Skip to main content

2012-01-15 Fitrah dan Kejujuran Cinta

Rahmat-Abdullah.jpg

Kau tentang Tuhan dan nampakkan cinta Dia demi Allah, ini perkara luar biasa.

Bila sungguh cintamu benar tentulah kau taat Dia.

Karena setiap kekasih, kepada Kekasihnya pastilah setia. ( Imam Syafi’i)

Tak satu pun orang suka dibohongi, terlebih bila itu menyangkut cinta dan kesetiaan. Dimana saja kebohongan dan penghianatan dibenci, termasuk di kalangan para bandit dan mafia yang notabene kerja mereka di sekitar kejahatan. Syirik adalah bentuk dusta yang paling besar, yang banyak menghasilkan dusta-dusta susulan. Ketika Allah menyebutkan salah satu misi Rasulullah SAW adalah memberi peringatan kepada mereka yang mengatakan Allah berputera, Ia berkata, “Mereka dan bapak-bapak mereka tidak berilmu, alangkah buruknya ucapan yang keluar dari mulut mereka. Tak lain yang mereka katakan kecuali dusta” (QS. Al Kahfi : 5).

Jujur Vs Lacur (baca:Nifaq)

Sedemikian bahayakah dusta? Ya, dan dusta yang lebih nista terjadi ketika seorang mendustai kata hatinya sendiri. Seseorang yang mengabaikan lintasan hatinya tentang derita tetangganya yang kelaparan lalu tidur nyenyak, maka ia adalah seorang pendusta. Karenanya Rasulullah SAW mensyaratkan (kejujuran) iman kepada Allah dan hari akhir dengan ihsan kepada tetangga. (HR. Muslim)

Nilai iman yang tertinggi manakala pemiliknya dapat merasakan ketenteraman iman ( QS. Ar Ra’d “28) dan karenanya mereka berhak mendapatkan keamanan (QS Al An’am:82). Ketenteraman dan keamanan tersebut tidak ada hubungannya dengan mentalitas burung onta yang melarikan diri dari persoalan umat dan berlindung di balik dinding ma’bad tempat dzikir, karena orang seperti mereka bisa sangat guncang dan tidak merasa aman terhadap ancaman makhluk. Terlebih untuk menjadikan dirinya “perisai Tuhan” bagi hamba-Nya yang lemah teraniaya. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, “Suatu masa turun perintah Allah kepada malaikat untuk menumpahkan adzab pada suatu negeri. Malaikat itu melapor dan Allah Maha Tahu tentang hal yang dilaporkannya:” Ya Rabb, inna fiha rajulan shalihan (Ya Tuhan, disana ada seorang saleh). “Justru jawaban Allah begitu mengejutkan “Fabihi fabda” (Justru mulailah timpakan adzab kepadanya)” Apa pasal? Linnahu lam yatama’ar wajhuhu fiyya (Karena wajahnya sama sekali tak pernah memerah karena Aku).  Ia tak punya ghirah (kecemburuan dan ketersinggungan) bila kehormatan Allah dilanggar. Ia tenang ketika ummatnya dibantai. Ia baru tersinggung bila pribadinya diusik! Salah satu sukses madrasah (aliran) sekuler modern adalah keberhasilan mereka mencetak generasi Muslim yang (tak) tersinggung bila Islam, Al Qur’an dan Rasul diejek. “Demi toleransi” kata mereka.

Cinta dan Kejujuran

Ada banyak apresiasi iman, ibadah, dan cinta. Mungkin seseorang beribadah dengan penghayatan ibadah sebagai pedagang, ia berkiblat kepada keuntungan. Ada penghayatan ibadah sebagai jalan pembebasan. Ada pengabdian yang semata-mata berangkat karena ingin mencintai, memberi , menikmati pengabdian yang hakiki dalam wujud ketundukan dan pengorbanan. Suatu hari berlangsung diskusi antara empat orang tokoh : Rabi’ah Al Adawiyah, Sufyan Ats Tsauri, Syaqiq Al Balkhi dan Malik Bin Dinar. Rabi’ah meminta mereka mendefinisikan Kejujuran.

