Skip to main content

2012-01-16 Latar Belakang Penulisan Buku Kebebasan Wanita

Abdul-Halim-Abu-Syuqqah.jpg

Pendahuluan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Hai orang-orangyang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keaduan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahlm. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisa’: 1)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab: 70-71)

Buku ini merupakan buah karya hamba Allah yang lemah, yang berusaha membahas topik permasalahan yang sangat besar dan penting. Hanya Allah –sebelum dan sesudahnya– tempat kita meminta pertolongan dan kepada-Nya juga penulis bertawakal serta berserah diri.

A. Latar Belakang Penulisan Buku

Telah sekian tahun penulis bertekad melakukan kajian yang mendalam tentang Sirah Nabawiyyah (Sejarah Kehidupan Nabi saw.) berdasarkan buku-buku Sunnah agar kita memiliki pegangan yang lebih kuat dan mantap. Bagaimana pun, kisah atau sejarah kehidupan Nabi saw. belum mendapatkan perhatian yang cukup sehingga banyak sanad yang belum ditahqiq (diteliti). Akibatnya, masih sangat sulit untuk menentukan mana yang sahih dan mana yang dhaif. Faktor yang mendorong penulis melakukan pekerjaan ini adalah kenyataan bahwa Sirah Nabawiyyah yang mengetengahkan kehidupan Rasulullah mengandung banyak sekali perkataan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) yang masuk ke dalam kategori Sunnah, sehingga dapat ditiru oleh kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Karena itu, sirah harus diketengahkan kepada kaum muslimin dengan dalil yang lebih kuat sehingga mereka dapat mengikuti petunjuknya dengan perasaan tenang dan mantap melalui keabsahan dalil-dalil yang dijadikan pegangan. Perlu juga penulis sebutkan di sini bahwa kecenderungan untuk mempelajari sirah melalui kitab-kitab Sunnah merupakan akibat hubungan penulis dengan seorang yang alim dan ahli hadits, Syekh Nashiruddin Al Albani. Penulis pernah belajar kepada beliau dan merasakan bahwa masa tersebut merupakan masa yang indah dan penuh berkah. Penulis memulainya dengan mempelajari kitab Shahih Muslim beserta Syarah Imam An Nawawi. Namun, ketika menguraikan dan mengelompokkan hadits-hadits tersebut, penulis sempat dikejutkan oleh beberapa hadits yang bersifat praktis dan operasional serta berkaitan dengan masalah wanita dan hubungannya dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Yang mengejutkan itu adalah bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang sama sekali dengan apa yang penulis pahami dan praktekkan selama ini, bahkan dengan apa yang dipahami dan dipraktekkan oleh berbagai kelompok keagamaan yang pernah berhubungan dengan mereka. Mereka terdiri atas berbagai aliran, seperti organisasi asy-Syari’ah, Ikhwanul Muslimun, kelompok Sufi, kelompok Salaf, Partai Pembebasan Islam, dan lain-lain. Bahkan, hadits-hadits tersebut –karena vital dan pentingnya– telah menarik penulis untuk membenahi persepsi mengenai karakteristik wanita muslimah dan sejauh mana keterlibatannya dalam berbagai bidang kehidupan pada zaman kerasulan Muhammad saw.

Di sini penulis kemukakan kepada pembaca apa yang diisyaratkan oleh beberapa hadits dengan harapan pembaca akan menemukan sesuatu yang baru, sekaligus tertarik, untuk kemudian melakukan peninjauan kembali terhadap kenyataan yang sedang kita hadapi sesuai dengan tuntunan hadits-hadits tersebut, seperti:

