memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Wahai kaum kami! Sesungguhnya kami telah mendengar Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan (oleh Allah) sesudah Nabi Musa, yang menegaskan kebenaran kitab-kitab suci terdahulu daripadanya, lagi menuntun kepada kebenaran (tauhid) dan ke jalan yang lurus. Wahai kaum kami! Sambutlah (seruan) Rasul (Nabi Muhammad) yang mengajak ke jalan Allah, serta berimanlah kamu kepadanya, supaya Allah mengampunkan sebagian dari dosa-dosa kamu, dan menyelamatkan kamu dari siksa yang tidak terperi sakitnya.’” (QS. Al-Ahqaf : 29-31)
Dengan keistimewaannya itulah, Al-Qur’an memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun politik, dengan pemecahan yang lebih bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relevan di segala zaman. Dengan demikian, Al-Qur’an akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat. Sebab, Islam adalah agama abadi.
Menarik apa yang dikatakan oleh juru dakwah abad 14 H: “Islam adalah suatu sistem yang komprehensif, ia mencakup segala persoalan kehidupan. Seperti masalah negara dan tanah air, pemerintah dan rakyat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, budaya dan undang-undang, ilmu dan hukum, harta, masalah kerja dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta militer dan pemikiran. Selain itu, ia juga mengandung masalah akidah yang lurus dan ibadah yang shahih.”3)
Manusia kini banyak yang resah dan gelisah, akhlaknya rusak, tidak ada tempat berlindung bagi mereka dari kejatuhannya ke jurang kehinaan selain kembali kepada ajaran Al-Qur’an.
“Keluarlah kamu berdua dari surga itu bersama-sama, dalam keadaan sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain; sehingga datang kepada kamu petunjuk dari-Ku, maka siapa yang mengikuti petunjuk-Ku itu, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan menderita. Dan barangsiapa yang berpaling dari mengingat–Ku, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha : 123-124)
Kaum muslimin mestinya menjadi pembawa obor di tengah gelapnya berbagai sistem dan prinsip hidup yang ada. Mereka patutnya juga tidak terjebak dalam segala kehidupan yang hedonis dan kegemerlapan palsu. Dengan Al-Qur’an mereka mestinya bisa menjadi pembimbing manusia yang kebingungan, sehingga mereka bisa sampai ke pantai keselamatan. Seperti halnya kaum muslimin terdahulu yang dengan berpegang kepada Al-Qur’an mampu menegakkan sebuah negara, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun kaum muslimin tentunya juga demikian.
catatan kaki :
1) HR. Al-Bukhari dan Muslim.
2) Terdapat dalam Al-Bukhari dan Muslim, berasal dari hadits, “Saya diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang pun sebelumku…”
3) Lihat Hasan Al Banna, Risalah At Ta’lim.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-06 Perspektif Buruk dalam Penulisan Sejarah Khilafah Turki Utsmani
Prolog
Para ahli sejarah Eropa, Kristen, dan Yahudi serta orang-orang sekuler yang pendengki telah melakukan serangan dengan sangat subyektif terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah. Mereka telah melakukan berbagai cara untuk menohok, mengaburkan, dan meragukan apa yang telah dilakukan oleh Bani Utsmani ini dalam pengabdiannya terhadap Islam.
Mayoritas sejarawan asal Arab dalam berbagai aliran dan afiliasi, baik dari kalangan nasionalis atau sekuler, juga ikut menapaki metode mereka. Demikian pula para sejarawan asal Turki yang terpengaruh pemikiran sekuler yang dikomandani Kamal At Taturk. Maka tidak heran jika mereka meremehkan masa-masa pemerintahan Khilafah Utsmani dan menjadikan apa saja yang ditulis para sejarawan Kristen dan Yahudi sebagai sumber acuan utama untuk membangun sistem sekularisme di Turki, pasca Perang Dunia II.
Sikap negatif sejarawan Eropa terhadap sejarah Khilafah Utsmaniyah ini, tidak lepas dari rasa dendam sejarah mereka atas penaklukan yang dicapai oleh Khilafah Utsmaniyah; khususnya setelah peristiwa runtuhnya ibukota Negara Byzantium, Konstantinopel, yang kemudian dijadikan sebagai Negara Islam oleh Bani Ustmani dengan nama baru “Islambul” (maknanya, Darul Islam, dan kemudian menjadi Istambul –penj.). Orang-orang Eropa yang dirasuki penyakit dengki dan mewarisi dendam sejarah masa lalu terhadap Islam, mengungkapkan kebencian mereka melalui ucapan, tindak-tanduk, serta tulisan-tulisan mereka.
Bani Utsmani di masa itu terus berusaha melanjutkan penaklukan negeri-negeri, menjadikan Romawi Timur sebagai bagian dari negeri Islam, serta melanjutkan jihad hingga kekuasaan mereka berdiri tegak di tengah-tengah benua Eropa dan sampai ke Andalusia demi menyelamatkan kaum muslimin di sana. Eropa saat itu merasa sangat ketakutan dan diliputi kengerian. Hati mereka tidak tenang sebelum wafatnya Muhammad Al Fatih.