“Tak jujur pengakuan cinta seseorang yang tak bersabar menahan pukulan tuannya, “ ungkap Sufyan Ats Tsauri.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang tak bersyukur atas pukulan tuannya,” jawab Syaqiq Al Balkhi.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang bernikmat-nikmat dipukul tuannya,” sergah Malik bin Dinar.

“Tak jujur pengakuan seseorang yang takmelupakan pukulan ketika menghadap tuannya,” jawab Rabi’ah Al ’Adawiyah.

Demikian tingkat-tingkat kematangan manusia dalam kejujuran dan kematangan pribadi mereka. Ada orang yang begitu sabar menahan derita hidup. Ada begitu tahan menerima derita da’wah. Dan ada yang begitu bersyukur dan bahkan menikmati derita sebagai karunia. Semuanya indah, terutama pada sang totalis (Shahibut tajrid) yang tak menyadari derita, karena yang ada hanyalah Dia.

Banyak orang mengenal kejujuran yang belum beranjak dari kejujuran mulut, belum lagi hati, apa lagi hati yang paling dalam. Mengapa engkau percaya pujian orang yang tak mengenal hakekat dirimu. Padahal engkau tahu dirimu tidak berhak untuk hal tersebut. Suatu hari Rasululloh SAW ditanya:” Mungkinkah seseorang Muslim berzina?” Beliau menjawab  ” Ya, mungkin.” Mencuri?” Ya, mungkin.” Berdusta? “Tidak, demi Allah, dia tidak mungkin berdusta!” Barang siapa berhati jujur tentulah tak akan mendustai hatinya yang tak pernah bisa didustai.

Dengan berbagai macama alasan, delapan puluh munafiqin kelas berat menghindari mobilisasi Tabuk. Saat Rasulullah SAW kembali dari perang yang Allah sendiri menyebutnya sebagai “sa’atul ‘usrah” (saat-saat sulit), mereka telah menunggu di depan masjid dan menyambut kedatangan beliau dengan persiapan matang dan alasan yang memukau, tentang mengapa mereka tak ikut perang Tabuk. Ka’ab bin Malik seorang sahabat utama yang tak pernah absen dalam setiap pertempuran -kecuali Badar- mengajukan kalimat terang dan jujur sebagai pilihan terpahit dan mereka tak ingin membohongi Rasulullah SAW agar dapat dimaklumi dan dimaafkan. Kepada Rasulullah menyatakan: “Amma hadza faqad shadaq,” (Adapun orang ini, maka benarlah ia).

Jujur, Jalan Bebas Hambatan

Suatu hari, dalam pertempuran yang sangat dahsyat datanglah seorang budak kepada Rasulullah yang sedang menghitung ghanimah. Beliau membagi orang itu bagian dari rampasan perang tersebut. “Bukan untuk ini berjihad,” jelasnya. “Lalu, untuk apa?” tanya Rasulullah SAW. “Agar saya bisa ikut membela islam, kena tombak disini (sambil menunjuk ke puncak dadanya) dan saya mati karenanya sebagai syahid lalu masuk surga,” jawab penggembala hitam itu. Tak lama kemudian orang menemukan jasadnya, ia telah syahid dengan luka persis di tempat yang ditunjukkannya tadi. Rasulullah berkata: ” Ia benar, maka Allah membenarkannya. “Dan, diantara empat kelompok yang Allah beri nikmat dan diletakkan setelah kedudukan para nabi, ialah kedudukan Ash Sidhiqin.” (QS An Nisa’:69)

Kejujuran puasa mestinya terus berlanjut dalam bentuk kejujuran hidup jauh selepas bulan Ramadhan yang penuh berkah itu. Bila seseorang bertaubat dengan memenuhi tiga syaratnya maka taubatnya akan diterima. Mencabut diri dari maksiat, menyesal sepenuh sesal atas maksiat itu, dan berazam sepenuh tekad untuk tidak kembali kepadanya.