  • Wanita muslimah menghadiri shalat isya dan subuh di masjid Rasulullah saw.
  • Wanita muslimah menghadiri shalat Jum’at dan menghapal surat Qaaf langsung dari mulut Rasulullah saw. sendiri.
  • Wanita muslimah menghadiri shalat gerhana, meskipun waktunya panjang, bersama Rasulullah saw.
  • Wanita muslimah beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan di masjid Rasulullah saw.
  • Wanita muslimah mengunjungi suaminya, yaitu Rasulullah saw., yang sedang beri’tikaf di masjid.
  • Wanita muslimah memenuhi undangan ke pertemuan umum di masjid yang disampaikan oleh muazin Rasulullah saw.
  • Wanita muslimah menuntut Rasulullah saw. memberikan pelajaran khusus bagi mereka, sebab kesempatan di masjid lebih banyak dikuasai oleh kaum laki-laki.
  • Wanita muslimah mendatangi Rasulullah saw. untuk meminta fatwa tentang berbagai masalah, baik yang bersifat pribadi ataupun umum.
  • Wanita muslimah menyuruh kaum laki-laki berbuat ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar.
  • Wanita muslimah menerima tamu, di antara mereka terdapat Rasulullah saw., dan menghidangkan makanan kepada mereka.
  • Wanita muslimah menyediakan rumahnya untuk para tamu yang berasal dari kalangan muhajirin gelombang pertama.
  • Wanita muslimah duduk bersama suaminya dan ikut santap malam bersama tamunya.
  • Wanita muslimah melayani tamu laki-laki dalam suatu resepsi perkawinan dan menyuguhkan minuman segar kepada Rasulullah.
  • Wanita muslimah ikut dalam beberapa peperangan Rasulullah saw., bertugas memberi minum para pasukan yang kehausan, mengobati yang terluka, serta mengangkut yang terbunuh dan terluka ke Madinah
  • Wanita muslimah memohon kepada Rasulullah saw. untuk mendoakan agar dirinya dapat mati syahid bersama pasukan marinir pertama, dan permohonannya itu dikabulkan oleh Rasulullah saw.
  • Wanita muslimah menghadiri shalat ‘id bersama Rasulullah saw. dan kaum wanita mendapatkan wejangan khusus dari Rasulullah saw. seusai khotbah ‘id.
  • Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. –meskipun masih gadis remaja dan dalam pingitan– supaya keluar menghadiri shalat ‘id agar dapat menyaksikan suatu pertemuan yang baik dan mengikuti doa orang-orang mukmin.
  • Wanita muslimah diperintahkan oleh Rasulullah saw. –meskipun dalam keadaan haid– supaya keluar menghadiri shalat ‘id, tetapi agak menjauh dari mushalla (tempat shalat). Tempat mereka adalah di belakang jamaah serta ikut bertakhir dan berdoa bersama mereka.

Karena kuatnya tarikan tersebut, penulis mengubah haluan pengkajian dari proyek penulisan Sirah Nabawiyyah pada proyek pengkajian wanita muslimah pada masa kenabian. Kondisi wanita muslimah pada masa kenabian memberikan gambaran yang jelas sekali tentang udara kebebasan yang dapat dihirup kaum wanita. Yang mendorong penulis mengerjakan proyek baru ini adalah bahaya besar yang pernah dan masih penulis rasakan, yaitu dominasi visi dan persepsi yang bertolak belakang dengan ajaran agama mengenai emansipasi wanita. Apalagi, sikap yang bertolak belakang dengan ajaran agama itu sudah sangat kental terdapat dalam jiwa beberapa kelompok umat Islam yang taat beragama dan antusias sekali menegakkan syariat Islam, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Mengatakan yang hak itu hak dalam soal wanita sama pentingnya dengan mengatakan yang hak itu adalah hak dalam aspek mana pun dari aspek-aspek syariat karena kedua-duanya sama-sama memperjuangkan agama Allah. Namun demikian, masalah wanita memiliki urgensi tersendiri karena beberapa pertimbangan berikut:

  1. Bagi seorang muslim, wanita adalah ibu, saudara perempuan, istri, atau anak perempuan. Jika keempat status itu dihimpun oleh seorang wanita, maka manusia manakah yang lebih mulia daripadanya?
  2. Wanita muslimah paling sering dijadikan mangsa oleh dua jenis jahiliah: jahiliah abad keempat belas hijrah, yaitu jahiliah dalam sikap yang berlebihan, keras, dan taklid buta yang dimiliki oleh kaum bapak, dan jahiliah abad kedua puluh masehi, yaitu jahiliah yang memamerkan aurat, melakukan seks bebas, dan taklid buta terhadap Barat. Kedua jenis jahiliah tersebut tidak sesuai sama sekali dengan syariat Allah.
  3. Rasulullah saw. bersabda: “Wanita itu adalah saudara kandung pria.” (HR Abu Daud)[1] Menolong wanita muslimah berarti menolong insan muslim dengan kedua belah pihaknya, yaitu yang teraniaya dengan menyadarkan dan membersihkannya serta yang menganiaya dengan mengembalikannya ke jalan yang benar dan tidak berbuat aniaya lagi, sebagai pelaksanaan terhadap perintah Nabi saw. yang berbunyi: “Bantulah saudaramu yang menganiaya atau yang teraniaya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, yang ini kami bantu karena dia teraniaya. Tetapi bagaimana kami membantunya kalau dia yang menganiaya?” Rasulullah saw. menjawab: “Kalian tahan tangannya.”[2] Dan menurut satu riwayat: “Kamu cegah dia dari berbuat aniaya, itulah pertolongan kepadanya.”[3]
  4. Wanita adalah setengah masyarakat. Jika kaum wanita tidak berfungsi berarti separuh kehidupan manusia tidak berfungsi dengan melahirkan generasi mukmin mujahid yang cemerlang atau tidak berfungsi dari berpartisipasi dalam membangun masyarakat, baik dalam bidang sosial maupun politik. Namun, hal itu tidak menafikan tidak berfungsinya “setengah yang lain” (kaum laki-laki) sampai ke tingkat yang cukup memprihatinkan. Dengan begitu, membebaskan wanita muslimah sama artinya dengan membebaskan setengah masyarakat muslim, dan wanita tidak dapat bebas kecuali bersamaan dengan bebasnya kaum laki-laki. Selanjutnya kedua kelompok tersebut tidak akan pernah bebas kecuali dengan mengikuti petunjuk Allah.
  5. Di balik semua itu, Allah telah memberikan perasaan yang halus kepada wanita sehingga mereka senang beragama asalkan saja mendapatkan pengarahan yang baik dan bijaksana. Hal ini mengingatkan penulis pada kata-kata dua orang ulama masa kini yang karyanya pernah penulis baca. Ulama pertama[4] berkata: “Mereka (wanita) paling siap mempelajari agama, memiliki akhlak yang baik dan berbuat kebajikan. Mereka paling siap mendengar dan mengikuti asalkan saja mereka menemukan pembimbing, laki-laki maupun wanita, yang bijaksana dan saleh serta dapat menunjukkan kebenaran dan dengan kebenaran itu dia melakukan perubahanperubahan terhadap wanita.” Sementara ulama kedua[5] berkata: “Ketika saya bergelut dengan tugas memberikan fatwa melalui radio dan televisi selama bertahun-tahun, saya mendapatkan sejumlah catatan penting. Sekian ribu surat yang saya terima itu berasal dari berbagai negara dan dari berbagai kelompok manusia, yang masih remaja dan sudah tua atau dari kalangan laki-laki dan wanita. Surat-surat tersebut bersifat pribadi dan umum. Di antara catatan-catatan penting tersebut, yang pertama, adalah agama dalam masyarakat kita masih berada di garis terdepan dalam soal memberikan pengarahan dan pengaruh. Kedua, bahwa wanita secara umum lebih peduli terhadap agama dibandingkan dengan laki-laki. Tampaknya, apa yang dikaruniakan Allah kepada wanita berupa perasaan yang halus, sifat santun, dan rasa kasih sayang telah membuatnya lebih dekat kepada fitrah/naluri keagamaan dibandingkan dengan kaum laki-laki. Karena itu, tidak heran jika kepedulian wanita terhadap agama lebih besar dan rasa takutnya akan ‘hisab’ yang jelek lebih kuat. Masih banyak kita lihat wanita yang sebelumnya suka buka-bukaan, kemudian sadar atas kemauan sendiri dan kembali menutup aurat serta mengikuti etika Islam, meskipun berbagai upaya dan cara dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk merusak mereka, baik di dalam maupun di luar negeri. Juga tidak aneh jika kita melihat banyak gadis remaja dan kaum ibu yang memakai pakaian gaya Barat modern (yang bertentangan dengan tuntunan agama), tetapi mereka tetap rajin melakukan shalat, puasa, haji, umrah, dan rukun-rukun Islam lainnya. Artinya adalah bahwa benih-benih agama yang ada di dalam dada mereka belumlah mati. Rasa keterpautan dan perhatian pada agama, meskipun sedikit, masih hidup sehingga membuatnya tetap konsisten, tumbuh dan berkembang, kemudian berbuah dan menghasilkan dalam waktu dekat dengan izin Tuhannya. Dengan demikian, dia dapat bebas dari bayang-bayang kehancuran yang senantiasa menghantui hidupnya.”

Tidak heran jika kedua orang ulama yang mulia itu berkata demikian sebab nash-nash petunjuk Nabi saw. membuktikan apa yang mereka katakan itu. Sebagai contoh adalah Aisyah r.a.. Dia senang dan mendambakan sekali agar dirinya boleh ikut berjihad, sehingga dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad itu adalah amalan yang paling afdal, apakah kami boleh ikut berjihad?” (HR Bukhari)[6] Selain itu ada Ummu Haram yang ingin mati syahid bersama pasukan marinir. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, tolonglah doakan semoga Allah menjadikanku bersama mereka.” Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.” (HR Bukhari)[7] Lihat pula seorang wanita yang bekerja dengan tangannya sendiri, kemudian bersedekah dengan hasil usahanya itu. “Adalah Zainab binti Jahasy orang yang paling takwa kepada Allah, paling suka menyambung silaturrahim, paling banyak bersedekah, dan paling suka mengorbankan dirinya untuk melakukan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia dapat bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.” (HR Muslim)[8]

Ada pula sejumlah wanita yang meminta dan mengharapkan diberi kesempatan yang lebih luas lagi untuk menimba ilmu pengetahuan dari Nabi saw. Sejumlah wanita berkata kepada Nabi saw.: “Kami dikalahkan oleh kaum laki-laki dalam merebut kesempatanmu. Karena itu tolonglah engkau sediakan harimu untuk kami.” (HR Bukhari dan Muslim)[9] Ada lagi sejumlah wanita yang bersedekah dan berkorban lebih banyak daripada kaum laki-laki. Rasulullah saw. bersabda:

“Bersedekahlah, bersedekahlah kalian (kaum laki-laki), sebab yang sudah banyak bersedekah adalah dari kalangan wanita.” (HR Muslim)[10]

Sebelum masuk Islam, wanita Quraisy adalah orang yang sangat lembut hatinya dan sangat senang mendengarkan Kalamullah. “Dari Aisyah r.a. dikatakan bahwa Abu Bakar membangun sebuah masjid di pekarangan rumahnya. Dia melaksanakan shalat dan membaca Al Qur’an di masjid tersebut. Lalu datang berduyun-duyun ke tempat itu wanita-wanita Quraisy bersama anak-anak mereka karena mereka kagum dengan apa yang dibaca Abu Bakar dan mereka memperhatikan Abu Bakar. Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut dan berkata: “Kami khawatir ia memperdaya istri dan anak-anak kami.” (HR Bukhari)[11]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kejadian itu membuat para pemuka Quraisy takut. Artinya mereka mengkhawatirkan orang-orang kafir karena mereka mengetahui kelembutan hati para istri dan pemuda-pemuda mereka yang mengkhianatinya cenderung pada agama Islam. “[12]

Masih berkaitan dengan masalah motivasi, perhatian penulis terhadap gagasan ini semakin bertambah setiap membaca tulisan dan artikel atau mendengarkan ceramah tentang wanita dalam Islam. Pendapat saya sering berbenturan dengan pendapat para ulama yang mulia, baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yang tidak sejalan dengan apa yang terdapat dalam buku-buku Sunnah yang berisi nash-nash sahih dan tegas (sharih).

Saya akan mengemukakan dua contoh saja mengenai pendapat ulama terdahulu. Sebuah riwayat yang datang dari Ikrimah dan Asy Sya’bi dalam kitab Ath Thabari mengatakan tentang diharamkannya paman dan bibi melihat perhiasan wanita kemenakannya. Dalam membahas masalah ini mereka disamakan dengan kalangan asing (ajnabi). Hadits ini dikutip turun-temurun oleh para penulis umumnya dan mufassir (ahli tafsir) khususnya selama berabad-abad hingga sekarang ini, tanpa meneliti matan riwayat tersebut atau sejauh mana sejalannya dengan Sunnah, juga tanpa memperhatikan apa yang menyebabkan datangnya riwayat ini.

Dari segi matan, ada hadits –yang berfungsi untuk menjelaskan Kitabullah– yang menyebutkan bahwa paman dan bibi sama haknya dengan mahram-mahram lain sebagaimana yang tercantum dalam ayat berikut:

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara lelaki mereka atau putra putra saudara lelaki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-lakiyang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …” (An Nuur: 31)

Hadits yang dimaksud adalah hadits Aisyah r.a. berikut ini:

“Aflah, saudara Abul Qu’ais, minta izin (untuk bertemu denganku) setelah diturunkannya ayat hijab. Aku berkata: ‘Aku tidak bisa memberi izin kepadanya sampai aku minta izin pada Nabi saw. tentang dia. Sesungguhnya saudaranya Abul Qu’ais bukanlah dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais.’ Kemudian Nabi saw. datang kepadaku, lalu aku katakan padanya: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aflah, saudara Abul Qu’ais minta izin untuk bertemu denganku. Tetapi aku enggan memberikan izin kepadanya sebelum aku minta izin terlebih dahulu kepadamu.’ Lalu Rasulullah saw. berkata: ‘Apa yang menghalangimu sehingga kamu tidak mengizinkan masuk pamanmu sendiri?’ Aku jawab: ‘Wahai Rasulullah, lelaki itu, bukan dia yang menyusukanku. Akan tetapi yang menyusukanku adalah istri Abul Qu’ais. ‘Lantas Rasulullah saw. bersabda: ‘Izinkanlah dia masuk, sebab dia itu adalah pamanmu, dan hal itu tidak jadi masalah bagimu.'” (HR Bukhari dan Muslim)[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dengan mengetengahkan hadits ini, seolah-olah Bukhari ingin menjawab pendapat orang yang tidak senang ketika seorang wanita melepaskan kerudungnya di depan paman atau saudara laki-laki dari ibu (khal). Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh ath-Thabari melalui Daud bin Abu Hindun dari Ikrimah dan asy-Sya’bi. Kepada mereka berdua ada yang bertanya: “Mengapa tidak disebutkan paman dan saudara laki-laki dari ibu (khal) dalam ayat tersebut?” Kedua ulama ini menjawab: “Sebab paman dan khal bisa menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya.” Karena itulah Ikrimah dan asy-Sya’bi tidak senang jika seorang perempuan melepaskan kerudungnya di hadapan paman atau khalnya. Hadits Aisyah tentang kisah Aflah di atas dapat menjawab pendapat Ikrimah dan asy-Sya’bi ini. Inilah di antara ketelitian yang terdapat dalam bab-bab Shahih Bukhari.”[14]