Sedangkan pemimpin-pemimpin Kristen di Eropa, baik pendeta atau raja-rajanya, mereka keluar ke jalan-jalan dengan mendengungkan permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Pemuka-pemuka Kristen berusaha menghimpun dana (donasi) untuk menyerang kaum muslimin (orang-orang kafir menurut pandangan mereka) Barbar. Setiap kali kaum muslimin meraih kemenangan di sebuah negeri, usaha mereka semakin gencar dan kebencian di dada mereka semakin kental. Oleh karena itu, mereka menuduh kaum muslimin sebagai pembegal, bengis, dan biadab. Mereka berusaha menanamkan kebencian ini di dasar otak orang-orang Eropa.
Serangan-serangan gencar dari kalangan pemimpin Kristen melalui berbagai media, merupakan usaha untuk menjaga posisi politik dan sumber ekonomi mereka, serta akibat rasa dendamnya terhadap Islam dan pemeluknya. Sebagian penguasa-penguasa politik di Eropa mampu mengangkangi kekuasaan dalam beberapa waktu lamanya, mereka berhasil menghimpun dana besar, membangun tembok-tembok besar yang kemudian mereka jadikan benteng; kesemuanya itu mereka ambil dari jalan sesat dan menyesatkan.
Walaupun rakyat Eropa melakukan perlawanan terhadap kelompok penguasa ini setelah mereka mengetahui kesesatan dan penyesatan mereka di awal-awal masa Renaisan (Renaissance) dan di awal perjalanan sejarah baru Eropa. Namun demikian perasaan masyarakat Eropa tidak mampu melepaskan diri dari warisan opini jahat yang telah dihembuskan oleh para pemuka Kristen dan penguasa politik terhadap dunia Islam atau secara khusus pemerintahan Bani Utsman.
Akibat dari semua itu, bangsa Eropa menyiapkan kekuatan militer yang dilengkapi teknologi canggih untuk melakukan balas dendam terhadap Islam kaum muslimin. Mereka berusaha menguras kekayaan umat Islam yang didorong oleh motivasi agama, ekonomi, politik, dan budaya. Tindakan ini didukung oleh penulis-penulis dan sejarawan mereka yang terus intensif menebarkan pengaburan dan keraguan tentang Islam, akidah, dan sejarahnya. Serangan gencar seperti ini banyak menimpa Khilafah Utsmaniyah.
Kejahatan yang dilakukan di atas, diikuti oleh orang-orang Yahudi Eropa yang menulis dengan tinta-tinta beracun, menyebarkan pemikiran-pemikiran berbisa dalam rangka terus-menerus melawan Khilafah Utsmaniyah dan dunia Islam sekaligus. Permusuhan orang-orang Yahudi terhadap pemerintahan Utsmani semakin menjadi-jadi tatkala semua strategi mereka gagal untuk merampok sejengkal tanah dari wilayah yang berada di bawah kekuasan Khilafah Utsmaniyah. Mereka gagal membentuk entitas politik dalam waktu seperempat kurun usia pemerintahan Khilafah Utsmaniyah yang beraliran Sunni ini.
Orang-orang Yahudi baru berhasil merealisasikan tujuan-tujuan mereka atau bantuan organisasi-organisasi Salibis Internasional dan negara-negara kolonialis Barat. Dukungan terhadap Yahudi juga diperkuat dengan gerakan Freemasonry yang berurat-akar di Negara-negara Barat dan eksis di dunia Islam dengan mengemas dirinya sebagai gerakan modernitas dan peradaban.
Pada saat yang sama mereka mempropagandakan tuduhan-tuduhan busuk terhadap Khilafah Utsmani-dalam masa yang panjang-bahwa mereka terbelakang, kolot, jumud, dan lainnya. Gerakan Freemasonry dan organisasi-organisasi bawah tanah yang berafiliasi kepada Yahudi dan kekuatan-kekuatan anti Islam dunia, beranggapan bahwa pengaburan sejarah dan peran historis Bani Utsman ini merupakan tujuan utama yang harus mereka capai.
Sedangkan para sejarawan Arab di dunia Islam telah menempuh metode penulisan sejarah yang juga ikut menyerang peran sejarah Khilafah Utsmani. Mereka terpaksa menempuh cara seperti itu karena dilatarbelakangi beberapa alasan; dan alasan yang paling utama adalah karena tindakan orang-orang Turki di bawah pimpinan “Musthafa Kamal At Taturk” dalam meruntuhkan Khilafah Islam pada tahun 1924, lalu digantikan dengan pemerintahan yang mengadopsi sistem sekuler dalam masalah sosial, ekonomi, dan politik dengan mengorbankan syariat Islam yang sejak lama eksis di Turki.
Pemerintahan Mushtafa Kamal berkolaborasi dengan Eropa dalam memusuhi negara-negara Islam dan Arab. Dia juga aktif turut serta dalam berbagai pakta koalisi militer dengan sekutu-sekutu Eropa, sejak berakhirnya Perang Dunia II, yang banyak ditentang bangsa Arab dan Islam serta sebagian pemerintahan mereka. Turki saat itu menjadi salah satu negara yang terang-terangan mendukung berdirinya Negara Israel di Palestina pada tahun 1948. Satu tindakan yang telah menyebabkan bangsa-bangsa Arab dan Islam ikut berjalan di belakang pemerintahan nasionalis, setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang pada masanya selalu berjuang mempertahankan setiap jengkal tanah yang menjadi milik kaum muslimin.
