Skip to main content

2011-12-29 Kesempurnaan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Tidak  ada manusia  yang  sempurna. Memang  itulah  kenyataannya. Akan  tetapi,  pada waktu  yang  sama  kita  juga  diperintahkan  untuk  berusaha  menjadi  sempurna.  Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan. Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang  tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah  kesempurnaan  itu  relatif.  Ukuran  kesempurnaan  adalah  batas  maksimum dari  kemampuan  setiap  individu  untuk  berkembang.  Karena,  “Allah  membebani seseorang,  melainkan  sesuai  dengan  kesanggupannya…”  (Al Baqarah:  286).

Maka,  bergerak menuju  kesempurnaan  adalah  bergerak menuju  batas maksimum  itu. Akan  tetapi,  kemudian  muncul  pertanyaan  baru,  “Bagaimana  cara  mengetahui  batas maksimum itu?”

Tidak  ada  jawaban  ilmiah  yang  cukup  valid  untuk  pertanyaan  ini,  jika  jawaban  yang kita  harapkan  adalah  ukuran  kuantitatif.  Bahkan,  tokoh-tokoh  besar  dalam  sejarah manusia,  kata  Syeikh Muhammad  Al Ghazali  dalam  Jaddid  Hayataka,  teryata  hanya menggunakan  lima  sampai  sepuluh  persen  dari  total  potensi  mereka.  Berapakah, misalnya,  jumlah waktu  yang  dibutuhkan Einstein  untuk menemukan  teori  relativitas, jika dibanding dengan total umurnya? Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat  psikologis.  Yaitu,  semacam  kondisi  psikologis  tertentu  yang  dirasakan seseorang  dari  suatu  proses maksimalisasi  penggunaan  potensi  diri,  dimana  seseorang memasuki keadaan yang oleh Al Qur’an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).

Maka, kesempurnaan  itu obsesi. Bila obsesi  itu kuat, maka  ia akan menjadi mesin yang memproduksi  tenaga  jiwa,  yang membuat  seseorang mampu  bergerak  secara  konstan menuju  titik  kesempurnaan.  Yang  kemudian  terjadi  dalam  kenyataan  adalah  suatu proses  perbaikan  berkesinambungan. Karena  itu,  kadar  kepahlawanan  seseorang  tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak  juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain.

Seseorang dianggap pahlawan karena  jumlah  satuan  karyanya  melebihi  jumlah  satuan  waktunya  dan  karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.

Itulah  sumber  dinamika  yang  dimiliki  para  pahlawan  mukinin  sejati:  obsesi kesempurnaan.  Akan  tetapi,  obsesi  ini  mudah  dilumpuhkan  oleh  sebuah  virus  yang biasanya  menghinggapi  para  pahlawan.  Yaitu,kebiasaan  merasa  besar  karena  karya-karya  itu, walaupun  ia sangat merasakan hal  itu. Sebab, perasaan  itu akan membuatnya berhenti  berkarya. Maka,  Imam  Ghazali  mengatakan,  “Siapa  yang  mengatakan  saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”

Jadi, musuh  obsesi  kesempurnaan  adalah  sifat megalomania.  Inilah  hikmah  yang  kita pahami  dari  turunnya  Surah  An Nashr  pada  saat  Fathu  Makkah,  “Apabila  datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong  masuk  ke  dalam  agama  Allah,  maka  bertasbihlah  kepada  Tuhanmu  dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya la Maha Menerima Taubat.” 

Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya.

Membebaskan  satu  negeri  adalah  karya  besar.  Akan  tetapi,  ketika  Uqbah  bin  Nafi’ bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat  sederhana,  “Ya  Allah,  terimalah  amal  kami.  Sesungguhnya  Engkau  Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”


sumber: hasanalbanna.id