2025-03-03 Ngopi Santai 83 : Menjalani Dividend Investing Gaya JHP = Menjadi "Konglomerat" Kecil-kecilan?
Menjalani Dividend Investing Gaya JHP = Menjadi "Konglomerat" Kecil-kecilan?
================
Ngopi Santai 83
Dalam suatu investasi saham, seorang investor tentu berharap investasinya akan berkembang dengan hasil yang sangat memuaskan. Namun karena ketidakpahaman, bisa jadi hasilnya tidak memuaskan. Kadang itu terjadi karena kerancuan berpikir atau campur aduk berpikir antara gaya investasi yang satu dengan yang lain, antara value investing dengan dividend investing misalnya. Dividend investing kok membatasi jumlah emiten, dalam portofolio hanya 2. Yang membatasi jumlah emiten itu adalah gaya investasi value investing. Itu karena value investing mengutamakan capital gain dalam waktu pendek antara 1 sd 3 tahun dan saat masuk sudah analisa mendalam dan yakin dalam kurun waktu itu minimal bisa one bagger.
Tapi mengapa dividend investing (gaya JHP) justru tak boleh membatasi jumlah emiten dalam porto hanya 2 saja. Di dalam tulisan saya terdahulu, Kiat JHP 2, sebenarnya sudah dijelaskan. Di sini saya ingin menjelaskan dengan gaya lain. Inilah penjelasan saya mengapa tidak boleh membatasi hanya 2 emiten atau sedikit emiten.
1️⃣ Menyebabkan averaging price naik
Kalau kita membeli suatu emiten yg bagus secara fundamental dan valuasi murah, serta DY (dividend yield) memadai (misal 8%) dengan AEPD jauh di atas 1, biasanya harga saham emiten itu akan cenderung naik terutama bila pasar normal, minimal IHSG naik sesuai pertumbuhan ekonomi. Kalau kita membatasi sedikit emiten dalam porto, sementara setiap bulan selalu tersedia uang dingin baru, maka harga rata-rata saham yang telah kita miliki (average price) akan naik. Bagi yang telah paham Kiat JHP kenaikan ini patut disayangkan, telah datang kepada kita suatu kesempatan mendapatakan saham dengan harga Rp 325 misalnya tapi karena kita membatasi jumlah emiten atau kita terkena favoritisme yang favoritnya cuma emiten itu akhirnya average price yang kita miliki naik menjadi Rp 395 atau bahkan di atas Rp 400 misalnya. Itu berarti kita menyia-nyiakan kesempatan yg pernah datang pada kita yang belum tentu akan terulang. Kalau kita memiliki average price rendah, kita akan lebih cepat mencapai one bagger, kita memiliki DY (Dividend Yield) lebih tinggi, DY tumbuh lebih cepat dan lebih cepat balik modal dari dividen. Pernah ada yang bertanya lho Pak di Key Stat DY itu naik turun, bukan tumbuh. Ini pertanyaan dari orang yang tidak paham. Kalau kita sudah memiliki saham, DY dihitung dari avarage price yang telah kita miliki bukan dihitung dari harga pasar. Misalnya, tahun lalu BMRI membagikan dividen per saham sebesar Rp 264,67 tahun ini sebesar Rp 353,96 - (Lihat Gambar 1). Ini berarti DY saya di BMRI naik dari 11,76% tahun lalu menjadi 15,73% tahun ini karena average price saya Rp 2.250,- dan tetap dipertahankan tanpa kenaikan averge price. Saya belinya di modal itu saya menghitungnya dari situ bukan dari harga pasar. Selain itu DY naik karena EPS alias laba bersih per saham naik dan DPR stabil. DY BMRI 5,19% (harga pasar) itu pedoman untuk yang baru merencanakan akan beli sahamnya.
Jadi jelas ya peningkatan averge price saham yang kita miliki membuat investasi kita tidak memuaskan, lambat. Selain itu kita tidak tahu pasti bagaimana kondisi 3-4 tahun ke depan, apakah EPS masih tumbuh (kecuali mungkin yang sifatnya siklis, seperti komoditi yang mudah diprediksi). Kalau ternyata EPS berhenti tumbuh dan kemudian turun seperti Gambar 2, tentu lebih tidak memuaskan. Masalahnya akan menjadi berganda, average price naik, EPS turun. Dalam tulisan lama saya (Ngopi Santai 74
Mengapa Kiat JHP Membatasi masa akumuluasi
https://stockbit.com/post/11656783), orang yang menggunakan Kiat JHP menghentikan akumulasi beli setelah 3 bulan, dan mempertahankan average price SIDO Rp 326,88. Dengan average price serendah itu, tidak terlalu kecewa bila EPS turun. Masih bisa sukses dengan emiten lain. Kalau kita tidak membatasi sedikit emiten kita bisa alihkan dananya untuk beli saham dari emiten lain dan bisa sukses di emiten lain itu.