Sifat mengekor dalam metode penulisan sejarah kepada metode Barat ini, menjadi sebab utama penyerangan terhadap Khilafah Utsmani, khususnya tatkala ada titik-temu antara pandangan sejarawan Eropa dan Arab dalam mengaburkan peran historis Khilafah Utsmaniyah.
Sebagian besar sejarawan Arab terpengaruh pemikiran materialistik Barat. Oleh sebab itulah mereka seringkali menisbatkan kecemerlangan sejarah negeri mereka setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat yang sangat jauh dari manhaj Rabbani itu. Mereka beranggapan bahwa awal sejarah Arab modern dimulai sejak kedatangan orang-orang Perancis ke Mesir dan Syam yang berhasil menghancurkan isolasi Barat dan Timur; kemudian disusul munculnya sebuah Negara nasionalis di Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali. Saat itu muncul pandangan yang meremehkan jasa-jasa Khilafah Utsmani yang di masa sebelumnya telah melakukan pembelaan yang begitu hebat terhadap akidah dan ajaran Islam, dari serangan keji orang-orang Kristen Eropa.
Kekuatan-kekuatan Eropa telah menyuburkan pandangan-pandangan yang berseberangan dengan Khilafah Islam dan mereka sangat aktif mendukung kerja para sejarawan dan pemikir Mesir atau Syam yang seringkali mendengung-dengungkan ide pencarian orisinalitas nasionalisme mereka. Seperti yang dilakukan oleh Al Bustani, Al Yaziji, George Zaidan, Adib Ishaq, Salim Niqasy, Farah Anton, Syibli Syamil, Salamat Musa, Henry Corel, Halil Spartez, dan lain-lain. Jika kita teliti lebih cermat, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Kristen dan Yahudi; dan mayoritas mereka-kalau bukan semuanya- adalah anggota gerakan Freemasonry, yang masuk ke dalam dunia Islam sejak masa pemerintahan Muhammad Ali, sedangkan bibitnya sendiri sudah mulai disemai sejak kedatangan Napoleon. Musuh-musuh Islam melihat bahwa dengan membantu orang-orang beraliran nasionalis sudah cukup untuk melemahkan potensi umat Islam dan menghancurkan Khilafah Utsmaniyah.
Gerakan Freemasonry juga telah berhasil menekuk-lututkan pikiran orang-orang yang berpaham nasionalis di tengah-tengah umat Islam. Orang-orang itu jauh lebih tunduk kepada kepentingan gerakan Yahudi daripada kepentingan umat Islam. Sikap mereka kepada umat Islam merupakan gambaran hakiki dari peradaban muslim, budaya, dan pengetahuannya.
Metode yang menyimpang ini sama sekali tidak mengalami perubahan di kalangan Arab sejak terjadi kudeta militer di Mesir tahun 1952. Di mana pemerintahan militer di Mesir saat itu juga berdiri di atas pandangan yang sama dalam mendukung nasionalisme sejak berdirinya.
Negara-negara yang dikuasai junta militer, kebanyakan mendukung nasionalisme dan pada saat yang sama pemerintahan-pemerintahan tersebut mendasarkan pondasi negaranya di atas sekularisme dalam semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya sisi budaya dan pemikiran. Sehingga mereka memandang Khilafah Utsmani dan pemerintahannya sebagai penjajahan kepada bangsa Arab muslim. Mereka menimpakan semua keterbelakangan, kelemahan, dan kejumudan yang menimpa Negara-negara Arab akibat pemerintahan Utsmani ini.
Mereka beranggapan bahwa gerakan separatisme dan pemberontakan yang muncul di masa pemerintahan Utsmani, yang semuanya tak lebih karena adanya dorongan dan ambisi pribadi, atau didorong oleh kekuatan asing yang memusuhi Khilafah Islam; semua itu diklaim sebagai gerakan kemerdekaan berlandaskan nasionalisme. Seperti yang dilakukan Ali Baek Al Kabir di Mesir, orang-orang Qarmanal di Libya, Zhahir Al Umar di Palestina, pengikut Husein di Tunisia, Maknayin, dan Syihibayin di Lebanon, dan lain-lain. Yang semuanya menyatakan pemberontakan itu dilakukan demi nasionalisme yang sedang mereka perjuangkan.
Mereka juga beranggapan, sosok Muhammad Ali adalah pemimpin nasionalis yang berusaha menyatukan dunia Arab. Realitanya, dia gagal melakukan penyatuan bangsa Arab karena dia bukan berasal dari bangsa Arab. Mereka lupa, bahwa Muhammad Ali menyimpan ambisi pribadi yang membuatnya bisa bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan kolonial yang mendukung posisinya dan mampu merealisasikan ambisi jahat mereka untuk menghantam kerajaan Saudi yang beraliran Salafi dan melemahkan Khilafah Utsmani. Muhammad Ali banyak membantu gerakan Freemasonry dalam menghajar kekuatan-kekuatan Islam di wilayah itu, serta telah berhasil melicinkan jalan bagi kolonialisme Barat-Kristen.
