2011-12-27 Surat dari Penjara
Bapak Abdullah bin Rawahah, dalam jannah, ridha dan maghfirah Allah,
Dari penjara pengap tempat begitu banyak anak manusia bertarung merebut jatah makan dan hunian terbaik, kutulis surat ini untuk mengungkapkan pengakuan dan kekagumanku atas sikapmu yang tergurat dalam rajaz-mu. Setidaknya bahwa orang tahu bahwa aku sangat menerima jalan pikiranmu. Atau agar diriku sendiri tahu dan sadar bahwa kebenaran semata-matalah yang melandai ungkapanmu yang di negeriku pernah dinyanyikan dengan semangat:
ku bersumpah; wahai jiwa, turunlah berlaga
turunlah atau haruskah engkau dipaksa
mengapa kulihat engkau membenci surga
hai jiwa, jika engkau tidak dibantai
kau kan pasti binasa
Di sebuah sel paling indah dari penjara yang berjajar dengan penghuni yang berblok-blok dan saling curiga, dengan aliansi yang cepat berubah hanya karena kepentingan berebut kesenangan, aku tinggal bersama tahanan yang akan ditentukan nasibnya dan menentukan suratannya. Maksudku, mereka akan mendapat keputusan, akan direhabilitasikah mereka? Atau dieksekusi atau ditingkatkan ke penjara yang lebih mengerikan? Kejadian silih berganti dan betapa mulia warnanya jalan hidup mereka. Penduduknya sangat majemuk. Ada yang menerbitkan koran berbau menyan. Ada yang menyebutkan Muhammad SAW junjungan kita tanpa gelar cinta di hati atau shalawat di mulut. Ada yang mau mmeberi apa saja demi kebahagiaan nanti, sampai-sampai dapat kau temukan kejadian yang kau dapatkan di zaman sahabatmu Ali bin Abi Thalib, saat seorang haruri yang memberontak kepada khalifah yang sah dan memisahkan diri dari jamaah Muslimin dan berteriak bangga, “Aku bersegera kepada-Mu ya Rabbi, agar Engkau ridha.” (QS Thaha: 80) sementara ususnya terburai oleh pedang pasukan Muslim yang loyal.
Bapak Khubaib bin Adi, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
(Maaf, kalau ukuran satu-satunya cuma usia, sebaiknya kupanggil engkau dengan adinda, karena saat kutulis surat ini, baik engkau atau Abdullah bin Rawahah adalah pemuda yang segar, terlebih di negerimu kini engkau takkan lagi mengalami keriput dan pikun)
Kalaulah tidak karena kejumudan lama dan dekadensi hari ini, tentu semua pemuda akan sangat apresiatif terhadap untaian syair kematianmu yang begitu manis, ironis dengan penyiksaan dan pembunuhan perlahan-lahan yang mereka lakukan terhadapmu:
dan aku tidak peduli ketika dibunuh sebagai Muslim
di arah manapun, pastilah jalan Allah gugurku
karena dalam pandangan Ilah, jika ia berkenan
Ia kuasa berkahi kepingan tubuh yang berserakan
Seorang bapak yang pergi ke hutan untuk membela Tuhan, menghibur anak lelakinya yang gemetar di usianya yang empat tahun itu. Di tingkah rentetan senapan mesin dan ledakan bom ia berpesan: “Jangan takut, tenangkan hatimu, karena setiap peluru dan bom itu sudah punya address, alamat siapa yang akan jadi korbannya. Bila tak ada namamu di situ, pasti ia tidak akan memangsamu.”
Mungkin terngiang di telingamu ayat tabsyir ini yang turun jauh sesudah pulangmu ke negeri abadi, “Mereka bergembira dengan orang-orang yang belum berjumpa dengan mereka di belakang mereka, tidak ada ketakutan pada mereka dan tak juga bersedih.” (QS Ali Imran: 170)
Bapak Abu Dujanah, dalam jannah, maghfirah dan ridha Allah,
Di anatara kami ada yang pergi mencari mati, namun lebih banyak mereka yang pulang dan berumur panjang. Banyak di antara kami yang amat ketakutan jika berjalan seperti kalian para syuhada, kata mereka hidup jadi pendek dan keluarga jadi terlantar. Maka, kalau ia seorang pejabat profesional atau serdadu, hidupnya penuh dengan kesibukan menumpuk harta curian. Jika ia ulama, maka ia menghindari topik-topik koreksi atas kemungkaran dan kecurangan. Banyak orang menjadi sangat miskin karena sangat memimpikan kekayaan. Mungkin kita bisa sama-sama terkesan dengan sebuah kalimat doa, “Allahumma aghnini bil iftiqari ilaika, wa la tufaqqirni bil istighna’i ‘anka (Ya Allah, kayakanlah daku dengan kesadaran diri sangat berhajat kepadaMu, dan jangan miskinkan daku karena merasa tak memerlukanMu).”