Al Hafizh ibnu Hajar juga berkata: “Kalau ada yang bertanya, mengapa dalam ayat tersebut tidak disebutkan paman dan khal?” Jawabannya: “Penyebutan paman dan khal tersebut cukup dalam bentuk isyarat saja. Sebab paman sama kedudukannya dengan bapak dan khal sama kedudukannya dengan ibu.” Adapula yang mengatakan karena paman dan khal dapat menjodohkan keponakan perempuannya itu dengan anak-anak laki-lakinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ikrimah dan asy-Sya’bi. Tetapi pendapat ini dibantah oleh jumhur ulama.[15]

Sementara itu, asy-Syaukani berkata: “Tidak disebutkan paman dan khal karena kedudukan mereka sama dengan kedua orang tua.”[16] Sedangkan pelarangan lebih disebabkan oleh kekhawatiran paman dan khal akan menceritakan kondisi keponakannya kepada anak laki-lakinya untuk kemudian menjodohkan mereka. Kalau kita pikirkan secara cermat, alasannya terasa lemah sekali. Sebab atas dasar motivasi apa paman dan khal menceritakan keponakan perempuannya kepada anak laki-lakinya –kalau hal itu benar-benar mereka lakukan– selain mendorong mereka untuk kawin? Jika memang itu yang dikhawatirkan, mengapa larangan itu hanya berlaku untuk paman dan khal dari pihak bapak, sementara bibi dari ayah dan ibu tidak? Bahkan, mengapa paman dan khal dari pihak bapak termasuk ke dalam larangan sementara perempuan lain yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali tidak dilarang? Kami kira orang yang memiliki hubungan darah pasti memiliki lebih besar kepeduliannya dalam menjaga kehormatan kaum keluarganya. Mengapa berprasangka buruk semacam itu? Mengapa harus berperasaan yang bukan-bukan terhadap kaum keluarga? Selain itu, mengapa harus menyalahi dalil aqli dan naqli? Rasa hormat macam apa lagi yang masih tersisa dalam hati seorang keponakan terhadap paman dan bibinya jika dia sudah khawatir bahwa paman dan bibinya itu akan menghancurkan kehormatannya?

Dalam satu referensi dari abad kelima yang mengulas hadits Aisyah berbunyi:

“Mereka (kaum wanita) pulang dari menunaikan shalat bersama Rasulullah saw. dan mereka berselubung dengan kerudung. Mereka tidak bisa dikenali karena sangat gelapnya malam hari.”

disebutkan hal berikut ini:

“Yang lazim, Nabi saw. menunggu hari agak terang (untuk melakukan shalat subuh). Kalau pada suatu waktu sudah tetap waktu melakukannya ketika hari masih gelap disebabkan alasan bepergian (safar). Atau mungkin hal itu dilakukan ketika ikutnya kaum wanita melaksanakan shalat berjamaah. Tapi kemudian hal ini sudah dinasakh dengan keluarnya perintah supaya kaum wanita menetap di rumah.”[17]

Hal itu berarti bahwa kalimat [kalimat Arab] telah menasakh sabda nabi saw. yang berbunyi [kalimat Arab]. Sedangkan wanita-wanita muslimin tetap saja menghadiri shalat jamaah di masjid setelah turunnya ayat ini sampai wafatnya Rasulullah saw. Dalil-dalil mengenai masalah ini banyak sekali, dan insya Allah akan saya sebutkan dalam pembahasan selanjutnya.

Contoh-contoh yang terjadi pada zaman sekarang pun cukup banyak. Untuk itu, akan saya sebutkan sebagiannya tanpa menyebutkan nama pengarang atau penulisnya, agar tulisan ini tidak merusak nama para tokoh dan ulama terpandang. Kepada mereka saya pernah belajar; saya pun tetap menghormati dan merasa bangga terhadap mereka. Tujuan saya menjelaskan masalah ini adalah untuk membuktikan bahwa setiap manusia, betapapun tinggi kedudukannya, dapat dipegang ucapannya bisa juga ditinggal. Sedikit sekali orang yang tidak pernah berbuat salah. Karena itulah kita diharuskan kembali kepada Sunnah Nabi saw. Hanya dengan Sunnah beliau kita memperoleh petunjuk dan dengan Sunnahnya pula kita mengoreksi kesalahankesalahan para tokoh.

Seorang pengarang ternama, ketika menjawab pendapat orang yang memperbolehkan wanita membuka wajah berkata: “Sebelum mengatasi masalah hijab (maksudnya memperbolehkan wanita membuka wajah) Anda harus menghimpun kekuatan dan kekuasaan yang dapat melindas setiap kejahatan yang muncul, sehingga apabila ada dalam masyarakat dua mata yang melotot ke arah seorang perempuan yang keluar dari rumahnya dengan wajah terbuka, maka hendaknya pada waktu yang sama sudah ada tujuh puluh tangan yang siap mencongkel kedua bola mata itu dari tempatnya.”