Gerakan Freemasonry-Yahudi telah berkolaborasi dengan kolonialis Barat dan kekuatan-kekuatan lokal yang mau menjadi budak-budak mereka. Semua kekuatan itu bertemu dalam satu titik untuk menghancurkan kekuatan Islam dan merenggut kemerdekaan rakyatnya, merampas sumber-sumber kekayaannya, serta untuk membentuk tatanan pemerintahan diktator yang dibantu aneka persenjataan Barat modern. Inilah yang dilakukan Muhammad Ali.
Sebagian ahli sejarah dari kalangan Salafi di wilayah Arab bagian timur, telah ikut partisipasi menyerang Khilafah Utsmani karena adanya faktor permusuhan Khilafah Utsmani terhadap gerakan Salafiyah di Saudi; ternyata hal itu muncul tak lain karena adanya konspirasi negara-negara Barat yang mendorong para sultan pemerintahan Utsmani agar memerangi kekuatan-kekuatan Islam di Nejed, di basis gerakan Salafiyah. Selain itu juga karena sikap Khilafah Utsmani yang mendukung gerakan tasawuf dan fenomena tercerabutnya ajaran tasawuf dari asas-asas syariah Islam. Lebih dari itu semua, pemerintahan Utsmani di akhir-akhir kekuasaanya telah didominasi oleh para pendukung nasionalisme Turki, yang telah menjauhkan pemerintahan Utsmani dari manhaj Islam; padahal sebelumnya menjadi pembela Khilafah Utsmaniyah selama beberapa abad perjalanan sejarahnya, di mana hal itu membuat kaum muslimin terdorong untuk menggabungkan diri dengan Khilafah dan sekaligus mendukungnya.
Sedangkan sejarawan dari kalangan Marxis mereka telah menyatakan perang terbuka terhadap kekuasaan pemerintahan Khilafah Utsmani. Mereka menganggap bahwa masa-masa pemerintahannya adalah bentuk hegemoni sistem feodalisme yang mendominasi sejarah Arab pertengahan. Mereka mengatakan bahwa pemerintahan Utsmani tidak melahirkan sesuatu yang baru dalam hal teknologi dan produksi. Sejarah modern-dalam pandangan mereka-dimulai sejak munculnya golongan borjuis, kemudian kapitalisme yang telah merombak dunia ekonomi-sosial di awal abad ke-19 M. Pandangan ini memiliki kesamaan dengan pandangan para sejarawan Eropa beraliran liberal dan para pengagum nasionalisme.
Beberapa sejarawan dan intelektual Kristen dan Yahudi, dengan gencarnya memasarkan dua pandangan ini-Barat dan Marxime- melalui buku-buku yang mereka tulis dan terjemahkan. Aksi mereka didukung sepenuhnya oleh gerakan Freemasonry yang memang sangat memusuhi semua usaha yang ingin menyatukan pandangan Islam. Mereka selalu mengedepankan nasionalisme dengan lokalnya, atau naionalisme Arab. Seperti proyek berdirinya Al Hilal Al Kashib di Syam, proyek penyatuan Mesir dan Sudan. Selain itu mereka gencar melakukan seruan nasionalisme terbatas seperti ingin menghidupkan Fir’aunisme di Mesir, Asyuriisme di Irak, dan Viniqiya di Syam, dan lain-lain.
Sedangkan sejarawan asal Turki yang muncul pada masa-masa gencarnya seruan nasionalisme Turki, telah melakukan pengaburan tehadap masa-masa Khilafah Utsmani, baik dalam arus pemikiran politik negerinya yang membebankan semua sisi kelemahan dan kehancuran kepada pemerintahan Utsmani, atau karena orang-orang Turki terpengaruh sikap jelek yang ditampakkan oleh pemerintahan Utsmani di mana setelah Sultan Abdul Hamid diturunkan pada tahun 1019, pemerintahan Utsmani hanya berbentuk sebuah formalisme. Pemerintahan Utsmani ini telah sering mengalami kekalahan berturut-turut dalam setiap kali terjun dalam Perang Dunia I. Kekalahan ini telah menimbulkan kerugian yang demikian besar dan harus kehilangan sejumlah wilayah kekuasaannya, serta sikap menyerah Turki saat melakukan Kesepakatan Sifir pada tahun 1918 yang tak lebih sebagai tanda kekalahan mereka atas orang-orang dari Persatuan dan Pembangunan.
Sementara itu gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Musthafa Kamal At Taturk telah mampu menyelamatkan Turki dari kehinaan ini dan mampu mengembalikan tanah-tanah wilayah Turki dan memasukkan wilayah Yunani ke dalamnya. Ini juga terjadi karena para pemikir Turki terpengaruh sikap sebagian orang Arab yang telah mendukung sekutu Barat pada saat terjadi Perang Dunia I dalam melawan pemerintahan Utsmani, serta pernyataan perang terhadapnya pada tahun 1916.
