Skip to main content

2011-11-28 Pindah ke Madrasah I’dadiyah

Hasan-Al-Banna.jpg

Ustadz kami memiliki banyak kesibukan, sehingga beliau tidak dapat mengelola madrasahnya lagi. Beliau menyerahkannya kepada ustadz-ustadz lain, yang tentu saja kurang setara dengannya dalam hal kekuatan ruhani, keilmuan, pengetahuan, serta akhlak yang memukau. Sehingga si murid ini (yakni penulis: Hasan Al-Banna), yang pernah merasakan manisnya kebersamaan dengan beliau, tidak lagi sabar untuk terus bersama mereka, sekalipun ia belum juga selesai menghafal Al-Qur’an dan belum dapat mewujudkan keinginan ayahnya yang menggebu: ingin melihat putranya menjadi seorang hafizh (penghafal) Qur’an. Ia belum juga selesai mengahafal surat Al-Isra’, setelah mengahafal surat-surat yang dimulai dari Al-Baqarah (yang berarti kurang lebih baru separo Al-Qur’an). Ketika itu pula, tiba-tiba sang ayah menyampaikan suatu rencana yang sangat mengejutkan; ia harus pindah dari sekolah ini ke Madraasah I’dadiyah, karena tidak kuat. Ketika itu, jenis pendidikan ini setingkat dengan Madarasah Ibtidaiyah, hanya tanpa pelajaran bahasa asing, namun ada tambahan beberapa pelajaran tentang undang-undang pertanahan dan perpajakan, serta sedikit tentang agrikultura, di samping mendalami secara luas tentang ilmu bahasa nasional (bahasa Arab) dan ilmu agama.

Sang ayah yang bersemangat itu tetap menginginkan agar putranya senantiasa menghafal Al-Qur’an. Akhirnya diambilah jalan keluar; hafalan Al-Qur’annya diselesaikan di rumah saja. Belum sepekan berselang, si anak pun sudah menjadi siswa di Madrasah I’dadiyah. Dengan demikian ia harus membagi waktunya untuk pelajaran sekolah di siang hari dan aktivitas lain yang ia lakukan seusai pulang sekolah hingga tiba waktu shalat isya’. Kemudian ia pun harus mengulangi pelajaran sekolah (belajar malan) hingga waktu tidur. Ia mengambil waktu untuk menghafal Al-Qur’an setelah shalat subuh hingga menjelang berangkat ke sekolah.

Imam Hasan Al Banna


sumber: hasanalbanna.id