Bapak Annazham, filsuf para Mu’tazilah,
Hari ini bansaku mengulang kembali apa yang dikatakan orang-orang bijak dan penyair masa lalu tentang kebusukan dan kezaliman;
siapa tidak ikut gila, tidak kebagian
siapa yang tak mampu menzhalimi orang, maka ia akan dizhalimi
Sebagian lain menenggak begitu banyak racun yang menghancurkan akal mereka. Ah, ternyata engkau jauh lebih elegan dari anak-anak kampungku yang pagi-pagi beercerita dengan bangga bahwa mereka puas, hebat, modern, karena semalam tidur di selokan mabuk. Ya Annazham, engkau mabuk dengan cita rasa seni yang tinggi.
dengan lembut terus kuhirup sukma botol ini
dan kuhalalkan darah yang bukan dari luka
sampai aku terbungkuk-bungkuk dengan dua nyawa
botol pun tercampak, jadi badan tanpa jiwa
Mabuk di Selokan atau dengan Hadiah Nobel Sastra, Tetap Mabuk, kan?
Kata orang bijak, dunia hanya dibangun dan dipimpin oleh para pemberani, dalam hak atau batil. Kini mubarazah (duel) yang mengawali pertempuran massal tak dapat dilaksanakan. Bukan karena pertempuran tak lagi menggunakan pedang, tetapi jiwa pengecut itu yang jadi mahkota di kepala anak-anak laki-laki korban sekolah itu. Oh, Bani Arfidah penari perang dan penempur yang gagah berani, hari rayaku kini ramai dengan orang menangis di kuburan atau orang mabuk di selokan. Tari perangmu yang membangkitkan api ksatria telah berganti dengan penari latar norak, culun, dan penuh kepura-puraan. Laki-laki dan perempuan bergerak dengan dan karena ketakukan yang sangat kalau tak jadi terkenal. Laki-laki memakai rantai anjing dan menyobek lutut Jeans-nya dan “gadis-gadis”nya membuka seluas mungkin jengkal demi jengkal kehormatan yang seharusnya mereka tutup.
Tetapi Allah bukan si miskin yang tidak punya cadangan kekayaan hamba-hamba dari jenis kain atau si dungu yang tak tahu bagaimana mengganti perlengkapan rumahnya yang usang. Dari puing-puing sejarah bangsa kami masih muncul kepala-kepala lain dengan pikiran-pikiran lain, impian-impian lain. Benar kata orang bijak, “Perjuangan dirancang oleh orang alim, diperjuangakan oleh orang-orang ikhlas, dimenangkan oleh orang-orang berani, dan akhirnya dinikmati oleh orang-orang pengecut!”
Bapak Abdurahman bin Auf,
Betapapun tidak bisa mengejar tingkat pengorbananmu, namun masih ada pedagang kami yang kebih suka “hijrah” dari nikmat rezeki yang cemar lalu mengambil susu fitrah bagi kekayaan batin prajurit tauhid yang melimpah dan istiqamah.
Bapak Salman Al Farisi, biarpun tidak seperti keutamaanmu, namun masih banyak muhandis (insinyur) muda yang sibuk menggali khandaq penahan laju ahzab sekutu. Mereka seperti yang kau dapatkan juga dari Rasul tercinta, adalah sungguh-sungguh ahlul bait, karena menjaga rumah besar kita dari keruntuhan.
Bapak Bilal, gema adzanmu tetap dibunyikan oleh Bilal-bilal masa kini, dengan seruan hayya ‘alal falah yang santun, damai, dan perkasa. Ajaib, suara dari kerongkonganmu tak tergantikan oleh kecanggihan teknologi musik yang telah begitu jauh maju. Dan, ia telah menjadi “lagu kebangsaan” yang mendunia mengukuhkan kesistensi kami di tengan 6 milyar penduduknya.
sumber: hasanalbanna.id