Walaupun ada perbedaan-perbedaan sebab, namun kebanyakan sejarawan sepakat untuk mengaburkan dan menyelewengkan sejarah Khilafah Islam Utsmani. Para sejarawan pendusta ini dalam melakukan aksinya sengaja memelintir fakta-fakta, melakukan kebohongan-kebohongan, menanamkan keragu-raguan. Buku-buku yang mereka tulis banyak diwarnai dengan kebenaran buta, dan dorongan-dorongan tidak sehat yang sangat jauh dari obyektif.
Apa yang mereka lakukan telah memunculkan reaksi dari kalangan Islam untuk membantah semua tuduhan dan syubhat yang ditodongkan kepada Khilafah Utsmani. Salah satu tulisan yang penting untuk membantah tuduhan itu adalah buku yang ditulis Dr. Abdul Aziz Asy Syanawi, yang dia tulis dalam 3 jilid besar dengan judul Ad Daulah Al Utsmaniyah Dual Islamiyah Muftara ‘Alaiha (Pemerintahan Utsmani, Negara Islam Tertuduh). Walaupun dia telah berusaha sebaik mungkin dengan didorong sifat keislaman dan obyektivitas dalam penulisan ini, namun ternyata dia tidak membahas semua sisi sejarah pemerintahan Utsmani. Ada catatan yang perlu diperhatikan dalam buku ini yang jauh dari obyektivitas ilmiah yang bersih.
Salah satu karya yang patut kita syukuri dalam bidang ini adalah apa yang dilakukan oleh seorang penulis terkenal dan seorang mahaguru dalam sejarah Khilafah Utsmaniyah, Dr. Muhammad Harb. Dia telah menulis untuk umat Islam sejumlah buku khusus mengenai pemerintahan Utsmani. Antara lain Al Utsmaniyun Fit Tarikh Wal Hadharah (Bani Utsmani dalam Perspektif Sejarah dan Peradaban), As Sulthan Muhammad Al Fatih Fatihu Al Qasthathiyah Wa Qahiru Ar Ruum (Muhammad Al Fatih Pembuka Konstantinopel dan Penakluk Romawi), As Sulthan Abdul Hamid Akhir Salathin Al Utsmaniyin Al Kibar (Sultan Abdul Hamid, Sultan Terakhir Bani Utsman).
Di antara karya yang demikian baik dan berbobot mengenai sejarah pemerintahan Bani Utsmani, adalah yang ditulis oleh Dr. Muwaffaq Al Marjah yang dia beri judul Shahwah Ar Rajul Al Maridhaw As Sulthan Abdul Hamid (Bangkitnya Lelaki yang Sakit, atau Sultan Abdul Hamid). Sebuah tulisan yang dia ajukan untuk meraih gelar Master. Buku ini telah mampu memberikan gambaran banyak hal tentang hakikat dan fakta yang didukung manuskrip-manuskrip dan hujjah yang kuat.
Dan masih banyak penulis modern lain yang juga ikut memberikan kontribusinya. Namun, di sana ada beberapa sisi sejarah Khilafah Utsmani dan tarikh Islam di zaman modern ini, yang membutuhkan uji pandang dengan menggunakan perspektif Islam yang bisa memunculkan hakikat kebenaran, serta dapat menelan kebatilan-kebatilan yang diakibatkan cara penulisan dengan menggunakan kacamata nasionalisme sekuler, yang tak lain merupakan agen utama musuh-musuh Islam.
Sesungguhnya sejarah Islam modern dan klasik merupakan panji yang selalu dibidik oleh kekuatan yang memusuhi Islam. Sebab mereka menganggap bahwa sejarah merupakan wadah akidah, pemikiran dan pendidikan dalam membangun identitas kaum muslimin.[1]
Buku ini tak lebih dari upaya sederhana untuk mengkaji sejarah Khilafah Utsmaniyah secara berurutan, dan secara khusus menekankan pada perannya di Afrika Utara. Buku ini juga membahas akar-akar sejarah Khilafah Utsmaniyah hingga kejatuhan khilafah di tangan antek Inggris, dan seorang mulhid besar yang bernama Musthafa Kamal.
Di sela-sela bahasan ini penulis memaparkan sebab-sebab kekuatan yang ada pada Khilafah Utsmani dan sebab-sebab kelemahan mereka, sifat-sifat penguasa, dan para sultannya yang kokoh serta perhatian mereka yang besar terhadap para ulama dan dalam mengimplementasikan syariah Allah, serta perjuangan dan jihad mereka yang demikian besar untuk menyebarkan Islam dan membela negerinya melawan serangan orang-orang Kristen yang tidak pernah berhenti.
Penulis komitmen dengan manhaj ahli sunnah tatkala memaparkan peristiwa dan selalu berusaha untuk bersifat adil dan obyektif tatkala memberikan penilaian terhadap sebuah peristiwa. Semua itu diharapkan akan mampu memberikan kontribusi dalam meluruskan kesalahan pandangan dan persepsi yang selama ini ditimpakan pada Khilafah Islam Utsmani.
