Skip to main content

2011-12-08 Optimisme

Muhammad-Anis-Matta1.jpg

Titik tengah antara idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis adalah optimisme. Para pahlawan mukmin sejati menyadari dengan baik bahwa mereka lahir  untuk  sebuah  misi  besar.  Akan  tetapi,  ia  juga  menyimpan  kesadaran  lain  yang sama;  mereka  tetap  berpijak  di  permukaan  bumi.  Itu  bukan  dua  hal  yang  saling benentangan.  Sebab,  di  pertengahannya  ada  sebuah  ruang  tempat  kedua  hal  itu  bisa saling beririsan: optimisme.

Para  pahlawan  mukmin  sejati  memandang  misinya  sebagai  sesuatu  yang  sakral darimana mereka menemukan perasaan  terhormat karena  lahir untuk memperjuangkan misi  itu.  Namun,  mereka  merasa  tenang  karena  berjuang  di  bawah  bendera  Allah.

Mereka percaya  bahwa di  bawah  bendera  itu mereka pasti mendapaikan kemenangan, walaupun mereka  tidak  selalu menyaksikan kemenangan  itu  sendiri. Mereka percaya bahwa berjuang saja sudah merupakan suatu kemenangan. Yaitu, kemenangan atas rasa  takut,  kemenangan  atas  sifat  pengecut,  kemenangan  atas  cinta  dunia  dan kemenangan  atas  diri  sendiri.  Apatah  lagi  bila  kemudian  dapat mengalahkan musuh, atau  menegakkan  daulah  dan  khilafah.  Bahwasanya  mereka  kemudian  gugur  di perjalanan  atau  hidup  dan  menyaksikan  kemenangan  itu,  maka  itu  semua  hanya merupakan  cara  Allah  membagi-bagi  keutamaan-Nya  kepada  para  tentara-Nya.

Dari keyakinan-keyakinan  seperti  inilah  mereka  menemukan  kejujuran  iman,  dan  dari kejujuran iman itulah mereka menemukan mata air kekuatan jiwa yang memberi mereka harapan  dan  optimisme:  “Di  antara  orang-omng  beriman  itu  ada  orang-orang  yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur  dan  di  antara  mereka  ada  (pula)  yang  menunggu-nunggu  (sampai  saat kemenangan),  dan  mereka  sedikitpun  tidak  mengubah  janjinya.”  (AJ-Ahzab:  23).

Namun, mereka  sepenuhnya  percaya  pada  sebuah  hikmah Allah;  bahwa Allah hanya mau  memenangkan  agama-Nya  dengan  usaha-usaha  manusia,  bukan  dengan mukjizat demi mukjizat. Sebab  jika  tidak demikian, Allah  tidak perlu mengutus nabi dan rasul, mewajibkan  jihad, dan memilih syuhada. Tantangan-tantangan  itu diciptakan untuk  menguji  kejujuran  iman  yang  terpatri  dalam  jiwa  para  pahlawan  mukmin.

Mukjizat atau karomah tentu dibutuhkan pada waktu-waktu tertentu, tetapi itu berfungsi penguatan,  bukan  penyelesaian  misi.  Ketentuan  itulah  yang  membuat  mereka  harus realistis  dalam  menata  garis  perjuangan.  Sebab,  mereka  bergerak  dalam  ruang  yang terbatas, waktu dan  tempat  yang  terbatas,  sumberdaya manusia,  sarana dan prasarana, dan  sumber-sumber  finansial  yang  terbatas  serta  technical  resources  yang  sama terbatasnya.

Dalam  segala  hal  ada  keterbatasan.  Itulah  sebabnya mereka  harus  bekerja  efektif  dan menggunakan  tenaga  seefisien  mungkin.  Akan  tetapi,  keterbatasan  bukanlah  alasan untuk  tidak berjuang. Sebab, Allah berfirman, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut  kesanggupanmu….”  (At Taghaabun:  16).  Bahkan,  nilai  kepahlawanan  itu sesungguhnya terletak pada capaian-capaian besar di atas keteibatasan.

Keterbatasan itu ditata dalam konsep yang mereka sebut sebagai hukum alam, atau yang kita  sebut  sebagai  sunnatullah. Kita  semua  bergerak  dalam  kerangka  sunnatullah  itu. Dan, para pahlawan  itu bukanlah manusia  istimewa yang  turun dari  langit dengan hak-hak  istimewa  untuk  tidak  mentaati  sunnatullah.  Mereka  menjadi  istimewa  karena mereka menggunakan  kaidah  yang  pernah  diucapkan  Imam  Syahid Hasan  Al-Banna, “Jangan pernah melawan sunnatullah pada alam,  sebab  ia pasti mengalahkanmu. Tapi, gunakanlah  sebagiannya  untuk menundukkan  sebagian  yang  lain,  niscaya  kamu  akan sampai ke tujuan.”


sumber: hasanalbanna.id