Bayangkan, betapa dahsyatnya ancaman itu jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika beliau melihat seorang pemuda yang memandang seorang gadis remaja, kemudian pemuda itu mengulangi lagi pandangannya!

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “… ketika dalam perjalanan, Rasulullah saw. melewati beberapa orang wanita yang sedang menunggang unta. Lalu Al Fadhal memandangi mereka. Rasulullah saw. segera meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal, lalu Al Fadhal memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Al Fadhal kembali memandangi wanita-wanita itu. Dari arah lain Rasulullah saw. kembali meletakkan tangannya ke muka Al Fadhal sehingga Al Fadhal mengalihkan pandangannya.” (HR Muslim)[18]

Dari Abdullah bin Abbas, dia berkata: “Seorang wanita cantik dari Kabilah Khats’am datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta fatwa. Lantas Al Fadhal memandang wanita itu dan dia kagum terhadap kecantikannya. Nabi saw. menoleh dan pada saat itu Al Fadhal masih memandangi wanita itu. Nabi saw. segera memegang leher Al Fadhal dari belakang dan memutar mukanya sehingga tidak melihat lagi ke arah wanita itu.” (HR Bukhari dan Muslim)[19]

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap Fadhal bin Abbas ketika dia mengulangi pandangannya? Bukankah Rasulullah saw. hanya memutar wajah Fadhal ke arah yang lain? Ketika itu Fadhal masih remaja belia. Dia adalah anak paman Rasulullah saw. Rasulullah saw. berjalan ditemani Fadhal, bahkan Fadhal berboncengan bersama Rasulullah saw. di atas unta. Rasulullah saw. tidak pernah menghukum dengan mencongkel matanya atau memberinya pelajaran dengan satu atau beberapa kali pukulan.

Seorang ulama terkenal berkata: “Telah tetap bahwa muka bukanlah aurat yang wajib ditutup. Namun demikian kita harus mengaitkan masalah ini dengan perhiasan yang tidak berada di muka dan kedua telapak tangan yang merupakan bagian dari kecantikan.” Padahal pengarang tersebut, pada beberapa lembar sebelum pernyataanya, telah mengemukakan beberapa hadits sahih yang menerangkan bolehnya terlihat beberapa jenis perhiasan seperti celak di kedua mata dan inai/pacar pada kedua telapak tangan.

Seorang dosen berkata: “Islam memandang ikhtilat (perbauran antara laki-laki dan wanita) sebagai bahaya besar dan cara mengatasinya hanyalah dengan perkawinan. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah masyarakat perseorangan, bukan masyarakat bersama dan kami tegaskan bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat tunggal, bukan masyarakat pasangan. Kaum laki-laki mempunyai masyarakatnya tersendiri, begitu juga kaum wanita. Islam memang membolehkan wanita menghadiri shalat ‘id, shalat jamaah, dan ikut pergi berperang dalam keadaan sangat mendesak. Akan tetapi, hal itu sampai di batas ini saja.”

Dari pendapat dosen tersebut, penulis berharap –jika yang dimaksudkannya adalah menentang ikhtilath yang urakan dan tidak mengindahkan ketentuan agama saja– agar dia menjelaskan bahwa Islam membolehkan wanita terlibat dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam batas-batas serta aturan-aturan yang menjamin murni dan benarnya partisipasi wanita, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakatnya. Hal itulah yang tercantum di dalam banyak nash Sunnah yang sebagiannya sudah disebutkan dalam pembukaan buku ini. Diperkirakan, terdapat lebih dari 300 buah nash dengan sumber kitab Shahih Bukhari dan Muslim yang menerangkan keterlibatan kaum wanita dalam bebagai bidang kehidupan bersamaan dengan kehadiran kaum laki-laki.”[20]

Seorang pengarang pernah mengemukakan hadits berikut ini: “Rasulullah saw. bertanya kepada putrinya, Fathimah r:a.: ‘Apa yang terbaik untuk wanita?’ Fathimah menjawab: ‘Jika wanita tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihatnya.’ Nabi saw. merangkul putrinya seraya berkata: ‘Sebagian manusia adalah satu keturunan dengan sebagian yang lain.’ Pengarang tersebut berkata: ‘Hadits ini diriwayatkan oleh perawi yang empat. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan dan sahih.”‘ Pengarang tersebut mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil tentang wajibnya wanita menetap di rumah.