Allah-lah yang Maha Mengetahui segala maksud, dan Dia-lah yang menunjukkan pada jalan yang lurus.
[1] Qimat Jadidah fi Tarikh Al Utsmaniyin, oleh Dr. Zakariya Bayumi, hlm, 7-9 dan 16-17.
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-07 Definisi Hadits
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada hadits ini” (QS Al Kahfi:6). Maksud hadits dalam ayat ini adalah Al Quran.
Juga firman Allah,
“Dan adapun nikmat Tuhanmu, maka sampaikanlah.” (Adh Dhuha:11)
Maksudnya: sampaikan risalahmu, wahai Muhammad[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Buku-buku yang di dalamnya berisi tentang khabar Rasulullah, antara lain adalah Tafsir, Sirah, dan Maghazi (peperangan Nabi-Edt), dan Hadits. Buku-buku Hadits adalah lebih khusus berisi tentang hal-hal sesudah kenabian, meskipun berita tersebut terjadi sebelum kenabian. Namun itu tidak disebutkan untuk dijadikan landasan amal dan syariat. Bahkan ijma’ kaum muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah kenabian[3]
Contoh perkataan Nabi adalah sabda beliau,
“Perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang tergantung pada niatnya”[4]
Sabda beliau juga, “(Laut itu) suci airnya dan halal bangkainya.”[5]
Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, sholat, manasik haji, dan lain sebagainya yang beliau kerjakan.
Contoh penetapan (taqrir) Nabi adalah sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau terhadapnya. Misalnya: Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Ada dua orang yang sedang musafir ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya bertayammum dengan debu yang bersih lalu mendirikan shalat. Kemudian keduanya mendapati air, yang satu mengulang wudhu dan shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulang. Keduanya lalu menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua hal tersebut. Terhadap orang yang tidak mengulang beliau bersabda, “Engkau sudah benar sesuai sunnah, dan sudah cukup dengan shalatmu”.
Dan kepada orang yang mengulangi wudhu dan shalatnya, beliau bersabda, “Bagimu pahala dua kali lipat.”[6]
Dari Muadz bin Jabal bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengutusnya ke negeri Yaman, “Apa yang kamu jadikan sebagai pedoman dalam menghukumi suatu masalah?”
Ia menjawab, “Dengan Kitabullah.”
Rasulullah bertanya, “Jika tidak kamu dapatkan dalam Kitabullah?”
Dia menjawab,”Dengan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beliau bertanya lagi, “Jika tidak kamu dapatkan dalam sunnah Rasulullah maupun dalam Kitabullah?”
Dia menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Kemudian Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “Maha suci Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah”[7]
Diriwayatkan, bahwasanya Khalid bin Al –Walid Radhiyallahu Anhu pernah memakan dhabb (hewan bangsa kadal namun agak besar-Edt) yang dihidangkan kepada Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, sedangkan beliau tidak memakannya. Sebagian sahabat bertanya, “Apakah diharamkan memakannya, wahai Rasulullah?” beliau menjawab, “Tidak, hanya karena binatang tersebut tidak ada di daerah kaumku sehingga aku merasa tidak berminat”[8]
Contoh dari sifat dan Sirah Nabi, banyak sekali riwayat menerangkan tentang sifat dan tabiat beiau. Dan At Tirmidzi menyusun sebuah buku tentang tabiat (syama’il) beliau[9]
Di antara contohnya adalah:
Dari Abi Ishaq, dia berkata, “Seorang lelaki bertanya kepada Al Bara’, ‘Apakah wajah Rasulullah seprti pedang?” Dia menjawab, ‘Tidak, tapi seperti rembulan’.”[10]
Dari Al Bara’ dalam riwayat lain, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pendek dan tidak tinggi.”[11]
Dari Jarir bin Abdullah Al Bajali, dia berkata, “Belum pernah aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sejak aku masuk Islam kecuali beliau tersenyum kepadaku. “[12]
[1] Lisanul Arab, Ibnu Manzur
[2] Ushulul Hadits, Muhammad ‘Ajjaj Al Khatib, hal 27
[3] Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahh: 18/ 10-11
[4] HR Bukhari dan Muslim
[5] HR Ahmad dan Ibnu Majah
[6] Hr Abu Dawud dan An Nasa’i
[7] HR Abu Dawud
[8] HR Bukhari dan Muslim
[9] At Tasyri’ wa Al Fiqh Al Islam Tarikhan wa Manhajan, Manna Al Qaththan, hal 87-88
[10] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
[11] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
[12] HR At Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan shahih.”
sumber: hasanalbanna.id
2012-02-07 Hasil-hasil Kajian ‘Kebebasan Wanita’
1. Karakteristik Wanita
- Wanita Muslimah pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam memahami karakteristiknya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam yang murni sehingga dia melalui berbagai bidang kehidupannya dengan dasar pemahaman tersebut.