Kejujuran cinta terhadap tanah air dan bangsa akan mengambil bentuk ghirah dan gairah yang hanya keselamatan dan kemajuannya. Tidak ada cinta tanpa cemburu (ghirah) sebagaimana tak ada kemuliaan tanpa pengorbanan. Allah menjadika rezeki paling mulia datang dari amal yang paling mulia (akramul arzaq ta’ti min akraminal a’maal). Betapa indah seseorang yang menyerahkan nyawanya kepada Allah untuk tegakknya kalimatullah. Seluruh dosanya –kecil dan besar dijamin dapat ampunan, kecuali hutang terhadap sesama manusia. Karenanya, rezeki yang didapat dalam jihad menjadi rezeki paling mulia. Ghanimah adalah harta paling mulia (jihad). Dan jihad me-loundry semua harta, dari manapun sumbernya dan bagaimanapun kotornya.

Ghirah dan Gairah

Sebuah rumah tangga yang baik ditandai dengan kehormatan dan harga diri warganya. Seorang bapak yang menjual kehormatan anak atau istrinya dengan gemerlap perangkat rumah tangga dan harta melimpah, sama sekali tidak berhak menyandang kehormatan anak seorang manusia sebatas manusia, jangan lagi dalam ukuran hamba beriman. Para pengambil keputusan di setiap bangsa dengan orientasi dunia dan hidup tanpa aqidah wajar-wajar saja membuka hubungan dengan bangsa predator dan agresor yang menzalimi sesama bangsa. Mereka tidak perlu mempertimbangkan harga diri dan kehormatan.

Tetapi bangsa beraqidah mempunyai nilai-nilai yang lebih tinggi dari nilai angka rupiah atau dolar. Mereka pasti akan malu kepada hewan yang umumnya punya rasa cemburu an harga diri. Lihatlah kemarahan harimau atas hilangnya anak tersayang. Atau ingatan yang amat kuat pada seekor gajah sirkus yang merasakan pedihnya kehilangan seorang teman yang mati dibunuh pemburu hutan. Ingatan itu muncul kembali saat sang pemburu menonton sirkus beberapa tahun kemudian.

Hanya babi yang tak punya rasa cemburu. Seekor babi jantan baru saja menggauli betinanya lalu dengan dungunya menonton anak kandungnya menggauli sang betina. Itulah toleransi dan hidup damai yang diimikan pemimpin bermental babi. Ia tak terusik oleh kekejaman umat lain terhadap ummatnya. Ia hanya berfikir bagaimana bangsanya bisa dapat banyak uang dan selamat dari lapar jasad.

Tentu saja kita tak boleh hidup dengan dendam seperti Yahudi, yang setiap datang hari jadi PBB selalu mengelabui kalangan awam untuk menonton film-film perang dunia (baca perang Nazi terhadap Yahudi) untuk menguras air mata pemirsa. Atau ketika dunia marah lantaran mereka menembaki ibu-ibu, kakek-kakek dan nenek-nenek serta menjaring bocah-bocah intifadah dari heli dan menjatuhkannya dari ketinggian! Jangan ajarkan ummat untuk bertoleransi dan melindungi kaum minoritas, karena mereka  keturunan leluhur yang telah menjadi  guru dunia tentang hak asasi dan toleransi.

Apakah kutukan Allah yang mengubah manusia jadi kera hanya berlaku bagi Bani Israil? Sebenarnya kedewasaan iman dan kematangan akhlaq seorang Muslim tidak perlu merisaukan perubahan itu jasadiyah atau ruhaniyah. Apalah artinya kecantikan rupa bila watak dan perilaku telah berubah menjadi rakus, licik, kikir, peniru tanpa pertimbangan, pengimpor kerusakan dan dekaden. Mengapa masih banyak orang yang berlapang hati bahwa yang dikutuk jadi kera itu orang dulu, padahal dirinya sendiri telah menjadi kera dan babi.


sumber: hasanalbanna.id