Namun, hadits tersebut lemah sekali. Meskipun seringkali disampaikan oleh para khatib serta sering ditemukan dalam lembaran-lembaran buku dan majalah, kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku perawi yang empat itu. Perawi hadits ini sebenarnya adalah Al Bazzar, dan ini pun masih dipertikaikan para ulama. Al Hafizh Al Haitsami mengatakan dalam bukunya Majma’uz Zawa’id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bazzar, dan di antara sanadnya ada orang yang tidak saya kenal.”[21] Sementara Al Hafizh Al ‘Iraqi berkata ketika mengeluarkan hadits ini dalam kitab Ihya’ Ulumiddin: “Diriwayatkan oleh Al Bazzar dan ad-Daruquthni dalam kitab Al Ifrad dari hadits Ali dengan sanad yang lemah.”[22]

Demikian jika kita melihat hadits tersebut dari segi sanad. Adapun dari segi matan (isi), hadits tersebut jelas sekali bertentangan dengan manhaj (pola) yang dicontohkan oleh sahabiyah pada zaman Nabi saw. Ketika itu mereka berperan aktif dalam kehidupan sosial dan bertemu dengan kaum laki-laki dalam berbagai kesempatan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seorang pengarang berkata: “Al Haitsami mengemukakan beberapa hadits dalam kitab Majma’uz Zawa’id yang secara keseluruhan derajatnya lemah. Akan tetapi karena terkumpul banyak maka statusnya naik menjadi hasan li ghairihi (hadits dhaif yang naik tingkatnya menjadi hasan karena diperkuat oleh hadits lain yang sama maksudnya). Hadits-hadits tersebut menerangkan bahwa hanya wanita-wanita tua yang ikut shalat bersama Rasulullah saw., sementara yang muda tidak.”

Demikianlah, mereka berpegang pada hadits-hadits lemah untuk menguatkan pendapat yang ingin menjauhkan wanita muda dari masjid. Sebaliknya, hadits-hadits sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menegaskan kehadiran wanita-wanita remaja di masjid, seperti Asma binti Abu Bakar, Atikah binti Zaid (istri Umar bin Khattab) Fatimah binti Qais, Ummul Fadhal, Zainab (istri Ibnu Mas’ud), ar-Ruba’i binti Mu’awwidz, dan banyak lagi yang lainnya.”[23]

Dalam sebuah majalah Islam terdapat pertanyaan pembaca: “Kami adalah sekelompok mahasiswa muslim yang berdomisili di salah satu negara Eropa. Kami berusaha melaksanakan syariat Islam terhadap diri kami sedapat mungkin. Di antara kami ada yang sudah menikah. Istrinya memakai hijab seperti yang dianjurkan agama. Akan tetapi dia merasa sendiri dan terasing, sebab di sini tidak ada wanita lain yang memakai hijab atau yang dapat berbahasa Arab. Pertanyaan kami adalah sejauh mana istri kawan kami itu boleh berbaur –didampingi suaminya tentunya dan bukan berkhalwat– dengan mahasiswa-mahasiswa lainnya.” Pertanyaan itu dijawab oleh seorang dosen sebagai berikut: “Ikhtilath (berbaurnya laki-laki dengan wanita) pada dasarnya dilarang oleh Islam karena sabda Nabi saw. mengatakan:

“Ingat, kaum laki-laki tidak dibenarkan masuk/bertemu dengan kaum wanita. Tetapi diperbolehkan sebagai pengecualian dalam keadaan terpaksa menurut syariat. Tetapi hanya dalam batas terpaksa. “

Bayangkan, fatwanya pertama kali menetapkan dengan tegas bahwa Islam melarang ikhtilath antara laki-laki dan wanita, tetapi kemudian memperbolehkannya dalam keadaan terpaksa. Padahal Al Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan bahwa pertemuan antara laki-laki dan wanita –yang mereka namakan ikhtilath– pada dasarnya boleh-boleh saja. Sunnah Nabi saw. telah menetapkan keikutsertaan seorang wanita bersama suaminya dalam menerima dan melayani tamu di samping pertemuan wanita dengan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan, baik yang bersifat umum maupun khusus. Jika Pembuat syariat Yang Maha Bijaksana telah menetapkan aturan tentang keterlibatan wanita agar segala sesuatunya berjalan dengan baik dan benar, Dia juga telah membuat ketentuan dan aturan mengenai perkawinan, makan, minum, atau jual beli agar semuanya berjalan dengan baik dan benar pula. Adapun hadits yang dikemukakan oleh dosen kita yang mengeluarkan fatwa tersebut maksudnya adalah larangan bertemu dengan wanita dalam bentuk berkhalwat.[24]

Inilah beberapa buah contoh yang sering dibicarakan oleh para ulama dan penulis yang didorong oleh keinginan untuk menjelaskan hukum-hukum agama. Selain itu, ada lagi contoh lain dari para penulis yang kebarat-baratan dan membuka front permusuhan terhadap agama. Dengan gigihnya mereka melecehkan hukum-hukum agama atau yang mereka anggap sebagai hukum agama, padahal yang mereka duga itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Teman saya bercerita bahwa setiap dia mengemukakan pandangannya untuk menjelaskan hukum agama yang berkaitan dengan salah satu kasus sosial atau politik, teman lainnya –seorang dosen di sebuah universitas terkenal– berkata: “Inilah sudut pandang Anda sebagai akibat dari latar belakang keilmuan dan pendalaman Anda terhadap pemikiran-pemikiran Barat modern. Dalam hal ini tidak ada penggambaran tentang hakikat hukum agama sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, atau buku-buku fiqih dengan dalil. Banyak sekali ulama Islam yang mengatakan sesuatu berbeda sekali dengan apa yang Anda katakan itu.”