- Karakteristik wanita tersimpul dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang menetapkan dasar-dasar persamaan antara laki-laki dan wanita dengan sedikit kekhususan dalam beberapa bidang. Sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam yang dimaksud adalah: “Sebenarnya wanita itu adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Abu Daud)[1]
- Hadits yang mengatakan bahwa wanita itu “kurang akal dan agama” adalah hadits sahih yang dipahami dan diterapkan secara keliru oleh banyak orang, sehingga mereka menghapus karakteristik wanita yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Kitab-Nya dan diterangkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam dalam Sunnahnya.
2. Pakaian dan Perhiasan
- Membuka wajah sudah umum dilakukan pada zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam Kondisi seperti ini merupakan kondisi awalnya. Adapun memakai cadar, sehingga yang terlihat hanya kedua bola mata, merupakan salah satu tradisi atau mode/cara berdandan yang menjadi trend pada sebagian wanita sebelum dan sesudah kedatangan Islam.
- Berdandan secara wajar pada muka, kedua telapak tangan, dan pakaian diperbolehkan agama dalam batas-batas yang pantas dilakukan oleh seorang wanita mukminat.
- Tidak pernah diwajibkan mengikuti satu mode tertentu dalam berpakaian. Yang diwajibkan adalah menutupi badan. Tidaklah berdosa mengikuti beberapa mode sesuai dengan kondisi cuaca dan lingkungan sosial.
- Kriteria-kriteria di atas membantu wanita untuk lebih bebas bergerak dan memudahkannya dalam mengikuti kegiatan sosial.
3. Keterlibatan Wanita dalam Kehidupan Sosial
- Sudah tetap/jelas bahwa menetap di rumah dan memakai hijab merupakan kekhususan untuk istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sebagaimana juga sudah tetap/jelas bahwa sahabat-sahabat wanita (shahabiyat) yang mulia tidak mengikuti perbuatan istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam tersebut.
- Wanita ikut dalam kehidupan sosial dan seringkali bertemu dengan kaum laki-laki dalam semua bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus, guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan hidup yang serius dan untuk memberi kemudahan bagi semua orang mukmin, baik laki-laki maupun wanita.
- Keterlibatan ini tidak ada syaratnya selain beberapa tuntunan dan aturan yang mulia dan sifatnya memelihara, bukan menghambat.
- Wanita terlibat dalam bidang sosial, politik, dan profesi sesuai dengan kondisi serta kebutuhan hidup pada masa kerasulan. Dalam bidang sosial misalnya, wanita muslimah terlibat dalam beberapa bidang seperti kebudayaan, pendidikan, jasa/pelayanan sosial, dan hiburan yang bersih. Dalam bidang politik, wanita muslimah memiliki keyakinan yang berbeda dengan keyakinan masyarakat dan pihak penguasa. Wanita muslimah menghadapi tekanan dan siksaan, kemudian dia berhijrah untuk membela dan menyelamatkan keyakinannya itu. Di samping itu, wanita muslimah mempunyai perhatian dan rasa peduli terhadap urusan masyarakat umum, mengemukakan pendapat dalam berbagai isu politik, dan kadang-kadang bersikap oposisi dalam bidang politik. Sementara dalam bidang profesi, wanita ikut terlibat dalam bidang pertanian, peternakan, kerajinan tangan, administrasi, perawatan, pengobatan, kebersihan, dan pelayanan rumah tangga. Kegiatan tersebut membantu wanita mewujudkan dua hal. Pertama, mewujudkan kehidupan yang layak bagi diri dan keluarganya dalam keadaan suaminya sudah tiada, lemah, atau miskin. Kedua, mencapai kehidupan yang lebih mulia dan terhormat, sebab dengan hasil usahanya itu dia mampu bersedekah di jalan Allah.
Mengingat semakin seriusnya kondisi sosial pada masa kita sekarang yang menuntut semakin ditingkatkannya partisipasi wanita dalam bidang sosial, politik, dan profesi, maka kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah digariskan syariat haruslah menjadi pengatur kondisi tersebut sampai akhir zaman.
Di antara hasil dari keterlibatan dalam kehidupan sosial tersebut adalah timbulnya kesadaran wanita, semakin matangnya cara berpikir, dan mampunya wanita melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat.
4. Keluarga
- Menegaskan bahwa wanita berhak memilih suami dan berhak meminta cerai jika dia memang tidak menyukai suaminya, walaupun dia tidak dirugikan oleh suaminya dengan syarat dia mengembalikan apa yang dia ambil dari suaminya dengan ketetapan dari suami atau hakim setelah dibuktikan bahwa dia benar-benar sudah tidak menyukai suaminya.
- Berbagai tanggung jawab pasangan suami istri dan melakukan kerjasama yang baik demi sempurnanya pelaksanaan tanggung jawab tersebut.
- Hak suami istri sama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“… Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya …” (Al Baqarah: 228)
Derajat atau tingkatan yang dimaksud adalah kepemimpinan suami dalam rumah tangganya atau kelebihan mengalahnya suaminya dari beberapa hak yang harus dia peroleh. Di antara hak-hak tersebut adalah hak dicintai, hak disayangi dan dikasihani, hak berdandan dan menikmati hubungan seksual, serta hak untuk bersama-sama dalam kesibukan dan kesusahan seperti yang dialami oleh setiap pihak.