2️⃣ Kehilangan Peluang
Membatasi sedikit emiten dalam portofolio kita membuat kita kehilangan peluang untuk sukses dengan emiten lain. Seperti saya jelaskan di Ngopi Santai 74. Pada saat harga SIDO sekitrar Rp 337,- tahun 2018 ada beberapa emiten yang sekarang bagger atau multi begger, BUDI bisa dibeli di harga Rp 97,- sekarang harganya Rp 280,- TPMA bisa dibeli di sekitar Rp 220,- sekarang Rp 690,- NELY bisa dibeli di harrga sekitar Rp 125,- sekarang Rp 505,- PSSI bisa dibeli di harga Rp 179,- sekarang Rp 500,- HEXA bisa dibeli di harga Rp 3.120,- sekarang Rp 6.250 plus dividen jumbonya. Itu semua harganya normal, bukan harga crash Maret 2020. Saat crash, harga tentu lebih murah. Saat crash, harga saham HEXA bisa dibeli di harga sekitar Rp 2.000,- Saat crash tentu lebih banyak peluang. Saya sempat beli beberapa, bisa dibaca di Ngopi Santai 82, bisa scroll ke bawah atau di sini ➡️ https://stockbit.com/post/14423830
Dari segi DY bisa saya sampaikan di sini bila membeli di harga di atas, tahun 2018 tsb maka DY adl sbb:
SIDO saat DPS tertinggi 38,- yield 11,62%, terakhir DPS diperkirakan di bawah 32, gak sampai 10%
BUDI dari tahun buku 2022 DPS 8, yield 8,25
TPMA, dari thn buku 2022 DPS 60 yield 27,3%
NELY, dari thn buku 2022 DPS 25 yield 20%
PSSI, dari thn buku 2022 DPS 50 yield 27,9%
Jelas ya, dalam dividend investing membatasi jumlah emiten itu tidak boleh. Bila dilakukan pembatasan, investasi akan berkembang lambat dan tidak memuaskan.
Mungkin ada yang bertanya: di bursa ada 700 emiten (dulu, sekarang sudah 800-an) bagaimana memilihnya, bukannya kalau salah pilih juga tidak memuaskan. Sudah dijelaskan di Kiat JHP 1, bahwa kuncinya high DY, screening pertama adalah screening hihg DY, DY tinggi. Itu baru kunci pembuka tentu harus diikuti analisa fundamental termasuk GCG dan perkiraan pertumbuhan laba per saham dan book value-nya. Perkiraan pertumbuhan laba bisa dicek di materi Public Expose dan laporan hasil Public expose. Itu semua harus pakai uang dingin. Biasanya yang cepat bagger yg pertumbuhan laba ke depannya bagus, PBV bawah 0,7, AEPD di atas 1. AEPD tidak ada di Key Stat, mesti dihitung sendiri caranya di sini ➡️ https://stockbit.com/post/10579131
Dalam Kiat JHP 8, sudah saya ajarkan bagaimana meng-customize screener high DY di SB. Hasil screening bisa dilihat di Gambar 3 dan 4. Di Gambar 3 itu emiten high DY dengan catatan PBV di belakangnya. Itu bukan urutan paling atas ya, sengaja saya geser ke bawah sedikit karena urutan teratas didominasi emiten batubara. Kalau Gambar 4, itu sengaja kita mencari Low PBV dengan catatan DY selama kurun waktu tertentu, kita mesti pelajari mana yang DY di masa depan akan memadai. Gambar 4 bukan yang PBV nya terkecil, sengaja saya geser ke tengah. Semua harus dicek fundamentalnya.
Dengan memiliki screener seperti itu kerja kita lebih efisien. Tidak perlu khawatir kehabisan watch list. Tidak perlu menganalisa semua emiten. Dan seharusnya tidak terpaku pada sedikit emiten. Beberapa waktu lalu ada investor yang terpesona duo BPD (BJTM & BJBR) karena DY besar, saya sarankan juga ambil BNGA yang saat itu harga sekitar 1.200, PBV sekitar 0,6 dan pertumbuhan laba (EPS) bagus. Ternyata ia menolak. Sekarang harga BNGA melesat di atas Rp 2.100 dan DY 10%. Saya sendiri tidak menjelekkan duo BPD. Saat pandemi duo BPD memberi dividen yg besar ke saya karena EPS tidak terpengaruh pandemi. Terpaku pada sedikit emiten membuat kita kehilangan peluang.
Itulah alasannya mengapa tidak boleh terpaku atau membatasi sedikit emiten. Mengenai alasan lain mengapa perlu diversifikasi lebar bisa dibaca di Kiat JHP 2.
Nah, mungkin ini ada pertanyaan atau pernyataan yg sering terlontar. Dengan cara buy hold, buy hold itu kalau emiten pertama yang kita beli tidak dijual, lama-lama porto kita akan berisi sangat banyak emiten seperti super market dong. Kalau pernyataan seperti itu sampai terlontar berarti kita tidak benar-benar paham dunia investasi saham. Saham itu bukan sekedar komoditi yang siap diperjual belikan, saham juga berarti bukti kepemilikan bisnis pada suatu perseroan, di mana kita berhak menghadiri RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) baik RUPS Tahunan atau Luar Biasa, serta berhak mendapatkan pembagian laba dari perseroan tersebut. Pembagian laba itulah dividen itu. Dengan pemahaman seperti itu, kalau kita menjalani dividen investing (gaya JHP) dengan jumlah emiten tidak dibatasi, maka kalau menurut saya itu kita sedang membangun bisnis, sedang berproses menjadi "konglomerat" kecil-kecilan. Seorang janitor (pegawai sekelas ob) di Amerika Serikat yang bernama Ronald Read, saat meninggal di usia 90-an tahun memiliki 90-an saham dari emiten yang berbeda dengan nilai lebih dari Rp 100M. Ia bukan trader aktif, ia menggunakan strategi buy hold dan memegang sahamnya jangka panjang secara saklek (ketat) dari saham-saham berdividen. Seperti itu adalah "konglomerat" kecil-kecilan.
Saya rasa itu yang saya sampaikan. Pahami terlebih dulu bila ingin membeli. Uang Anda tetap tanggung jawab Anda sendiri. Gunakan hari libur untuk belajar sampai paham supaya investasi Anda memberi hasil memuaskan. Link tulisan untuk belajar dividend investing gaya JHP bisa dilihat di Ngopi Santai 81, bisa scroll ke bawah atau dari sini ➡️ https://stockbit.com/post/13128021
Random Tags: $IHSG $BMRI $BNGA $TPMA
sumber: stockbit.com