Menurut pandangan saya, kita harus memberikan keterangan yang jelas sekali kepada orang-orang yang berpemikiran aneh, yang keanehan pemikirannya itu diantaranya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para ulama dan penulis terkemuka. Karena itu, dengan metode yang digunakan dalam buku ini, saya berharap, kiranya dapat memudahkan bagi dosen-dosen seperti dalam kasus tadi dalam upaya mendalami hukum-hukum syariat dari sumber-sumbernya yang asli, bukan dari pendapat manusia yang bisa benar serta mendekatkan dan menjauhkan manusia dari syariat yang penuh toleransi atau kemudahan.



[1] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir, hadits no. 2329.

[2] Bukhari, Kitab: Perbuatan-perbuatan zalim, Bab: Tolonglah saudaramu baik yang menganiaya ataupun yang teraniaya, jilid 6, hlm. 23.

[3] Bukhari, Kitab: Paksaan, Bab: Sumpah seseorang kepada temannya karena takut dibunuh atau seumpamanya, jilid 15, hlm. 358. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan, dan etika, Bab: Membantu saudara yang menganiaya atau teraniaya, jilid 8, hlm. 19.

[4] Dia adalah Syekh Abdullah bin Zaid al-Mahmud, Kepala pengadilan agama dan Kantor Urusan Agama Qatar. Ucapan tersebut kami kutip dari desertasi beliau yang berjudul Al-Akhlaq al-Hamidah li al-Mar’ah Mu’ashirah.

[5] Dr. Yusuf Qardhawi. Ucapan ini dikutip dari: Mukadimah buku beliau yang berjudul Fatawa Mu’asshirah.

[6] Shahih Bukhari, Kitab: Jihad, Bab: Keutamaan Jihad, jilid 6, hlm. 344.

[7] Ibid.

[8] Muslim, Kitab: Keutamaan-keutamaan para sahabat, Bab: Keutamaan Aisyah r.a. jilid 7, hlm. 136.

[9] Bukhari, Kitab: Ilmu, Bab: Apakah untuk kaum wanita disediakan waktu khusus untuk belajar? jilid 1, hlm. 206. Muslim, Kitab: Kebajikan, hubungan kekeluargaan dan etika, Bab: Keutamaan orang yang kematian anak lalu ia merasa sedih karenanya, jilid 8, hlm. 39.

[10]Muslim, Kitab: Dua hari raya, jilid 3, hlm. 20.

[11]Bukhari, Kitab: Manaqib, Bab: Hijrah Nabi saw. dan para sahabat beliau ke Madinah jilid 8, hlm. 233.

[12] Fathul Bari, jilid 8, hlm. 233.

[13] Bukhari, Kitab: Tafsir surat al-Ahzab, Bab: Ayat 54-55 jilid 10, hlm. 151. Muslim, Kitab: Persusuan, Bab: Keharaman persusuan dari jalur lelaki, jilid 4, hlm. 163.

[14] Fathul Bari, jilid 10, hlm. 151.

[15] Fathul Bari, jilid 11, hlm. 258.

[16]Fathul Qadir, jind 4, hlm. 298.

[17] Al-Mabsuth, ash-Sarakhsi, jilid 1, hlm. 145-146.

[18] Muslim, Kitab: Haji, Bab: Haji Nabi saw., jilid 4, hlm. 42.

[19] Bukhari, Kitab: Mohon izin, Bab: Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum minta izin dan memberikan salam kepada penghuninya,” Jilid 13, hlm. 245. Muslim, Kitab: Haji, Bab: Menghajikan orang yang tidak mampu disebabkan sakit-sakitan terus atau tua renta dan semisalnya, jilid 4, hlm. 10.

[20] Lihat pasal mengenai keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki.

[21] Majma’ az-Zawaid, Kitab: Nikah, Bab: Apa yang baik bagi wanita. jilid 4, hlm. 255.

[22] Ihya’ Ulumiddin, Kitab: Nikah, Bab III mengenai adab bergaul dan bagaimana cara lelaki berlindung dari bahaya cemburu.

[23] Lihat pasal keterlibatan wanita dalam kehidupan sosial dan pertemuannya dengan kaum laki-laki. Tentang keterlibatan wanita di masjid.

[24] Pembicaraan mengenai hadits ini terdapat dalam pasal selanjutnya.


sumber: hasanalbanna.id