- Syariat telah menentukan syarat-syarat dan peraturan-peraturan mengenai perceraian dan poligami. Keadaan sebuah keluarga muslim tidak akan berjalan benar kalau salah satu syarat dan peraturan tersebut timpang. Karena itu tidak ada salahnya jika pada masa sekarang ini ditetapkan suatu aturan yang menjamin dipenuhinya semua syarat dan peraturan.
- Peranan wanita/istri dalam keluarga merupakan tugas utama dan pertama. Tapi hal ini tidak menafikan bahwa wanita juga mempunyai kewajiban-kewajiban lain di tengah masyarakat. Tumbuhnya kesadaran bermasyarakat dan adanya kerjasama yang erat antara suami dan istri merupakan dua faktor yang sangat penting untuk mengkoordinasikan tugas pertama wanita dengan tugas-tugasnya lain yang dibutuhkan demi kemaslahatan masyarakat muslim sehingga dalam masyarakat terwujud perkembangan dan kemajuan.
5. Bidang Seksual
- Seks merupakan bagian dari kesenangan di dunia dan di akhirat. Seks itu halal dan baik. Seseorang dapat memperoleh pahala karena melakukan aktivitas seksual yang sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh agama. Kita perlu meluruskan persepsi kita mengenai masalah ini karena telah dikaburkan oleh pemikiran sufi yang menyimpang dan dilatarbelakangi oleh paham kerahiban (rahbaniyyah) kalangan Kristen serta sebagian agama Timur Kuno.
- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bersama para sahabatnya berjalan mengikuti jalur yang menuju arah terwujudnya pendidikan seks yang benar dan pengetahuan seks yang bersih. Hal ini menghasilkan mental yang sehat di kalangan laki-laki dan wanita. Perlu kita lenyapkan tembok raksasa yang selama ini menghambat dan menutupi segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks.
- Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam adalah contoh manusia yang sempurna, baik dalam kondisi beristri satu atau pun dalam keadaan berpoligami, baik dari segi sifat zuhud dan kesederhanaannya ataupun dari segi kesempurnaannya dalam bergaul dan berhubungan dengan para istri beliau. Kemudian setelah membetulkan persepsi kita mengenai seks secara umum, kita perlu pula membetulkan persepsi kita mengenai sikap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam terhadap seks.
- Mempermudah proses perkawinan semenjak usia dini merupakan salah satu ciri masyarakat Islam. Alangkah banyak bentuk kemudahan yang telah digariskan Sunnah dalam masalah ini. Dengan penuh tekad dan semangat kita harus membuka jalan kemudahan bagi proses perkawinan pada masa sekarang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Yang Maha Pencipta. Dia tentu lebih tahu mengenai ciptaan-Nya. Setiap tindakan yang sifatnya mempersulit, hanya akan membuat orang semakin jauh dari menaati Allah sehingga semakin dekat pada perbuatan yang tidak terpuji, baik yang terlihat maupun yang terselubung, bahkan mungkin terjebak ke dalamnya. Na’udzabillahi min dzalik!
Setelah kita uraikan secara ringkas hasil-hasil kajian ini, penulis ingin menekankan bahwa kita masih dituntut untuk melakukan sejumlah kajian ilmiah jika kita benar-benar ingin mengulang sajarah keikutsertaan dan dinamika wanita serta membina kembali masyarakat kita di atas fondasi yang kokoh. Penulis mengusulkan agar kajian tersebut mencakup lima bidang:
- Nash-nash yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam, tetapi dengan catatan bahwa kajian tersebut harus meliputi seluruh kitab Sunnah.
- Warisan budaya Islam, yaitu dengan mengumpulkan pendapat-pendapat dan ijtihad-ijtihad para ulama serta penerapannya secara konkret selama berabad-abad, sehingga kita betul-betul memahami sejauh mana pengaruh sejarah yang panjang ini dalam pemikiran dan realita kehidupan kita.
- Tulisan-tulisan para cendekiawan muslim modern dengan cara menganalisis semua tulisan mereka dengan segala orientasinya agar kita sampai pada suatu kesimpulan yang bermanfaat dari teori-teori dan ijtihad-ijtihad modern.
- Penerapan-penerapan yang sedang berlaku di tengah masyarakat sekarang ini, misalnya dengan melakukan kajian ilmiah lapangan dan statistik terhadap masalah-masalah ini sebaik mungkin sehingga kita dapat melakukan evaluasi yang benar, rinci, dan bukan berdasarkan pada perkiraan-perkiraan semata.
- Penelitian-penelitian Barat modern yang berkaitan dengan wanita dalam bidang ilmu jiwa, pendidikan, pengetahuan mengenai seks, kegiatan profesi, sosial, dan politik dengan memberikan perhatian khusus terhadap studi lapangan dan statistika untuk dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya, sehingga kita betul-betul mampu menentukan mana yang patut diambil dan mana yang harus ditinggalkan dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh suatu bangsa –setelah menimbangnya dengan timbangan agama. Kita tidak boleh berpegang pada dugaan-dugaan semata, baik dari kaum modernis ataupun konservatif.
[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.
sumber: hasanalbanna.id