Skip to main content

2012-01-02 Sahabat Sang Pahlawan

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Anda  harus waspada  dan  berhati-hati! Sebab,  di  sini  ada  jebakan  kepahlawanan  yang sering menipu banyak orang. Sahabat para pahlawan belum tentu juga pahlawan. Inilah tipuannya.  Para  pahlawan  mungkin  tidak  tertipu,  tetapi  orang-orang  yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu.

Dalam  lingkungan pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila  berada di  tengah kerumunan,  maka  semua  orang  akan  kecipratan  keharumannya.  Apabila  ada  “orang lain”  yang mulai mendekat  dan mencium  keharuman  itu, mungkin  ia  sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal.

Situasi  ini  tentu  saja menguntungkan  orang-orang  yang mengerumuni  sang  pahlawan: mendapatkan peluang untuk diduga sebagai pahlawan. Itulah  awal mula  kejadiannya. Orang-orang  biasa  selalu merasa  puas  dengan  bergaul dan  menjadi  sahabat  para  pahlawan. Mereka  sudah  cukup  puas  dengan  mengatakan,

“Oh,  pahlawan  itu  sahabatku,”  atau  ungkapan  “Oh,  pahlawan  itu  dulu  seangkatan denganku.”  Orang-orang  itu  tidak  mau  bertanya.  mengapa  bukan  dia  yang  menjadi pahlawan.

Akan  tetapi,  ada  “orang  biasa”  yang  mempunyai  sedikit  rasa  megaloman,  semacam obsesi kepahlawanan yang tidak terlalu kuat, namun ada dan meletup-letup pada waktu tertentu. Orang-orang seperti  ini sering merasa telah menjadi pahlawan hanya karena  ia bersahabat  dengan  para  pahlawan.  Dan  karenanya,  sering  berperilaku  seakan-akan dialah sang pahlawan.

Yang  kita  saksikan  dalam  kejadian  ini  adalah  suatu  proses  identifikasi  “orang  biasa” dengan  sahabatnya  yang  “pahlawan”.  Ini  merupakan  tipuan  jiwa:  seseorang  tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan para pahlawan, tetapi mau menyandang gelar pahlawan, dengan memanfaatkan kamuflase persahabatan.

Persahabatan memang  sering menipu, bukan karena  tabiat persahabatan yang memang menyimpan tipuan, tetapi karena sebuah “kebutuhan jiwa” tertentu, yang memanfaatkan persahabatan  untuk  memenuhinya.  Maka,  Ibnu  Qayyim  al-Jauziyyah,  suatu  ketika memperingatkan  para  “murid”  yang  sedang menuntut  ilmu  di  bawah  bimbingan  para ulama.  Katanya,  “Waspadalah,  jangan  merasa  telah  menjadi  ulama,  hanya  karena bergaul dan bersahabat dengan para ulama.”

Apakah  kita  harus meninggalkan  sahabat-sahabat  kita  yang  para  pahlawan  itu? Tentu saja  tidak!  Yang  perlu  kita  lakukan  adalah  meluruskan  perasaan  kita  sendiri  dan meluruskan  pandangan  kita  terhadap  diri  kita  sendiri.  Suatu  saat,  Buya  Hamka membawa  isterinya  ke  dalam  sebuah majelis,  dimana  ia  akan  berceramah.  Tiba-tiba, tanpa diduga, sang protokol  justru mempersilakan  juga  isteri beliau untuk berceramah.

Mereka  tentu  berprasangka  baik:  isteri  sang  ulama  juga mempunyai  ilmu  yang  sama. Dan,  isteri  beliau  benar-benar  naik  ke  podium.  Buya  Hamka  terhenyak.  Hanya  satu menit. Setelah memberi salam,  isterinya berkata, “Saya bukan penceramah, saya hanya tukang masak untuk sang penceramah.”

Jangan  melakukan  identifikasi  diri  yang  salah.  Jangan  menilai  diri  sendiri melampaui kadarnya yang objektif. Namun, ada yang jauh lebih penting dari itu. Jangan  pernah  berpikir  untuk menjadi  pahlawan,  tanpa melakukan  pekerjaan-pekerjaan para pahlawan.


sumber: hasanalbanna.id